Renungan Tarbiyyah
DUNIA PESANTREN
Antara esensi dan eksistensi
Tarbiyyah Islamiyyah
Mukaddimah
Segala puji bagi Allah yang
telah menanamkan hidayah dan bimbinganNya atas hamba yang Dia pilih dengan ilmu
dan petunjuk dariNya.Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah atas
paduka yang terpilih,yang menjadi sebab terjadinya alam semesta serta isinya,
Muhammad bin Abdillah dan atas keluarganya yang suci dan sahabatnya yang mulia,
selanjutnya:
Tidak dapat dipungkiri
bahwa,Pesantren adalah institusi tertua,yang menjalankan fungsi dan peran
sebagai lembaga persemaian ajaran Islam di Indonesia. Sejak kali pertama Islam menginjakkan kaki di nusantara, nampaknya
para mubaligh (penyebar) Islam telah memilih pesantren untuk
menyampaikan ajaran-ajarannya.Ini
tidak terlepas dari strategi para mubaligh tersebut, yang memandang
bahwa penyampaian ajaran Islam ala pesantren lebih efektif, diterima, efisien,
dan mempunyai kelebihan-kelebihan lain dibanding sistem yang lain. Misalnya
dakwah dengan retorika saja, dengan uswah (contoh) saja, atau dengan
pengajian bandungan saja.Pesantren nampaknya mengakomodasi semuanya demi
terwujudnya sebuah sistem pengajaran Islam yang dapat diterima karakter orang
Indonesia dengan Islam yang berwatak
rahmatan li al-alamin (kasih sayang bagi semua makhluk).
Transformasi ilmu pengetahuan,terutama ilmu keIslaman (pendidikan Islam) telah berlangsung sejak masuknya Islam di suatu wilayah di mana Islam mulai diterima, diajarkan dan diamalkan oleh pemeluknya. Demikian halnya yang terjadi di Indonesia (Yunus, 1995: 10). Hasil seminar masuknya Islam di Indonesia yang dilaksanakan di Medan tahun 1963 menginformasikan bahwa Islam masuk Indonesia pada abad I Hijriah atau abad VII Masehi yang dibawa oleh para pedagang dari Arab (Ansari, 1991: 253). Melalui pesantren dan masjid-masjid juga madrasah-madrasah, aspek Islam yang pertama kali dikembangkan atau diajarkan adalah aspek tasawuf yang kemudian disusul aspek fiqih, namun tidak berarti bahwa aspek fiqih tidak penting, mengingat tasawuf yang berkembang di Indonesia adalah tasawuf Sunni yang menempatkan fiqih pada posisi penting dalam struktur bangunan tasawufnya (Azra, 1994: 24-36; Fuad, 2005: 28-29; Nasution, 1985;Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1994: 253-259). Hal ini bisa dipahami dari kurikulum pesantren dan madrasah yang dikembangkan pada waktu itu yang berkisar pada aspek tasawuf, fiqih, kalam, ilmu alat (nahwu, sharaf, balaghah, dan lain-lain), tafsir (al-Qur’an dan hadits), dan sebagainya (Nuruddin dan Tarigan, 2006: 3).
Sejak Islam datang abad ke-7 M, pesantren juga
memulai dakwahnya. Ini berarti sudah 14 abad pesantren memulai dakwahnya di
Indonesia. Dengan perjalanan panjang itu tentunya ditemui hambatan, tantangan,
dukungan dari berbagai elemen masyarakat di Indonesia. Mungkin tantangan
dihadapi dari para pemeluk
agama dan keyakinan yang berbeda, dari elemen tokoh masyarakat setempat,para
penguasa tokoh politik yang berseberangan dan lain sebagainya.Dari berbagai
tantangan yang berasal dari berbagai elemen masyarakat itu,nampaknya pesantren
dapat menyikapinya dan menyelesaikannya tanpa ada gejolak konflik yang berarti.
Artinya pesantren
dilihat dari satu sisi telah teruji
dari berbagai tantangan dan tentangan yang dihadapinya.
Wacana itu mungkin kacamata pesantren pada zaman awal Islam masuk di Indonesia, yang disampaikan oleh para mubaligh unggul yaitu para Sunan yang berjumlah Sembilan orang (Wali Songo), mulai dari Sunan Ampel Raden Rahmatullah sampai periode Sunan Muria. Sikap dan strategi seperti yang dilakukan Wali Songo inilah yang perlu dijadikan qudwah (contoh) oleh para pengelola pesantren di era-era selanjutnya. Mereka menyampaikan ajaran Islam dengan santun, kolaboratif dengan masyarakat, akomodatif, yang mencerminkan misi Rasulullah shallalllahu alaihi wa alihi wa salam yang ketika menyampaikan ajaran Islam dengan berbekal akhlaq al-karimah.
Wacana itu mungkin kacamata pesantren pada zaman awal Islam masuk di Indonesia, yang disampaikan oleh para mubaligh unggul yaitu para Sunan yang berjumlah Sembilan orang (Wali Songo), mulai dari Sunan Ampel Raden Rahmatullah sampai periode Sunan Muria. Sikap dan strategi seperti yang dilakukan Wali Songo inilah yang perlu dijadikan qudwah (contoh) oleh para pengelola pesantren di era-era selanjutnya. Mereka menyampaikan ajaran Islam dengan santun, kolaboratif dengan masyarakat, akomodatif, yang mencerminkan misi Rasulullah shallalllahu alaihi wa alihi wa salam yang ketika menyampaikan ajaran Islam dengan berbekal akhlaq al-karimah.
Amal Fathullah Zarkasyi
dalam buku Solusi Islam mengatakan bahwa Pondok Pesantren merupakan
salah satu bentuk Indigenous Culture yang berarti bentuk kebudayaan asli
bangsa Indonesia. Lembaga pendidikan dengan pola kiai, murid, dan asrama telah
dikenal dalam kisah dan cerita rakyat Indonesia, khususnya di pulau
Jawa.Sebagai lembaga pendidikan Islam yang khas Indonesia, pondok pesantren
mengalami pertumbuhan dan penyebaran pesat sampai ke pelosok pedesaan. Hal ini
didasari oleh ajaran Islam yang bersifat universal, terbuka bagi setiap orang,
serta tersusun dalam naskah dan tulisan yang jelas.
Jadi Pondok Pesantren
menjadi solusi yang tepat dalam dunia pendidikan khususnya di Indonesia, karena
Pondok Pesantren memadukan unsur-unsur pendidikan yang amat penting. Pertama,
ibadah untuk menanamkan iman dan takwa terhadap Allah SWT. Kedua,
tabligh untuk penyebaran ilmu.Ketiga, amal untuk
mewujudkan kemasyarakatan dalam kehidupan sehari-hari.
Di lihat dari perspektif kekinian, permasalahan
dunia tabligh sudah semakin komprehensif. Mulai dari masalah persatuan
umat yang semakin mengkhawatirkan, munculnya aliran-aliran baru yang membuat
dakwah tidak hanya keluar tetapi juga bisa ke dalam (internal) untuk
meluruskan ajaran-ajaran yang sekira dapat membahayakan umat Islam. Juga
masalah sekulerisme, efek dari prinsip hidup materialism dan kapitalism
yang akkhirnya menimbulkan perilaku liberal dalam diri umat Islam.
Masalah materialism inipun pada akhirnya juga membuat ghirah
(semangat) para da’i semakin kurang, dikarenakan segala sesuatu diberi
perspektif materi
dan duniawiah.Masalah
politik yang semakin hari juga terus mendominasi khazanah perdebatan umat Islam
di Indonesia. Untuk itu tantangan dunia Islam Indonesia sekarang ini sudah
sangat berat sekali.Membutuhkan etos (semanagat) dan strategi yang juga komprehensif dalam
menghadapi serta menyelesaikan semua masalah umat ini.
Pesantren dengan berbagai kelebihan dan
kekurangannya dituntut untuk berperan lebih aktif dalam menyelesaikan
problematika umat Islam khususnya di Indonesia. Mulai masalah politik, ekonomi,
sosial, kemiskinan, ketidak adilan, seperti yang telah di praktikkan oleh para
penyebar Islam di Indonesia ketika mengaktualisasikan ajaran Islam dibumi Nusantara ini. Ruh dan
semangat perjuangan yang di praktekkan oleh Wali Songo sebagai model yang patut diteladani, di iringi
dengan penyempurnaan-penyempurnaan disesuaikan dengan kondisi masa kekinian.Taruhlah
dunia modern sekarang ini, pesantren dihadapkan dengan berbagai tantangan
terkait dengan materi pendidikan yang di sampaikan, perkembangan tekhnologi
informasi dan ilmu pengetahuan yang semakin pesat, kebijakan-kebijakan politik
pendidikan, juga masalah hubungan pesantren dengan masyarakat sekitarnya.
Dalam bidang materi ilmu yang disampaikan,
kerapkali terjadi bias. Antara kandungan materi yang di sampaikan dengan
kompetensi yang diharapkan oleh para pengasuh pesantren. Idealisme para
pengasuh pesantren (kyai atau ustadz) santri diharapkan menjadi sosok pejuang
(da’i) yang serba bisa untuk terjun di masyarakatnya masing-masing. Mungkin ada
yang menjadi praktisi pendidikan, politisi, ekonom, pengusaha, dokter, petani
dan lain-lain. Tetapi kandungan materi kurikulum pesantren masih, terikat
dengan madzhab tertentu,
ilmu-ilmu ubudiyah ansich, fiqih dan nahwu. Yang itu semuanya sebenarnya hanya dapat
menyelesaikan problematika umat yang berhubungan dengan sebagian dari ajaran Islam saja, sedang di luar masalah agama,para santri bisa jadi
tidak mampu untuk menyelesaikannya atau bersikap menghindar untuk menyikapinya. Karena dalam
masalah ke-Islaman saja, kadang juga harus melibatkan ilmu-ilmu lain di luar
ilmu keIslaman, untuk menambah pendekatan atau perspektif sehingga
masalah-masalah keIslaman lebih bisa diselesaikan dengan komprehensif. Contoh
yang nyata mungkin adalah untuk menemukan status hukum tentang dunia
perbankan kita, tidak dapat hanya dengan perspektif fiqih saja, melainkan juga
harus melibatkan ilmu-ilmu sosial, ekonomi, praktisi ekonomi, sehingga status
hukum yang diambil dalam ajaran Islam lebih tepat sasaran serta sesuai dengan nilai-nilai keadilan yang menjadi
ruh (esensi) dari transaksi ekonomi Islam itu sendiri.
Berhubungan dengan ilmu managemen,pesantren tidak bisa hanya
mengandalkan seorang figur kyai yang mempunyai banyak keterbatasan sebagai
manusia biasa, tapi juga harus
melibatkan partisipasi elemen masyarakat di luar pesantren. Misalnya para stake
holder yang ada di sekitar pesantren, meliputi pengusaha, politisi atau
pejabat setempat, masyarakat secara umum dan praktisi-paktisi dalam berbagai bidang
kehidupan.Dengan adanya hubungan yang nyata dari berbagai pihak,
pesantren akan lebih mampu melibatkan diri dalam berbagai posisi-posisi
strategis di masyarakat sehingga akan lebih berperan sesuai dengan fungsinya
yang rahmatan lil alamin. Pesantren bisa memposisikan sebagai praktisi
pendidikan, kekuatan politik di masyarakat, sebagai institusi atau simbol
keagamaan yang selalu dinilai luhur oleh masyarakat sekitarnya, dan pesantren
sebagai anggota masyarakat secara umum.
Untuk itu pengelolaan
pesantren dalam perspektif kekinian membutuhkan inovasi (pembaharuan),
akselerasi (penyesuaian) dan kreatifitas oleh berbagai pihak dalam rangka
memperbaiki peran-peran, strategi, muatan materi dan managemen yang diterapkan
di Pesantren, untuk mewujudkan institusi pesantren yang menjalankan
berbagai fungsinya di tengah-tengah masyarakat global. Apalagi kalau
dihadapkan dengan dinamika perpolitikan di Indonesia akhir-akhir ini, kehidupan
kebangsaan dan ketatanegaraan kita seolah-olah juga mengalami perubahan yang
sampai ke sendi-sendinya. Sistem
politik yang mengarah kepada demokrasi liberal memberikan ruang yang sangat
lebar bagi warga Negara Indonesia untuk mengekspresikan aspirasi politiknya.
Akhirnya elemen-elemen masyarakat Indonesia menyampaikan suara politiknya
melalui jalur-jalur partai politik yang di prediksi dapat menerima dan
melaksanakan unek-unek nya. Bagi umat nashara atau kristen katolik menyampaikan aspirasinya kepada
parpol yang sekeyakinan, bagi umat Islam menyampaikan kepada parpol yang mempunyai
jargon Islam, bagi yang nasionalis, juga sama menyampaikan suara politiknya
kepada parpol yang
nasionalis. Tak ketinggalan adalah lembaga Pesantren menyampaikannya kepada parpol yang
nota bene dapat membackup pendidikan pesantren. Untuk kasus yang terakhir pesantren dituntut
untuk jeli dan hati-hati untuk menentukan sikap politiknya. Jangan sampai
pesantren didekati oleh partai-partai politik hanya sekedar untuk dijadikan lumbung
suara, tetapi tidak diimbangi dengan kebijakan-kebijakan politik yang
berpihak kepada pesantren. Sikap politik yang ikhtiyath (hati-hati)
dengan mengakomodasi semua partai politik yang ada, akan lebih bermanfaat dan
dapat menanamkan sikap mengayomi semua golongan, dibanding dengan fanatik pada partai politik
tertentu, tetapi di belakang hari tidak memberikan kemaslahatan kepada umat
Islam secara keseluruhan (kaffah).
Problematika sikap politik pesantren akhir-akhir ini kadang menjadikan lembaga itu menjadi tujuan para pemimpin-pemimpin parpol mencari dukungan dan legitimasi politik untuk mencari simpati umat Islam secara keseluruhan. Semakin besar sebuah pesantren, dengan jumlah santri-alumni banyak, semakin sering pesantren dan pengasuhnya menerima tamu dari parpol-parpol. Tetapi di sisi lain juga akan menimbulkan miss persepsi (kesenjangan pandangan) dari umat Islam awam yang berada di akar rumput (grass root). Mereka akan bingung untuk menetapkan hati kepada panutan figur pesantren yang diikutinya. Kadang pesantren menerima tamu dari parpol nasionalis, kadang agamis atau malah kadang non muslim. Pemikiran orang awam semacam ini adalah wajar, hanya saja melakukan pendidikan politik umat yang diimbangi dengan pencerahan sikap politik yang dibawa oleh pesantren, akan lebih memposisikan pesantren sebagai primadona bagi semua golongan yang ada di Indonesia.
Akhirnya, pesantren dalam konteks sekarang sebenarnya telah menempatkan
dirinya sebagai institusi yang multi talenta.Pesantren dapat
memposisikan diri sebagai lembaga pendidikan, juga bisa masuk ranah politik,
bidang ekonomi, sosial dan lain-lain. Pesantren yang semula hanya sebagai
penyampai ajaran Islam secara formal ubudiyah, nampaknya dengan dinamika
kehidupan pesantren yang dihadapkan dengan berbagai tantangannya,telah
merubahnya menjadi sebuah lembaga yang melaksanakan program-program
pemberdayaan umat dari berbagai bidang. Ini terbukti dengan adanya lembaga
ekonomi di pesantren seperti koperasi, juga Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),
politisi, advokat (praktisi hukum), dokter rumah sakit dalam keluarga
pesantren, tekhnokrat dan lain sebagainya. Semoga dengan paradigma pesantren yang
berubah ini juga diikuti oleh semua elemen masyarakat dalam memberikan
perspektif tentang pesantren,baik oleh kalangan dalam (internal) pesantren sendiri maupun orang-orang yang
berada di luar (eksternal) pesantren.Dengan menjamurnya pondok-pondok pesantren sekarang
ini, berarti membuktikan betapa besarnya peranan pesantren dalam mencetak
kader, membimbing umat dalam rangka mengembangkan sumber daya umat manusia yang
dilandasi oleh iman dan takwa, yang bertujuan menciptakan manusia-manusia yang
jujur, percaya diri dan bertanggung jawab dalam mengemban misi dakwah Islam,
dengan dedikasi tinggi untuk menegakkan perjuangan Li’ilai Kalimatillah.
Sehingga pesantren yang
umurnya sudah tua itu menemukan relevansinya dalam memberikan kontribusi kepada
kehidupan umat Islam di Indonesia secara khusus, maupun umat Islam secara
keseluruhan, atau bahkan memberikan manfaat bagi seluruh alam, Rahmatan Li
Al-Alamin. Wa Allu A’lamu
Bi Al-Shawab.
Wassalam,penyusun
Cianjur,selasa 21 Jumadil
Awwal 1437
01 Maret 2016
Prakata
Pada era globalisasi, umat
Islam sedang dihadapkan dengan krisis pendidikan, ekonomi, sosial, budaya,
politik, teknologi, dan lainnya. Proses identifikasi akar persoalan penyebab
umat Islam mengalami krisis dan kemunduran telah dibahas oleh para
pemikir Muslim dan kaum cendikiawan. Menurut Abdul Hamid Sulayman, akar
penyebab krisis yang dialami oleh umat ini sejatinya tidak berakar pada
persoalan ekonomi, politik atau tekhnologi,tapi akarnya adalah terjangkitnya
umat Islam dewasa ini dengan krisis intelektualisme atau pemikiran “Crisis
of thought” (Abdul Hamid Abu Sulayman ,A Crisis of Muslim Mind).
Sebenarnya, permasalahan
krisis intelektualisme atau pemikiran ini bersumber dari pola pendidikan,
karena sejatinya pemikiran adalah hasil dari sebuah pendidikan. Krisis
pemikiran merupakan akibat dari problem pendidikan.
Penyebab ‘kemunduran’ umat
Islam.
Syakib Arsalan menulis buku
berjudul “Limadza Taakharal Muslimun wa Limadza Taqaddama Ghairuhum?”
(Mengapa Kaum Muslimin Mundur dan Kaum non Muslim Maju?) terbit pertama
kali pada 1349 H. Dalam bukunya, beliau menjelaskan kemajuan umat Islam
pada masa awal penyebarannya terjadi karena perubahan sikap bangsa Arab dan
kabilah-kabilahnya setelah menerima cahaya Islam yaitu seruan Rasulallah
shallallahu alaihi walaihi wa salam.Mereka dengan sungguh-sungguh mengikuti dan
mentaatinya. Islam menjadikan mereka dari terpecah-belah dan bercerai-berai
menjadi satu, dari sifat keras hati menjadi lunak, ramah tamah dan kasih
sayang, dan dari penyembah berhala menjadi penyembah Allah SWT.
Selanjutnya, beliau
menjelaskan bila kaum Muslimin berilmu dan beramal, maka sunnatullah akan
memberikan kemuliaan atau pertolongan (nashr) kepada kaum Muslimin.
Sebaliknya jika umat Islam tidak berilmu dan beramal, maka umat Islam akan
mundur. Syakib Arsalan menyatakan, agar bangsa-bangsa Muslim ini mulia, maka
perlu berjihad dengan harta dan jiwa. Sesuai firman Allah SWT yang
artinya: “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan
harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.” (QS. at-Taubah 111).
Syakib Arsalan juga
mengatakan diantara sebab-sebab lain mundurnya umat Islam adalah karena
kebodohan umat, akhlak yang buruk yang meliputi sifat penakut, pengecut, cinta
dunia (hubbu dunya) dan takut mati (karahiyatul maut), juga
banyaknya ulama su’ (buruk). Selain itu sebab pokok lainnya adalah
kebejatan moral dan kerusakan budi para pemimpin. Kebodohan ini menjadi
sebab utama penyebab kemunduran umat Islam. Oleh karena itu, pendidikan adalah
solusinya.
Dari paparan di atas dapat
ditarik beberapa kesimpulan bahwa, Pertama akar penyebab krisis
yang dialami oleh umat ini sejatinya tidak berakar pada persoalan ekonomi,
politik atau tekhnologi melainkan akar permasalahannya terletak pada pendidikan.
Di sisi lain masyarakat atau bangsa saat ini berada dalam arena persaingan (competition)
dalam segala bidang, dan kompetisi ini hanya mungkin dihadapi bila semua warga
bangsa menyadari kewajibannya. Dan untuk menumbuhkan kesadaran itu, langkahnya
adalah dengan pendidikan. Kedua, penyebab
lain mundurnya umat Islam ini karena lemahnya semangat persatuan,
solidaritas dan loyalitas dikalangan umat Islam itu sendiri. Sebab-sebab
lainnya adalah karena kebodohan umat, akhlak yang buruk yang meliputi sifat
penakut, pengecut, cinta dunia (hubbu dunya) dan takut mati (karahiyatul
maut), juga banyaknya ulama su’ (buruk). Ketiga, persoalan
yang mendasar yang menyebabkan mundurnya pendidikan kita adalah karena
terjadinya krsisi pemikiran yang parah sehingga jadi sebab hilangnya unsur ruhaniyah
dan ‘ubudiyyah baik dalam diri anak didik
maupun diri pendidiknya. Persoalan ini menjadi persoalan yang sangat
mendasar.Hilangnya unsur tersebut berakibat pada bergesernya nilai pendidikan. Keempat,
sebagai solusi dari permasalahan pendidikan diatas Pondok Pesantren perlu
tampil untuk menanamkan iman dan taqwa terhadap Allah SWT, menyebarkan ilmu,
dan mewujudkan amal shalih dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Selain daripada hal
tersebut, kita perlu pula mengkaji ulang sebab sebab kemunduran ummat Islam
dengan kajian yang menyeluruh (kully/universal) tidak secara terpotong potong
(juz’y/parsial),sehingga kita akan bisa berharap untuk mencarikan obat yang
sesuai dengan ‘penyakit’ yang diderita umat sekarang ini.Karena..........
Seorang dokter yang salah diagnosa, akan salah pula memberi therapi.
Bila ummat Islam salah memahami proses kemundurannya, maka mereka
akan salah pula dalam mencari cara-cara menuju kebangkitannya"
Kalau
kita mencoba melakukan analisis atas kwalitas suatu ummat, tak terkecuali ummat
Islam, maka kita harus menetapkan dulu tolok ukurnya, agar tak salah bila kita
katakan suatu ummat itu maju atau mundur, dan bila mundur, kita juga tahu
bagaimana seharusnya, atau ke mana langkah menuju perbaikan.
Kwalitas
ummat terbaik dapat ditemui pada generasi Nabi,generasi sesudahnya
(Tabiin) dan generasi sesudahnya lagi (Tabiit-Tabiin).(HR Bukhari,dan lainnya).
Kwalitas
itu diukur dengan kriteria yang uniq, yakni pada aktivitasnya
dalam menyuruh yang ma'ruf dan mencegah yang mungkar (QS Ali Imran:110).
Tugas ini memerlukan type-type manusia muttaqin, mereka yang hanya
takut kepada Allah saja.Dan tidak bisa dipungkiri, bahwa jumlah "muttaqin
per kapita" yang terbanyak adalah di zaman Nabi.
Di zaman
sesudahnya, jumlah ini makin menurun secara berangsur-angsur, meskipun wilayah
Islam dan populasi muslim terus membesar, dan karya-karya peradaban baik dalam
ilmu-ilmu agama maupun dalam iptek dan kesenian terasa menuju "masa
keemasan"-nya. Dalam konteks materialisme seperti pada budaya Barat,
memang kwalitas suatu bangsa biasa diukur dari produk peradaban (iptek,
kesenian, arsitektur, etc).Namun dalam konteks Islam, ukuran yang standard
adalah kontribusi bangsa itu dalam amar ma'ruf nahi munkar.Jadi peradaban
sesungguhnya hanyalah alat semata.Motivasi amar ma'ruf nahi munkar-lah yang
pernah membawa ummat Islam untuk menciptakan peradaban yang maju, karena
berlaku prinsip: "APA YANG DIPERLUKAN UNTUK MEMENUHI YANG FARDL,
HUKUMNYA JUGA FARDL".
Bila kita
analisis, maka proses kemunduran ummat Islam itu secara singkat bisa dibagi
dalam tiga tahapan:
1. Kekaburan
Fikrah Islamiyah (=ide atau fikiran)
2. Kekaburan
Thariqah Islamiyah (=methode mewujudkan ide)
3. Kekaburan
Relasi antara Fikrah dan Thariqah.
1
Kekaburan Fikrah Islamiyah
a.
Merebaknya Mitos
Kekaburan
fikrah mulai terjadi sejak dini (abad 2 H), saat derap perluasan wilayah Islam
kurang terimbangi dengan derap pewarisan fikrah Islam.Akibatnya,berbagai
bangsa yang tadinya hidup dalam mitos dan filsafat serta mistik Yunani/Mesir,
Persia atau India, tidak segera membuang mitos/filsafat/mistik itu dari alam
fikirnya, melainkan mencoba "mengawinkannya dengan Islam" atau dengan
kata lain: "mengislamkan mitos" dan "memitoskan Islam".
Contoh
dari mitos ini banyak sekali. Kita tahu, dalam semua ajaran lain,
keyakinan dasarnya selalu berasal dari mitos, atau suatu aksioma dasar
yang tidak bisa dilacak secara rasional. Bangsa yang tadinya penganut
mitos itu, ketika beralih ke Islam, pun memandang aqidah Islam sebagai
mitos. Pribadi Rasul berubah dari sosok manusia yang bisa ditiru setiap
muslim (uswatun hasanah) menjadi sosok keramat yang
supranatural.Bahkan belakangan,seorang 'alim yang aslinya hanyalah ilmuwan atau
pakar, yang dalam ijtihadnya bisa benar maupun salah,tiba-tiba dipandang
sebagai "orang suci" yang tidak mungkin salah,sebagaimana orang-orang
Kristen memandang Paus atau orang-orang Hindu memandang Sri Bhagawan.
Ketika
seseorang bisa menjadi "kult-figur" karena mitos, maka orang-orang
yang ada penyakit di hatinya berlomba untuk juga memiliki posisi di sana.
Mereka melegitimasi diri di depan orang-orang yang tidak tahu dengan ayat-ayat
Qur'an yang diselewengkan tafsirnya, atau dengan hadits-hadits yang dhaif atau
palsu. Maka muncullah bid'ah (hal baru dalam agama yang tidak
berdasar) di mana-mana.
b.
Pengabaian Bahasa Arab
Kekaburan
fikrah ini makin dipercepat tatkala bahasa Arab tidak lagi
dipelihara.Hingga berakhirnya masa khilafah Abbasiyah, islamisasi selalu
dilakukan bersama-sama dengan "arabisasi". Dengan itulah, maka
orang-orang yang berpotensi dari seluruh dunia Islam, meskipun berasal dari
etnis bukan Arab, bisa memberikan kontribusinya yang besar pada Islam.
Bahasa Arab klasik sebagai bahasa Qur'an, yang memang paling kaya di
antara bahasa-bahasa di dunia, menjadi bahasa internasional, bahasa silaturahmi
ummat Islam, dan bahasa ilmu pengetahuan Islam.Tak ada suatu kata yang tidak
bisa diungkapkan dalam bahasa Arab.
Adalah
keputusan yang fatal dari suatu masa khilafah Utsmaniyah,ketika mereka
memutuskan untuk meninggalkan tradisi tersebut, dengan alasan, agar Islam lebih
mudah "diserap" tanpa barier bahasa Arab. Namun akibatnya, di
negeri-negeri yang belum berbahasa Arab, bahasa Arab menjadi "hak
istimewa" selapis kecil kaum terpelajar saja, sedangkan bagi ummat, khazanah
ilmu yang luar biasa, yang selama itu hanya ada dalam bahasa Arab, menjadi
tertutup.
c.
Surutnya Ijtihad
Akibatnya,
ketika faktor bahasa Arab menjadi barier, maka ijtihad tidak lagi dikerjakan
dengan cukup. Padahal ummat Islam hanya bisa terus menerus menghadapi
zaman,bila mereka terus menerus berijtihad. Sedangkan ijtihad hanya bisa
dikerjakan dalam bahasa Arab klasik.Lalu ketika sebagian orang nekad
berijtihad tanpa bekal yang memadai, timbullah berbagai "fatwa
nyleneh", sehingga beberapa penguasa pada zaman itu merasa perlu untuk
"menutup pintu ijtihad". Suatu keputusan berniat baik namun
gegabah dan justru memperburuk suasana.
Karena
ijtihad tidak lagi dikerjakan, maka persoalan baru tampak menjadi musykil
dipecahkan dengan Islam. Maka ummat Islam pun mulai mengambil solusi dari
luar Islam. Mulai abad 17 (abad 11 H) sejalan dengan invasi Barat ke
negeri-negeri muslim, ummat Islam mengambil sistem ekonomi kapitalis dan sistem
hukum & politik sekuler, meskipun mereka masih "menguji" agar
"tidak bertentangan dengan Islam". Namun kekaburan ini sudah
terlanjur menjadi,dan ummat Islam tidak lagi kritis, bahwa sistem asing yang
diimpornya itu didasarkan pada mitos. Bahkan lambat laun mereka cukup
fanatik pada sistem asing itu, karena telah ada seseorang yang juga sudah
dimitoskan yang melegitimasi (mensahkan) nya.
2
Kekaburan Thariqah Islamiyah
Islam
bukanlah ajaran yang memberikan sekedar ide, melainkan juga menunjukkan metode
untuk mewujudkan ide tersebut, yang dikenal dengan term "thariqah".
Bila kita telaah,semua perintah-perintah ilahi selalu termasuk fikrah
(=ide) atau thariqah (=metode), dan tak ada perintah fikrah tanpa
thariqah, atau thariqah tanpa fikrah.
Sebagai
contoh, "Berimanlah" adalah perintah fikrah. Perintah thariqah
yang berkaitan dengan ini adalah hal-hal yang menyangkut pengamatan alam serta
melakukan pemikiran rasional yang menjadi landasan iman,dan perlindungan iman
termasuk jihad serta hukuman mati bagi orang-orang yang murtad.
Contoh
lain, "Jiwamu, Hartamu dan Kehormatanmu adalah suci" adalah perintah fikrah. Perintah
thariqah yang berkaitan adalah perlindungan atas kesucian itu, seperti
fasilitas kesehatan, polisi, pengawas pasar, peradilan keluarga, dan juga
termasuk hukuman bagi pelanggaran atas tindak pidana yang terkait.
Kekaburan
atas thariqah Islamiyyah bisa dibagi dalam tiga tahap:
a.
Kendurnya Jihad
Pada
awalnya ummat Islam sadar bahwa hidup mereka dipersembahkan untuk Islam serta
untuk memanggul dakwah Islam, dan ini berarti termasuk jihad al-qital (perang
fisabilillah), agar tak ada lagi fitnah di muka bumi sehingga agama itu hanya
untuk Allah belaka (QS Al Baqarah:193).
Dan
karena jihad memerlukan persiapan yang matang, maka otomatis kaum muslimin
menyiapkan tubuh yang sehat dan kuat, keluarga yang intakt, negara yang adil,
ekonomi yang mapan, IPTEK yang maju dan ibadah yang khusyu'. Jihad
sebagai alat dakwah sekaligus menjaga kaum muslimin agar selalu menjadi ummat
terbaik di muka bumi (khairu ummat) agar ummat lain yakin,bahwa ajakan kepada
Islam memang akan membawa mereka menjadi maju, adil, makmur dan diridhoi
Allah.Bila mereka perlu contoh,maka silakan melihat sendiri fakta di Daarul
Islam. Saat itu, adakah negara yang lebih baik dari Daarul Islam? Inilah dakwah
yang sangat meyakinkan.
Namun
lambat laun, bersamaan dengan kekaburan fikrah,maka orientasi ummat
Islam mulai bergeser. Di satu sisi,sebagian ummat lebih cenderung untuk
"meresapi kehidupan religi" yang disalahtafsirkan sebagai "Jihad
Qubra", sebagaimana tampak dalam ribuan sekte-sekte "sufi" yang
menjauhi jihad serta amar ma'ruf nahi munkar.Di sisi lain, sebagian ummat lebih
cenderung "menikmati rejeki Allah" dengan hidup lux, walaupun dari
rejeki yang halal.Yang jelas, jihad mulai redup.Dan dakwah mulai dikerjakan
"sambil lalu". Ini yang menjelaskan, mengapa dakwah ke Asia
Tenggara praktis tanpa jihad, walau tetap pantas dikagumi, bahwa "dakwah
sambil lalu" dari para pedagang itu toh masih memiliki kemampuan yang
tinggi untuk mendesak suatu ajaran lama.Namun fikrah yang masuk sudah
tidak sejernih dakwah pada generasi awal Islam.
b.
Lenyapnya Daulah Khilafah
Ketika kwalitas
ummat semakin redup, maka semakin turun pulalah kontrol atas kekuasaan sesuai
pepatah Arab ("Pemimpinmu itu sebagaimana kamu"). Daulah
khilafah, meski saat itu masih ada dan diakui ummat Islam di seluruh dunia,
namun kekuasannya mulai terbatas sekedar sebagai simbol persatuan spiritual,
sedangkan di mana-mana mulai tampil raja-raja monarki, yang meskipun masih
memerintah dengan Islam, namun tak lagi sepenuhnya menyemangatkan
"Jama'atul Islamiyah" (=negara dunia Islam) melainkan "Jama'atul
Qaumiyah" (=negara kebangsaan). Akibatnya, potensi ummat Islam mulai
tidak menyatu menjadi sinergi yang luar biasa. "Take care" ummat
Islam di suatu wilayah atas penderitaan ummat Islam di wilayah lain tinggal
sebatas pada doa dan sedekah yang tidak seberapa, karena khilafah tidak lagi
kuat untuk menjalankan fungsi baik komando maupun koordinasinya.Di samping itu,
bahasa Arab sebagai bahasa pemersatu mulai kurang dipahami oleh ummat Islam
sendiri,karena kurang dipelihara.
c.
Lepasnya Bumi Islam
Ketika
khilafah mulai lemah, sementara fikrah sudah sangat kabur, maka relatif
mudah bagi bangsa Barat untuk invasi dengan menggunakan politik devide et
impera. Antar raja-raja muslim karena semangat qaumiyahnya mulai gampang
dihasut dan diadu domba. Maka Barat menjanjikan bantuan pada salah satu
pihak, dengan imbalan wilayah.Para penguasa muslim tidak lagi sadar,bahwa
adalah haram hukumnya meminta perlindungan pada orang-orang kafir,dan
perselisihan antar kaum muslimin harus dicarikan penengah yakni dari khalifah.
Namun apa daya ketika khilafah sendiri mulai lemah?
Maka satu
demi satu bumi Islam mulai lepas ke tangan penjajah.Dan mulailah, sedikit demi
sedikit penjajah memasukkan sistem kufur dalam kehidupan, dan menggeser sistem
Islam.Proses ini makin dipercepat ketika kalangan elit muslim juga
terpengaruh fikrahnya, apalagi melihat Barat secara material/fisik berada di
atas angin.
Ketika di
abad-20 bumi Islam diberi kemerdekaan kembali - karena desakan politik (pseudo)
anti imperialisme dari Uni Soviet maupun Amerika Serikat, sehingga
kolonialisme gaya lama menjadi tidak "in" lagi, sistem yang berlaku
pada mereka, serta fikrah yang lazim pada mereka,sudah sangat
terkontaminasi dengan produk-produk mitos Barat. Sementara khilafah, sebagai
simbol persatuan ummat Islam, pun sejak 1924 secara formal sudah tidak ada
lagi.
3
Kekaburan Relasi Fikrah-Thariqah
Bila di
kesempatan yang lalu kita sama-sama melihat secara terpisah bahwa bidang fikrah
maupun thariqah sama-sama terserang "penyakit", maka lepasnya
kaitan antara fikrah dan thariqah lebih mempercepat lagi proses
tersebut,atau setidaknya,mempersulit proses penyembuhannya.Ibarat seorang
pasien penyakit jiwa yang juga mengalami penyakit jasmani, maka mestinya
penanganannya dilakukan secara holistis ("menyeluruh"), dan tidak
sepotong-sepotong, karena kestabilan jiwa juga tergantung pada kesehatan jasmani,
dan demikian pula sebaliknya.
Kekaburan
atas hal tersebut dapat kita ringkas pada tiga sebab,yaitu:
a.
Disintegrasi Studi Islam
Pada
awalnya, kaum muslimin mempelajari Islam secara menyeluruh.Prioritas
mempelajari ilmu tidak tergantung dari subyeknya, namun semata dari hukum
syar'i amal/ prakteknya (fardl-mustahab-mubah). Suatu amalan yang fardl,maka
semua ilmu yang terkait pun fardl.Maka ketika jihad fardl, iptek pendukung
jihad pun fardl. Demikianlah, ketika studi Islam dikerjakan dengan benar,
tak ada dikotomi antara so called "ilmu agama" dengan "ilmu
dunia", tidak ada pemisahan antara hukum warits dengan aljabar, atau ilmu
sholat dengan astronomi, atau hukum perkawinan dengan seksologi dan lainnya.
Namun
lambat laun, sejalan dengan merebaknya mitos dan melemahnya ijtihad, kaum
muslimin lebih berkonsentrasi pada ilmu-ilmu "ide" namun mengabaikan
ilmu-ilmu yang berkaitan dengan metode pelaksanaan ide-ide tersebut. Maka
mereka memusatkan diri pada peraturan ibadat ritual (sholat/puasa) atau
tentang nikah dan cerai;namun mengabaikan misalnya peraturan tentang
jihad,khilafat,lembaga peradilan dan sistem ekonomi Islam.Belakangan,sistem
peradilan bahkan dipisah menjadi peradilan sistem (al-qadhi an-Nizhami) yang
menjalankan hukum positif (non Islam) yang berkaitan dengan pidana,ekonomi,tata
negara dan sebagainya;dan peradilan agama (al-qadhi as-Syar'i) yang cuma
mengurusi keluarga (nikah, cerai, waris). Hukum Islam tidak lagi
dijadikan pegangan untuk semua jenis peradilan.
Mereka
mempelajari Islam berlawanan dengan metode yang diperlukannya.
Sebelumnya, fiqh selalu dipelajari secara praktis, yang sesuai
masalahnya akan dijalankan oleh individu,keluarga atau negara sebagai organ
exekutif.Pada awalnya, fiqh berkembang di tangan para mujtahid yang
diikuti oleh qadli (=hakim), sehingga masalah yang dibahasnya selalu relevan
dengan realita. Maka ketika syari'ah tidak lagi dijadikan pegangan dalam
menetapkan hukum positif, mulailah ia jauh dari realita. Fiqh Islam
didegradasi menjadi aspek teoritis-moral saja.Ia tidak lagi menjadi alat untuk
memberikan solusi bagi permasalahan sehari-hari ummat,dan para ahlinya
diturunkan jabatannya menjadi sekedar penceramah atau missionaris yang
membosankan masyarakat dengan khutbahnya yang selalu berulang-ulang,tanpa bisa
melahirkan suatu energi yang produktif. Ujung-ujungnya, studi Islam dianggap
"melangit" dan tidak "membumi".
Akhirnya,pemuda-pemuda
yang cerdas dari ummat Islam pada umumnya akan lebih condong pada studi yang
lebih praktis seperti tekhnologi, kedokteran, ataupun "ilmu-ilmu
sistem" yang dipakai, seperti ekonomi atau hukum positif,meskipun tidak
berasal dari Islam.Dan sebaliknya, studi Islam tinggal ditekuni oleh mereka
yang secara umum "second class", walaupun tetap ada satu dua orang
yang gemilang, sebagai pengecualian. Sementara itu, secara
keseluruhan,ummat menganggap studi Islam sebagai fardlu kifayah,
dan gugurlah kewajiban mereka bila telah ada orang yang mengerjakannya.Padahal
mestinya,setiap muslim yang dewasa dan berakal sehat, fardlu ‘ain
untuk mengetahui segenap peraturan Islam yang diperlukan dalam hidupnya
sehari-hari,karena ia diwajibkan untuk senantiasa beriorientasi pada perintah
dan larangan Allah.Hanya ijtihad untuk istinbath (menurunkan) hukum
syar'i dari Qur'an dan Sunnah yang fardlu kifayah.
Akibatnya,spiral
kemunduran studi Islam makin menjadi-jadi.Mereka yang akhirnya secara formal dianggap
"pakar" dalam studi Islam, sering tidak lagi kompeten untuk
mengajukan Islam sebagai solusi permasalahan aktual.Bahkan tidak jarang, orang
yang hanya mengenal Islam sepotong-sepotong, dengan mudah dijadikan masyarakat
sebagai "tokoh Islam", yang didengar ucapannya,dan diikuti
pendapatnya,sehingga hanya kesesatan dan penyesatan yang akhirnya terjadi.
b.
Evolusi Islam
Akibat
"the wrong man on the wrong place" ini, yang sering ada
bukannya "Islam meluruskan masyarakat" namun "Islam disesuaikan
dengan masyarakat". Karena ummat tidak mengetahui lagi metode
menjalankan ide-ide asli Islam,maka Islam dicoba untuk ditafsirkan kembali agar
konform/sesuai dengan "semangat zaman".Yang dimasuki tidak cuma
aspek-aspek hukum parsial,namun bahkan ushul fiqh yang fundamental.Maka
timbullah prinsip-prinsip nyeleneh seperti "Fiqh itu mengikuti tempat dan
waktu", atau "Tradisi itu boleh menjadi sumber hukum", atau "Hukum
boleh dihapus demi kemaslahatan",dan sebagainya.Bahkan tidak jarang,mimpi
ataupun contoh kehidupan / pengalaman pribadi seorang tokoh muslim kontemporer
dijadikan hujjah.
Mereka
mulai menghalalkan bunga dengan alasan itu perlu untuk uang yang mengalami
inflasi atau untuk mengisi kas anak yatim (=ada maslahat). Pelacuran,
judi atau konsumsi khamr mulai tidak dijauhi habis-habisan namun justru
ditolerir secara terbatas dengan istilah "lokalisasi".Kerjasama
dengan negara perampok (Israel) dikatakan halal dengan alasan tidak ada
mimpi yang melarangnya.Dan muslimah difatwakan tidak usah berjilbab karena
istri sang tokoh juga tidak berjilbab.
Dan
karena "semangat zaman", maka semua hukum Islam yang lain pun
disesuaikan agar cocok dengan ideologi modern,entah itu kapitalisme,marxisme,
sekulerisme / demokrasi, dan sebagainya.Bahkan mereka menganggap "ada
demokrasi dalam Islam" atau "ada kapitalisme dalam Islam".
Mereka tidak lagi mampu melihat mitos-mitos yang ada di balik isme-isme modern
itu,sehingga menganggap asas musyawarah sebagai demokrasi, pasar bebas sebagai
kapitalisme, dan toleransi madzhab sebagai sekularisme.
Bahkan
mereka anggap, syi'ar Islam bisa "ditinggikan" atau
"disempurnakan" dengan slogan-slogan nasionalisme, demokrasi, hak asasi
manusia, dan lainnya. Mereka berpikir, dengan itu, Islam bisa ditampilkan
dengan wajah yang lebih "ramah".Namun pada hakekatnya,Islam justru
semakin jauh dari kehidupan. Andaipun nama Islam tampil, ia tak lebih sekedar
sebagai "agama yang diakui negara", "agama negara" atau
sekedar kenyataan bahwa "kekuasaan ada di tangan mereka yang mengaku
muslim". Dan ummat umumnya tanpa sadar sudah puas, bahwa kini mereka
tidak lagi diperhamba oleh penjajah kafir, namun oleh "penjajah muslim".
Maka mereka menghentikan usaha untuk hanya diperhamba oleh Allah atau oleh
hukum-hukum Allah saja.
c.
Terpojok di Sudut Defensif
Ketika fikrah
Islam sudah sangat redup, mitos sudah merajalela, orang menjadi mu’min tidak
karena berpikir tetapi karena ikut-ikutan keturunan/lingkungan, khilafah
sebagai methode menerapkan Islam di masyarakat tidak exist lagi, bahkan
masyarakat semakin asing dari ajaran Islam yang murni karena studi Islam
ditangani oleh orang-orang yang bukan ahlinya, yang tidak meluruskan masyarakat
namun justru merubah Islam, di saat yang sama datang serangan yang telak dari
orang-orang kafir: MENYUDUTKAN ISLAM.
Musuh-musuh
Islam sadar, bahwa tidak mungkin menghancurkan Islam dan ummatnya dengan
kekuatan senjata.Karena itu, mereka berupaya terus menerus tanpa
henti,untuk minimal membuat Islam dan ummat Islam tidak lagi berbahaya bagi
kepentingan mereka. Andaikata ummat Islam masih tegar seperti pohon yang
sehat dan berakar dalam, maka niscaya badai topan sebesar apapun akan dengan
tatag dihadapinya. Namun kini,ketika akar sang pohon telah lapuk, maka terpaan
angin sepoi-sepoi saja bisa membuatnya rubuh.
Maka
ummat Islam dewasa ini umumnya kelimpungan,ketika dikonfrontasikan dengan
berbagai ajaran Islam yang ada dalam Qur'an atau Sunnah sendiri. Mereka tidak
bisa menerangkan,mengapa Islam memerintahkan memotong tangan pencuri,atau mengapa
warisan bagi lelaki 2 kali wanita,atau bahwa seorang lelaki boleh menikahi
sampai 4 istri, atau bahwa dalam Islam ada perintah jihad, dan sebagainya.
Ketika orang-orang kafir mengkritik hal itu sebagai prilaku barbarian, bertentangan
dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia, atau Islam itu fanatik dan agresif,
ummat Islam umumnya hanya bisa membela diri dengan terbata-bata. Mereka mencoba
untuk menafsirkan kembali Islam, sekedar agar musuh-musuhnya puas,dan
kritikan mereka mereda.
Mereka
katakan, perintah memotong tangan pencuri itu hanya metaforis.Mereka katakan
juga, bahwa sekarang ini warisan harus dibagi sama,karena wanita muslim
sekarang sudah sama derajatnya.Tentang polygami, mereka katakan,sebenarnya di
Qur'an diharamkan,karena manusia tidak mungkin berlaku adil.Dan tentang
jihad, mereka katakan jihad itu hanya dilakukan bila ummat Islam diserang
(defensif).
Aduhai,betapa
jauhnya tafsiran-tafsiran "modern" ini dengan ajaran Islam yang
murni.Karena dalam Sunnah-nya,Rasulullah telah menunjukkan sendiri bahwa beliau
memotong tangan pencuri,bahwa beliau menikahi banyak wanita,dan bahwa jihad
yang dilakukan ummat Islam melawan Persia atau Romawi, sama sekali bukan jihad
ketika ummat Islam diserang.Dan ajaran Islam merupakan risalah terakhir yang
diturunkan Allah di muka bumi, sehingga tetap berlaku hingga hari kiamat.
Maka betapa anehnya tafsiran-tafsiran baru, yang mungkin dilakukan dengan "niat
baik", namun hasilnya malah justru memporak-porandakan ajaran Islam yang
murni. Kesalahan tafsir yang fatal ini terjadi,karena ummat Islam
memisahkan antara fikrah dan thariqah, karena semua hukum yang
dihujjat tadi, memang tidak akan bisa jalan sendiri-sendiri, melainkan hanya
berfungsi dalam rangkaian metode yang tepat, dalam suatu negara yang islami,
dalam suatu Daulah Khilafah.
Spiral
kemunduran berputar semakin cepat,ketika orang-orang yang ditokohkan
berlomba mencari pembenaran atas perilakunya, sehingga banyak rakyat jelata
yang karena kebingungan akhirnya memutuskan untuk beramai-ramai melepaskan
kepercayaannya pada para ulama,termasuk ulama yang shaleh. Bahkan mereka yang
semula gembira dengan type ulama ini,karena merasa bisa "ngerti
bahasanya",lambat laun akan dihadapkan dengan sejumlah besar
kontradiksi.Dan akhirnya sama saja: makin jauh dengan ulama.
Ummat
yang masih tersisa ghirahnya pada Islam mencoba langsung mempelajari Islam dari
sumbernya: Qur'an dan Sunnah.Namun mereka lupa, bahwa untuk itu diperlukan
seperangkat bekal,baik ilmu bahasa Al-Quran (bahasa Arab klasik) maupun ilmu
Fiqh dan Ushul Fiqh. Karena mereka maju tanpa bekal ini, mereka akan
terbentur ke sana ke mari.Akhirnya kalau tidak terjerumus ke extremitas yang
satu (menganggap yang hukum Islam itu cuma fardl semua dan yang lain haram
semua),maka akan terpuruk ke extremitas lainnya (menolak memakai hadits,karena
terlalu was-was dengan hadits yang "tidak jelas", dan ujung-ujungnya
meragukan Qur'an,karena tanpa penjelasan dari hadits,Qur'an mustahil dipahami
dengan benar).
Maka tak
heran, ummat Islam sekarang hanya sensitif bila sisa-sisa rasa agamanya
diganggu. Mereka menjadi bersikap menunggu (re-aktif) dan tidak berani memulai
(pro-aktif). Mereka justru menghindari untuk dikenal sebagai muslim,karena
ini berarti harus menghadapi berbagai pertanyaan yang tidak bisa dijawabnya.
Dan di masyarakat di mana muslim mayoritas, mereka hanya sensitif bila ada
kristenisasi, namun "cuek" bila hukum-hukum kafir diberlakukan di
atasnya.Bahkan mereka marah,bila ada orang yang berbeda madzhab shalat agak
lain dengan mereka (misalnya tidak baca qunut), namun tenang-tenang saja,ketika
harus bermuamalah dengan riba,atau harus mendidik anak dengan pola pendidikan
dan kurikulum sekuler,yang notabene adalah produk kafir.
Ummat
Islam akhirnya tersudut di pojok defensif. Jarang dari mereka yang berani
mengambil inisiatif untuk menelanjangi berbagai ideologi kafir yang didasarkan
pada mitos, entah mitos demokrasi (dalam politik), mitos pertumbuhan (dalam
ekonomi), maupun mitos HAM (dalam sosial). Tidak ada lagi dakwah
offensif sebagaimana yang dilakukan Rasulullah shallallahu alaihi wa
alihi wa salam dan para pengikutnya terdahulu.
Hasilnya
memang tepat seperti yang diinginkan musuh-musuh Islam.
Islam
kini tinggal akhlaq - tanpa jihad,
Islam kini
tinggal ibadah (ritual) - tanpa syari'ah,
Islam
kini boleh menyinari rumah, tapi bukan pasar, pabrik atau bank,
Islam
kini boleh menguasai masjid, tapi tidak menguasai kantor,
Islam
kini boleh bicara tentang akherat, tapi tidak tentang negara,
Islam yang
boleh disanjung adalah Islamnya para pertapa shufi, dan bukan Islamnya umara'
yang zuhud, ulama faqih yang zuhud, aghniya' yang zuhud atau mujahidin yang
zuhud.
Islam
yang tidak mampu menolong ummatnya sendiri, baik di Bosnia, Palestina, Chechnya
atau Sudan, apalagi menolong dunia dari disorientasi kehidupan, dari AIDS, dari
kerusakan lingkungan, dari kesewenang-wenangan para kapitalis di era
globalisasi.
dan
Qur'an boleh didendangkan di MTQ, dan bukan di Pengadilan,
dan
Qur'an boleh dibacakan pada orang mati, bukan pada orang hidup,
dan
Qur'an boleh diajarkan di pesantren, dan bukan di universitas,
dan
Qur'an boleh untuk menghitung pembagian zakat, namun bukan untuk membagi
kekayaan alam dengan adil,
dan seterusnya
yang terlalu panjang untuk dikatakan.
Inilah,
Islam semakin jauh dari kehidupan, dan Ummat Islam semakin mundur, meskipun
kadang mereka merasa "ada kebangkitan", ketika melihat masjid penuh,
MTQ semarak, dan para pejabat berlomba naik haji.Namun mereka bingung,ketika melihat
ketidakadilan tetap saja langgeng,dan korupsi, kolusi serta manipulasi malah
justru semakin menjadi.
Ibarat
orang yang sudah sakit parah, Ummat Islam tidak disembuhkan, tidak dioperasi
atau diberi antibiotik, namun hanya diberikan valium,yaitu “Valium Islam”.
Dan inilah realita yang sangat pahit.Adakah obatnya? Pasti,bukankah untuk
setiap penyakit,Allah telah menyiapkan obatnya.Masalahnya hanya apakah kita
cukup tekun berikhtiar serta belajar dari ayat-ayat,baik kauny maupun qur’any,sehingga
penyelidikan kita akhirnya sampai ke sana?????.
* * * * *
Wassalam.............................
Persoalan Jauhari
pendidikan masa kini.
Pada pertengahan abad ke-19
terjadi penjajahan besar besaran ke dalam dunia Islam. Hampir tidak ada satupun
negara Muslim yang lepas dari cengkraman penjajah ini. Penjajahan tidak hanya
merampas kekayaan alam bangsa-bangsa Muslim. Penjajahan juga meliputi berbagai
dimensi dan nilai, dari sisi pendidikan, politik, budaya, ekonomi, masyarakat,
bahkan agamapun menjadi sasaran penjajahan. Penjajahan bertujuan mengubah
sistem yang ada, dari sistem syariah Islam menjadi sistem sekuler Barat.
Dampaknya, penjajahan ini pun masuk dalam ranah pendidikan yang berujung pada
pendidikan sekuler. Padahal pendidikan adalah benteng terakhir.
Tantangan yang dihadapi
oleh dunia pendidikan saat ini begitu kompleks. Mulai dari sisi ledakan
informasi yang serba mudah dan cepat,tekhnologi canggih, industrialisasi,
globalisasi dan liberalisasi, dan etika moral, hingga tuntutan masyarakat
terhadap dunia pendidikan semakin tinggi. Ini berimbas kepada penyelenggara
dunia pendidikan saat ini, yang mana mereka dituntut agar dapat mengeluarkan output
(anak didik) seperti keinginan masyarakat, yang mampu bersaing (survive) dalam
berbagai kondisi. Terkadang untuk meraih hal tersebut, penipuan pun dilakukan.
Beberapa kasus menunjukkan banyak sekolah yang untuk mengejar target lulus 100%
mengatrol nilai hasil raport anak didik mereka. Pengelola pendidikan membantu
jawaban kepada anak didik ketika proses ujian berlangsung. Kejujuran dan
tanggung jawab sudah tidak diindahkan lagi. Padahal, pemerintah
menggalakkan program pendidikan karakter.
Nirwan Syafrin, seorang
intelektual Muslim kontemporer, menjelaskan persoalan mendasar yang menyebabkan
mundurnya pendidikan kita adalah karena hilangnya unsur ruhaniyah
dan ‘ubudiyyah baik dalam diri anak didik
maupun diri pendidiknya.
Hilangnya unsur ruhaniyah
dan ‘ubudiyyah ini pada jiwa anak didik dan pendidik akan
menyebabkan pergeseran makna dan nilai pendidikan. Lembaga pendidikan tidak
lagi berorientasi pada Akhlak,Adab dan Iman,tapi pada secarik kertas yang
bernama ijazah. Sehingga dengan kondisi seperti ini, lembaga pendidikan
telah beralih fungsi, yang awalnya mencetak kader-kader bangsa yang berakhlak
mulia bergeser menjadi “robot” bernama manusia. Jadi, unsur ruhaniyah
dan ‘ubudiyyah dalam pendidikan bagaikan ruh yang menggerakkan semua
aktifitas pendidikan. Dan ruh itu bisa berwujud niat yang ikhlas, yang hanya
mengharap ridha Allah SWT. Ruh inilah yang harus selalu ditanamkan dan
ditumbuhkan dalam jiwa-jiwa setiap pendidik.
KH R Zainuddin Fananie
dalam bukunya Pedoman Pendidikan, menjelaskan bahwa pendidikan itu
adalah sebuah jawaban atas persoalan universal umat manusia. Pendidikan
merupakan usaha (ikhtiar) mencari hasil yang akan menjadi isi peti
harapan dikemudian hari, pendidikan pun adalah cara berinvestasi bagi
masa depan. Pendidikan bukan hanya terbatas pada apa yang dilakukan oleh
guru-guru sekolah atau ibu bapak didalam rumah tangga saja. Namun, pendidikan
yang dimaksud meliputi segala aktifitas yang mempengaruhi kebaikan dan
perbaikan jiwa manusia semenjak kecil hingga dewasa. Bahkan bagi mereka yang
sudah tua pun masih melakukan kegiatan pendidikan. (KH R Zainuddin Fannani, Pedoman
Pendidikan Islam).Dengan pendidikan, kehidupan manusia akan dipenuhi
kebaikan sebenar-benarnya. Pendapat ini sesuai dengan pendapat al-Ghazali,
bahwa pendidikan dimaksudkan agar manusia dekat dengan Tuhannya. Sedangkan
az-Zarnuji dalam bukunya Ta’limul Muta’allim menekankan perlunya
aspek-aspek agama dalam pendidikan. Dan ini tidak akan terwujud tanpa adanya
kerjasama yang sinergis (saling topang) dari semua pihak.
Pesantren adalah sebuah
lembaga yang merupakan wujud proses wajar perkembangan sistem pendidikan
nasional yang telah menunjukkan eksistensinya selama berabad-abad,sekaligus
lembaga pendidikan yang memiliki pengaruh besar terhadap masyarakat pedesaan
secara khusus, sehingga jangan heran bila ada banyak tokoh yang dilahirkan dari
pesantren baik tokoh Negarawan, Sastrawan, dan Cendikiawan. Pesantren juga
merupakan lembaga pendidikan yang mempunyai andil besar dalam merebut kemerdekaan
indonesia, ketika penjajah jepang mengeluarkan intruksi militernya untuk
menutup semua pendidikan buatan belanda, yang hal ini akan berakibat pada
buruknya pendidikan indonesia yang baru tahap pengenalan terhadap ilmu
pengetahuan, pesantren tampil sebagai lembaga pendidikan alternatif yang tetap
eksis mentranformasikan nilai-nilai Islam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Peran Pesantren
Dilihat dari posisi Pesantren dari dahulu sampai
sekarang. Pesantren sangat memberi pengaruh besar dalam mempengaruhi kondisi
masyarakat yang ada disekitarnya. Sehingga peribahasa mengatakan jika Pesantren tak ada, maka
umat seperti
anak ayam yang kehilangan induknya yang tak menentu arah, kemana dia akan melangkah, yang
akhirnya dia hanya melihat dan melangkah pada hal yang tak jelas dan tak menentu arah.Sering
kita dengar bahwa Pesantren adalah nafasnya umat Islam,sehingga dengan berhenti atau ditutupnya Pesantren atau lembaga
pendidikan Islam berarti berhentinya nafas kehidupan umat.Yang akhirnya,
tinggal menunggu kapan kehancurannya. Fenomena ini tidak akan pernah berubah
jika kita tidak mau mengantisipasinya mulai dari diri sendiri, dari hal yang
terkecil, dan mulai dari sekarang.Jika kita tinjau dari sejarah,maka telah tercatat
bahwa berdirinya pesantren di nusantara bersamaan dengan mulai masuk dan
menyebarnya ajaran islam ke negeri ini. Selama
keberadaanya itu, pesantren
telah memiliki peran yang sangat besar bagi perkembangan umat Islam Indonesia.
Bila ditinjau dari peranannya,Pesantren mempuyai
tiga peranan yang sangat besar dan strategis yang selalu dimainkan lembaga
pendidikan ini, yaitu:
Pertama,
Pesantren adalah lembaga pencetak kader cendikiawan (ulama) Islam.
Sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam, selama ini
Pesantren dikenal sebagai pencetak para ulama handal di Indonesia. Ini terkait
dengan misi utama Pesantren sebagai lembaga pencetak thâ`ifah mutafaqqihîna
fiddîn (para ahli agama). Tak terhitung jumlahnya ulama yang telah lahir
dari Pesantren,seperti
KH.Hasyim Asy’ari,KH. Ahmad Dahlan dan lainnya. Mereka adalah sebagian kecil dari para alumni
Pesantren yang menjadi ulama besar dikemudian hari.
Salah satu ciri khas ulama lulusan Pesantren
adalah, mereka bukan hanya memiliki ilmu yang luas tapi juga akhlak yang
tinggi. Karena akhlak merupakan inti dari sebuah pendidikan yanng tentunya hal ini terkait dengan metode pendidikan
yang dikembangkan oleh sang
kyai di Pesantren.
Pendidikan Pesantren ini tidaklah semata-mata untuk
memperkaya pikiran santri dengan penjelasan ilmiah, tetapi juga untuk meninggikan moral,
melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan
kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan bermoral, dan
menyiapkan murid untuk hidup sederhana dan bersih hati. Setiap murid
diajar untuk menerima etika (peraturan moral) agama di atas etika-etika lain.
Tujuan utama dari
pendidikan Pesantren ini, bukanlah untuk mengejar kepentingan kekuasaan, uang
dan keagungan duniawi, tetapi ditanamankan kepada mereka bahwa belajar adalah
semata-mata kewajiban dan pengabdian kepada Allah.
Kedua,Pesantren
adalah pusat penyebaran Islam.
Karena Pesantren berhasil mencetak para ulama yang
sekaligus juru da’wah. Maka tidak heran, kalau kemudian Pesantren juga
menjadi pusat penyebaran Islam. Para santri yang sudah lulus, kemudian banyak
berkelana untuk menda’wahkan Islam hingga ke pelosok-pelosok tanah air.
Ketiga, Pesantren adalah
pemelihara kehidupan keberagamaan umat dan benteng budaya.
Disamping memberikan pelajaran kepada para
santrinya, Pesantren juga biasanya membuka pengajian umum untuk masyarakat
sekitar. Sehingga disamping sebagai lembaga pendidikan, Pesantren juga
berfungsi sebagai tempat umat Islam bertanya. Tidak hanya masalah keagamaan,
tapi juga masalah-masalah kehidupan lainnya. Karena peranan pemimpin Pesantren
(kyai) selalu diharapkan untuk menjadi komponen pengayom masyarakat dari
tingkat bawah sampai
tingkat atas.
Oleh karena itu,selama ini Pesantren juga dikenal sebagai
pemelihara kehidupan keberagamaan umat Islam, khususnya yang berada disekitar
lokasi Pesantren tersebut. Hal ini juga diakui oleh para peneliti Barat semacam
Van den Berg, Snouck Hurgronye dan Clifford Geertz. Setelah melakukan
penelitian terhadap Pesantren, mereka betul-betul menyadari tentang pengaruh
kuat dari Pesantren dalam membentuk dan memelihara kehidupan sosial, kultural,
politik dan keagamaan
masyarakat.
Catatan:
Inilah tiga karakter pesantren pada zamannya dahulu.Lalu,apakah kita mau
belajar dari sejarah wahai tuan,atau akan tetap dengan segala keegoan dan
kejumudan yang telah membatu dalam jiwa kita?/?/??
Selain itu sistem
pendidikan yang dikembangkan di pesantren adalah sistem pendidikan yang penuh
kelenturan dan memiliki spektrum luas, melampaui batas-batas pesantren itu
sendiri, proses pembelajaran dan pendidikan di pesantren serta pengambangan
intlektualitas dan spiritualitas menyatu dalam kerangka nilai-nilai yang diyakini
pesantren.Perkembangan pesantren cukuplah pesat, bila dihitung akan didapat
ribuan pesantren yang ada di seluruh Indonesia, hal ini disebabkan karena
kebanyakan seorang santri apabila pulang kedaerah asalnya akan membangun sebuah
lembaga pendidikan yang sistemnya tidak jauh berbeda (sama) dengan sistem
pendidikan dimana ia belajar (pesantren
asal).
Namun pertambahan jumlah
pesantren yang menjamur tidak lantas menjadi gambaran dari kejayaan pesantren
itu sendiri tapi menjadi masalah baru bagi perkembangan pesantren terkait
dengan ketidak jelasan visi dan misi pesantren, sehingga pesantren hanya megah
secara fisik saja sedangkan secara intlektual tidak sama sekali. Sebuah keadaan
pesantren yang sangat berbeda dengan masa awal berdirinya kemarin,maka dari itu
potret pesantren saat ini mulai memudar, pesantren mulai tidak relevan,out-put
yang lahir dipesantren tidak mampu melakukan apa-apa, jangankan untuk melakukan
sebuah perubahan di masyarakat (menjadi pemimpin dalam skala besar),memimpin dirinya
sendiri saja mengalami kesulitan karena dirinya tidak memiliki bekal untuk
menjawab setiap tantangan zaman, sehingga mereka menjadi manusia yang tidak
berguna sekaligus menjadi sampah di masyarakat.Potret pesantren saat ini tak
ubahnya seperti kapal kecil tak bermesin dengan biduk yang rapuh, tak berlayar,
penuh dengan penumpang di tengah terjangan gelombang Globalisasi, sehingga
secara perlahan pesantren semakin kehilangan kendali dan perannya dalam
masyarakat,oleng dan hampir tenggelam. Jika dibiarkan maka pesantren akan
tenggelam, kejayaannya di masa lalu hanya akan tinggal sejarah yang akan jadi
dongeng sebelum tidur.Coba saja kita lihat nilai-nilai pesantren sudah mulai
hilang dan terlupakan.Nilai-nilai ciri khas pesantren seperti kesederhanaan, keikhlasan,
kemandirian sudah mulai hilang terganti dengan paham-paham baru yang di
hembuskan oleh orang-orang barat dengan tekhnologinya yang semakin maju.Jika
kemarin pesantren merupakan lembaga pendidikan yang tidak hanya berfungsi
sebagai proses tanformasi keilmuan namun juga sebagai media tranformasi
moralitas, namun saat ini pesantren tak lebih sebagai lembaga yang mempunyai
potensi yang signifikan dalam hal mengembangkan komunitas hedonis dan kapital
yang baru, nilai-nilai yang di junjung tinggi oleh pesantren mulai di
tinggalkan dan dilupakan. Perilaku santri sudah tidak mencerminkan lagi sosok
yang sederhana, mandiri, ikhlas, namun justru sebaliknya santri masa kini telah
menjadi sosok yang pragmatis, mengedepankan serta mengukur segala hal dengan materi,yang
dibarengi dengan arogansi,kumuh dan ta’ashub.Lalu dimanakah letak kesalahan
itu? Dapatkah pesantren bangkit dan tetap eksis serta mengembalikan nilai-nilai
kepesantrenannya sekaligus bisa kembali mencetak kader-kader yang jempolan
sebagaimana hari kemarin??.
Apakah Pesantren itu?
Istilah Pesantren secara etimologi berasal dari
kata santri. Dengan ditambah awalan pe dan akhiran an menjadi
pesantrian,lalu
dilafalkan
menjadi “Pesantren” yang berarti
tempat tinggal para santri.Istilah
santri sendiri ada yang mengatakan berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru
ngaji.Namun
yang jelas,kata santri merupakan peralihan dari kata çantrik,yang
berarti murid yang selalu mengikuti gurunya dalam sebuah paguron yang dipimpin
oleh seorang resi pada masa hindu dahulu. Dan menurut c.c.berg,istilah tersebut
berasal dari kata shastri yang berarti orang yang yang tahu buku
buku suci agama hindu atau sarjana ahli kitab suci hindu.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam nusantara selalu diidentikan dengan lima ciri berikut:
1.kyai
2.santri
3.masjid/mushalla
4.pondok/asrama
5.pengajian kitab kuning
Perkembangan dan kemajuan masyarakat Islam Nusantara, tidak mungkin
terpisahkan dari peranan pesantren. Pesantren dengan bermacam historisnya telah
dianggap sebagai lembaga pendidikan yang mengakar kuat dari budaya asli bangsa
Indonesia. Kehadiran pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam, kini semakin
diminati oleh banyak kalangan, termasuk masyarakat kelas menengah atas. Hal ini
membuktikan lembaga ini mampu memberikan solusi terhadap kebutuhan pendidikan
anak-anak mereka. Tetapi banyak kalangan yang beranggapan bahwa pesantren
adalah lembaga pendidikan yang kuno, anti akan perubahan, atau hanya
sebatas tempat rehabilitas anak-anak nakal. Tentunya hal ini merupakan
suatu tantangan bagi pesantren dalam era modern.
Pendidikan Pesantren memang menyimpan karakter yang
cukup khas, tidak hanya dalam sistemnya, tetapi juga dalam perannya.Tujuan utama
Pendidikan Nasional menitik beratkan pada peningkatan ketaqwaan kepada Tuhan
YME, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat
kebangsaan dan cinta tanah air, dimana hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan
Islam baik secara sosiologis maupun filosofis. Namun tujuan utama dari
pendidikan nasional itu masih terbentur tembok besar bernama ‘fakta’ dan ‘realita’
yang menunjukkan kwalitas lulusan lembaga pendidikan masih belum mencapai
tujuan utama dari Pendidikan Nasional. Oleh karena itu tidak sedikit orang
berpikir bahwa "sekolah saja" tidak mungkin dapat diandalkan untuk
mendidik manusia secara utuh.
Banyak yang mengeluh bahwa akhlak dan prilaku pelajar
dewasa ini cenderung merosot dengan berbagai bentuk tindakannya yang merisaukan
banyak pihak. Karena itu, patut dipikirkan kemungkinan "pesantren
masuk sekolah".
Disinilah lembaga pendidikan pesantren pasti akan
diuji eksistensinya seputar ihwal apakah mampu menjadi alternatif dari
kebuntuan tersebut. Serta akan semakin mengukuhkan kemampuan pesantren dalam
mewujudkan kualitas manusia Indonesia seutuhnya.
Catatan:Mari
kita bersama mengoreksi diri masing masing,jangan hanya dapat menunjuk hidung
orang lain atau bangga dengan amal perbuatan orang yang tidak akan memberikan
manfaat dan mudlarat bagi kita.Mari kita mulai dari diri kita sendiri,lalu
keluarga kemudian tetangga terdekat dan akhirnya masyarakat luas,sebagai
saudara seiman.
Bila
ada suatu kritik walau bagaimana tajamnya kepada dunia pesantren kita,hendaklah
tidak ditanggapi dengan sikap emosional dan apriori tapi tanggapi dengan arif
dan rasional.Sikap anti atau kebal kritik tersebut memang saya lihat sebagai
bentuk over confidence yang menjadi salah satu penyakit yang sukar disembuhkan
dalam diri santri.
Dalam pandangan saya, kritik yang di lontarkan oleh mereka terhadap
pesantren boleh dibilang benar, meskipun tidak bisa dibenarkan
seluruhnya. Kita tidak bisa menghindar dari kenyataan, bahwa kita memang
ketinggalan jauh dari mereka. Ketertinggalan ini bukan bersumber dari disiplin
keilmuan yang kita miliki, melainkan berasal dari ketidakmampuan kita
mengkontekstualisasikan dan mengaktualisasikan serta mempraktikkan apa yang
kita pelajari di pesantren. Tambahan pula, watak eksklusifisme santri yang
tidak mau menerima pengetahuan apapun yang berasal dari luar pesantren juga
ikut memberikan pengaruhnya.
Jika melihat sejarah, bukankah para ulama pendahulu kita dahulu tidak alergi menerima apapun bentuk pengetahuan yang berasal dari luar Islam. Terbukti, Imam Al Ghazali faham sekali filsafat Aristoteles dan Plato,yang membuat ia berani menyalahkan pendapat Ibnu Syna cs yang terpengaruh filsafat-filsafat Yunani. Dan jangan lupa, ilmu Ushul Fiqh yang kita pelajari di pesantren, juga merupakan pengaruh dari filsafat Yunani yang bertendensi pada rasionalitas.
Saat ini yang menjadi tantangan masyarakat dunia adalah ketidak adilan, penindasan, permasalahan gender, ketimpangan ekonomi dan problem-problem sosial lainnya yang memerlukan perhatian serius. Saya bertanya, pernahkah santri memperhatikan masalah-masalah ini? Pernahkah santri memberikan kontribusi pemikiran terhadap penyelesaian masalah Aceh dan Ambon? Pernahkah santri memberikan pemecahan terhadap permasalahan disintegrasi bangsa? Pernahkah santri memberikan solusi terhadap problem kenakalan remaja dan penyalahgunaan narkoba yang merupakan problem sosial yang sangat akut? Pernahkah santri memberikan solusi terhadap penanganan korupsi yang telah menghancurkan sendi-sendi perekonomian bangsa? Pernahkah santri memperhatikan bagaimana caranya mensejahterakan orang-orang yang hidupnya di kolong-kolong jembatan, di emperan-emperan toko? Pernahkah santri mengusulkan bagaimana cara meningkatkan ekonomi rakyat kecil, bagaimana konsep ekonomi yang memihak pada rakyat kecil? Saya fikir, hingga kini santri belum pernah menyentuh isu-isu global semacam itu.
Saya pernah membaca sebuah soal bahtsul masail “Jakarta merupakan daerah dataran rendah, karenanya sering terjadi banjir yang menyebabkan resiko kematian sangat tinggi, pertanyaanya, bagaimana cara mengubur mayit pada tempat yang tergenang air?”
Menurut saya, persoalan yang lebih besar dari cara mengubur mayit dalam kondisi seperti disebutkan adalah bagaimana cara mengatasi problem banjir agar tingkat kematian bisa di minimalisasi. Setidaknya ini merupakan satu indikasi bahwa wacana fiqh pesantren masih berbicara pada aspek yang bersifat partikular dan parsial serta masih berkutat dalam persoalan normatif. Alangkah lebih baik jika kita melangkah lebih jauh, yaitu dengan mendorong fiqh ke spektrum permasalahan yang lebih luas, sebab jangkauan fiqh sangat universal dan menjamah setiap aspek kehidupan. Tidak ada satu permasalahan pun yang tidak tersentuh oleh fiqh.
Karena itu, saya mengharapkan agar ada pembenahan dalam wacana intelektual kita. Jika kita masih saja berkutat pada persoalan parsial-partikular, maka apa yang kita bahas dan kita putuskan tentunya hanya bermanfaat bagi sebagian orang saja, tidak untuk seluruh umat manusia. Jika pembahasan kita hanya memutuskan bagaimana mengubur mayit pada tempat yang tergenang air, pastinya keputusan hukum yang dihasilkan bermanfat hanya untuk mayit, paling besar untuk keluarga si mayit. Tapi jika kita membahas bagaimana fiqh mengatasi tingginya angka kematian akibat banjir,ini bermanfaat sekali tentunya untuk semua manusia.
Selanjutnya, hendaknya santri mulai menghilangkan sikap eksklusif dan jumud. Kita jangan beranggapan bahwa semua yang berasal dari luar adalah buruk. Ingat, Islam mengalami masa keemasan setelah bersentuhan dengan peradaban luar. Kemudian pengetahuan dari luar tersebut diolah secara kreatif oleh para ulama untuk dikembangkan hingga menjadi berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan. Secara tidak langsung, ilmu pengetahuan Islam sebagian besar tidak murni berasal dari islam, yang berasal dari Islam hanyalah pokok-pokoknya saja, lalu pokok-pokok tersebut di kembangkan ke dalam berbagai disiplin. Umat Islam tidak mungkin bisa mengembangkan pokok-pokok tersebut tanpa ada proses interaksi dengan pengetahuan dari luar . Wallahu A’lam
Jika melihat sejarah, bukankah para ulama pendahulu kita dahulu tidak alergi menerima apapun bentuk pengetahuan yang berasal dari luar Islam. Terbukti, Imam Al Ghazali faham sekali filsafat Aristoteles dan Plato,yang membuat ia berani menyalahkan pendapat Ibnu Syna cs yang terpengaruh filsafat-filsafat Yunani. Dan jangan lupa, ilmu Ushul Fiqh yang kita pelajari di pesantren, juga merupakan pengaruh dari filsafat Yunani yang bertendensi pada rasionalitas.
Saat ini yang menjadi tantangan masyarakat dunia adalah ketidak adilan, penindasan, permasalahan gender, ketimpangan ekonomi dan problem-problem sosial lainnya yang memerlukan perhatian serius. Saya bertanya, pernahkah santri memperhatikan masalah-masalah ini? Pernahkah santri memberikan kontribusi pemikiran terhadap penyelesaian masalah Aceh dan Ambon? Pernahkah santri memberikan pemecahan terhadap permasalahan disintegrasi bangsa? Pernahkah santri memberikan solusi terhadap problem kenakalan remaja dan penyalahgunaan narkoba yang merupakan problem sosial yang sangat akut? Pernahkah santri memberikan solusi terhadap penanganan korupsi yang telah menghancurkan sendi-sendi perekonomian bangsa? Pernahkah santri memperhatikan bagaimana caranya mensejahterakan orang-orang yang hidupnya di kolong-kolong jembatan, di emperan-emperan toko? Pernahkah santri mengusulkan bagaimana cara meningkatkan ekonomi rakyat kecil, bagaimana konsep ekonomi yang memihak pada rakyat kecil? Saya fikir, hingga kini santri belum pernah menyentuh isu-isu global semacam itu.
Saya pernah membaca sebuah soal bahtsul masail “Jakarta merupakan daerah dataran rendah, karenanya sering terjadi banjir yang menyebabkan resiko kematian sangat tinggi, pertanyaanya, bagaimana cara mengubur mayit pada tempat yang tergenang air?”
Menurut saya, persoalan yang lebih besar dari cara mengubur mayit dalam kondisi seperti disebutkan adalah bagaimana cara mengatasi problem banjir agar tingkat kematian bisa di minimalisasi. Setidaknya ini merupakan satu indikasi bahwa wacana fiqh pesantren masih berbicara pada aspek yang bersifat partikular dan parsial serta masih berkutat dalam persoalan normatif. Alangkah lebih baik jika kita melangkah lebih jauh, yaitu dengan mendorong fiqh ke spektrum permasalahan yang lebih luas, sebab jangkauan fiqh sangat universal dan menjamah setiap aspek kehidupan. Tidak ada satu permasalahan pun yang tidak tersentuh oleh fiqh.
Karena itu, saya mengharapkan agar ada pembenahan dalam wacana intelektual kita. Jika kita masih saja berkutat pada persoalan parsial-partikular, maka apa yang kita bahas dan kita putuskan tentunya hanya bermanfaat bagi sebagian orang saja, tidak untuk seluruh umat manusia. Jika pembahasan kita hanya memutuskan bagaimana mengubur mayit pada tempat yang tergenang air, pastinya keputusan hukum yang dihasilkan bermanfat hanya untuk mayit, paling besar untuk keluarga si mayit. Tapi jika kita membahas bagaimana fiqh mengatasi tingginya angka kematian akibat banjir,ini bermanfaat sekali tentunya untuk semua manusia.
Selanjutnya, hendaknya santri mulai menghilangkan sikap eksklusif dan jumud. Kita jangan beranggapan bahwa semua yang berasal dari luar adalah buruk. Ingat, Islam mengalami masa keemasan setelah bersentuhan dengan peradaban luar. Kemudian pengetahuan dari luar tersebut diolah secara kreatif oleh para ulama untuk dikembangkan hingga menjadi berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan. Secara tidak langsung, ilmu pengetahuan Islam sebagian besar tidak murni berasal dari islam, yang berasal dari Islam hanyalah pokok-pokoknya saja, lalu pokok-pokok tersebut di kembangkan ke dalam berbagai disiplin. Umat Islam tidak mungkin bisa mengembangkan pokok-pokok tersebut tanpa ada proses interaksi dengan pengetahuan dari luar . Wallahu A’lam
Metode
pembelajaran pesantren
Pesantren dewasa ini telah banyak menyesuaikan dengan
tuntutan zaman dalam pembelajarannya seperti kurikulum yang banyak mengikuti
anjuran pemerintah. Walaupun,masih banyak pesantren yang tetap memegang teguh
sistem pembelajaranya yang lama.
1.
Metode
Tradisional
Sebagai lembaga pendidikan,pondok pesantren (walaupun
banyak kalangan menyatakan sebagai lembaga pendidikan tradisional) memiliki
sistem pengajaran tersendiri,dan itu menjadi ciri khas sistem pengajaran dari
sistem-sistem pengajaran yang dilakukan di lembaga pendidikan formal.
Metode-metode tersebut diantara lain adalah:
A. Sorogan
Sorogan, berasal dari kata sorog (bahasa Jawa), yang
berarti menyodorkan,sebab setiap santri menyodorkan kitabnya di hadapan kyai
atau asisten kyai pertanyaan atau sanggahan yang dikemukakan.Hal lain yang
dinilai adalah pemahaman terhadap teks bacaan, juga ketepatan peserta dalam
membaca dan menyimpulkan isi teks yang menjadi persoalan atau teks yang menjadi
rujukan.Metode ini merupakan cara untuk santri mengenali mufradat (kosakata)
bahasa Arab.
B. Bandongan
Bandongan atau juga disebut wetonan, istilah weton ini
berasal dari kata wektu (bhs. Jawa) yang berarti waktu, sebab pengajian
tersebut diberikan pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum dan atau sesudah
melakukan shalat fardlu.Metode weton ini merupakan metode kuliah, dimana para
santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kyai yang
menerangkan pelajaran secara kuliah,santri menyimak kitab masing-masing dan
membuat catatan padanya.Istilah weton ini, di Jawa Barat disebut dengan
bandungan, merupakan cara penyampaian kandungan kitab kuning di mana
seorang guru, kyai, atau ustadz membacakan dan menjelaskan isi kitab kuning
sementara santri mendengarkan, memberi makna, dan menerima. Dalam metode ini,sang
guru berperan aktif sementara murid bersifat pasif. Metode bandongan atau
wetonan dapat bermanfaat ketika jumlah murid cukup besar dan waktu yang
tersedia relatif sedikit, sementara materi yang harus disampaikan cukup banyak.
C. Halaqoh
Sistem ini merupakan kelompok kelas dari sistem
bandongan.Halaqah arti bahasanya adalah lingkaran . Sekelompok siswa
yang belajar dibawah bimbingan seorang guru belajar bersama dalam satu tempat
dan membentuk lingkaran. Halaqah ini juga merupakan diskusi untuk memahami
isi kitab,tapi bukan untuk mempertanyakan kemungkinan benar salahnya apa-apa
yang diajarkan oleh kitab,namun hanya untuk memahami apa maksud yang diajarkan dalam
kitab tersebut.
D. Hafalan
Metode hafalan yang diterapkan di pesantren-pesantren,
umumnya dipakai untuk menghafal kitab-kitab tertentu atau juga sering dipakai
untuk menghafal al-Qur`an, baik surat-surat pendek maupun secara keseluruhan.
Biasanya santri diberi tugas untuk menghafal beberapa bait dari salah satu
kitab, dan setelah beberapa hari baru dibacakan di depan kyai atau ustadnya.
Hafalan adalah sebuah metode pembelajaran yang mengharuskan murid mampu
menghafal naskah atau syair-syair dengan tanpa melihat teks yang disaksikan oleh
guru. Metode ini cukup relevan untuk diberikan kepada murid-murid usia
anak-anak,tingkat dasar, dan tingkat menengah.
2.
Metode
Modern
Namun ada juga beberapa pondok pesantren yang tidak
lagi menggunakan metode klasik dalam pembelajarannya di kelas, layaknya sekolah
modern saat ini yang mengggunakan metode modern seperti:
A.
Demonstrasi
Metode demonstrasi adalah metode yang menggunakan
peraga dalam pembelajaranya untuk memberikan pemahaman lebihi pada siswa.
B.
Kerja Kelompok
Metode ini dilakukan bila ustadz merasa perlu
membagi-bagi peserta didik dalam kelompok untuk menyelesaikan masalah dan
dikerjakan secara bersama-sama dalam kelompoknya.
C.
Problem
Solving
Metode ini suatu metode pembelajaran yang
mengedepankan peserta didik untuk mencari dan menyelesaikan suatu permasalahan
tertentu. Metode ini bukan hanya metode pembelajaran saja namun juga merupakan metode
berfikir.
Walaupun demikian pesantren sampai sekarang masih
banyak yang mempertahankan metode klasik tersebut, dan itu menjadi lambang
supremasi serta ciri khas metode pengajaran di Pondok Pesantren.Selain
metode-metode diatas masih banyak lagi metode pembelajaran yang digunakan dalam
pesantren.Hanya saja model model tersebut adalah yang menjadi pegangan umum
dunia pesantren.
Pada ahirnya tergantung kepada kita, apakah mau menganggap semua arus
globalisasi ini dipukul rata dengan istilah negatif atau positif. Justru dari
sinilah kita dapat mengambil pelajaran yang sangat berharga dalam kedewasaan
pola pikir umat dan cenderung lebih beranggapan bersikap picik dalam memandang
suatu probelamatika umat.Allahu a’lam
Sekian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar