RENUNGAN TARBIYYAH
Umat Islam Nusantara
Intropeksi diri kaum santri
Disusun oleh
Sayyid Soleh bin Muhammad Alhabsyi
Pendiri yayasan Tarbiyyah Islamiyyah
Mukaddimah
Segala puji bagi Allah,Tuhan semesta alam
yang telah mencipta berbagai perbedaan
sebagai penunjang keharmonisan.Shalawat dan salam senantiasa tercurah atas
penghulu para utusan Muhammad bin Abdillah dan keluarganya yang disucikan serta
sahabatnya yang mulia, selanjutnya:
Umat Islam di nusantara tidak pelak lagi
adalah umat Islam keturunan yang tidak akan bisa dipungkiri oleh siapapun.Karena
itulah sebagaimana setiap ajaran yang disiarkan secara turun temurun tanpa
dilandasi oleh pengertian dan maksud tujuan dari ajaran tersebut,maka yang akan
terlihat adalah kekeringan dan kedangkalan yang senantiasa melanda serta
menghantui umat ini dalam kesempitan pandangan dan persepsi,sehingga yang ada
hanya tinggal tulisan dan formalitas dari ajaran itu tanpa adanya ruh/semangat dari
ajaran tadi.
Risalah ini tidak bernaksud untuk memojokkan apalagi
untuk memperpecah umat,namun hanya ingin mengulas sedikit saja dari nilai Islam
yang berkembang di tengah masyarakat muslim saat ini,sehingga semoga dapat menjadi
satu formula yang dapat dijadikan solusi untuk mendobrak dan keluar dari kebekuan
serta kemunduran umat dimasa kini.Dan terutama sebagai bahan intropeksi diri
dunia pesantren khususnya.
Walau tentu tulisan ini hanya sebatas
kemampuan penulis dalam membaca dan memperhatikan hal hal tersebut diatas.Namun
terlepas dari apapun itu,semoga tulisan
ini bisa memberikan sedikit pencerahan bagi orang yang mau membaca dan mengerti
serta ingin bangkit dari situasi jumud waktu ini.
Risalah ini adalah salah satu bentuk keprihatinan
penulis sebagai salah satu warga komunitas santri,tentang apa yang telah
menimpa masyarakat Islam khususnya pesantren,jadi harap jangan dijadikan
sebagai bahan polemik panjang.Dan selanjutnya,terserah mereka untuk bisa
menerapkan dan merealisasikan maksud tujuan dari tulisan dalam risalah ini sesuai situasi dan
kondisinya.
Wassalam...........................................
Penulis,Cianjur Juma’t 3 Jumadil Awwal 1437
12 Februari 2016
Prakata
Ajaran Islam tidak diragukan lagi bersumber
dari kitab Alqur’an,yang menjadi rujukan dalam segala segi hidup dan kehidupan
seorang muslim,siapapun,dimanapun dan kapanpun.Lalu As Sunnah/Hadits yang
menjadi penjelas dari kalimah dalam kitab yang mutasyabih (samar) dan ijmal
(umum).Seperti dalam perintah shalat dan zakat yang dalam kitab hanya merupakan
perintah ijmal saja, lalu datang hadits (sabda dan perbuatan Rasul) menerangkan
tentang apa dan bagaimanakah shalat dan zakat tersebut.
Ajaran Islam melalui Alqur’an terus turun
secara berangsur selama 22 tahun lebih,yang diakhiri dengan wafatnya Rasulallah
shallallahu alaihi wa alihi wa salam. Kemudian datang waktu para sahabat (±
antara 11-70 h),dimana mereka melanjutkan jejak dan aturan Rasul serta
menegakkan ajaran luhur Alqur’an.Dan pada masa inilah,terdapat beberapa hal
terutama dalam penerapan hukum Islam yang muncul,dimana sebelumnya (pada masa
Rasul) hal demikian belum terbit.Sehingga para sahabat besar melakukan beberapa
revisi dan penyesuaian menurut kadar kondisi saat itu.Seperti pernah Umar bin
Khatab ra tidak melaksanakan hukum potong tangan ketika terjadi masa
paceklik,atau tentang beberapa masalah dalam pewarisan yang dilakukan melalui
ijtihad para sahabat.
Setelah berlalu masa sahabat,maka timbul
generasi Tabi’in (± antara 70-110 h), yang berarti penerus para sahabat.Dan
sebagaimana pada masa sahabat,maka dizaman mereka pun terjadi hal yang sama
tentang perbedaan faham dan pemikiran seputar teks agama. Hanya bedanya,pada
masa sahabat,suasana politik cenderung tidak menjadi suatu halangan dan
rintangan dalam proses penyebaran ajaran,maka pada zaman tabi’in ini terdapat
corak baru dengan adanya kolaborasi antara kepentingan agama dan politik yang
berakibat ajaran Islam makin jauh dari sumber asal dan ruhnya yang merdeka,luas
dan umum dengan melihat pada kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi
serta golongan,menjadi ajaran yang penuh dengan pamrih kepentingan politik dan
keluarga penguasa.
Semua hal tersebut memiliki imbas yang tidak
sedikit pada alur ajaran Islam itu sendiri.Dimana ajaran Tuhan yang asalnya
merupakan ajaran kesederhanaan,sejajar dan universal menjadi ajaran yang
dibalut oleh rasa beda dan model lokal serta identik dengan kemegahan dan
kemewahan.Ini dapat kita lacak sebagiannya seperti terdapatnya hukum faskh
nikah sebab kesulitan ekonomi suami dan tentang keharusan suami menyediakan
pembantu untuk sang istri.Sedangkan kita maklum bahwa pada zaman Rasul dan
para sahabatnya,hal demikian tidak pernah ada.
Lalu setelah masa Tabi’in berlalu datanglah
zaman Tabi’ tabi’in (± antara 110-200 h),yang berarti penerus para Tabi’in.Dan
pada masa inilah terjadi kodifikasi ilmu pengetahuan dan penyebaran
intelektualisasi Islam melalui berbagai tulisan dan pertemuan debat agama
antara para pemikir Islam yang diselingi oleh pertikaian, baik pribadi maupun
kelompok.
Dan pada zaman ini pula timbul berbagai
madzhab pemikiran intelektual Islam,yang kemudian menjadi sumber rujukan umat
setelahnya.Yang diantaranya masih eksis hingga kini empat madzhab besar pemikir
Islam, yaitu madzhab imam besar Nu’man bin Tsabit di Bashrah Irak,madzhab imam
besar Malik bin Anas di Madinah Hejaz,madzhab imam besar Muhammad bin Idris As
Syafi’i di Mesir dan madzhab imam besar Ahmad ibn Hanbal di Irak pedalaman
hejaz.
Semua madzhab pemikiran tersebut mengklaim
diri sebagai bersumber pada Alqur’an dan As Sunnah serta ijma’ sahabat.Namun
tidak semua sepakat tentang sumber rujukan pemikiran dalam menjawab persoalan
agama selain dua sumber utama tadi.Ada yang lalu menjadikan akal/qiyas
tradisi lokal sebagai sumber penting seperti madzhab imam besar Nu’man,dan
ada juga yang menjadikan mashlahah mursalah sebagai bahan rujukan
penting,seperti madzhab imam Malik,dan ada pula yang menjadikan qiyas
sebagai pokok dalam pemikiran,seperti madzhab imam As Syafi’i dan ada pula yang
menjadikan hadits dlaif dan pendapat sahabat serta sadd lid darai’
menjadi bahan rujukan utama,seperti madzhab imam Ahmad.
Setelah zaman mereka surut,maka datanglah
zaman para muqallid (pengikut) salah satu dari madzhab besar tersebut,walaupun
sebagian ada yang memberikan statemen bahwa mereka tidak ber taklid,namun
hanya pemikirannya kebetulan sama dengan pendapat pendiri madzhab.Tapi pada
hakikatnya,setelah zaman empat imam besar,tidak ada lagi yang sanggup untuk
memikul tanggung jawab besar sebagai mujtahid.Dan bilapun ada sebagian yang
mengklaim dirinya,maka nasibnya akan menyedihkan,bila tidak dihujat,maka tentu
dikucilkan oleh sesama ilmuwan pada masanya.
Dengan demikian,sampailah pemikiran ilmuwan
Islam dipenghujung jalan.Yang berarti mulailah masa ajaran Islam menurut aturan
dan kaidah madzhab empat besar hingga sekarang.Dan pada masa seperti
itulah,Islam dibawa masuk ke nusantara melalui utusan dan para pedagang arab,
persia dan india.
Para peneliti memperkirakan bahwa Islam kali
pertama masuk di nusantara sekitar tahun 70 hijrah atau sekitar tahun 700
masehi.Dan tentu ini hanya kelompok kecil yang kemudian menghuni beberapa
daerah nusantara. Sedangkan penyebaran Islam dalam kelompok besar yang lebih
terorganisir terjadi sekitar tahun 1100-1200 masehi,yaitu sekitar masa
pemerintahan sri baduga siliwangi dan penghujung masa majapahit.
Demikianlah sekilas tentang ajaran Islam yang
dimulai pada zaman Rasulallah shallallahu alaihi wa alihi wa salam dan para sahabat
hingga muncul di nusantara. Wassalam.
*********
Sekarang marilah kita sedikit melihat beberapa
hal yang akan penulis jelaskan pada risalah ini,khususnya hal yang berkaitan
dengan kondisi sosial masyarakat muslim saat ini terutama di pedesaan dan
kalangan santri.
Bila kita memandang serta memperhatikan kondisi
umat Islam terutama di pedalaman dan khusus dunia pesantren saat ini maka akan
kita dapatkan beberapa hal sebagai berikut:
a.kumuh,picik dan monoton
b.ta’ashub berlebih (fanatik) terhadap pemuka
agama
c.arogansi dalam susila yang tidak ditunjang sosial
tinggi
Untuk sementara hanya tiga poin utama inilah
yang akan kita perhatikan bersama dalam risalah ini.Yang penulis fikir cukup
untuk mewakili keadaan sosial masyarakat Islam sementara dewasa ini,khusus
dunia pesantren.
*******
A.Dalam tradisi santri ada istilah berkah,sehingga
seorang santri pada saat makan tidak perlu mencuci tangan sebab keberkahan,dan
minumpun bisa cukup dengan air sumur secara langsung saja tanpa dimasak dulu
sebab hidup santri itu penuh berkah dan tidak akan terjadi penyakit hanya
karena tidak cuci tangan atau minum air mentah.Dan bekas makanpun nanti cukup
disimpan tanpa perlu dicuci,sebab keberkahan hidup pesantren.
Sungguh tingkat kekumuhan yang fantastis
sekali bukan? Bukankah Islam adalah ajaran kebersihan dan adab tatakrama?
Dalam tradisi santri ada pula ajaran tentang
menikahi perawan,sehingga diantara mereka ada yang tidak mau nikah kecuali
dengan perawan,walaupun dia sendiri telah duda misalnya (apalagi yang masih
bujangan).Ini diacu oleh sebuah hadits Nabi yang diriwayatkan bahwa beliau
bersabda,’nikahilah para perawan,karena mereka lebih dekat rahimnya dan lebih
mudah diatur’.
Semua ini ditelan langsung tanpa dilihat dalam
konteks apa beliau bersabda demikian,sedangkan kita semua telah maklum bahwa
istri beliau sendiri lebih banyak wanita janda daripada perawan.Dan tanpa
melihat pula hadits lain yang memberikan indikasi bahwa menikahi janda bila
adanya suatu kepentingan tertentu itu adalah lebih baik.Dan tanpa melihat pula
apakah tuntunan beliau itu satu tuntunan wajib atau sunnah atau mubah
saja,dalam arti tidak mengikat.Dampak yang jelas dari tradisi ini ialah adanya sebentuk
intimidasi terhadap peranan wanita dalam masyarakat,sehingga tidak kurang
wanita yang dibiarkan bodoh,bahkan seringkali penulis mendengar bahwa keharusan
bagi wanita hanya untuk didapur,sumur dan kasur saja.
Dalam tradisi santri ada istilah fasiq
pada orang yang tidak memakai kopiah,sehingga tidak sah untuk jadi wali
nikah.Padahal pakai kopiah itu tidak memiliki dasar khusus dan juga walau pemakai
kopiah, bila masih berbuat dosa kecil atau dosa besar tetap orang fasik. Karena
sebab sebab kefasikan bukan hanya soal tidak pakai kopiah saja.Sehingga
akhirnya seakan ada rumor bahwa yang pakai kopiah itu santri atau ustadz,dan
berimbas pada pergaulan dengan sesama,sebagai contoh yang pernah penulis
sendiri rasakan,yaitu ketika berada diterminal bis atau angkutan kota,maka kornet
atau calo akan menyapa dengan,’hai tad,atau pak haji’,dengan nada seakan melecehkan,walau
belum tentu demikian adanya.
Dalam tradisi santri ada istilah ngalap
kejagoan atau keduniaan,juga kemampuan untuk menarik hati lawan jenis
(pelet).Dan bila ditanyakan darimanakah asalnya soal tersebut,maka jawaban
mereka tentu dari kitab ‘para ulama’.Yang biasa disebut kitab ‘hikmah’,yaitu
buku yang di dalamnya terkandung berbagai macam cara untuk menarik kebaikan dan
menolak keburukan dalam kehidupan.namun kemudian disalah artikan menjadi buku
panduan ‘dukun’ berkopiah.Walau tidak dipungkiri bahwa kandungan buku buku itu
ada yang bermanfaat, namun kebanyakan hanya merupakan transformasi (pengalihan)
dari sihir yunani kuno dalam bungkus Islam.Itu semua jelas termaktub dalam buku
yang berjudul ‘manba al hikmah’,yang berarti sumber kebijaksanaan’.Salah
satu imbas pada ajaran Islam dari tradisi ini,adalah hilangnya sifat
kebersamaan dan gotong royong serta kezuhudan pada duniawi menjadi keegoan, tinggi
hati serta individualisme dan penyembahan matrealisme.Dan hal ini bisa dilihat
secara langsung dari kenyataan di lapangan.
Dalam tradisi santri terdapat keengganan
terhadap hal baru,sehingga seakan setiap yang baru itu salah dan sesat yang
harus dijauhi.Hanya yang perlu digaris bawahi tentang hal baru ini ialah,sesuatu
yang datang dari luar kalangan mereka,bukan hal baru dalam ajaran
Islam, sebab nyatanya mereka sendiri telah melangkah jauh dari kesederhanaan menjadi kemewahan,dari
kebersamaan menjadi indivudualis dan dari keakraban menjadi egoisme/keakuan
yang kental.Sebagai salah satu contoh saja adalah tentang menulis dengan pena
dalam memberi arti suatu kitab (disebut ‘nglughot’).Sebagian mereka bahkan para
kyai seakan enggan untuk menulis selain dengan tinta gentur memakai pena besi
yang biasa jadi tradisinya.Namun akhirnya,yang membuat lucu adalah yang tadinya
begitu keras menolak malahan jadi penganjur berat.Dan ini salah satu hal yang
penulis saksikan sendiri.
Dalam tradisi santri ‘mengaji’ itu adalah
‘menyoret’ kitab dan membacanya langsung,lalu disimpan dan selesai.Kalau dialog
dan diskusi walaupun tentang masalah kemashlahatan dan kemajuan umat misalnya
tidak termasuk ‘ngaji’.Entah apa sebab itu semua,sebab pada zaman Rasul,sahabat
dan zaman yang dekat dengan mereka,belum masyhur atau sama sekali tidak ada
bentuk buku.Jadi apakah mereka tidak disebut ‘ngaji’ juga?.
B.Dalam tradisi santri,seseorang murid adalah ‘budak’ kyai
dan anak keturunannya,karena salah satu kewajiban bagi santri adalah ‘ta’dhim’ terhadap
guru dan hormat penuh terhadap anak keturunannya.Demikian disebutkan dalam buku
yang disebut ‘ta’lim muta’alim’ yang berarti pelajaran bagi pelajar’.Dan bila
tidak melaksanakan maka akan ada sangsi ‘kwalat’,yang kurang lebih artinya
durhaka’ dan akan berdampak tidak mendapatkan ilmu yang manfaat.Dengan
alat inilah para kyai menggiring dan mengekploitasi santrinya,sehingga ada
sebagian yang percaya bahwa walaupun tidak belajar,tapi asal mau untuk
‘khidmah’ pada kyai itu akan bisa juga nantinya. Sepertinya dia tidak sadar
atau lupa bahwa,’ilmu itu didapat dengan belajar’.Hal inipun bisa terlihat
nyata dilapangan bagi orang yang mau memperhatikan.
Dalam tradisi santri terdapat kepercayaan buta
pada sang kyai,sehingga bila terjadi hal yang menyimpang dari kyai tersebut
maka hal demikian adalah bukan seperti yang terlihat,tentu itulah dugaan kita
saja.Demikian pula pada anak keturunan kyai,mereka para santri tidak berani
untuk menegur apalagi bersengketa dengannya,karena anak kyai itu seakan telah
dapat jaminan ‘surga’,sebab bapak mereka orang alim,yang mendapat kasih Tuhan.
Sehingga bila ada anak kyai yang melakukan hal tercela atau berdampak buruk
pada lingkungan dan sesama pun para santri tidak dapat berbuat apapun.Karena
melihat kepada bapaknya.Namun yang aneh, bila terdapat cacat cela dari seorang
habib yang notabene adalah dzuriyyah langsung junjungan alam,maka mereka seakan
tidak senang dan tidak memberikan satu alibi atau pandangan baik/toleransi
sedikitpun.Sehingga dalam pandangan mereka,anak kyai lebih berharga dan lebih
tinggi derajatnya dari keturunan Rasulallah shallallahu alaihi wa alihi wa
salam ?????????????????????
Dalam tradisi santri kebaikan dirinya adalah
lebih buruk dari kesalahan guru (kyai).Ini diambil dengan tanpa mengerti maknanya
dari perkataan para sufi yang kurang lebih artinya,’kebenaran seorang murid
dihadapan mursyidnya itu adalah keburukan’.Bila ungkapan ini diucapkan dalam
konteks dunia sufi,tentu masih dapat dimengerti,karena dalam dunia sufi
terdapat rumor bahwa seorang murid dihadapan mursyidnya ibarat mayat ditangan
seorang pemandi mayat.Namun apakah hal tersebut bisa dipakai dalam konteks
dunia pesantren?
Dalam tradisi santri ucapan dan pandangan yang
benar adalah pemikiran gurunya,sehingga bila ada yang lain memiliki pandangan
berbeda maka akan dianggap salah, walaupun dalam kenyataannya justru pandangan
gurunya itulah yang meyimpang.Begitu pula dalam tatakrama dan tata cara
bergaul,yang jadi patokan adalah guru,jadi bukan dasar yang jelas.Sebagai
contoh bila gurunya suka cium tangan para habaib,maka santrinyapun begitu pula,
tanpa mereka tahu dan mengerti apakah arti daripada cium tangan tersebut.Semua
ini terjadi karena budaya diam,cukup mendengar dari guru dan selesai.Karena itu
bila ditanyapun,jawabannya adalah sebagaimana kata guru saya.Jadi bukan menurut
Allah dan RasulNya.
Dalam dunia santri bahwa ‘guru’ itu yang
digugu dan diturut.Ini mungkin salah satu arti yang disebutkan sebagai bahasa kirata
(dikira kira seperti nyata),hingga imbas daripada istilah ini salah satunya
ialah,semua yang diperbuat guru itulah yang benar dan patut dilakukan. Dan
sebagian imbasnya pula bagi sang ‘guru’ adalah adanya istilah ‘ilmu
lilin’,yaitu artinya kepada orang lain bisa menerangi tapi diri sendiri hancur
lebur.
Maksudnya bila sang guru atau anutan tersebut
tidak bisa digugu dan diturut sebab tidak meng’amal’kan apa yang di
ajarkan,misalnya tidak shalat di masjid berjama’ah padahal tentu dalam buku
buku fiqh penuh penerangan bahwa berjama’ah dimasjid itu merupakan sunnah
muakkadah atau bahkan merupakan fardlu kifayah.Maka bila
sang ‘guru’ tidak berjama’ah atau jarang ke masjid, akan timbul istilah
‘ejekan’ punya ilmu lilin.
Dan ini pula yang nanti berkembang luas di
masyarakat sehingga akhirnya timbul kurang adanya sifat toleransi, sebagaimana
nanti akan penulis bahas pada permasalahn intropeksi diri,insya Allah.Adapun
tentang arti ‘guru’ seperti di atas,maaf itu tidak bisa dijadikan satu
referensi hukum,sebab hanya merupakan arti yang dikira kira dan terkesan
dipaksa paksakan.Dan anda tentu telah maklum bahwa ajaran Islam dilandaskan
pada dasar yang pasti bukan dasar yang di ada adakan atau di paksa paksakan.
Dalam tradisi santri bahwa ‘ulama’ itu
bertanggung jawab tentang pendapatnya.Singkatnya,nanti di akhirat bila kita
mengikuti pandapat mereka,maka kita seakan bisa berhujjah pada Tuhan bahwa kita
hanyalah orang yang taqlid saja,sehingga nanti yang ‘berhadapan’ dengan Tuhan
adalah ulama tersebut.
Ini terjadi (sepanjang pengetahuan
penulis),karena mereka tidak mengerti tentang arti ijtihad seorang
ilmuwan.Mereka lupa bahwa ‘ulama’ hanyalah seorang mujtahid,yaitu yang bertekun
dan bersungguh sungguh untuk mencari hukum Tuhan menurut kemampuan yang Dia
berikan pada mereka.Bila benar,maka ada dua pahala baginya dan bila salah akan
dapat satu pahala,bukan berarti ‘ulama’ adalah petugas pembuat hukum.
C.Dalam tradisi santri ada kebencian berlebih terhadap
anjing,sehingga ‘bunuh anjing’ telah jadi biasa,bila hewan tersebut berada
didekat wilayah pondok. Padahal kita tahu bahwa anjing yang harus dibunuh itu
adalah anjing rabies,sebab hewan tersebut mengidap penyakit yang sangat
berbahaya dan bisa menular pada manusia. Namun mereka seperti biasa hanya
melihat semua ajaran secara selewat,karena tidak terbiasa untuk menelaah.
Dalam tradisi santri ada ajaran ‘zina
berakibat dosa bagi 40 rumah disekelilingnya’,yang entah dari mana ajaran itu
berasal.Karena Islam tidak mengajarkan tentang dosa warisan atau kesalahan
menular,walaupun dalam Islam ada pula ajaran tentang transfer pahala menurut
sebagian madzhab.
Dalam tradisi santri,masyarakatlah yang harus
datang untuk belajar,bukan kyai yang perlu datang untuk memberikan pencerahan
agama.Sedang bila kita telaah riwayat hidup sang utusan,justru beliaulah
yang kerap mendatangi masyarakat waktu itu untuk berdakwah.Dan tradisi ini
berdampak nyata bagi kebodohan permanen sebagian besar masyarakat Islam.
Dalam tradisi santri,pemberi adalah masyarakat
dan penerima adalah kyai,sehingga ada rumor berlaku bahwa hidup jadi kyai itu
enak,makanya harus mau jadi santri. Dan itu pula hal yang mendorong para santri
terjun ke bidang dakwah (ceramah) dan perdukunan,karena tidak butuh modal namun
hasilnya nyata besar.Demikian itu, sebab mereka selalu diiming iming oleh sang
kyai untuk hidup tanpa keringat selama mereka di pondok.
Dalam tradisi santri mengaji dipondok adalah
agar jadi ‘kyai’,bukan semata untuk mengerti ajaran agama.Jadi bila semua itu
tidak terjadi dilapangan,maka akan timbul
kefrustasian,yang berdampak bila tidak jadi pengacau dimasyarakat tentu
akan terjun dibidang lain yang gelap. Hanya hal ini mungkin pada sebagian kecil
saja dari komunitas santri,walaupun bukan berarti harus dibiarkan atau
ditolerir tanpa bimbingan yang tegas dan terarah.
Dalam tradisi santri ada rasa bahwa merekalah
ahli ‘surga’,sehingga pandangan melecehkan pada orang lain (baca:orang awam)
sangat kental terlihat.Bila anda termasuk golongan seperti ini harap segera
bertaubat,dan bila tidak maka tidak perlu merasa tersinggung.Bukankah
ucapkanlah kebenaran walaupun terasa pahit????????
Dalam tradisi santri,bahwa komunitas merekalah
poros atau pusat dari kehidupan masyarakat sekitar,sehingga bukan mereka yang
harus mengerti keadaan tapi keadaan dan lingkungan sekitarlah yang harus
mengerti mereka.
Demikian sekilas renungan /intropeksi diri
seorang santri.Bila terdapat kata atau ungkapan yang tidak berkenan dalam
hati mohon maafkan,karena maksud
sebenarnya tulisan ini adalah untuk muhasabah an nafsi diri penulis
sendiri bukan untuk menghakimi komunitas santri yang notabene adalah dunia
penulis sendiri.
Adapun tentang imbas daripada kondisi komunitas
santri terhadap masyarakat,maka dapat kita perhatikan beberapa hal dibawah ini:
a.ketidak mengertian masyarakat tentang ajaran
Islam yang sebenarnya,dalam arti maksud dan tujuan ajaran itu sendiri
b.kurang tanggapnya masyarakat terhadap
perbedaan, baik dalam pandangan agama atau sosial budaya
c.ketimpangan pandangan tentang benar dan salah,baik
dan buruk dalam ajaran Islam
d.ketidakperdulian masyarakat terhadap sosial
budaya, sebab tidak pernah menjadi prioritas kajian para santri dan ustadz
e.kesimpangsiuran pandangan akan ajaran Islam
sebab perbedaan pendapat yang berkelanjutan tanpa adanya saling pengertian dari
para santri dan kyai,satu sama lain
f.kemunduran masyarakat islam disegala
bidang,sebab hanya memperhatikan ranah yang mereka sebut ‘ibadah’ dan
meninggalkan ranah lain yang tidak kurang ‘ibadahnya’ dari yang mereka sebutkan
tadi
g.sifat muka dua (kemunafikan) dalam
masyarakat Islam yang telah mengkristal,sebab dari banyaknya terdapat perbedaan
pemikiran yang di ekploitasi tanpa batas
h.penghakiman terhadap orang lain,tanpa dasar
yang jelas,hanya menurut perasan pribadi
A.hal ini dengan mudah akan kita saksikan asal
kita mau bertanya pada mereka,’apa islam itu?’.mereka tidak akan dapat menjawab
sedikitpun
Padahal bila ada pengarahan yang benar dan
tepat,apa sulitnya menjawabnya dengan,’Islam ialah aturan dan ajaran Tuhan bagi manusia yang merupakan estafet para
utusan tentang Tauhid dan hukum serta sosial budaya’.
B.ini semua sebab anggapan bahwa Islam jauh
dari soal sosial atau turun untuk menghapus budaya,yang besar kemungkinan
merupakan imbas dari kejumudan fikiran dalam mengartikan ajaran Islam sehingga
seakan hanya terbatas pada soal ritual ‘peribadatan’.
C.persepsi ini terjadi sebab tidak adanya
penerangan yang maksimal para santri dan kyai tentang ruh/semangat islam dalam
hidup dan kehidupan.sehingga terkadang salah dan benar,baik dan buruk itu
adalah sebagaimana yang dirasakan oleh hati dan perasaan,bukan dengan dasar
ajaran Islam yang murni,sehingga sebagian mereka sampai berani untuk
mengemukakan aturan yang hanya dari sebab rasa perasaan dan untung rugi tanpa
dasar sama sekali
D.ini terjadi sebab terlalu diprioritaskannya
pengajian fardlu ‘ain tanpa disambungkan dengan pengajian fardlu
kifayah yang jelas dan terang
E.hal ini dipicu oleh perebutan lahan ‘bisnis’
para santri dan kyai dalam masyarakat,sehingga bila sampai terlihat kalah dalam
debat atau mundur dalam ruang diskusi oleh masyarakat maka hal itu merupakan
aib yang akan membuat kedudukan mereka jadi tercemar/turun pamor.
F.inipun salah satu imbas dari penerapan sistem ngaji fardlu ‘ain
yang terlalu dititik beratkan sehingga masyarakat tidak mengerti tentang
keharusan lain yang merupakan jalan kemajuan dan kesejahteraan mereka yang juga
merupakan hikmat dari turunnya ajaran Tuhan ini
G.ini adalah imbas dari perbedaan pendapat
para ulama yang terlalu diumbar bebas,sehingga masyarakat seolah mendapatkan
legalitas atas perbuatan menyimpang mereka,yang akhirnya menganggap semua hukum
itu enteng karena tentu ada sebagian ‘ulama’ yang ‘menanggung jawabnya’.Jadi
mereka berfikir seakan ulama tersebut adalah Tuhan yang bisa membuat/ produksi
hukum
H.suatu kelucuan yang telah lewat
batas,sehingga kadang masyarakat kita merupakan sekumpulan manusia barbar yang
tidak beradab,sebagai contoh bila ada seseorang atau satu kelompok yang
memiliki perbuatan yang menurut mereka salah,maka akan terjadi tindak kekerasan
otot,dan semua itu tanpa pemikiran panjang bahkan tanpa dasar yang kuat atau
yang lemah sekalipun selain keinginan untuk melampiaskan semacam dendam atau sejenisnya,akibat
ketidakberdayaan terhadap keadaan yang mereka rasakan.Mereka bukan berfikir
bagaimana untuk mengatasi kesulitan dan menyingkirkan kesukaran yang melibat
umat disegala bidang,namun justru mereka menambah suasana yang telah kacau ini dengan tindakan yang membuat
kondisi semakin jadi semrawut
Menurut pandangan penulis (Allah yang lebih
mengetahui hakikat persoalan),sebab semua itu adalah dampak dari keterpurukan
kita umat islam dihadapan umat lain,kontrol manajemen umat yang lemah sehingga sering
bertindak tanpa memikirkan akibat buruk yang akan terjadi setelahnya.Dan semua
ini kembali kepada:
a.pendidikan yang tidak memiliki metode serta
alur yang jelas,sehingga terjadi kesenjangan dan bias dalam memberikan warna
yang tegas dari ajaran islam yang sempurna
b.merebaknya budaya konsumer akibat
ketidakperdulian terhadap masalah sosial masyarakat,sebab budaya ngaji fardlu
‘ain yang terlalu dititik beratkan tanpa diimbangi oleh ngaji fardlu
kifayah
c.sifat ‘hubu dunya’ yang telah mendarah
daging dalam diri umat Islam,akibat propaganda musuh dan tidak adanya tindakan
nyata dari para pemuka Islam untuk tampil memberikan solusi akan hal tersebut
d.merebaknya sikap individu umat akibat dari
isme kafir tentang sekulerisme dan tidak adanya tindakan dan langkah nyata para
pemuka agama untuk mengatasi persoalan tersebut
e.tidak adanya pengajian tentang intropeksi
diri dari para kyai terhadap masyarakat,sehingga membawa dampak kurangnya
toleransi umat terhadap hal yang mereka anggap
tabu,tanpa melihat dan menelaah hal itu dari berbagai sudut pandang
Bila anda perhatikan kondisi dalam masyarakat Islam saat ini maka anda akan
dapatkan rasa keegoan dan rasa individual tinggi yang sangat kentara.Mareka
lebih senang dan bahkan mungkin jadi satu kewajiban (bagi mereka) untuk
memperhatikan tingkah laku dan amal perbuatan orang lain.Bukan memperhatikan
dan mengoreksi tingkah dan amal pribadi,yang justru itulah satu keharusan dalam
ajaran Islam yang agung.Akhirnya mereka seakan sibuk dan bingung dengan masalah
pribadi orang lain bahkan ada yang sampai melakukan tajassus (mengintip
intip) perbuatan orang lain,yang merupakan salah satu hal yang dilarang dengan
tegas dalam Alqur’an.
Mereka seakan lupa (atau bahkan tidak tahu)
bahwa yang diperintahkan oleh Tuhan itu adalah menjaga diri sendiri dan
keluarga dari api neraka.Setelah hal itu terpenuhi baru mengarah keluar yaitu
sesama.Dan itupun bukan dengan tajassus atau hantam kromo,namun dengan
jalan da’wah,sebagaimana ajaran Rasulallah shallallahu alaihi wa alihi
wa salam,sebagai penerapan akhlaq
Alqur’an.
Namun jangan anda merasa aneh akan hal
tersebut, karena ada banyak faktor yang menjadikan masyarakat muslim berbuat
seperti itu,namun garis besarnya yang bisa penulis sebutkan disini ada dua,yaitu:
a.kesalahan persepsi tentang satu
ungkapan’bila soal duniawi lihatlah orang yang lebih rendah,dan bila soal amal (‘ubudiyah’)
atau akhirat maka lihatlah orang yang lebih atas’.
b.
-sebenarnya ungkapan ini adalah satu nasihat
baik,yaitu agar supaya seseorang tidak merasa rendah diri dan tidak memiliki
hati iri dengki terhadap karunia yang Allah berikan pada orang lain tentang hal
duniawi atau kekayaan,dan agar supaya umat selalu memakai contoh baik dalam
segala aktifitas masalah ubudiyah khususnya, sehingga tidak akan merasa puas
dan bangga dengan apa yang telah dia lakukan,sebab ternyata masih banyak orang
yang lebih banyak dan baik dalam ubudiyahnya. Dan sikap ini diharapkan akan
bisa menghasilkan sikaf positif umat dalam konteks ibadah dan menjauhkan rasa
ujub terhadap apa yang telah dia kerjakan.
Namun yang terlihat dilapangan
ternyata,ungkapan pada alinea pertama tidak pernah dijalankan,sebaliknya kita
lihat umat seakan berlomba lomba dalam duniawi,bahkan diberi contoh oleh
sebagian ‘dai’nya.Dan alinea kedua pun tidak digunakan dalam arti yang
dikehendaki oleh ibarat tersebut,namun diartikan sebagai menilai
yang akhirnya memberi komentar atas
perbuatan dan tingkah laku orang lain,tanpa terlebih dahulu mengoreksi diri
sendiri.Bahkan bukan sekali yang penulis pernah dengar suatu ungkapan bila
disebutkan bahwa kyai anu sih rajin shalat dluha dan tahajudnya.Maka ucapan
yang keluar itu adalah’pantas saja,itukan kyai’.Jadi seakan-akan bila kyai maka pantas berbuat
demikian,tapi kalau orang seperti kita sih tidak perlu.Begitu pula bila ada
kyai yang berbuat atau memilliki sesuatu yang mereka ‘anggap’ munkar,yang
padahal mereka pun suka berbuat atau memiliki sesuatu yang ‘munkar’ itu,maka
akan timbul ungkapan,’masa kyai-kyai berbuat atau memiliki hal seperti
itu?.Sungguh ironis sekali,padahal merekapun suka berbuat atau memiliki hal
‘munkar’ tersebut. Bukankah ini suatu pemutar balikan fakta dan satu indikasi
bahwa ungkapan yang tersebut di atas telah diberi makna yang jauh dari arti
yang sebenarnya?
Jadi seakan,bila kyai (guru) berbuat bajik itu
pantas karena ia kyai,walau buat kita itu tidak perlu.Dan bila kyai (guru)
berbuat tidak baik’ itu tidak patut walaupun kita suka juga berbuat seperti
itu.Sungguh terus terang saja, penulis pernah merasakan merinding bila teringat
akan hal seperti ini,karena ingat pada keadaan orang budha dengan ajaran
vegetarian serta tidak mendekati wanita. Karena hal demikian hanya ‘khusus’
bagi para biksu saja tidak bagi orang awam.Jadi bila ada biksu tidak vegetarian
atau punya istri maka akan jadi bahan cemoohan,walaupun tentu bagi orang awam
biasa hal tersebut tidak merupakan cela atau noda.
Apakah dalam ajaran Islam yang suci ini ada
pembagian kasta atau kekhususan dalam perbuatan baik atau dosa? Bila
ada,dimanakah ayat yang menerangkannya, dan bila tidak ada maka kenapa umat
Islam seakan semakin melenceng jauh dari alur ajaran ini? Apakah sebenarnya
yang terjadi dan salah siapakah sehingga hal seperti ini dapat terjadi? Manakah arti dari ‘guru’ digugu dan diturut
itu dan apa hasil dari semua itu? Ah,sungguh pertanyaan panjang yang butuh
jawaban panjang pula...........................
Wahai umat!untuk siapakah dan karena apakah
kalian ber ‘ibadah’ itu?untuk diri sendiri dan karena Tuhan atau untuk orang
lain dan karena rasa ego dan riya? Jawablah dengan jujur dan tegas!ketahuilah!
bila kalian tidak segera menghentikan perbuatan seperti itu,segara akan kalian
rasakan adzab dan murka Tuhan menimpa kalian semua,baik yang berbuat maupun
yang tidak berbuat. Sadarlah wahai umat! Bahwa izaatul Islam itu
akan kalian gapai hanya dengan kembali pada alur ajaran agama yang benar dan
menurut pedoman yang telah ditetapkan oleh Allah dan RasulNya.
Sesungguhnya umat Islam awal tidak pernah
melihat kanan dan kiri bila mau berbuat atau bertindak untuk kebaikan.Hanya
satu yang mereka jadikan dasar,yaitu firman Tuhan dan perbuatan Rasul,bukan
ucapan dan kelakuan orang biasa.Mereka mendapatkan pesan dari pemimpin dan
junjungan mereka,’ambilah hikmah dimanapun ia adanya walau keluar dari mulut
anjing’, dan pesan beliau,’ikutilah apa yang diucapkan dan bukan melihat orang
yang berkata’.
Sebagai contoh lain tentang rasa egoisme dan
intoleransi serta kurangnya intropeksi diri,ialah kasus Purwakarta yang
melibatkan berbagai unsur masyarakat tentang ‘ulah’ dari sang bupati yang
mereka ‘rasa’ sebagai bentuk pelecehan terhadap ajaran islam dengan pembuatan
patung,arca dan kepercayaan tentang kekeramatan serta mistis.Tapi mereka
sendiri sebenarnya memiliki tingkat yang hampir sama dengan si bupati tersebut,sebagai
contoh bukankah justru di dunia santri yang paling menonjol itu adalah soal
mistis dan kekeramatan serta segala simbol supranatural ?? Apakah anda tidak
melihat segala bentuk ‘wifiq’ dan ajimat yang mereka percaya dapat menolak bala’
dan menarik keuntungan duniawi,yang bahkan hal itu semua tidak memberi dampak
positif terhadap lingkungan dan sosial budaya selain hanyalah sebagai alat para
santri dan kyai menarik pengikut dan menaikkan gengsi serta pengaruh dimata
masyarakat. Sedangkan perbuatan si bupati yang mereka hujat dan caci maki
tersebut masih terlihat ada hasilnya,sedikitnya dalam hal pembangunan duniawi yang
bisa dirasakan bahkan oleh mereka yang menghujatnya sekalipun.Dan bahkan dari
sebagian kelakuan si bupati tersebut masih bisa kita melihat makna simbolik
dibaliknya,seperti pada soal penyarungan pohon dengan menggunakan kain batik, apakah
itu bukan suatu makna filosofi dari menjaga kelestarian alam?Dan bukankah dalam
ajaran Islam melestarikan alam dan menjaga eksistensinya itu adalah bagian dari
fardlu kifayah ?? Bahkan Rasulallah shallallahu alaihi wa alihi
wa salam memberikan nama bagi hewannya dan bahkan gelas minumnya.Apa
makna filosofi dari semuanya,kalau bukan penghormatan dan kasih akan alam?.Dan
selain dari itu,tidak semua program si bupati tadi bertentangan atau merugikan
umat Islam,sebagai contoh adanya peraturan jam malam untuk pemuda dan pemudi
yang terlihat berduaan tanpa ikatan nikah,dan keinginannya untuk menjadikan
santri (dunia pesantren) setaraf dengan siswa pendidikan ‘umum’. Bukankah semua
itu justru adalah angin segar bagi komunitas santri khususnya?
Sesungguhnya dalam menyikapi suatu persoalan terutama
yang berkaitan dengan ajaran Islam,hendaknya yang didahulukan adalah fikiran
jernih bukan emosi jiwa yang meledak ledak tanpa kontrol.Sebagaimana dalam
Islam untuk menyikapi persoalan rumah tangga yang terjadi percekcokan adalah
dengan mengutus hakam, sebagai orang ketiga yang dijadikan penengah untuk
mencari solusi bagi keduanya,bukan langsung fasakh nikah tanpa aturan
yang jelas,hanya menuruti nafsu jiwa yang terkungkung oleh kelemahan iman dan
kosong dari ruh Islam yang menjadikan pondasi dakwahnya adalah
kesederhanaan hidup.Begitu pula dalam setiap persoalan yang hanya merupakan
produk bias pemikiran manusia yang tidak sempurna,tidak perlu diperluas dan dipandang
seakan suatu kejahatan tanpa tanding yang harus dikikis habis tanpa ampun.
Adapun tentang bahwa perbuatan tersebut adalah
bentuk dari kemusyrikan,maka yang akan jadi pertanyaan ialah, apakah definisi
dari musyrik tersebut wahai tuan? Apa hanya membuat patung lalu langsung jadi
musyrik? Apa hanya menyarungi pohon dengan kain batik jadi total musyrik? Apa
hanya memakai kereta kencana hari jum’at lalu pasti muysrik? Apa hanya menyulut
dupa dan kemenyan itu harus jatuh jadi musyrik? Apa hanya percaya tentang
dongeng nyai roro kidul,pasti dia musyrik? Apa hanya ingin mengganti ucapan
assalamualaikum dengan sampurasun juga itu langsung dihukum sebagai
murtad,keluar dari islam?
Jadi tolong jelaskan apa definisi kemuysrikan
itu? Bila anda tidak dapat menjelaskan berarti anda telah berbicara dalam agama
dengan sesuatu yang tanpa dasar, sedang Allah berfirman:
‘jangan kau mengikuti apa yang tidak ada
padamu pengetahuan padanya,karena pendengaran,penglihatan dan hati fikiran itu
semua akan ditanya’.
Allah berfirman:
‘jangan kau mengada ada kebohongan yang
disimpan dalam lidah kalian bahwa ini halal dan ini haram,hanya untuk
menggunakan nama Allah sebagai tameng kebohongan,sesungguhnya orang yang
menjadikan nama Allah sebagai tameng kebohongan itu tidak akan beruntung’.
Definisi syirik yang penulis sempat lihat dalam
Alqur’an surah Ar Rum ayat 30-32 adalah sebagai berikut:
فَأَقْمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًا,فِطْرَاتَ اللهِ الَّتِي فَطَرَ
النَّاسَ عَلَيْهَا,لاَ تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللهِ,ذَلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ
أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَ* مُنِيْبِيْنَ إِلَيْهِ وَاتَّقُوْهُ وَأَقِيْمُوْا
الصَّلَوةَ وَلاَ تَكُوْنُوْا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ* الَّذِيْنَ فَرَّقُوْا دِيْنَهُمْ
وَكاَنُوْا شِيَعًا,كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُوْنَ (الروم:٣۰-٣٢ )
‘maka tetapkanlah dirimu dalam
penyembahan yang condong (kepada kebenaran),yang (semua itu merupakan) fitrah
Allah yang Dia ciptakan manusia atas dasar fitrah tersebut.Tiada suatu
pergantian bagi ciptaan Allah,Itulah (yang demikian) penyembahan yang lurus (benar),namun
kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Dan) dengan selalu inabah
(kembali) padaNya dan selalu ber’takwa’ (mengerti akan diri dan waspada
akan adzab Allah),dan dirikanlah shalat,dan janganlah kau dari sebagian orang
yang musyrik.Yaitu orang yang selalu memecah belah ajaran mereka
dan mereka berkelompok kelompok,(yang) setiap kelompok merasa bangga dengan
yang mereka miliki’.
Mari kita coba telaah enam hal di atas:
Pertama:membuat patung adalah ‘haram’,bukan
musyrik sebab tidak setiap perbuatan haram itu identik dengan kemusyrikan.Sedang
yang menjadikan muysrik itu ialah penyembahan berhala
ومنها كلّ
قول أو فعل صدر عن تعمّد واستهزاء بالدين صريح كالسجود للصنم أو الشمس سواء كان في
دار الحرب أو درا الإسلام بشرط أن لم تقم قرينة على عدم استهزائه أو عذره, وما في
الحلية عن القاضي عن النصّ أن المسلم لو سجد للصنم في دار الحرب حكم بردّته ضعيف
وواضح أن الكلام في المختار.واستشكل العزّ بن عبد السلام الفرق بين السجود للصنم
وبين ما لو سجد الولد لوالده على جهة التعظيم حيث لا يكفر والسجود للوالد كما يقصد
به التقرّب إلى الله تعالى كذلك قد يقصد بالسججود للصنم كما قال تعالى "ما
نعبدهم إلاّ ليقرّبونا إلى الله زلفى",ولا يمكن أن يقال أن الله شرع ذلك في
حقّ العلماء والآباء دون الأصنام.قال القرافي في قواعده:كان الشيخ يستشكل هذا
المقام ويعظم الإشكال فيه ونقل هذا الإشكا الزركشي وغيره ولم يجيبوه عنه,ويمكن أن
يجاب عنه بأن الوالد وردت الشريعة بتعظيمه بل ورد شرع غيرنا بالسجود للوالد كما في
قوله تعالى "فخرّوا له سجّدا",بناء على أن المراد بالسجود ظاهره وهو وضع
الجبهة
Kedua:perbuatan menyarungi pohon adalah hal
mubah yang tidak berdampak negatif pada aqidah dan sosial, sama saja
dengan memakaikan pakaian pada hewan atau sejenisnya.Bila tidak demikian,lalu
bagaimana dengan Ka’bah yang disarungi dengan kain sutera?
Ketiga:apakah hubungan suatu bentuk kendaraan
dengan aqidah,wahai tuan?
Keempat:bukankah wewangian itu merupakan
sunnah para nabi dan kegemaran para malaikat,wahai tuan?
Kelima:siapakah nyai roro kidul hingga
sekarang belum ada seorangpun yang menegaskan dengan pasti,hanya menurut
pandangan sekilas,yang disebut dan dipercayai sebagai ratu pantai selatan
tersebut adalah sebangsa jin. Dan dalam ajaran Islam,jin merupakan makhluk
Allah yang juga diciptakan dengan beban hukum (taklif),sama dengan
manusia.Lalu apakah hubungan percaya terhadap jin dengan aqidah,wahai
tuan?
Keenam:assalamualaikum adalah bentuk dari
ucapan selamat bagi umat muslim dalam tegur sapa atau memulai pembicaraan,yang
memberikan arti semoga keselamatan besertamu’.Dan yang jelas ucapan ini bukan suatu
kewajiban untuk umat Islam,kecuali dalam salah satu rukun shalat yang akhir.Tentu
telah dimaklumi bahwa bupati Purwakarta yang satu ini adalah orang yang gemar
akan seni dan sangat ingin memajukan adat istiadat sukunya,yaitu sunda.Bila
begitu halnya,apakah tidak bisa diberikan pengertian sedikit demi sedikit bahwa
Islam tidak melarang seni selama bisa ditolerir, dan Islam datang untuk semua,bukan
hanya untuk bangsa Arab saja.Islam memberikan beberapa patokan dalam
hukum,sosial dan budaya yang tegas dan jelas,yang akan membawa kebaikan dan
kedamaian bagi pemeluknya bahkan bagi musuhnya sekalipun.Adapun bila ada satu
hal dalam ucapan memakai ungkapan bahasa arab,bukan berarti ada intimidasi bagi
budaya lain,namun karena memang Islam turun kali pertama di negeri Arab, sehingga
pantas bila dalam beberapa ungkapan menyiratkan hal yang seakan ‘kearab araban’.Dan
ini adalah hal logis saja,sebab bila Islam turun di nusantara pun tentu bahasa
yang akan digunakan adalah bahasa nusantara.
Yang penulis sedikit ketahui bahwa,dalam masyarakat sunda ada ‘sampurasun’ yang dijawab
dengan ‘rampes’.
‘Sampurasun’ itu dari bahasa Sunda yang akar
katanya sama dengan bahasa Jawa. Yaitu, dari kata ‘sampura’ dan ‘sun’ (ingsun).
Di Sunda, ‘sampura’ sama dengan ‘hampura’.Artinya harfiahnya ‘maaf’. Jadi, ‘sampurasun’
sama dengan ‘maafkan aku’.
Arti dari semua itu adalah,dalam falsafah kuno sunda,
manusia dibagi dua.Ada ‘jalma manusa’ dan ‘jalma sata’. ‘Jalma manusa’ itu
manusia yang kehidupannya sempurna sebagai manusia. Sedangkan ‘jalma sata’
adalah manusia yang hidupnya masih berperilaku seperti satwa/hewan. Dalam hal
ini orang sunda yang meminta maaf itu sama dengan bahwa ia menyadari lawan
bicaranya adalah orang yang sempurna. Karena itu, ia merendahkan diri atau
secara rendah hati menganggap dirinya belum sempurna.
Etika kehidupan masyarakat sunda kuno itu
menganggap orang lain adalah orang yang sempurna hidupnya. Jadi, mereka yang
menyapa lebih dulu adalah orang yang merasa dirinya kurang sempurna.Yang
mengucapkan ‘sampurasun’ itu, misalnya, orang yang bertamu. Nah, orang yang
sedang bertamu itu butuh ucapan ‘sampurasun’. Karena mungkin saja dia bertamu
salah waktu sehingga mengganggu orang yang mau ditemui. Dan ia pun memuliakan
pemilik/tuan/nyonya rumah itu dengan menganggap mereka orang yang sempurna.
Lawan bicara atau pemilik rumah akan menjawab
‘rampes’. Secara harfiah ini berarti ‘ya, permintaan Anda saya terima.’ Dalam
pengertian etika, ‘rampes’ itu adalah ‘Anda pun orang yang baik dan sempurna.’
Jadi, masing-masingnya saling memandang bahwa lawan bicaranya itu manusia yang
sempurna (insan kamil). Ini yang harus kita pahami dengan baik agar
tradisi ini selain terjaga juga dimengerti maknanya.
Bahasa Arab sendiri berkembang dari tatanan sosial
yang dekat dengan bahasa Ibrani. Kalau di Arab ‘assalamu ’alaikum’, di bangsa
Israel ‘shalom’. Itu ungkapan-ungkapan untuk menyapa. Artinya tentu
macam-macam. Kalau ‘assalamu ’alaikum’ atau ‘shalom’ itu sapaan damai.Kalau di
China, misalnya, ada ‘ni hao ma’. Artinya, apa kabar. ‘Ni hao ma’ ini sama
artinya dengan ‘kamu baik, kan?’ Itu ungkapan-ungkapan yang baik. Jadi,penulis
fikir tidak perlu hal tersebut terlalu dibesar besarkan.
Sekarang yang jadi persoalan adalah,apakah ada
satu nash yang tegas bahwa ucapan assalamualaikum tidak bisa
diganti dengan ucapan lainnya dalam masalah saling sapa dan pergaulan?
Ketujuh:apakah dengan
ucapan suara seruling lebih merdu dari suara Alqur’an,itu jadi murtad?
لو قل سامع المؤذّن:هذا صوت الحرس,كفر وفيه نظر والأوجه خلافه إلاّ إن أراد
تشبيه الأذان بناقوس الكفار (الإعلام بقواطع الإسلام:٣۰ )
Berkata ibn Hajar Al
Haitamy:’bila seseorang mendengar suara adzan lalu berkata:ini suara
lonnceng’,maka orang itu kufur.Namun pendapat yang lebih jelas itu justru
sebaliknya,kecuali bila ia bermaksud mempersamakan suara adzan tersebut dengan
lonceng kafir.
Silahkan keenam poin diatas dijawab
berdasarkan sumber ajaran Islam yang benar,bukan hanya atas dasar fikiran
pribadi apalagi atas dasar perasaan,karena hukum Islam berdasarkan nash
jelas bukan perasaan seseorang. Dan harap bawakan suatu nash yang tegas
bukan nash ayat mutasyabih atau dalil ijmali (seperti misalnya
dalih tasyabuh bil kuffar atau man amila amalan laisa alaihi amruna
dan lainnya).
Demikian karena persoalan ini adalah soal
parsial yang tidak bisa menggunakan dalil samar dan umum untuk
menjawabnya,seperti bila kita ditanyakan tentang hukum shalat,zakat,puasa dan
hajj,tentu dalil khusus pula yang kita ajukan.Begitu pada masalah ini,yaitu
kemuysrikan tentu perlu dasar yang tegas dan jelas dalam jawabannya. Jadi bila
ternyata hanya dalil umum atau nash ayat mutasyabihat yang
dijadikan jawaban,berarti terang sudah bahwa apa yang dikatakan itu tidak lain
adalah hasil dari produk pemikiran anda sendiri yang belum tentu benar dan
belum tentu salah.Sekian
Umat Islam besar bukan dengan pandai berkaok
kaok tanpa dasar dan tujuan pasti,namun umat Islam awal besar dengan kerja
keras dan keimanan yang tinggi yang disertai oleh keinginan untuk menyebar
luaskan kalimah Allah dan tegaknya hukum Tuhan di atas muka bumi ini. Sedangkan
umat Islam hari ini,penulis lihat lebih suka mendahulukan berbicara daripada
bekerja.Ini pula salah satu sisi kelemahan umat ini yang begitu jelas menonjol,
padahal mereka juga tentu pernah membaca tentang suatu peribahasa ‘sedikit
bicara banyak bekerja’namun sepertinya sedikit yang sadar,atau mereka pura pura
tidak tahu??? Allahu a’lam
Harap gunakan fikiran jernih dalam setiap
masalah wahai umat Islam,karena Allah mengangkat derajat orang yang memiliki
pengertian seperti telah Dia firmankan.
‘sesungguhnya Allah mengangkat derajat
orang beriman diantara kamu dan orang yang memiliki pengertian beberapa
tingkat,dan di atas setiap orang berilmu ada
yang lebih mengerti pula’.
Demikian sedikit ulasan tentang masalah yang
sedang hangat di tanah tumpah darah penulis pribadi yaitu Purwakarta saat ini.Dan
penulis pribadi sangat berharap agar kejadian tersebut dijadikan sebagai contoh
sekaligus bukti keadaan carut marut umat Islam dan juga kondisi sosial
masyarakat dewasa ini khususnya dunia pesantren.
Wassalam..........................
Selesai diperbaharui Jum’at 16 Jumadil
Awwal 1437-
25 Februari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar