RENUNGAN TARBIYYAH XII











RENUNGAN TARBIYYAH XII
Pondok Pesantern







Mukaddimah
Segala puji bagi Allah yang selalu memberikan jalan dan kemudahan kepada hambaNya.Shalawat dan salam senantiasa tercurah atas sang utusan terakhirNya,dan atas keluarganya yang disucikan serta sahabatnya yang mulia, selanjutnya:
Dari awal pemikiran tentang metode Tarbiyyah ini, sesungguhnya berkisar pada seputar keadaan pondok pesantren salafiyah yang semakin hari semakin suram sinarnya dan pudar ke ‘khasannya’.Oleh sebab itu,maka Tarbiyyah sangat perduli akan masa depan dan kemajuan dari pondok pesantren salafy yang merupakan lembaga pendidikan tertua di nusantaa ini,namun justru sekarang dihadapkan pada dilema yang seakan tidak bisa dipecahkan.Adalah suatu keharusan bagi insan pesantren untuk ikut memikirkan keadaan dan kondisi mereka serta mencari jalan keluar agar bisa lepas dari belenggu kolot dan jumud yang seakan melekat pada diri ‘santri’ kapan dan dimanapun ia berada.
Karena siapa yang akan memikirkan suatu komunitas selain warga komunitas itu sendiri,dan siapa yang akan perduli pada mereka selain diri mereka sendiri.Sungguh hal ini terus menghantui fikiran orang yang mau untuk melihat,membaca dan menelaah.Lalu,bagaimana  ???
Wassalam
Cianjur,Minggu 23 Rajab 1437
30 April 2016
Prakata
SECARA historis, sebagai lembaga pendidikan Islam pondok pesantren telah melalui perjalanan yang panjang di negeri ini. Pondok pesantren dapat dikatakan telah berkiprah secara signifikan pada zaman-zaman yang dilaluinya, baik sebagai lembaga pendidikan dan pengembangan ajaran Islam, sebagai lembaga dakwah, maupun sebagai lembaga pemberdayaan dan pengabdian masyarakat. Hal ini sesuai dengan makna pondok pesantren sebagai tempat orang berkumpul untuk belajar agama Islam.
Secara umum pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam dengan sistem asrama, kyai sebagai figur sentralnya, dan masjid sebagai pusat yang menjiwainya. Sebagai lembaga pendidikan Islam, pondok pesantren semestinya dapat menjadi pusat pencerdasan karakter santri-santrinya, baik spiritual (SQ), intelektual (IQ), dan emosional (EQ). Untuk itu lingkungan pesantren secara keseluruhan seharusnya adalah lingkungan yang dirancang untuk kepentingan pendidikan. Sehingga segala yang didengar, dilihat, dirasakan, dikerjakan dan dialami para santri, atau seluruh penghuni pesantren terkondisikan untuk kepentingan pencapaian tujuan pendidikan.
Namun bila kita perhatikan,hal tersebut seakan bayangan bulan dalam air.Terlihat jelas,namun tidak memiliki hakikat nyata.Karena yang terlihat hanya pantulan semu, yang tidak memiliki arti apapun selain indah untuk dipandang.Baegitu pula keadaan pesantren dewasa ini, terlihat megah dan mewah,namun tidak memiliki jiwa, sebab telah lama jiwanya hilang ditelah oleh egoisme dan kekakuan yang mengenaskan.
Hari ini,kita hanya melihat bayangan pesantren,bukan ujud nyatanya.Didalamnya bukan lagi penuh dengan pergelutan pemikiran dan pengetahuan,tapi pergulatan keduniaan dan perebutan posisi dan pamor,yang telah jadi jiwa baru dari pesantren menggantikan jiwa lama yang bersahaja dan penuh semangat kebersamaan serta pengertian penuh akan maksud tujuan hidup yang fana.
Sungguh,bila kondisi pesantren terus seperti ini,maka bisa dimungkinkan bahwa dalam satu generasi kedepan, lembaga tertua ini akan hilang dari kancah sejarah nusantara dan akan berganti dengan pondok ‘pasaran’1 yang sunyi sepi bak kuburan.
Lalu salah siapakah ini? Ada baiknya kita tidak memperebutkan siapa yang bersalah,namun lebih baik dan satu keharusan bagi kita untuk mencari jalan dan upaya bagi mengembalikan kondisi pesantren seperti pada masa awalnya,bahkan lebih baik lagi dari dahulu.
Hendaknya setiap insan pesantren,tanpa harus menunggu yang lain,mulai untuk bangkit dan berdaya menata ulang paradigma yang kehilangan kendali dan menyeragamkan kinerja yang mngalami fatrah lama.

Wassalam

 

1.keranda mayat dalam bahasa sunda
Yang perlu dilakukan
Pertama, proses belajar yang bersifat teoritis dan berorientasi pada pengetahuan rasional dan logis (learning to know) sebagai sesuatu yang inheren dalam pendidikan pondok pesantren. Di pondok pesantren para santri tidak hanya belajar untuk mengetahui tetapi juga belajar menyatakan pendapat secara kritis melalui berbagai fasilitas yang disediakan untuk itu. Kedua, belajar untuk melakukan atau berbuat sesuatu (learning to do). Visi ini lebih terkait dengan sisi praktis dan teknis yang pencapaiannya dilakukan melalui pembekalan santri dengan keterampilan-keterampilan yang dapat membantunya menyelesaikan persoalan-persoalan keseharian yang dihadapinya. Ini tercermin, misalnya, dalam pendidikan kemandirian yang sangat kentara dalam kehidupan keseharian santri. Ketiga,Penguasaan pengetahuan dan keterampilan merupakan bagian dari proses belajar menjadi diri sendiri (learning to be) di lingkungan pondok pesantren. Menjadi diri sendiri diartikan sebagai proses pemahaman terhadap kebutuhan dan jati diri. Belajar berperilaku sesuai dengan norma dan kaidah yang berlaku di masyarakat, serta belajar menjadi orang yang berhasil, sesungguhnya adalah proses pencapaian aktualisasi diri. Pengembangan diri secara maksimal (learning to be) di pondok pesantren erat hubungannya dengan bakat dan minat, perkembangan fisik dan kejiwaan, tipologi pribadi anak dan kondisi lingkungan seorang santri. Kemampuan diri yang terbentuk di pondok secara maksimal memungkinkan seorang santri untuk mengembangkan diri pada tingkat yang lebih tinggi. Keempat,Pengertian soaial (learning to live together). Pendidikan di pondok pesantren hendaknya menanamkan kesadaran bahwa kita sedang hidup dalam sebuah masyarakat global dengan aneka ragam latar belakang sosial, budaya, bahasa, suku, bangsa dan agama. Dalam kehidupan masyarakat yang demikian ini, nilai-nilai toleransi, tolong-menolong, persaudaraan, saling menghormati dan perdamaian hendaknya dijunjung tinggi oleh setiap santri. Maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pondok pesantren harus menjadi pionir bagi terciptanya suatu tatanan kehidupan masyarakat plural yang harmonis, karena keadaan santri-santri pondok pesantren yang memang berbeda latar belakang sosial budayanya.
Keempat visi belajar di atas selanjutnya mengarah pada “learning how to learn” (belajar bagaimana belajar). Di pondok pesantren, santri hendaknya dapat dididik untuk menjadi pembelajar sejati, dia dapat belajar dari apa saja, dari siapa dan apa saja, kapan saja dan di mana saja, bahkan pada alam. Proses belajar harusnya telah menjadi suatu sikap atau kepribadian yang melekat pada diri seorang santri.
Di pondok pesantren, learning how to learn dapat ditanamkan  melalui berbagai cara, baik melalui pengajaran formal, pengajian, pengarahan, bimbingan, penugasan, pelatihan, dan seterusnya. Jadi segala yang didengar, dilihat, dirasakan, dikerjakan, dan dialami para santri dimaksudkan supaya santri mengerti tentang “learning how to learn” (belajar bagaimana belajar).
Untuk menjawab tantangan dan kebutuhan sosial pondok pesantren, semestinya pondok pesantren dapat mengambil langkah-langkah pembaruan. Di antara yang dapat dilakukan pondok pesantren adalah dengan melakukan pembaruan kurikulum dan kelembagaan yang berorientasi pada konteks kekinian sebagai respons dari modernitas. Tetapi tidak semua unsur modernitas dapat diserap oleh pondok pesantren, sebab bukan tidak mungkin orientasi semacam itu akan menimbulkan implikasi negatif terhadap eksistensi dan fungsi pondok pesantren. Sebaliknya pondok pesantren harus menumbuhkan apresiasi yang sepatutnya terhadap semua perkembangan yang terjadi di masa kini dan mendatang, sehingga dapat memproduksi ulama yang berwawasan luas.
Tantangan di era globalisasi tidak mungkin dihindari. Oleh karenanya pondok pesantren juga mesti membuat terobosan-terobosan agar tidak “ketinggalan kereta” dan tidak kalah dalam persaingan. Sekurang-kurangnya ada empat hal yang perlu digarap oleh pondok pesantren  dengan tidak meninggalkan jati diri pesantren.
Pertama, pondok pesantren sebagai lembaga “pengkaderan ulama”. Fungsi ini hendaknya tetap dapat dipertahankan di pondok pesantren. Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan yang bertugas melahirkan ulama. Namun demikian, tantangan globalisasi dan modernisasi mengharuskan ulama mempunyai kemampuan lebih, kapasitas intelektual yang memadai, wawasan, akses pengetahuan dan informasi yang cukup serta responsif terhadap perkembangan dan perubahan.
Kedua, Pondok pesantren sebagai lembaga pengembangan ilmu pengetahuan agama, khususnya agama Islam. Pada tataran ini, sebagian pondok pesantren boleh dibilang masih lemah dalam penguasaan ilmu dan metodologi. Kecenderungan demikian harus dipikirkan langkah-langkah antisipasinya. Semisal dengan menyusun pola kurikulum yang terencanakan dan sistematis dan dengan target pencapaian yang jelas. Dapat dimafhumi sebagian pondok pesantren dalam sistem pengajarannya masih menggunakan standar acuan kitab-kitab kuning klasik tanpa diubah dan dimodifikasi sistem penyampaian/ pengajarannya meskipun telah menerapkan sistem pendidikan madrasah. Langkah lainnya adalah dengan kembali menggairahkan kegiatan-kegiatan diskusi atau musyawarah, bahtsul masail, dan pola-pola pembelajaran yang dipandang bisa menumbuhkan daya inisiatif, kreatif dan kritis di kalangan para santri.
Ketiga, Pondok pesantren hendaknya mampu menempatkan dirinya sebagai sarana transformasi, motivasi sekaligus inovasi. Kehadiran sebagian pesantren dewasa ini diakui memang telah memainkan perannya dalam fungsi itu, meskipun boleh dikatakan masih dalam tahapan yang perlu dikembangkan lebih lanjut. Karena itu pondok pesantren mesti mengembangkan wawasan pengetahuan agama santri-santrinya dengan mengintegrasikan materi seperti ilmu-ilmu al-Quran, hadits, ushul fiqh, dan lain-lain dengan materi-materi umum seperti sejarah, sosiologi, antropologi, dan seterusnya. Pondok pesantren jangan dibuat terkesan fiqh-oriented, tapi menjadi pusat pengkajian segala macam disiplin ilmu.
Keempat, Sebagai salah satu komponen penting dalam pembangunan sumber daya masyarakat, pondok pesantren juga mesti memiliki kekuatan dan daya tawar untuk melakukan perubahan yang berarti di masyarakat. Seorang santri hendaknya dapat dididik untuk dapat menjadi pionir dalam usaha pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitarnya, bukan malah menjadi beban masyarakat.
Terobosan-terobosan untuk memajukan pondok pesantren memang menjadi suatu konsekuensi dari modernisasi. Namun pondok pesantren juga mempunyai batasan-batasan yang kongkret bahwa pembaruan atau modernisasi yang dilakukan tidak boleh mengubah atau mereduksi orientasi dan idealisme suatu pondok pesantren. Sehingga dengan demikian pondok pesantren tidak sampai terombang-ambing oleh derasnya arus globalisasi, namun justru sebaliknya dapat menempatkan diri dalam posisi yang strategis dan bahkan sebagai kontrol dari dampak negatif globalisasi tersebut banyak hal: standarisasi kurikulum yang harus diterapkan dalam pencapaiannya
kedisiplinan yang harus terus dikonsistenkan
ketegasan pengurus yang wajib dijalankan berdampak pada kedisiplinan muridnya
menyediakan makan, londry yang mana dibagi masing-masing kelompok santri bisa digilir perminggu, hal ini sambil melatih mereka menjadi enterpreneur setelah selesai dari pesantren tentunya dengan standard, kebersihan, kerapian, higienis yang mana sekarang ini masih banyak pesantren kampung yang masih buta kebersihan dan pada umumnya jorok dan mereka tahunya hanya membaca ayat tapi dalam pelaksanaannya tidak diterapkan di pesantren (misal: kebersihan sebagian dari iman-tapi tidak dilakukan)
melatih santri dalam pertanian, peternakan, perikanan yang nantinya sekeluarnya dari pesantren sudah faham menghadapi kehidupannya dan tidak tergantung pada masyarakat namun memberikan kecerahan ekonomi juga jadi tidak cuma menghandalkan ilmu saja dan jadi ustadz tapi juga pengusaha yang mahir, tentunya masing-masing bidang ini ditangani secara profesional. Bayaknya kiai pesantren kuno yang tidak melek informasi dipesantren jadi hasilnya juga tidak maksimal untuk santrinya
harus ada persatuan antar pesantren yang terus menerus ditingkatkan dan tidak individualistis yang banyak dilakukan pesantren kampung.Pesantren semestinya adalah tempat potensial berkembangnya umat namun pengelolaanya kurang profesional dan terlalu fokus mengurusi budaya, atau mempermasalahkan perbedaan antar islam sendiri yang menghambat kemajuannya. padahal Al-Qur'an dan hadits sudah cukup jelas kalau kita mau mengkaji dan mengikutinya. sementara banyak pesantren yang happy dan menikmati warisan nenek moyang yang tidak ada acuannya/sandarannya di Al-Qur'an dan hadits dan mereka masih saja mengkultuskan kyainya..... sehingga kalau sudah menjadi kyai rasanya sudah pesan tempat disurga dan yang lain harus lewat mereka......
Selain hal diatas,menurut penulis,ada baiknya bila insan pesantren yang telah lulus dari pendidikan dan akan ikut berpartisipasi dalam masyarakat,tidak langsung menjadi ustadz atau kyai sebelum melalui suatu ujian khusus bagi mereka.Ini menurut penulis demi untuk tidak menumpuknya usztadz di satu tempat tanpa melihat dan memperhatikan kwalitas keilmuannya.
Namun mungkin untuk yang terakhir ini mesti ada campur tangan dari pemerintah.Dan ada baiknya,bila tempat bagi pengaduan masalah keagamaan seperti depag dan MUI bisa memprakarsai hal tersebut.
Allahu a’lam
 
TARBIYYAH ISLAMIYYAH Copyright © | Template designed by Liza Burhan | SEO by Islamic Blogger Template