RISALAH ZAKAT









رسالة الزكاة
RISALAH ZAKAT
TARBIYAH iSLAMIYYAH







Prakata
   Sebagaimana disyari’atkan kepada para Rasul terdahulu, zakat juga disyaria’atkan kepada Rasulullah Muhammad shallallahu alaihi wa alihi wa salam.Pensyari’atan zakat telah terjadi sejak Nabi berada di Makkah, bersamaan dengan perintah mendirikan shalat. Di dalam Al-Qur’an terdapat tidak kurang dari 82 ayat yang berisi perintah menunaikan zakat bersamaan dengan perintah mendirikan shalat, baik perintah tersebut ada yang menggunakan lafal shadaqah maupun zakat. Dari sekian ayat itu diantaranya adalah ayat-ayat makiyyah. Perhatian Islam yang besar terhadap penanggulangan problem kemiskinan dan orang-orang miskin dapat dilihat dari kenyataan bahwa Islam semenjak fajarnya baru menyingsing di Kota Makkah –saat umat Islam masih beberapa orang dan hidup tertekan- sudah mempunyai kitab suci yang memberikan perhatian penuh dan terus menerus pada masalah sosial penanggulangan kemiskinan tersebut.
Ayat – ayat tentang zakat yang diturunkan pada periode M
akkah tidak secara tegas menyatakan kewajiban zakat, tapi umumnya lebih bersifat informatif. Misalnya bercerita tentang hak-hak fakir miskin atau ketentraman dan kebahagiaan orang-orang yang menunaikan zakat. Ayat-ayat yang diturukan pada periode Makkah hanya bersifat anjuran mengenai bershadaqah, lafal yang digunakan pun lebih banyak menggunakan lafal shadaqah daripada zakat. Beberapa ayat bahkan disandingkan dengan himbauan untuk tidak mengambil riba, meskipun larangan tersebut masih belum bersifat larangan. Bahwasanya pada periode Makkah syariat zakat belum menjadi syari’at yang bersifat wajib dan masih bersifat himbauan dan anjuran, karena ayat-ayat Makkah tidak memakai shighat amar. Hal itu misalnya bisa diperhatikan dalam ayat makkiyah tentang zakat berikut ini :
“Dan sesuatu riba yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).”(Q.S Ar-Rum : 39)
Hal ini ditambahkan pada surat Lukman ayat 2-4 bahwasanya orang yang mendirikan salat dan menunaikan zakat adalah orang-orang yang berbuat kebaikan.

Inilah ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung hikmah, menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang berbuat kebaikan, (yaitu) orang-orang yang mendirikan salat dan menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat.” (Q.S Luqman 2-4)
Keseluruhan ayat-ayat Makiyyah di atas bersifat informatif, belum menetapkan zakat sebagai kewajiban seorang muslim, baik zakat harta maupun zakat fit
hrah. Zakat hanya dipandang sebagai perilaku orang-orang yang terpuji, ciri orang yang beriman, bertaqwa dan saleh. Ayat-ayat zakat yang turun pada periode Makkah baru bersifat umum belum ada ketentuan detail hukum dan jenis harta yang wajib dizakati serta batasan nishab (minimal) dan kadar zakat yang harus dikeluarkan. Semua itu diserahkan kepada rasa iman, kemurahan hati dan rasa tanggung jawab seseorang atas orang lain. Ayat-ayat yang turun di Makkah tidak hanya menghimbau agar orang-orang miskin diperhatikan dan diberi makan, dan mengancam bila mereka dibiarkan terlunta-lunta, tetapi lebih dari itu membebani setiap orang mukmin mendorong pula orang lain memberi makan dan memperhatikan orang-orang miskin tersebut dan menjatuhkan hukuman kafir kepada orang-orang yang tidak mengerjakan kewajiban itu serta pantas menerima hukuman Allah di akhirat.
Dalam sejarah perundang-undangan Islam, zakat baru diwajibkan di Madinah,
namun mengapa Qur’an telah membicarakan hal itu dalam ayat-ayat yang begitu banyak dalam surat-surat yang turun di Makkah?. Hal ini dikarenakan adalah bahwa zakat yang termaktub di dalam surat-surat yang turun di Makkah itu tidaklah sama dengan zakat yang diwajibkan di Madinah, dimana nishab dan besarnya sudah ditentukan, orang-orang yang mengumpulkan dan membagikannya sudah diatur dan negara bertanggung jawab mengelolanya. Sementara di Makkah adalah zakat yang tidak ditentukan batas dan besarnya, tetapi diserahkan saja kepada rasa iman, kemurahan hati, dan perasaan tanggung jawab seseorang atas orang lain sesama orang-orang yang beriman.
Sifat Syari’at zakat pada periode M
akkah yang demikian karena secara sosiologis umat Islam masih merupakan kelompok minoritas yang sering tertindas dan ditindas oleh mayoritas kafir Quraisy. Kaum muslimin di Makkah baru merupakan pribadi-pribadi yang dihalang-halangi menjalankan agama mereka. Mereka tidak memiliki kekayaan dan harta benda yang berlimpah, kecuali kekuatan Iman dan Islam yang melekat pada jiwa mereka. Karena kebanyakan dari mereka lebih memilih meninggalkan harta bendanya daripada harus meninggalkan iman Islam mereka.
Sementara pada periode Madinah, secara politis kaum muslimin telah menjadi sebuah kekuataan masyarakat yang mandiri. Mereka mendirikan negara sendiri, menerapkan hukum dan memiliki wilayah kekuasaan sendiri, mereka terdiri atas penguasa, pemilik tanah, pedagang dan sebagainya. Mereka sudah merupakan jamaah yang memiliki daerah, eksistensi, dan pemerintahan sendiri. Oleh karena itu beban tanggung jawab mereka mengambil bentuk baru sesuai dengan perkembangan tersebut, yaitu bentuk hukum-hukum yang mengikat bukan hanya pesan-pesan yang bersifat anjuran. Hal itu mengakibatkan penerapannya memerlukan kekuasaan di samping didasarkan atas perasaan iman tersebut, kecenderungan itu terlihat pula pada penerapan zakat. Dalam kondisi demikian, umat Islam memerlukan perantara untuk mengikat dan memperkuat kesatuan politik yang telah terbentuk itu. Ayat-ayat Madaniyah tentang zakat yang mulai terlihat unsur kewajibannya, merupakan bagian dari mekanisme untuk merekatkan kesatuan politik itu. Zakat pada periode Madinah telah menjadi suatu instrumen fiskal utama yang cukup menentukan. Ayat-ayat yang turun di Madinah menegaskan zakat itu wajib dalam bentuk perintah yang tegas dan instruksi pelaksanaan yang jelas.Dari sisi lain, zakat merupakan aset pendapatan negara yang sangat berarti bagi kelangsungan pemerintahan. Dari zakat
, dapat terkumpul dana besar yang bisa diberdayagunakan untuk kepentingan negara, serta sebagai sumber dana dalam proses pembangunan negara berdasarkan syariat Islam pada masa tersebut.Dalam konteks itu, maka zakat telah menjadi tulang punggung dalam perekonomian Negara  dan telah menjadi instrumen fiskal utama pada masa itu.
Pada tahun kedua Hijriyah turunlah ayat dengan aturan yang lebih khusus, yakni penetapan kelompok siapa saja yang berhak untuk menerima zakat (mustahiq az-zakat). Saat itu, mustahik zakat hanya terbatas pada dua kalangan, yaitu fakir dan miskin. Karena pada masa itu zakat telah diarahkan sebagai suatu instrumen fiskal yang berfungsi sebagai suatu instrumen pemerataan atas ketimpangan dan ketidakmerataan distribusi pendapatan yang terjadi di masyarakat. Hal itu diistinbathkan dari surat Al-Baqarah ayat 271, yaitu:
“Jika kamu menampakkan pemberian sedekahmu, maka itulah pekerjaan yang sebaik-baiknya. Dan jika kamu menyembunyikan pemberian itu, dan kamu serahkan kepada orang-orang fakir, maka itulah yang lebih baik bagimu (QS Al-Baqarah: 271)”
Ketentuan di atas berlangsung hingga tahun kesembilan Hijriyah. Karena pada tahun kesembilan Hijriyah Allah menurunkan surat At-Taubah ayat 60 yang menetapkan ketentuan baru bahwa yang menjadi kelompok yang berhak untuk menerima zakat tidak hanya terbatas pada fakir dan miskin, tetapi bertambah menjadi enam kelompok lagi.
“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang yang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk
para sukarelawan perang dijalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Bijaksana. (QS At-Taubah: 60)”
Dalam praktiknya,
Rasulallah shallallahu alaihi wa alihi wa salam membagi rata hasil zakat yang terkumpul kepada delapan kelompok tersebut. Beliau membagi sesuai kebutuhan yang diperlukan oleh masing-masing kelompok tersebut. Maka konsekuensinya, ada salah satu kelompok yang tidak memperoleh zakat karena persediaan zakat dialokasikan kepada kelompok lain yang lebih membutuhkan. Pertimbangan yang dilakukan oleh sang utusan adalah berdasarkan azas manfaat dan prioritas, kelompok-kelompok mana saja yang harus menjadi prioritas utama untuk dibagikan zakat dan mana yang menjadi prioritas terakhir. Skala prioritas ini dapat berubah dari waktu ke waktu.
Al-Qur’an adalah konstitusi dan sumber perundang-undangan Islam yang utama, oleh sebab itu Al-Qur’an hanya mengandung asas-asas dan prinsip-prinsip umum tentang suatu masalah, tidak menegaskan secara mendetail dan terperinci, terkecuali terdapat hal-hal yang dikuatirkan akan menimbulkan keragu-raguan dan kekacauan. Dalam hal ini sunnah merupakan interpretasi lisan dan pelaksanaan konkrit apa yang dinyatakan Al-Qur’an: menjelaskan yang belum jelas, mempertegas yang belum tegas, memberi batasan yang masih samar, dan memperkhusus apa yang masih terlalu umum. Dalam hal zakat, sunnah datang memperkuat ketentuan bahwa zakat itu wajib dan itu sudah ditegaskannya semenjak periode M
akkah.
Untuk mempermudah mekanisme pemungutan dan penyaluran zakat,
Rasulallah shallallahu alaihi wa alihi wa salam mengangkat petugas khusus yang dikenal sebagai ‘amil. Amil yang diangkat Rasul ada dua macam, pertama, amil yang berdomisili di dalam kota madinah, statusnya bersifat free-lance, tidak memperoleh gaji tetap hanya kadang-kadang memperoleh honorarium sebagai balas jasa atas kerjanya dalam pendayagunaan zakat. Diantara sahabat nabi yang pernah berstatus demikian adalah Umar bin Khathab. Kedua, Amil yang tinggal di luar kota Madinah, status mereka adalah sebagai wali pemerintah pusat (pemerintah daerah) yang merangkap menjadi amil. Diantara sahabat yang pernah menduduki jabatan ini adalah Muadz bin jabal. Sebagai amil, mereka diperbolehkan mengambil bagian dari zakat dan diperkenankan untuk langsung mendistribusikannya kepada yang membutuhkan di daerah tersebut. Jadi konsep pendistribusian pada masa Nabi adalah langsung menghabiskan seluruh dana zakat yang diterima dan sudah mengenal konsep desentralisasi distribusi zakat. Karena beliau memandang bahwa setiap daerah tentu memiliki kebutuhan dan orang-orang yang akan dibantu sendiri.
Setelah jelas bahwa zakat itu wajib dan bagaimana kedudukannya dalam Islam, berdasarkan apa yang dikatakan oleh Al-Qur’an, sunnah dan ijma’, maka kita dapat memberikan catatan penting dan ringkas tentang zakat tersebut, yang jelas berbeda sekali dari kebajikan dan perbuatan baik kepada orang-orang miskin dan lemah yang diserukan oleh agama-agama lain:
1. Zakat dalam Islam bukanlah hanya sekedar suatu kebajikan dan perbuatan baik, tetapi adalah salah satu fundamen (rukun) Islam yang utama. Orang yang tidak mau membayar zakat dinilai fasik dan orang yang mengingkari dipandang sebagai kafir. Zakat itu bukan pula kebajikan secara ikhlas atau sedekah tak mengikat, tetapi adalah kewajiban yang dipandang dari segi moral dan agama sangat mutlak dilaksanakan.
2. Zakat menurut pandangan Islam adalah hak fakir miskin dalam kekayaan orang-orang kaya. Hak itu ditetapkan oleh pemilik kekayaan itu sebenarnya, yaitu Allah.
Dia mewajibkannya kepada hamba-hamba-Nya yang diberi-Nya kepercayaan dan dipercayakan-Nya itu. Oleh karena itu tidak ada satu bentuk kebajikan atau belas kasihan pun dalam zakat yang dikeluarkan orang-orang kaya kepada orang-orang miskin.
3. Zakat merupakan kewajiban yang sudah ditentukan, yang oleh agama sudah ditetapkan nis
hab, besaran, batas-batas, syarat-syarat, waktu dan cara pembayarannya.
4. Kewajiban ini tidak diserahkan saja kepada kesediaan manusia, tetapi harus dipikul tanggung jawab memungut dan mendistribusikannya oleh pemerintah. Hal itu dilaksanakan melalui para amil
zakat.
5. Negara berwenang memberi san
gsi kepada siapa saja yang tidak bersedia membayar kewajiban itu, namun hal ini baru dapat dilaksanakan pada negara Islam dan belum dapat diaplikasikan di Indonesia. Maksimal hukuman yang diberikan adalah penyitaan separuh harta kekayaannya.
6. Golongan bersenjata yang membangkang membayar zakat seyogyanya harus dibunuh dan dinyatakan perang kepadanya oleh kaum muslimin, sampai mereka bersedia membayar hak Allah dan fakir miskin yang terdapat di dalam kekayaan mereka.
7. Seorang muslim dituntut untuk melaksanakan kewajiban besar dan fundamen Islam yang sangat penting itu. Bila negara lalai menjalankannya atau masyarakat segan melakukannya, maka seorang individu tetap wajib melaksanakannya sebagai saran
a peribadatan dan mendekatkan diri kepada Allah. Seandainya pemerintah tidak mewajibkan, maka sebagai manusia beriman wajib melaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Al –Qur’an, sunnah dan ijma’.
8. Kekayaan zakat tidak boleh diserahkan saja penggunaannya kepada para pihak yang berwenang, para pemuka agama, seperti dalam agama Yahudi, tetapi harus dikeluarkan sesuai dengan
ashnaf (sasaran-sasaran) pengeluaran dan orang-orang yang mustahiq (berhak) di dalam Al-Qur’an.
9. Zakat bukanlah sekedar bantuan makanan sewaktu-waktu untuk sedikit meringankan penderitaan hidup orang-orang miskin dan selanjutnya tidak diperdulikan lagi nasib mereka. Tetapi zakat bertujuan menanggulangi kemiskinan, menginginkan agar orang-orang miskin mampu menjadi orang yang mandiri dan tidak bergantung kepada orang lain.
10. Zakat berdasarkan sasaran-sasaran pengeluaran yang ditegaskan Al-Qur’an dan dijelaskan oleh sunnah, terbukti mampu mencapai tujuan-tujuan spiritual, moral, sosial, dan politik. Dan oleh karena itu zakat dikeluarkan buat orang-orang muallaf, budak, orang yang berhutang, dan buat perjuangan di jalan Allah, dan dengan demikian lebih luas dan lebih jauh jangkauannya daripada zakat dalam agama-agama lain.

Berdasarkan ciri-ciri khas tadi, dapatlah terlihat bahwa zakat dalam Islam merupakan sistem baru tersendiri yang tidak sama dengan anjuran-anjuran dalam agama-agama lain supaya manusia suka berkorban, tidak kikir dan menumbuhkan sifat empati kepada sesama.
Namun lebih dari itu,zakat adalah satu bentuk ibadah sosial yang tidak dan belum ada sebelumnya dalam setiap agama dan kepercayaan umat terdahulu. Di samping itu zakat berbeda dari pajak dan upeti yang dikenakan para raja, yang justru dipungut dari orang-orang miskin untuk diberikan kepada orang-orang kaya.





Wasssalam

Selama 13 tahun hidup di Makkah sebelum hijrah, Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa alihih wa salam telah 13 kali mengalami Ramadlan, yaitu dimulai dari Ramadlan tahun ke-41 kelahiran beliau yang bertepatan bulan Agustus 610 M, hingga Ramadlan tahun ke-53 dari kelahirannya yang bertepatan dengan bulan April tahun 622 M. Namun selama waktu itu belum disyariatkan kewajiban mengeluarkan zakat fitrah bagi kaum muslimin, dan demikian pula dengan syariat Iedul fitrinya.
Setelah Rasulallah shallallahu alaihi wa alihi wa salam hijrah ke Madinah, dan menetap selama 17 bulan di sana, maka turunlah ayat 183-184 al-Baqarah pada bulan Sya’ban tahun ke-2 H, sebagai dasar disyariatkannya shaum bulan Ramadhan. Tak lama setelah itu, dalam bulan Ramadhan tahun itu pula,zakat mulai diwajibkan kepada kaum muslimin. (Lihat, Tawdhiih Al-Ahkaam Syarh Bulugh Al-Maraam, III:371) Zakat ini kemudian populer di kalangan kita dengan sebutan zakat fithrah atau zakat fithri.
Sehubungan dengan kewajiban itu, Ibnu Umar menjelaskan:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى النَّاسِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى مِنْ الْمُسْلِمِينَ
“Sesungguhnya Rasulullah saw. telah mewajibkan zakat fitrah pada bulan Ramadhan atas orang-orang sebesar 1 sha’ kurma, atau 1 sha’ gandum, wajib atas orang merdeka, hamba sahaya, laki-laki dan perempuan, dari kaum muslimin.”  (HR. Muslim, Shahih Muslim, II:678, No. hadits 984, Malik, Al-Muwatha, I:284, No. hadits 626, An-Nasai, As-Sunan Al-Kubra, II:25, No. 2282, Al-Hakim, Al-Mustadrak ‘Alas Shahihain, I:569, No. hadits 1494, Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, IV:161, No. hadits 7476, IV:166, No. hadis 7492; Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, IV:83, No. hadits 2399, Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban, VIII: 94, No. hadits 3301)
Hadits di atas diriwayatkan pula oleh Al-Bukhari (Shahih Al-Bukhari, II:547, No. hadits 1433), Ahmad (Musnad Ahmad, II:137, No. hadits 6214), Abu Dawud (Sunan Abu Dawud, II:112, No. hadits 1611), dan At-Tirmidzi (Sunan At-Tirmidzi, III:61, No. hadits 676) dengan sedikit perbedaan redaksi.
Pengertian Zakat Fithrah atau Fithri
Pengertian Zakat
Zakat berasal dari kata zakaa yang berarti suci, baik, berkah, tumbuh, atau berkembang. Kata itu mengacu pada kesucian diri yang diperoleh setelah pembayaran zakat dilaksanakan. Itulah kebaikan hati yang dimiliki seseorang manakala ia tidak bersifat kikir dan tidak mencintai harta kekayaannya semata-mata demi harta itu sendiri.
Sedangkan secara istilah para ulama fiqh telah menjelaskan pengertian zakat sebagai berikut:

الزَّكَاةُ هِيَ إِعْطَاءُ جُزْءٍ مَخْصُوْصٍ مِنْ مَالٍ مَخْصُوْصٍ بِوَضْعٍ مَخْصُوْصٍ لِمُسْتَحِقِّهِ
“Zakat adalah mengeluarkan bagian yang khusus dari harta yang khusus dengan ketentuan/cara yang khusus pada mustahiqnya”.
Dengan perkataan lain, zakat adalah nama bagi sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah untuk dikeluarkan dan diberikan kepada yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu pula. Firman Allah .:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. At-Taubah:103)
Maksud zakat membersihkan itu adalah membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada harta benda.  Sedangkan maksud zakat menyucikan itu adalah menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan mengembangkan harta benda mereka.
Pengertian Fithrah atau Fithri
Meski di dalam hadits-hadits Rasulallah shallallahu alaihi wa alihi wa salam penyebutan zakat ini lebih populer dengan istilah zakat fithri, namun terkadang digunakan pula istilah zakat fitrah, dan barangkali sebutan ini yang lebih populer di kalangan kita. Untuk mempertegas peristilahan itu barangkali penting pula untuk dianalisa latar belakang pembentukannya.
(a)  Zakat Fitrah 
Dalam Alquran kata fitrah dalam berbagai bentuknya disebut sebanyak 28 kali, 14  di antaranya berhubungan dengan bumi dan langit. Sisanya berhubungan dengan penciptaan manusia, baik dari sisi pengakuan bahwa penciptanya adalah Allah, maupun dari segi uraian tentang fitrah manusia. Sehubungan dengan itu Allah berfirman pada surat Ar-Rum ayat 30:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ 
“Maka hadapkanlah dirimu dengan lurus kepada agama itu, yakni fitrah Allah yang telah menciptakan manusia atas fitrah itu.Tidak ada perubahan pada penciptaan Allah.Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” QS Ar Rum : 30
Pada ayat lain diterangkan kronologis peristiwanya:
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)".   QS. Al-A’raf:172
Peristiwa ini memberikan gambaran bahwa sejak diciptakan manusia itu telah membawa potensi beragama yang lurus, yaitu bertauhid (mengesakan Allah). Keadaan inilah yang disebut al-fitrah. Sehubungan dengan itu Rasulallah shallallahu alaihi wa alihi wa salam. bersabda:
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلىَ الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Setiap anak dilahirkan atas fitrahnya, maka kedua orang tuanya yang menjadikan dia Yahudi, Nashrani, atau Majusi…” HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, I:465, No. hadis 1319
Berdasarkan pemaknaan kata Fithrah di atas, maka kita dapat memahami bahwa zakat ini disebut zakat fithrah karena zakat ini merupakan shadaqah (bukti kebenaran) dari badannya dan kefitrahan pada jasadnya.  (Lihat, Syekh Athiyyah Muhammad Saalim, Syarh Bulugh Al-Maraam, juz 4, hlm. 135)
(b)  Zakat Fithri 
Kata fithri makna asalnya adalah robek atau terbelah, sebagaimana dalam ungkapan Fathara Naabul Ba’iir, artinya terbelah tempat taringnya untuk tumbuh. Pemaknaan itu digunakan pula dalam firman Allah Swt.
إِذَا السَّمَاءُ انْفَطَرَتْ
“Apabila langit terbelah.” QS. Al-Infithar, :1
Berdasarkan pemaknaan kata Fithri di atas, maka kita dapat memahami zakat ini disebut zakat fithri karena seakan-akan orang yang shaum “merobek atau membelah”  (dalam arti mengakhiri) masa shaumnya dengan makan.
Dengan demikian, zakat ini disebut zakat fithri karena yang menjadi sebab pensyariatannya adalah berbuka dari shaum pada bulan Ramadlan, penisbatan zakat kepada kata fithri merupakan bentuk penyebutan akibat (Musabbab) dengan menggunakan kata sebab (Sabab). (Lihat, Tawdhiih Al-Ahkaam Syarh Bulugh Al-Maraam, III:371)
Ketentuan Zakat Fitrah
Pada tahun ke-2 hijriah itu, selain menyebut istilah, Raulallah shallallahu alaihi wa alihi wa salam. pun menetapkan beberapa aturan zakat yang amat penting diperhatikan oleh kaum muslimin, sebagai berikut:
1.    Muzakki Zakat Fitrah ( yang terkena kewajiban)
Zakat fitrah wajib dikeluarkan oleh setiap orang muslim. Bagi mereka yang berada dibawah tanggungan orang lain, maka zakatnya menjadi kewajiban penanggungnya, baik ia seorang pembantu rumah tangga, seorang dewasa, ataupun seorang kanak-kanak, bahkan bayi yang telah bernyawa, yang masih didalam rahim, semuanya wajib mengeluarkan zakat fitrahnya, baik dari hartanya sendiri, ataupun oleh penanggung yang bertanggung jawab atasnya. Di dalam hadits diterangkan:
قَالَ ابْنُ عُمَرَ : فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ اَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ عَلَى اْلعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَىْ وَالصَّغِيْرِ وَالْكَبِيْرِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ وَاَمَرَ اَنْ تُؤَدَّي قَبْلَ خُرُوْجِ النَّاسِ اِلَى الصَّلاَةِ
Ibnu Umar mengatakan, "Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah satu sha' dari kurma, atau satu sha dari syair (gandum) atas hamba sahaya, orang yang merdeka, laki-laki perempuan, anak kecil dan dewasa dari kalangan muslimin. Dan beliau memerintahkan untuk ditunaikan  sebelum orang-orang keluar melaksanakan shalat ied.       (HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:547, No. hadits 1432)
Dalam riwayat lain diterangkan oleh Al-Hasan Al-Bishri:
خَطَبَ ابْنُ عَبَّاسٍ فِي النَّاسَ آخِرِ رَمَضَانَ فَقَالَ يَا أَهْلَ الْبَصْرَةِ أَدُّوا زَكَاةَ صَوْمِكُمْ قَالَ فَجَعَلَ النَّاسُ يَنْظُرُ بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ فَقَالَ مَنْ هَاهُنَا مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ قُومُوا فَعَلِّمُوا إِخْوَانَكُمْ فَإِنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَضَ صَدَقَةَ رَمَضَانَ نِصْفَ صَاعٍ مِنْ بُرٍّ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى
“Ibnu Abbas berkhutbah di hadapan orang-orang pada akhir bulan Ramadhan, lalu ia berkata, ‘Wahai penduduk Bashrah, keluarkanlah zakat shaum kalian (zakat fithrah).’ Ia (Humaid Ath-Thawil) berkata, ‘Maka orang-orang saling memandang satu dengan yang lainnya.’ Ibnu Abbas melanjutkan perkataannya, ‘Siapakah di sini yang berasal dari Madinah? Bangunlah, ajarkanlah saudara-saudara kalian, karena sesungguhnya mereka tidak mengerti bahwa Rasulullah saw. mewajibkan zakat kepada setiap budak, orang merdeka, laki-laki dan wanita pada bulan Ramadlan sebanyak setengah sha' gandum, atau satu sha' tepung, atau satu sha' kurma. (HR. Ahmad, Musnad Ahmad, I:351, No. hadis 3291)
Pada riwayat yang lain dengan redaksi:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَضَ صَدَقَةَ الْفِطْرِ عَلَى الصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ وَالْحُرِّ وَالْعَبْدِ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى نِصْفَ صَاعٍ مِنْ بُرٍّ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ شَعِيرٍ
Bahwa Rasulallah shallallahu alaihi wa alihi wa  salam telah mewajibkan shadaqah fithri atas orang kecil,dewasa, orang meredeka,hamba sahaya,laki laki dan wanita sebanyak setengah sha’ gandum atau satu sha’ tamr atau syai’r (jenis gandum keras)
HR. An-Nasai, Sunan An-Nasai, III:190, No. hadits 1580, V:52, No. hadits 2515, As-Sunan Al-Kubra, II:28, No. hadits 2292; Ad-Daraquthni, Sunan Ad-Daraquthni, II:152, No. hadits 65
Kata Ash-Shagiir (anak kecil) mencakup di dalamnya bayi yang masih berada didalam kandungan ibunya apabila usia kandungan itu telah mencapai umur 120 hari atau empat bulan.Sehubungan dengan itu Utsman bin Affan membayar zakat fitrah bagi anak kecil, orang dewasa dan bayi dalam kandungan sebagaimana diriwayatkan Ibnu Abu Syaibah
أَنَّ عُثْمَانَ كَانَ  يُعْطِيْ صَدَقَةَ  الْفِطْرِ عَنِ الْحَبْلِ
“Sesungguhnya Utsman bin Affan memberikan zakat fitrah dari bayi yang dikandung.”
Mushannaf Ibnu Abu Syaibah, II:432, No. hadits 10.737
Demikian pula dengan para sahabat lainnya, sebagaimana diterangkan oleh Abu Qilabah.
عَنْ أَبِيْ قِلاَبَةَ قَالَ كَانَ يُعْجِبُهُمْ أَنْ يُعْطُوْا زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنِ الصَّغِيْرِ وَالْكَبِيْرِ حَتَّى عَلَى الْحَبْلِ فِي بَطْنِ أُمِّهِ
Dari Abu Qilabah, ia berkata, “Adalah menjadi perhatian mereka (para sahabat) untuk mengeluarkan/memberikan zakat fitrah dari anak kecil, dewasa, bahkan  yang masih dalam kandungan. HR.Abdurrazaq, al-Mushannaf, III:319, No. hadits 5788.
2.    Mustahiq / Masharif (Yang berhak menerima Zakat)
Menurut Alquran, sasaran zakat atau yang lebih populer dengan sebutan mustahik (yang berhak menerima) zakat ada 8 ashnaf  (golongan/sasaran). Firman Allah Swt.:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنْ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ   ( التوبة:٦۰) 
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” QS. At-Taubah:60
Bila ayat di atas kita perhatikan secara seksama, setidaknya ada dua hal yang perlu digaris bawahi; Pertama, kriteria ashnaf itu sendiri. Kedua, ushlub (gaya bahasa) Alquran dalam mengungkap sasaran zakat.
A.    Kriteria Ashnaf
1. Fuqara (Fakir)
orang yang tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi kebutuhan hidupannya (primer).
2. Masakin (Miskin)
orang yang mempunyai harta dan tenaga, tapi tidak mencukupi kebutuhan hidupnya (primer) 1.
3. Amilin
orang yang bertugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat.
4. Mu'allaf
a. orang kafir yang ada harapan masuk Islam
1.kebutuhan primer yang jadi acuan dari kebutuhan yang disebutkan dalam persoalan fiqh,yaitu kebutuhan sandang,pangan dan papan yang pokok
b. orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah 
c.orang kuat dalam komunitas kafir yang dengannya diharapkan orang lain masuk Islam
5. Riqab
orang yang memerdekakan hamba sahaya.
6. Gharimin
orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan kema'siatan dan tidak sanggup membayarnya,atau bisa membayar,tapi tidak cukup.
7. Sabilillah
orang yang berjihad di jalan Allah (pasukan perang sukarela),bersungguh-sungguh dalam menegakkan ajaran Islam,walaupun seorang yang ghani (punya)
8. Ibnu Sabil
orang yang kehabisan bekal di tengah perjalanan, walaupun ia orang kaya di negerinya.
B.    Ushlub (Gaya Bahasa) Alquran
Dalam mengungkap sasaran zakat di atas, Alquran menggunakan ushlub (gaya bahasa) sastra yang tinggi nilainya, yaitu pada ayat di atas terdapat dua huruf yang masing-masing mengiringi empat ashnaf  pertama dan empat ashnaf  kedua, yakni laam/li  dan fi.
Huruf laam mengiringi kalimat:
لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ
al-fuqara, al- masakin, al-’amilin, dan al-muallaf qulubuhum (empat ashnaf pertama).
Sedangkan huruf fi mengiringi kalimat:
وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ
ar-riqab, al-gharimin, sabilillah, dan ibnus sabil (empat ashnaf kedua).
Penempatan kedua huruf tersebut tentunya bukan suatu kebetulan, tetapi pasti mengandung nuktah (rahasia halus) yang harus dikaji secara mendalam. Dan menurut hemat kami, penempatan kedua huruf tersebut mengandung arti bahwa empat ashnaf yang pertama adalah para pemilik dari zakat tersebut, dalam arti mereka berhak mendapat bagian untuk dirinya sendiri.
Sementara empat ashnaf yang kedua mereka berhak menerima zakat untuk kemaslahatan yang berkaitan erat dengan “posisi” mereka. Seperti al-gharimun (orang yang berhutang), mereka mendapat bagian dari zakat bukan untuk dimiliki secara pribadi, tetapi untuk diserahkan kepada orang yang menghutangkannya, sehingga mereka terbebas dari hutang itu. Demikian pula dengan fi sabilillah, mereka mendapat bagian dari zakat bukan semata-mata kepentingan pribadinya melainkan untuk tugas dan tanggung jawab dalam mengemban amanah Islam, yaitu untuk memelihara berlakunya kebenaran (al-haq), kebaikan, dan kesempurnaan akhlak. Dengan perkataan lain, untuk menegakkan agama Islam.
            Berdasarkan uraian di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa secara garis besar sasaran zakat itu ada dua bagian:
Bagian pertama ialah ashnaf yang terdiri dari mereka yang boleh menerima zakat untuk dirinya sendiri, yaitu al-fuqara, al-masakin, al-amilin, dan al-muallaf qulubuhum. Sedangkan bagian kedua ialah ashnaf yang terdiri dari orang-orang yang berhak menerima zakat bukan semata-mata kepentingan pribadi melainkan untuk kemaslahatan “posisi” mereka, yaitu ar-riqab, al-gharimin, sabilillah, dan ibnus sabil.
Lebih jauh Imam az Zamakhsyari berpandangan bahwa perpindahan dari “li” pada empat ashnaf pertama kepada “fi” pada empat ashnaf kedua mengandung rahasia, yaitu untuk memberitahukan bahwa empat golongan kedua ini lebih layak untuk diprioritaskan daripada empat golongan pertama, sebab “fi” merupakan wadah untuk menampung, yang dengan itu Allah mengingatkan bahwa mereka lebih berhak atasnya dan menjadikannya sebagai tempat harapan untuk mewujudkan kemaslahatan kaum muslimin secara menyeluruh/umum.
Masalah sasaran zakat telah selesai kita bahas. Masih ada masalah yang mesti kita kaji, yaitu wajibkah amil mendistribusikan zakat  atau muzakki (wajib zakat) menyerahkan zakat kepada semua ashnaf yang delapan, dan menyamaratakan prosentase zakat yang dibagikan di antara mereka?
Hemat kami, semua harta zakat boleh diberikan kepada sebagian sasaran tertentu saja untuk mewujudkan kemaslahatan yang sesuai dengan syara’. Disamping itu tidak ada kewajiban untuk menyamaratakan pemberian tersebut kepada individu yang diberinya, tapi boleh melebihkan prosentase bagian yang satu dengan yang lainya sesuai dengan kebutuhan, karena kebutuhan itu berbeda antara yang satu dan yang lainya. Adapun landasan syariatnya adalah sebagai berikut :
1.         Dari Hudzaifah, ia berkata, “Apabila engkau memberikan zakat pada satu sasaran saja, maka hal itu cukup bagimu.” (Tafsir Ath-Thabari ,VI : 404).
2.         Ibnu Abas berkata, “Apabila engkau memberikan zakat pada satu sasaran dari sasaran zakat, maka hal itu cukup bagimu. sedangkan Firman Allah : “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk para fakir......”, maksudnya agar zakat itu jangan diberikan kepada yang selain sasaran tersebut.”
3.         Pendapat di atas juga menjadi pegangan Umar bin Khatab, Sa’id bin jabir, ‘Atha, Abul ‘Aliyyah, dan Ibrahim an-Nakha’i (Tafsir Ath-Thabari, Ibid.,)
4.         Abu Tsaur berkata, “menurut pendapat kami, permasalahan pembagian zakat, tidaklah ada, kecuali berdasarkan ijtihad penguasa, maka mana diantara sasaran itu yang menurut penguasa lebih banyak jumlahnya dan lebih membutuhkan, itulah yang harus diutamakan. Dan mudah-mudahan dari tahun ke tahun zakat itu berpindah dari satu sasaran kepada sasaran lain. Sasaran yang lebih membutuhkan dan lebih banyak jumlahnya, senantiasa harus didahulukan dimanapun mereka berada.” (Fiqh Az-Zakah, Dr. Yusuf Al-Qardhawi, hlm. 667).
5.         kebolehan memberikan zakat pada seorang mustahiq dari satu sasaran tidak ada bantahan dan tidak pula termasuk syubhat. Adapun kalimat tu’matan lil masakin  yang berkaitan dengan zakat fitrah, atau turadduna ila fuqaraihim yang berkaitan dengan zakat mal, sebagaimana yang diungkapkan oleh hadis Rasul, maka hal itu bukanlah takhshish (pengkhususan), melainkan tanshish (penekanan/prioritas) yang bersifat kondisional.
6.         Adapun tentang prosentase Ibnu Qudamah menjelaskan:
وَإِنْ اجْتَمَعَ فِي وَاحِدٍ أَسْبَابٌ تَقْتَضِي الْأَخْذَ بِهَا ، جَازَ أَنْ يُعْطَى بِهَا ، فَالْعَامِلُ الْفَقِيرُ لَهُ أَنْ يَأْخُذَ عِمَالَتَهُ ، فَإِنْ لَمْ تُغْنِهِ فَلَهُ أَنْ يَأْخُذَ مَا يَتِمُّ بِهِ غِنَاهُ ، فَإِنْ كَانَ غَازِيًا فَلَهُ أَخْذُ مَا يَكْفِيه لِغَزْوِهِ ،وَإِنْ كَانَ غَارِمًا أَخَذَ مَا يَقْضِي بِهِ غُرْمَهُ ؛ لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْ هَذِهِ الْأَسْبَابِ يَثْبُتُ حُكْمُهُ بِانْفِرَادِهِ ،فَوُجُودِ غَيْرِهِ لَا يَمْنَعُ ثُبُوتَ حُكْمِهِ
“Dan jika pada salah satu terkumpul beberapa sebab yang menghendaki (melegitimasi) pengambilan zakat berdasarkan sebab itu, maka ia boleh diberi berdasarkan sebab itu. Misalkan amil yang faqir, ia punya hak mengambil bagian zakatnya. Jika tidak dapat menutupi kefakirannya, ia berhak mengambil pula untuk dapat memenuhi keperluannya itu (sebagai hak faqir). Maka jika dia sebagai prajurit (fi sabilillah), ia punya hak mengambil bagian zakat untuk keperluan perangnya. Dan jika dia seorang gharim ia punya hak mengambil bagian zakat untuk melunasi hutangnya. Karena tiap-tiap sebab itu ditetapkan hukumnya berdasarkan sebab masing-masing (bukan karena sama orangnya, tapi karena beda sebabnya). Adanya satu sebab tidak menghalangi tetapnya hukum atas sebab yang lain.” (Al-Mughni, V:223)
Adapun hadits yang menyatakan:
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ
 “Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah sebagai pensuci bagi yang saum dari ucapan sia-sia dan kotor dan sebagai makanan bagi orang miskin”
HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, I:585, No. Hadits 1609; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, I:585, No. Hadits 1827; Ad-Daraquthni, Sunan Ad-Daraquthni, II:138, No. Hadits 1
Tidak tepat bila digunakan sebagai mukhashshis (dalil yang mengecualian) bahwa zakat fitrah itu dikhususkan bagi mustahiq miskin saja. Karena ungkapan Thu’matan lil masaakiin (sebagai makanan bagi orang miskin) dalam struktur kalimat di atas fungsinya bukan bayan lit takhsis (keterangan pengkhusus), melainkan bayan lit tanshish (keterangan penegas/prioritas) sesuai dengan situasi dan kondisi mustahiq di suatu daerah tertentu.
Sedangkan hadits yang menyatakan:
أَغْنُوهُمْ عَنْ الطَّوَافِ فِي هَذَا الْيَوْمِ
“Cegahlah mereka agar tidak keliling (untuk minta-minta) pada hari ini.” (HR. Ibnu ‘Addiy dan Ad-Daraquthni)
Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani, statusnya dha’if. (Lihat, Bulugh Al-Maraam Min Jam’I Adillah Al-Ahkaam, hlm. 131) Karena pada pada sanadnya terdapat rawi Abu Ma’syar Najiih. Kata Imam Al-Bukhari, “Dia Munkar Al-Hadiits.” (Lihat, Nashb Ar-Raayah Fii Takhriij Ahaadits Al-Hidaayah, IV:364)
3.        Besaran Tetap Yang Diwajibkan
Ukuran kewajiban zakat fitrah bagi tiap orang sebanyak sha’an (1 sha’), sebagaimana diterangkan dalam hadits sebagai berikut:
فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ اَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ عَلَى اْلعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَىْ وَالصَّغِيْرِ وَالْكَبِيْرِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ
"Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah satu shaa' dari kurma, atau satu haa' dari syair (gandum) atas hamba sahaya, orang yang merdeka, laki-laki perempuan, anak kecil dan dewasa dari kalangan muslimin...” (HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:547, No. hadits 1432)
Perlu diketahui bahwa Shaa’ itu adalah istilah dalam ukuran isi/volume, bukan ukuran berat,  seperti halnya liter bukan kilogram. Dan ukuran isi tidak mengalami perubahan walaupun yang ditakarnya berbeda jenis. Misalnya, 1 liter beras Karawang sama isinya dengan 1 liter beras Cianjur. Tapi lain halnya ketika hendak ditetapkan berdasarkan Kg, karena akan mengalami perbedaan tergantung jenis benda yang ditakarnya.
Adapun shaa' yang dimaksud di dalam hadits di atas ialah shaa' nabawi, yaitu shaa' yang berlaku di zaman Nabi shallalllahu alaihi w alihi wa salam.Bila dikonversi berdasarkan satuan isi, maka dapat diperoleh hasil sebagai berikut:  
1 sha = 4 mud = 2770,47 cc = + 3,1 liter.
Berdasarkan satuan isi, maka beras apapun yang dikonsumsi oleh muzakki, maka ukuran yang dikeluarkannya akan sama.
Sedangkan bila dikonversi berdasarkan satuan berat jenis, maka hasilnya dapat beragam. Dalam konteks inilah kita dapat memahami apabila para ulama berbeda pendapat tentang ukuran satu shaa’ sebagai berikut:
Menurut satu pendapat:
satu shaa' nabawi sebanding dengan 480  mitsqaal biji gandum yang bagus. Satu mitsqaal sama dengan 4,25 (4 ¼) gram. Sementara 480 mitsqaal sebanding dengan 2040 gram. Berarti satu shaa’ sebanding dengan 2040 gram atau 2,4 Kg. (Syarhul Mumti', juz 6, hlm. 176)
Menurut pendapat Syaikh Abdullah Al-Bassam:
satu shaa' nabawi adalah empat mud. Sementara satu mud setara dengan 625 gram, karena itu satu shaa' nabawi sama dengan 3000 gram atau 3 Kg. (Lihat, Tawdhih Al Ahkam Syarah Bulughul Maram,  III:178)
Sementara menurut Dr. Wahbah Az-Zuhaili:
1 mud itu sama dengan 675 gram, berarti 1 sha’ sama dengan 2751 gram atau 2,75 Kg. (At-Tafsirul Muniir, juz 2, hlm. 141).
Berdasarkan ukuran yang telah disebutkan, maka kita bisa memperkirakan bahwa satu shaa’ berkisar antara 2040 gram (2,4 Kg) hingga 3000 gram  (3 Kg).
Berdasarkan satuan berat jenis, maka ukuran zakat yang dikeluarkan oleh muzakki pada hakikatnya tidak boleh sama tergantung jenis beras yang biasa dikonsumsi oleh masing-masing muzakki. Di sinilah terkadang “neraca menjadi miring”, misalnya ketika membayar hak orang lain digunakan beras “raskin” sementara yang dikonsumsi sehari-hari beras “super”,.
Karena itu, bila ditetapkan 2,5 Kg maka ini menunjukkan berat jenis beras yang rata-rata dikonsumsi oleh mayoritas masyarakat di lingkungan kita.
Demikian pula, apabila dikonversi berdasarkan qiimah (satuan harga) maka disesuaikan dengan harga jenis beras yang bersangkutan. Karena itu, berdasarkan konversi qiimah, besaran zakat fitrah setiap tahun bisa jadi berubah sesuai dengan perubahan harga yang berlaku saat itu.
4.       Apakah Makanan Pokok Menjadi Syarat Sah Zakat Fitrah?
Di dalam hadits-hadits tentang zakat fitrah, kita akan mendapatkan bahwa zakat fitrah itu berupa tha’aam (makanan). Adapun hadits-hadits itu sebagai berikut: 
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ
Ibnu Umar mengatakan, "Rasulullah shallallahu alaihi wa alihi wa salam mewajibkan zakat fitrah satu shaa' dari kurma, atau satu sha dari syair (gandum)” HR. Al-Bukhari,  Shahih Al-Bukhari, II:548, No. hadis 1439
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى النَّاسِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah satu shaa' dari kurma, atau satu shaa’ dari syair (gandum), atas hamba sahaya, orang yang merdeka, laki-laki, perempuan, anak kecil dan dewasa dari kalangan muslimin.  HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:548, No. hadis 1439.
Demikian pula praktik para sahabat atas ketentuan itu, sebagaimana dijelaskan oleh Abu Sa’id Al-Khudriy berikut:
كُناَّ نُخْرِجُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ
“Kami (para sahabat) mengeluarkan zakat firtah di zaman Rasulullah saw. pada (waktu) hari raya fitri (berupa) satu shaa' dari makanan.” HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:548, No. hadis 1439.
Apabila hadits-hadits di atas dibaca secara mantuq (makna tersurat) dan konsisten tidak akan menerima mafhum (makna tersirat), maka zakat fitrah yang wajib dikeluarkan terbatas jenisnya, yakni kurma dan gandum. Adapun kata At-Tha’aam pada hadits Abu Sa’id Al-Khudriy tidak dapat dimaknai makanan secara umum karena sudah ada bayaan tafshiil (keterangan terperinci) pada hadits-hadits sebelumnya. Berdasarkan pendekatan mantuq hadits-hadits itu, maka zakat fitrah dengan beras atau jagung tidak sesuai dengan mantuq-nya, kedudukannya sama dengan mengeluarkan dalam bentuk qiimah (harga atau nilai barang).
            Namun, benarkah demikian pesan utama Rasulallah shallallahu alaihi wa alihi wa salam, yaitu bahwa zakat fitrah wajib dikeluarkan hanya dalam bentuk kurma dan gandum?
Hemat kami, kalimat min tamrin atau min sya’iir dalam struktur kalimat di atas fungsinya bukan bayaan lit takhsiis (keterangan pengkhusus), melainkan bayaan lit tanshiish (keterangan penegas/prioritas) sesuai dengan situasi dan kondisi mustahiq di suatu daerah tertentu. Hal itu didasarkan atas pertimbangan sebagai berikut:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ
Dari Ibnu Abas, ia berkata, “Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah sebagai pensuci bagi yang saum dari ucapan sia-sia dan kotor dan sebagai makanan/konsumsi bagi orang miskin.”
HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, I:585, No. Hadits 1609; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, I:585, No. Hadits 1827; Ad-Daraquthni, Sunan Ad-Daraquthni, II:138, No. Hadits 1.
Dari hadits di atas kita dapat memahami bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa alihi wa salam,menetapkan zakat fitrah dengan dua jenis makanan (kurma dan gandum) karena dua sebab:
Pertama, dilihat dari sisi mustahiq, kedua jenis makanan itu lebih bermanfaat untuk orang miskin waktu itu 1 sebagai thu’matan (makanan mudah saji).
Kedua, dilihat dari sisi muzakki, kedua jenis makanan itu waktu itu lebih mudah didapat atau biasa dimiliki secara umum.
1zaman Rasulallah shallallahu alaihi wa alaihi wa salam dan didaerah Arab, ini hukum lokal
Hal ini tampak semakin jelas didukung oleh data faktual yang menunjukkan bahwa pada praktiknya para sahabat memperluas jenis makanan dari yang disebut oleh Rasul. Ibnu Umar menjelaskan:
كَانَ النَّاسُ يُخْرِجُونَ عَنْ صَدَقَةِ الْفِطْرِ فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَاعًا من شعير أَوْ تَمْرٍ أَوْ سُلْتٍ أَوْ زَبِيبٍ
“dahulu,orang orang mengeluarkan zakat fithri pada zaman nabi shallallahu alaihi wa alihi wa salam sebesar satu sha’ sya’ir (gandum),tamr (kurma kering) atau sult (jenis gandum putih yang tidak berkulit) atau zabib (anggur kering/kismis)
HR. An-Nasai, Sunan An-Nasai, V:53, No. hadits 2516; As-Sunan Al-Kubra, II:28, No. hadits 2295.
Abu Said al-Khudriy  menjelaskan:
كُنَّا نُخْرِجُ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ
“Kami mengeluarkan zakat fitrah  1 sha makanan atau 1 sha sya’ir (gandum), atau tamr (kurma), atau aqith (susu kering/keju), atau Zabiib (kismis/anggur kering).”
HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:548, No. hadits 1439.
Dalam redaksi lain:
كُنَّا نُخْرِجُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ صَاعًا  من أَقِطٍ لَا نُخْرِجُ غَيْرَهُ
"Kami pernah mengeluarkan zakat fitrah di masa Rasulullah   shallallahu alaihi wa alihi wa salam, sebesar  satu shaa' kurma satu shaa' gandum atau satu shaa' susu kering.Kami tidak pernah       mengeluarkan yang lain." 
HR. An-Nasai, Sunan An Nasai, V:53, No. hadits 2518.
كنا نخرج صدقة الفطر إذ كان فينا رسول الله صلّى الله عليه وآله وسلّم صاعا من طعام أو صاعا من تمر أو صاعا من شعير أو صاعا من أقط,فلم نزل كذلك حتّى قدم معاوية من الشام وكان فيما علّم الناس أنه قال ما أرى مدّين من سمراء الشام إلا تعدل صاعا من هذا,قال فأخذ الناس بذلك
‘Kami mengeluarkan zakat fithrah ketika Rasulallah shallallahu alaihi wa alaihi wa salam ada diantara kami sebanyak satu sha’ makanan,satu sha’ kurma,satu sha’ gandum atau satu sha’ susu kering.Kami terus melakukan seperti itu,hingga muawiyah datang dari Syam,dan diantara yang diajarkannya kepada orang orang ,ialah ia berkata,’aku tidak melihat dua mud gandum Syam kecuali sepadan dengan satu sha’ dari ini’.Abu Said berkata,’maka orang orang mengambil pendapat itu’.
HR. An-Nasai, Sunan An-Nasai, V:51, No. hadits 2513; As-Sunan Al-Kubra, II:27, No. hadits 2292.
Mengapa jenis makanannya diperluas? Kata Abu Sa’id:
كَانَ طَعَامَنَا الشَّعِيرُ وَالزَّبِيبُ وَالْأَقِطُ وَالتَّمْرُ
adalah makanan kami sya’ir (gandum), Zabib (kismis/anggur kering), aqith (susu beku/keju), dan tamr (kurma)”   HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:548, No. hadits 1439.
Keterangan Abu Said di atas menunjukkan bahwa:
(1)        Para sahabat memahami hadits Nabi tentang zakat fitrah itu tidak secara mantuq (makna tersurat), namun secara mafhum (makna tersirat),  
(2)        Para sahabat memahami hadits itu bukan sebagai takhsis (pengkhususan), hal itu terbukti dengan diperluas jenis makanannya,  
(3)        Secara ekonomi, jenis pangan yang dimiliki oleh publik zaman sahabat sudah lebih berkembang daripada zaman Rasulllah shallallahu alaihi wa alihi wa salam.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang menjadi pokok kewajiban zakat fitrah itu bukan jenis “barangnya” melainkan “nilainya”, yaitu makanan yang biasa dikonsumsi diwilayah tersebut. Konversi nilai itu pernah dilakukakan oleh Mu’awiyah sebagaimana diterangkan dalam hadits sebagai berikut:
قَالَ إِنِّي أَرَى أَنَّ مُدَّيْنِ مِنْ سَمْرَاءِ الشَّامِ تَعْدِلُ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ فَأَخَذَ النَّاسُ بِذَلِكَ
Ia berkata, “Saya memandang bahwa 2 mud gandum Syam senilai dengan 1 sha kurma.” Maka orang-orang mengambil konversi itu.
HR. Muslim, Shahih Muslim, II:678, No. hadits 985; Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, II:113, No. hadits 1616; Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, IV:165, No. hadits 7490.
Karena itu, para tabi’in sebagai murid shahabat Nabi saw., seperti Umar bin Abdul Aziz, al-Hasan al-Bishri, dan Atha telah menetapkan zakat fitrah oleh harga/uang (dirham). Waktu itu Umar bin Abdul Aziz menetapkan nilai 1 sha = ½ dirham. (lihat, Mushannaf Ibnu Abu Syaibah, II:398)
Catatan:ini [penetapan zakat fithrah dengan niali (value)] yang dipakai oleh madzhab imam Abu Hanifah,seperti disebutkan dalam syarah Muhaddzab juz.1 hal.144
(مسلة) لا تجزئ القيمة في الفطرة عندنا,,به قال مالك وأحمد وابن المنذر,,قال أبو جنيفة:يجوز,حكاه ابن المنذر عن الحسن البصري وعمر بن عزيز,قال:وقال أسحاق وابو ثور: لا تجزئ إلاّ عند الضرورة
(masalah)  menurut kami (madzhab Syafi’i) tidak boleh dalam (memberikan zakat) fithrah dengan nilai,dan dengan pendapat ini pula sepakat imam Malik dan Ahmad serta ibn Mundzir.Abu Hanifah berkata:boleh,sebagaimana diriwayatkan oleh ibn Mundzir dari Hasan al Bashry dan Umar ibn Abd Aziz,Menurutnya,Ishaq dan Abu Tsaur berpendapat:tidak boleh (zakat fithrah dengan nilai) kecuali ketika terdesak.
Adapun fatwa imam al Bulqiny tentang bolehnya zakat dengan qimah,itu adalah berkaitan dengan zakat mal dan tijarah (niaga),sebagaimana ibarat kitab Bughyah al Mustarsyidin pada hal :100,berikut ini:
وأفتى البلقيني بجواز إخراج الزكاة فلوسا عند تعذّر الفضّة أو كانت معاملتهم بالفلوس لأنها أنفع للمسلمن  وأسهل وليس فيها غشّ كما في الفضّة المغشوشة,فعند ذلك يتضرّر المستحقّ إذا ردّت ولا يجد غيرها ولا بدلا اﻫ
Al Bulqiny telah mem fatwakan bolehnya untuk mengeluarkan zakat dengan fulus (bentuk uang koin dari tembaga atau perunggu),ketika sukar (mencari) perak atau memang muamalah mereka (penduduk negeri) dengan fulus,karena fulus lebih bermanfaat dan lebih mudah untuk orang muslim dan (pula) tidak ada ghasy (tipuan atau kurang) sebagaimana ada pada perak campuran.Dengan demikian orang yang berhak menjadi dirugikan ketika adanya zakat sedangkan tidak ada selain perak dan penggantinya.
Lebih jelas lagi ibarat dalam fatwa ibn Ziyad yang ditulis dipinggir (hamisy) kitab Bughyah tersebut,pada hal 112, sebagai berikut:
(مسئلة) أفتى البلقيني بجواز إخراج الفلوس الجذذ المسمّاة بالمناقير في زكاة النقد والتجارة,قال إنه الذي أعتقده وبه أعمل وإن كان مختلفا لمذهب الشافعي,والفلوس أنفع  للمسملمين وأسهل وليس فيها غشّ ويتضرّر المستحقّ إذا وردت عليه ولا يجد بدلا اﻫ
(masalah) telah memfatwakan al Bulqiny bolehnya untuk mengeluarkan fulus (mata uang koin) baru yang diebut manaqir untuk membayar zakat naqd (emas perak) an tijarah (niaga).Ia berkata inilah yang aku yakini dan aku amalkan,walaupun berbeda dengan (pendapat dalam) madzhab Syafi’i.Dan fulus itu lebih lebih bermanfaat dan lebih mudah untuk orang muslim dan (pula) tidak ada ghasy (tiipuan atau kurang) sebagaimana ada pada perak campuran.Dengan demikian orang yang berhak menjadi dirugikan ketika meenrima zakat sedangkan tidak menemukan penggantinya.
5.        Waktu Membagikan Zakat Fitrah 
Zakat fitrah adalah ibadah yang muqayyad dan mudlayyaq, yaitu terikat waktu dan juga terbatas waktunya. Karena itu membagikan zakat fitrah harus tepat pada waktunya. Kapan waktu yang tertentu dan terbatas itu? Abu Sa'id Al-Khudriy berkata:
كُناَّ نُخْرِجُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ
“Kami (para sahabat) mengeluarkan zakat fitrah di zaman Rasulullah saw. pada (waktu) hari raya fithri (berupa) satu shaa' dari makanan.”  HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:548, No. hadits 1439.
Keterangan Abu Sa'id di atas menjadi petunjuk bahwa para sahabat Rasulullah saw. membagikan zakat fitrah kepada para mustahiq di zaman Rasulullah adalah pada yawmal fithri (siang hari raya fitri), bukan pada malam hari.
Perbuatan para sahabat di atas merupakan pengamalan terhadap instruksi Rasulullah saw, sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Umar :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِزَكَاةِ الفِطْرِ قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلىَ الصَّلاَةِ
Rasulullah shallallahu alaihi wa alaihi wa salam. memerintahkan agar mengeluarkan zakat fitrah sebelum orang keluar (pergi) ke salat (hari raya).  HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:679, No. hadits 1438.
Hadits ini menunjukkan bahwa ketentuan waktu membagikan zakat fitrah kepada para mustahiq adalah pada yawmal fithri (siang hari raya fithri), bukan pada malam hari
Dalam riwayat lainnya dengan redaksi:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصلاةِ
Bahwa Rasulullah saw. memerintahkan agar membayar zakat fithrah sebelum orang-orang berangkat menunaikan shalat Ied.
HR. Muslim, Shahih Muslim, II: 679, No. hadits 986; Ahmad, Musnad Ahmad, II:67, No. hadits 5345; II: 154, No. hadits 6429; An-Nasai, As-Sunan Al-Kubra, II:30, No. hadits 2300; Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, II:111, No. 1610; Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, IV: 91, No. 2422; Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, IV: 174, No. hadits 7526; Abd bin Humaid, Musnad Abd bin Humaid, I:249, No. 780; Ibnul Jarud, Al-Muntaqaa, I:98, No. hadits 359.
Dalam riwayat lain dengan menggunakan kalimat:
أَمَرَ بِإِخْرَاجِ زَكَاةِ الْفِطْرِ
“memerintahkan agar mengeluarkan zakat fithrah”
HR. Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, IV: 90, No. 2421; Ad-Daraquthni, Sunan Ad-Daraquthni, II:152, No. 66.
Selain itu, menggunakan pula kalimat shadaqah al-Fithri:
أَمَرَ بِصَدَقَةِ الْفِطْرِ
“Memerintahkan agar mengeluarkan shadaqah fithri”
HR. An-Nasai, Sunan An-Nasai, V:54, No. 2521; Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, IV:91, No. 2423.
Sedangkan dalam riwayat Ad-Daraquthni dengan kalimat amara bihaa (Sunan Ad-Daraquthni, II:153, No. hadits 69)
Sedangkan di dalam riwayat At-Tirmidzi digunakan redaksi sebagai berikut :
كَانَ يَأْمُرُ بِإِخْرَاجِ الزَّكَاةِ قَبْلَ الْغُدُوِّ لِلصَّلَاةِ يَوْمَ الْفِطْرِ
"Sesungguhnya Rasulullah saw. memerintah untuk mengeluarkan zakat (fitrah) pada hari fithri sebelum pergi salat (hari raya)".  HR. At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, III:62, No. hadits 677.
Keterangan Ibnu Umar diatas—dengan berbagai bentuk redaksi—menunjukkan dengan jelas makna yawmal fitri yang dimaksud, yakni bukan malam hari dan bukan pula sepanjang hari raya, tapi sebagiannya saja, yaitu sejak terbit fajar hingga selesai salat hari raya (Ied) setempat.
Sehubungan dengan itu, Ibnu Tin menyatakan sebagai berikut :
قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلىَ الصَّلاَةِ أَيْ قَبْلَ خُرُوْجِ النَّاسِ إِلَى صَلاَةِ الْعِيْدِ وَبَعْدَ صَلاَةِ الْفَجْرِ
"(maksud) sebelum orang keluar (pergi) ke salat (hari raya) ialah sebelum orang keluar untuk salat Idul Fitri dan setelah salat subuh."  Lihat, Fathul Bari, III : 439.
Kemudian Ikrimah menegaskan pula, "Seseorang mendahulukan zakatnya pada "hari raya fithri" di hadapan salatnya, karena Allah telah berfirman:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى
'Sungguh beruntung orang yang membersihkan (berzakat) dan mengingat Tuhannya, kemudian ia salat'." Lihat, Fathul Bari, III : 439.
Berdasarkan keterangan-keterangan di atas, maka ketentuan waktu untuk menyampaikan zakat fitrah kepada para mustahiq itu adalah dimulai sejak fajar hari raya fithri sampai selesai salat 'ied setempat. Hal itu bukan hanya di contohkan saja, melainkan diperintahkan, yang kemudian senantiasa dipraktekkan oleh para sahabat, baik pada zaman Rasulullah maupun sesudahnya. Ketentuan ini berlaku, baik bagi perorangan ataupun kelembagaan (jami' zakat).
            Ada sementara pihak yang berpendapat bahwa mengeluarkan zakat fitrah boleh dilakukan pada malam hari setelah maghrib sebelum shubuh di hari fithri, bahkan sehari atau dua hari sebelum hari raya. Pendapat itu didasarkan riwayat sebagai berikut:
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِي اللَّه عَنْهمَا يُعْطِيهَا الَّذِينَ يَقْبَلُونَهَا وَكَانُوا يُعْطُونَ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ
"Dan Ibnu Umar menyerahkan zakat fitrah kepada mereka yang menerimannya, dan mereka menyerahkannya sehari atau dua hari sebelum hari raya." 
HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II: 549, No. hadits 1440.
Dalam riwayat lain dengan redaksi:
فَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يُؤَدِّيهَا قَبْلَ ذَلِكَ بِالْيَوْمِ وَالْيَوْمَيْنِ
“Ibnu Umar menunaikannya sehari atau dua hari sebelum itu.” 
HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, II: 111, No. 1610.
وَأَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يُؤَدِّي قَبْلَ ذَلِكَ بِيَوْمٍ وَيَوْمَيْنِ
“Dan bahwa Abdullah bin Umar menunaikannya sehari atau dua hari sebelum itu.” 
HR. Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, IV: 90, No. 2421.
 وَأَنَّ عَبْدَ اللَّهِ كَانَ يُؤَدِّيهَا قَبْلَ ذَلِكَ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ
“Dan bahwa Abdullah menunaikannya sehari atau dua harisebelum itu.” HR. Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, IV: 174, No. 7527; Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban, VIII: 94, No. hadits 3299.
Hemat kami, riwayat ini tidak dapat dijadikan dalil tentang kebolehan mengeluarkan zakat fitrah pada malam hari setelah maghrib sebelum shubuh di hari fithri, apalagi sehari atau dua hari sebelum hari raya, dengan pertimbangan: riwayat ini belum menerangkan secara jelas, kepada siapa zakat itu diserahkan, apakah membagikan langsung kepada mustahiq atau menitipkannya kepada ‘amil?  
Berdasarkan riwayat-riwayat lain, maka dapat dipastikan bahwa Ibnu Umar menyerahkan zakat  sehari atau dua hari sebelum hari raya itu bukan membagikannya kepada mustahiq, namun menitipkannya kepada ‘amil. Adapun riwayat itu sebagai berikut :
عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَبْعَثُ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ إِلَى الَّذِي تُجْمَعُ عِنْدَهُ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمَيْنِ أَوْ ثَلَاثَةٍ
Dari Nafi, sesungguhnya Ibnu Umar mengirimkan zakat fitrahnya kepada orang yang mengumpulkan zakat (jami' zakat) dua hari atau tiga hari sebelum iedul fitri.
HR. Malik, Al-Muwatha, I:285; No. 629; Asy-Syafi’i, Musnad Asy-Syafi’I, I:230; Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, IV: 112, No. 7161.
Bahkan lebih di tegaskan lagi di dalam riwayat Ibnu Khuzaemah, melalui jalan Abu Harits, dari Ayyub, ia berkata:
قُلتُ : مَتَى كَانَ ابْنُ عُمَرَ يُعْطِي الصَّاعَ ؟ قَالَ : إِذَا قَعَدَ الْعَامِلُ ، قُلْتُ : مَتَى كَانَ الْعَامِلُ يَقْعُدُ ؟ قَالَ : قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ
"Aku bertanya (kepada Nafi), 'Kapan Ibnu Umar menyerahkan zakat fitrah sebesar 1 shaa’?’ Ia (Nafi) menjawab, 'Apabila amil zakat telah ada (dibentuk).' Aku bertanya lagi, 'Kapan amil itu di bentuk?' Ia menjawab, 'Satu hari atau dua hari lagi menjelang idul fitri'."
HR. Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, IV:82, No. hadits 2397.
Oleh karena itu, Abu Abdullah (Imam Al-Bukhari) menegaskan dalam naskah As-Shaghani bahwa "mereka memberikan zakat fitrah (sebelum hari raya) lil jam'i (untuk dikumpulkan) laa lil fuqaaraa` (bukan kepada fakir-miskin)." (Fathul Bari, III : 440-441)
Berdasarkan keterangan diatas, maka sehari, dua hari, atau tiga hari sebelum hari raya itu bukan waktu untuk membagikan kepada para mustahiq,tapi kepada jami’ zakat sebagai amanat untuk di bagikan kepada para mustahiq, nanti pada waktunya. Hal ini sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh Abu Sa'id beserta para sahabat lainnya.
            Dengan demikian, maka dapat kita simpulkan bahwa ketentuan waktu mengeluarkan zakat fitrah - setelah salat subuh hingga selesai salat ied setempat - adalah ketentuan yang berlaku secara umum, tidak dibatasi oleh sebab keadaan situasi dan kondisi suatu daerah tertentu.
Renungan:Ketentuan waktu bukan  batasan Teknis Operasional
Timbul permasalahan, apakah ketetapan ini berkaitan dengan suatu 'illah (alasan, sebab) tertentu? Sehubungan dengan itu Syekh al-Qardhawi menyatakan, “hadits yang menerangkan waktu pembagian zakat fitrah itu bersifat temporer atau situasional, artinya ketentuan tersebut hanya berlaku bagi anggota masyarakat di masa itu, mengingat sedikitnya jumlah anggota masyarakat di masa itu, sementara mereka saling mengenal satu sama lain, dan karena itu pula dengan mudah dapat mengetahui siapa-siapa yang memerlukan zakat fitrah tersebut. Jadi, tidak ada problem apapun yang berkaitan dengan sempitnya waktu untuk itu.” (lihat, Bagaimana Memahami Hadits Nabi, 1993 : 144)
            Dalam hal ini, kami tidak sependapat dengan pemikiran Syekh al-Qardhawi di atas mengingat tidak adanya dalil dari seorang sahabat pun, setelah Rasulullah shallallahu alaihi wa alihi wa salam wafat, yang menetapkan perubahan waktu tersebut (setelah shubuh), sekalipun situasi dan kondisinya telah berubah. Karena kita memaklumi bahwa di masa sahabat, lingkup masyarakat kian meluas, tempat-tempat kediaman makin berjauhan dengan penghuni yang makin banyak. Situasi dan kondisi masyarakat yang seperti ini tidak di jadikan sebab atau alasan oleh mereka untuk mengubah ketentuan waktu mengeluarkan zakat fitrah yang telah di gariskan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa alihi wa salam, tapi justru keadaan ini menjadi pendorong bagi mereka untuk mengatur langkah serta menyusun strategi yang sedemikian rupa sehingga zakat fitrah yang diamanatkan itu dapat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
            Berdasarkan pengetahuan mendalam para sahabat akan hikmah ajaran agama, maka instruksi Rasulullah shallallahu alaihi wa alihi wa salam dalam masalah ini tidak hanya dipahami sebagai syarat maqbul (diterima) dan tidaknya zakat tersebut, tapi lebih jauh dari itu mereka pun menangkap isyarat dari perintah tersebut tentang teknis pelaksanaan agar diperhatikan dan dipikirkan secara matang, sehingga dalam waktu yang sudah ditentukan zakat fitrah tersebut dapat ditunaikan.
            Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat di zaman Ibnu Umar berdasarkan riwayat diatas, mereka (para amil) dibentuk atau mulai melaksanakan tugasnya adalah dua atau tiga hari sebelum hari raya. Berarti waktu sebanyak itu dianggap cukup atau memungkinkan bagi mereka untuk bekerja, yaitu mengurus, menagih, dan membagikan zakat kepada para mustahiq sesuai dengan lingkup teritorial ketika itu.
            Berdasarkan petunjuk diatas, maka jelaslah bagi kita bahwa para sahabat tidak mengkondisikan hukum syara’ (ketentuan waktu) sesuai dengan keadaan ruang lingkup masyarakat, tetapi mereka lebih menitik-beratkan perhatiannya pada pengefektifan fungsi serta tugas 'amilin agar zakat fitrah tersebut dapat diterima oleh para mustahiq dalam lingkup masyarakat yang kian meluas, sesuai dengan ketentuan waktu yang telah digariskan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa alihi wa salam.
Dengan kata lain,pengertian tentang batas waktu penetapan pengeluaran zakat fithri setelah subuh hari Id itu hanyalah masalah kebiasaan pada waktu itu,bukan ketentuan khusus.Oleh sebab itulah,para imam madzhab Syafi’i tidak membatasi waktu untuk pengeluaran zakat hanya khusus setelah subuh Id,tapi mereka memperbolehkan untuk mengeluarkan zakat sekalipun pada awal bulan Ramadlan dengan mengartikan amr dalam hadits bukhari di atas sebagai amr sunnah bukan amr wujub.
Untuk lebih jelasnya,hal tersebut bisa kita fahami dari hadits berikut:
Sebagaimana sabda Rasulallah shallallahu alahi wa alihi wa salam yang artinya :
Dari ibn Abbas katanya;"Telah diwajibkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa alihi wa salam zakat fitrah sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa, dan sebagai pembagian makanan bagi orang miskin.Barangsiapa yang menunaikannya sebelum sembahyang 'ied, maka zakat itu di terima,dan barangsiapa membayarnya sesudahnya shalat 'ied, maka zakat itu di anggap sebagai sedekah" (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Perhatikan ucapan ibn Abbas,kata’sebelum sembahyang Id’ dan ‘sesudah shalat Id’.Ini memberikan kita indikasi bahwa batas akhir zakat fithrah adalah selepas shalat Id, namun batas awal tidak disebutkan.Bila kita tarik satu kesimpulan rata rata,maka bisa kita fahami bahwa bila batas akhir disebut sedang batas mulai tidak,sedangkan zakat fithrah itu kewajiban yang dikaitkan dengan puasa bulan Ramadlan,maka kita dapatkan hasil akhir bahwa dimanapun waktu kita mengeluarkan zakat,asal masih didalam bulan Ramadlan,maka itu boleh. Wallaahu A'lam
Adapun syarat wajib zakat fithrah yang telah disepakati oleh para ulama Syafi’iyyah,itu ada empat:
1.Islam 2.Merdeka 3.Menemui sebagian dari bulan Ramadlan 4.Memiliki kelebihan dari nafqahnya sendiri dan keluarganya yang wajib di nafqahi pada malam dan hari Id
Poin pertama mengeluarkan orang non Islam yang tidak memiliki kewajiban zakat,kecuali zakat yang wajib dibayar untuk kerabat dan budaknya yang muslim.
Poin kedua mengeluarkan budak belian (hamba sahaya), sebab kewajiban mengeluarkan zakatnya itu ada pada tanggungan tuannya.
Poin ketiga mengeluarkan orang yang meninggal pada sebelum matahari tenggelam dihari akhir sya’ban.
Poin keempat mengeluarkan orang yang tidak memiliki makanan (tha’am) pada malam dan hari raya Id bagi dirinya dan orang yang berada pada tanggung jawabnya.
Sebenarnya,bila kita perhatikan poin keempat tersebut, akan sangat jelas, bahwa seorang mustahiq itu ialah orang yang tidak bisa membayar zakat karena udzur yang telah disebut diatas.Berarti sebagai perbandingannya,bila orang yang masih bisa membayar zakat itu bukan mustahiq,tapi muzakki,yaitu orang yang masih memiliki sisa kelebihan makanan untuk malam dan hari raya Id.Jadi tolong periksa lagi pendapat anda tentang hal ini.Darimana mulainya ada zakat yang telah dibayarkan,lalu nanti hari Id dibagikan lagi,sehingga seakan zakat fithrah itu hanya sebagian dari acara saling kirim makanan dengan tetangga yang kemudian dikembalikan lagi dengan makanan lain yang semisalnya atau semacam acara arisan.
Ingatlah! Hukum Tuhan bukan suatu acara main main dan jangan sekali anda anggap hukum Tuhan bisa dijadikan permainan murah seperti itu.Apa anda ingin termasuk dari sebagian orang yang memperjual belikan ayat Tuhan dengan harga sedikit? Silakan kaji ulang dengan fikiran jernih,bukan atas dorongan hawa nafsu atau pamrih pribadi.Terima kasih
Persoalan zakat bagi muallaim dan muta’alim
Masalah ini merupakan salah satu yang selalu diperbincangkan oleh,terutama para asatidz,apalagi yang biasa menerima zakat fithrah,dengan dasar telah jadi tradisi,bukan dasar yang jelas.
Berkata Mushtafa Muhammad ‘Imarah dalam Jawahir al Bukhari hal.137 sebagai berikut:
أهل سبيل الله الغزاة المتطوّعون بالجهاد وإن كانوا أغنياء إعانة على الجهاد,ويدخل في ذلك طلبة العلم الشرعي وروّاد الجقّ وطلاّب العدل ومقدّموا الإنصاف والوعظ والإرشاد وناصروا الدين الحنيف
Kelompok ‘fi sabilillah’ itu adalah sukarelawan jihad, walaupun mereka itu orang cukup,sebagai bantuan bagi (kebutuhan) perang.Dan masuk dalam arti demikian itu para pelajar ilmu syara’,para pencari kebenaran dan kebijakan,penegak kejujuran,pemberi petuah dan petunjuk dan para penolong agama yang murni ini.
Berkata Dr,Wahbah az Zuhaili dalam Fiqh Islam juz I hal.876,sebagai berikut:
اتفق جماهير فقهاء المذهب على أنه لا يجوز صرف الزكاة إلى غير من ذكر الله تعالى من بناء المساجد ونحو ذلك من القرب التي لم يذكرها الله تعالى مما لا تمليك فيه لأنّ الله تعالى قال "إنما الصدقات للفقراء",وكلمة إنّما للحصر والإثبات,ثبت المذكور وتنقضي ما عداه,فلا يجوز صرف الزكاة إلى هذه الوجوه لأنه لم يوجد للتمليك أصلا لكنه فسّر الكساني في البدائع سبيل الله بجميع القرَب فيدخل فيه كلّ من سعى في طاعة الله وسبيل الخيرات لأنّ في سبيل الله عام في الملك,اي يشمل عِمارة المسجد ونحوها مما ذكر,وفسّر بعض الحنفية "في سبيل الله" بطلب العلم ولو كان الطالب عنيا.
Sebagian besar pemuka madzhab empat telah sepakat bahwasanya tidak boleh untuk mentasharuf (mengelola) kan (harta) zakat kepada selain orang/golongan yang telah disebutkan Allah,seperti membangun masjid dan lainnya daripada segala perbuatan kebaktian (qurbah) yang tidak Allah sebutkan dari hal yang tidak memiliki hak kepemilikan. Karena Dia berfirman,”shadaqah (zakat) hanyalah bagi kaum faqir”,dan kata ‘innama’itu  bermakna pengkhususan dan penetapan,Hal yang telah disebut telah tetap dan yang lain tersingkir,sehingga tidaklah boleh mengeluarkan zakat untuk tujuan tersebut,sebab hal tersebut tidak memiliki hak kepemilikan sama sekali. Namun al Kasani dalam kitab al Bada’i mengartikan kata ‘fi sabilillah’ dengan makna qurbah (kebaktian), sehingga bisa masuk kedalamnya setiap orang yang berjalan dalam ketaatan kepada Allah dan (setiap) sarana kebaikan.Karena kata ‘fi sabilillah’ itu umum dalam arti kepemilikan, maksudnya termasuk pula membangun masjid dan lainnya dari hal yang telah disebutkan.Dan sebagian ulama madzhab Hanafy memberikan arti ‘fi sabilillah’ dengan pencari ilmu,walau ia seorang yang cukup (kaya).
Dan berkata syaikh Muhammad nawawi al Bantani dalam tafsirnya juz II,hal:244,sebagai berikut:
ويجوز للغازي أن يأخذ مال الزكاة وإن كان غنيا كما هو مذهب الشافعي ومالك وإسجق وقال أبو حنيفة وصاحباه:لا يعطى إلا "في سبيل الله" إذا كان محتاجا,ونقل القفّال عن بعض الفقهاء أنهم أجازوا صرف الصدقات إلى جميع وجوه الخير من تكفين الموتى وبناء الحصون وعمارة المسجد لأن قوله تعالى "في سبيل الله" عام في الكلّ.
Boleh bagi sukarelawan perang untuk mengambil zakat, walau ia kaya,sebagaimana pendapat madzhab Syafi’i dan Malik dan Ishaq.Abu Hanifah dan kedua sahabatnya berpendapat.’seorang sukarelawan perang tidak boleh mengambil harta zakat kecuali bila ia membutuhkan saja’. Dan telah mencutat imam Qaffal dari sebagian ahli fiqh bahwa mereka memperbolehkan mentasharufkan zakat ke setiap sarana kebaikan,seperti memberi kafan bagi yang mati,membangun benteng dan memelihara masjid,sebab firman Allah ‘fi sabilillah’ itu umum untuk semuanya.
Dan sekarang,untuk lebih memperluas cakrawala pemahaman kita,mari kita baca ibarat al Minhaj berikut :
(وَ) الثاني لـ(ـلْمَسَاكِيْنِ) وهم من يحصل له فوق نصف المحتاج إليه له ولممونه أو له كسب لا يليق به أو يليق وهم من القوم الذين لا يعتادون الكسب أو مشتغل بتعلّم القرآن أو العلم أو بتعليمهما
(dan) yang kedua (ialah masakin) yaitu mereka yang memiliki penghasilan diatas setengah kebutuhan biaya hidupya dan orang yang berada dalam tanggung jawabnya,atau memiliki kasab yang tidak layak baginya atau ada kasab layak namun ia termasuk orang yag tidak biasa untuk bekerja atau mereka yang terfokus untuk mempelajari Alqur’an dan ilmu atau mengajarkannya’.
Namun  dalam kifayah al ahyar Sayyid al Hashny disebutkan:
ولو قدر على الكسب إلاّ أنه مشتغل بالعلوم الشرعية ولو أقبل على الكسب لانقطع عن التحصيل حلّت له الزكاة على الصحيح المعروف,وقيل لا يعطى مطلقا ويكتسب,وقيل:إن كان نجيبا يرجى تفقّهه ونفعه استحقّ وإلاّ فلا.وكثيرا ما يسكن المدارس من لا يأتي منه التحصيل بل هو معطّل نفسه,فهذا لا يعطى بلا خلاف .( كفاية الأخيار ۱ / ۱۹۷) 
Bila sesorang mampu untuk berusaha (bekerja) namun dia  sedang menekuni ilmu syara’,kalau (seandainya) ia bekerja tentu akan menghambat ketekunannya,maka boleh baginya (menerima) zakat menurut pendapat sahih yang dikenal. Disebutkan:tidak perlu diberi sama sekali,dan disebutkan: bila orang itu cerdas yang diharapkan untuk berkembang dan bermanfaat, maka berhak (menerima zakat),dan bila tidak demikian maka tidak boleh.(Berkata syaikh sayyid Al Hashny) Dan kebanyakan yang menghuni  madrasah ialah orang yang tidak akan berkembang bahkan termasuk orang yang menganggur, maka orang ini tidak perlu diberi (zakat) tanpa ada perbedaan pendapat.
Nah,sekarang mari kita tinjau dan evaluasi diri kita masing masing,apakah kita telah termasuk dalam kriteria yang disebutkan oleh sayyid Al Hashny di atas atau tidak.Jadi silahkan anda renungkan masing masing.Sekian
Catatan:mungkin para ikhwan masih sedikit bingung dengan ibarat kata ‘sabil alkhairat’ dan kata ‘mashalih’. Karena itu perlu diketahui bahwa arti jalan kebaikan itu ada pada arti sarana,seperti contoh yang telah lalu tentang membangun masjid dan benteng atau jalan.Sedangkan kata mashalih itu lebih umum.Anda mungkin masih ingat tentang shighat waqaf untuk mashalih masjid,maka yang masuk bukan hanya kebutuhan memelihara bentuk fisik masjid dan sebagainya,tapi juga termasuk hal yang diperlukan dalam masjid,yaitu imam,muazdin dan mushalli.Sedangkan kata ‘fi sabilillah’ itu lebih umum lagi dari kedua kata tersebut. Wallahu a’lam
Khatimah:
Zakat,termasuk fithrah itu merupakan aset umat Islam yang seharusnya bisa dikumpulkan dan dikelola sebagaimana mestinya,bukan dihambur hamburkan tanpa tujuan yang jelas.Ingatlah sebaik baiknya manusia adalah yang paling berguna bagi sesama,dan orang yang gemar mengambur hamburkan aset itulah al Mubaddirin.
Harus diakui,bahwa zaman sekarang,dimana umat islam telah dicekoki dan tercemar oleh limbah propaganda zionis yahudi dengan berbagai isme mereka,seperti sekulerisme dan materilaisme,maka bisa kita saksikan begitu banyak umat ini yang telah makin jauh dari ajaran islam yang murni terutama tentang ‘kesederhanaan’.Kita lihat dan saksikan,umat makin  berlomba untuk memperkaya diri dan kelompoknya masing masing,tanpa melihat kanan kiri,tanpa berfikir dan memperhatikan darimana asal dan bagaimana mendapatkannya.Yang penting bagi mereka aku senang habis masalah.Sungguh ironis sekali,bila ajaran agung ini ternyata tidak mampu memberikan dampak positif bagi umat.Tentu hal demikian bukan karena ajaran yang salah atau kurang tepat,tapi sebab penganutnya yang memiliki pengertian asal jadi,sehingga sadar atau tiak sadar telah menceburkan dirinya sendiri dalam limbah propaganda yahudi laknatullahi alaihim.
Namun bukan berarti kita juga jadi harus tercebur dalam lembah nista kan? Justru keadaan umat zaman sekarang ini harus menjadikan tantangan bagi kita untuk bisa merubah dan me rekonstruksi kondisi yang telah kacau tersebut.Dan inilah sunnah Allah (hukum alam) yang dimana kerusakan dan perbaikan akan selalu berjalan seimbang,yang akhirnya kerusakan akan tenggelam dan perbaikan serta kemajuan akan berkembang.
Sekian








Selesai penulisan,Selasa 28 Syawwal 1436 – 2 Agustus 2016

Tidak ada komentar:

 
TARBIYYAH ISLAMIYYAH Copyright © | Template designed by Liza Burhan | SEO by Islamic Blogger Template