Renungan Tarbiyyah II








Renungan Tarbiyyah

DUNIA PESANTREN
Antara esensi dan eksistensi



Tarbiyyah Islamiyyah





Mukaddimah
Segala puji bagi Allah yang telah menanamkan hidayah dan bimbinganNya atas hamba yang Dia pilih dengan ilmu dan petunjuk dariNya.Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah atas paduka yang terpilih,yang menjadi sebab terjadinya alam semesta serta isinya, Muhammad bin Abdillah dan atas keluarganya yang suci dan sahabatnya yang mulia, selanjutnya:
Tidak dapat dipungkiri bahwa,Pesantren adalah institusi tertua,yang menjalankan fungsi dan peran sebagai lembaga persemaian ajaran Islam di Indonesia. Sejak kali pertama  Islam menginjakkan kaki di nusantara, nampaknya para mubaligh (penyebar) Islam telah memilih pesantren untuk menyampaikan ajaran-ajarannya.Ini tidak terlepas dari strategi para mubaligh tersebut, yang memandang bahwa penyampaian ajaran Islam ala pesantren lebih efektif, diterima, efisien, dan mempunyai kelebihan-kelebihan lain dibanding sistem yang lain. Misalnya dakwah dengan retorika saja, dengan uswah (contoh) saja, atau dengan pengajian bandungan saja.Pesantren nampaknya mengakomodasi semuanya demi terwujudnya sebuah sistem pengajaran Islam yang dapat diterima karakter orang Indonesia dengan Islam yang berwatak rahmatan li al-alamin (kasih sayang bagi semua makhluk).

Transformasi ilmu pengetahuan,terutama ilmu keIslaman (pendidikan Islam) telah berlangsung sejak masuknya Islam di suatu wilayah di mana Islam mulai diterima, diajarkan dan diamalkan oleh pemeluknya. Demikian halnya yang terjadi di Indonesia (Yunus, 1995: 10). Hasil seminar masuknya Islam di Indonesia yang dilaksanakan di Medan tahun 1963 menginformasikan bahwa Islam masuk Indonesia pada abad I Hijriah atau abad VII Masehi yang dibawa oleh para pedagang dari Arab (Ansari, 1991: 253). Melalui pesantren dan masjid-masjid juga madrasah-madrasah, aspek Islam yang pertama kali dikembangkan atau diajarkan adalah aspek tasawuf yang kemudian disusul aspek fiqih, namun tidak berarti bahwa aspek fiqih tidak penting, mengingat tasawuf yang berkembang di Indonesia adalah tasawuf Sunni yang menempatkan fiqih pada posisi penting dalam struktur bangunan tasawufnya (Azra, 1994: 24-36; Fuad, 2005: 28-29; Nasution, 1985;Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1994: 253-259). Hal ini bisa dipahami dari kurikulum pesantren dan madrasah yang dikembangkan pada waktu itu yang berkisar pada aspek tasawuf, fiqih, kalam, ilmu alat (nahwu, sharaf, balaghah, dan lain-lain), tafsir (al-Qur’an dan hadits), dan sebagainya (Nuruddin dan Tarigan, 2006: 3).
Sejak Islam datang abad ke-7 M, pesantren juga memulai dakwahnya. Ini berarti sudah 14 abad pesantren memulai dakwahnya di Indonesia. Dengan perjalanan panjang itu tentunya ditemui hambatan, tantangan, dukungan dari berbagai elemen masyarakat di Indonesia. Mungkin tantangan dihadapi dari para pemeluk agama dan keyakinan yang berbeda, dari elemen tokoh masyarakat setempat,para penguasa tokoh politik yang berseberangan dan lain sebagainya.Dari berbagai tantangan yang berasal dari berbagai elemen masyarakat itu,nampaknya  pesantren dapat menyikapinya dan menyelesaikannya tanpa ada gejolak konflik yang berarti. Artinya pesantren dilihat dari satu sisi telah teruji dari berbagai tantangan dan tentangan yang dihadapinya.

Wacana itu mungkin kacamata pesantren pada zaman awal Islam masuk di Indonesia, yang disampaikan oleh para mubaligh unggul yaitu para Sunan yang berjumlah Sembilan orang (Wali Songo), mulai dari Sunan Ampel Raden Rahmatullah sampai periode Sunan Muria. Sikap dan strategi seperti yang dilakukan Wali Songo inilah yang perlu dijadikan qudwah (contoh) oleh para pengelola pesantren di era-era selanjutnya. Mereka menyampaikan ajaran Islam dengan santun, kolaboratif dengan masyarakat, akomodatif, yang mencerminkan misi Rasulullah
shallalllahu alaihi wa alihi wa salam yang ketika menyampaikan ajaran Islam dengan berbekal akhlaq al-karimah.
Amal Fathullah Zarkasyi dalam buku Solusi Islam mengatakan bahwa Pondok Pesantren merupakan salah satu bentuk Indigenous Culture yang berarti bentuk kebudayaan asli bangsa Indonesia. Lembaga pendidikan dengan pola kiai, murid, dan asrama telah dikenal dalam kisah dan cerita rakyat Indonesia, khususnya di pulau Jawa.Sebagai lembaga pendidikan Islam yang khas Indonesia, pondok pesantren mengalami pertumbuhan dan penyebaran pesat sampai ke pelosok pedesaan. Hal ini didasari oleh ajaran Islam yang bersifat universal, terbuka bagi setiap orang, serta tersusun dalam naskah dan tulisan yang jelas.
Jadi Pondok Pesantren menjadi solusi yang tepat dalam dunia pendidikan khususnya di Indonesia, karena Pondok Pesantren memadukan unsur-unsur pendidikan yang amat penting. Pertama, ibadah untuk menanamkan iman dan takwa terhadap Allah SWT. Kedua, tabligh untuk penyebaran ilmu.Ketiga, amal untuk mewujudkan kemasyarakatan dalam kehidupan sehari-hari.
Di lihat dari perspektif kekinian, permasalahan dunia tabligh sudah semakin komprehensif. Mulai dari masalah persatuan umat yang semakin mengkhawatirkan, munculnya aliran-aliran baru yang membuat dakwah tidak hanya keluar tetapi juga bisa ke dalam (internal) untuk meluruskan ajaran-ajaran yang sekira dapat membahayakan umat Islam. Juga masalah sekulerisme, efek dari prinsip hidup materialism dan kapitalism yang akkhirnya menimbulkan perilaku liberal dalam diri umat Islam. Masalah materialism inipun pada akhirnya juga membuat ghirah (semangat) para da’i semakin kurang, dikarenakan segala sesuatu diberi perspektif materi dan duniawiah.Masalah politik yang semakin hari juga terus mendominasi khazanah perdebatan umat Islam di Indonesia. Untuk itu tantangan dunia Islam Indonesia sekarang ini sudah sangat berat sekali.Membutuhkan etos (semanagat) dan strategi yang juga komprehensif dalam menghadapi serta menyelesaikan semua masalah umat ini.
Pesantren dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya dituntut untuk berperan lebih aktif dalam menyelesaikan problematika umat Islam khususnya di Indonesia. Mulai masalah politik, ekonomi, sosial, kemiskinan, ketidak adilan, seperti yang telah di praktikkan oleh para penyebar Islam di Indonesia ketika mengaktualisasikan ajaran Islam dibumi Nusantara ini. Ruh dan semangat perjuangan yang di praktekkan oleh Wali Songo sebagai model yang patut diteladani, di iringi dengan penyempurnaan-penyempurnaan disesuaikan dengan kondisi masa kekinian.Taruhlah dunia modern sekarang ini, pesantren dihadapkan dengan berbagai  tantangan terkait dengan materi pendidikan yang di sampaikan, perkembangan tekhnologi informasi dan ilmu pengetahuan yang semakin pesat, kebijakan-kebijakan politik pendidikan, juga masalah hubungan pesantren dengan masyarakat sekitarnya.
Dalam bidang materi ilmu yang disampaikan, kerapkali terjadi bias. Antara kandungan materi yang di sampaikan dengan kompetensi yang diharapkan oleh para pengasuh pesantren. Idealisme para pengasuh pesantren (kyai atau ustadz) santri diharapkan menjadi sosok pejuang (da’i) yang serba bisa untuk terjun di masyarakatnya masing-masing. Mungkin ada yang menjadi praktisi pendidikan, politisi, ekonom, pengusaha, dokter, petani dan lain-lain. Tetapi kandungan materi kurikulum pesantren masih, terikat dengan madzhab tertentu, ilmu-ilmu ubudiyah ansich, fiqih dan nahwu. Yang itu semuanya sebenarnya hanya dapat menyelesaikan problematika umat yang berhubungan dengan sebagian dari ajaran Islam saja, sedang di luar masalah agama,para santri bisa jadi tidak mampu untuk menyelesaikannya atau bersikap menghindar untuk menyikapinya. Karena dalam masalah ke-Islaman saja, kadang juga harus melibatkan ilmu-ilmu lain di luar ilmu keIslaman, untuk menambah pendekatan atau perspektif sehingga masalah-masalah keIslaman lebih bisa diselesaikan dengan komprehensif. Contoh yang nyata mungkin  adalah untuk menemukan status hukum tentang dunia perbankan kita, tidak dapat hanya dengan perspektif fiqih saja, melainkan juga harus melibatkan ilmu-ilmu sosial, ekonomi, praktisi ekonomi, sehingga status hukum yang diambil dalam ajaran Islam lebih tepat sasaran serta sesuai dengan nilai-nilai keadilan yang menjadi ruh (esensi) dari transaksi ekonomi Islam itu sendiri.
Berhubungan dengan ilmu managemen,pesantren tidak bisa hanya mengandalkan seorang figur kyai yang mempunyai banyak keterbatasan sebagai manusia biasa, tapi juga harus melibatkan partisipasi elemen masyarakat di luar pesantren. Misalnya para stake holder yang ada di sekitar pesantren, meliputi pengusaha, politisi atau pejabat setempat, masyarakat secara umum dan praktisi-paktisi dalam berbagai bidang kehidupan.Dengan adanya  hubungan yang nyata dari berbagai pihak, pesantren akan lebih mampu melibatkan diri dalam berbagai posisi-posisi strategis di masyarakat sehingga akan lebih berperan sesuai dengan fungsinya yang rahmatan lil alamin. Pesantren bisa memposisikan sebagai praktisi pendidikan, kekuatan politik di masyarakat, sebagai institusi atau simbol keagamaan yang selalu dinilai luhur oleh masyarakat sekitarnya, dan pesantren sebagai anggota masyarakat secara umum.
Untuk itu pengelolaan pesantren dalam perspektif kekinian membutuhkan inovasi (pembaharuan), akselerasi (penyesuaian) dan kreatifitas oleh berbagai pihak dalam rangka memperbaiki peran-peran, strategi, muatan materi dan managemen yang diterapkan di Pesantren, untuk mewujudkan institusi pesantren yang menjalankan berbagai  fungsinya di tengah-tengah masyarakat global. Apalagi kalau dihadapkan dengan dinamika perpolitikan di Indonesia akhir-akhir ini, kehidupan kebangsaan dan ketatanegaraan kita seolah-olah juga mengalami perubahan yang sampai ke sendi-sendinya. Sistem politik yang mengarah kepada demokrasi liberal memberikan ruang yang sangat lebar bagi warga Negara Indonesia untuk mengekspresikan aspirasi politiknya. Akhirnya elemen-elemen masyarakat Indonesia menyampaikan suara politiknya melalui jalur-jalur partai politik yang di prediksi dapat menerima dan melaksanakan unek-unek nya. Bagi umat nashara atau kristen katolik menyampaikan aspirasinya kepada parpol yang sekeyakinan, bagi umat Islam menyampaikan kepada parpol yang mempunyai jargon Islam, bagi yang nasionalis, juga sama menyampaikan suara politiknya kepada parpol yang nasionalis. Tak ketinggalan adalah lembaga Pesantren menyampaikannya kepada parpol yang nota bene dapat membackup pendidikan pesantren. Untuk kasus yang terakhir pesantren dituntut untuk jeli dan hati-hati untuk menentukan sikap politiknya. Jangan sampai pesantren didekati oleh partai-partai politik hanya sekedar untuk dijadikan lumbung suara, tetapi tidak diimbangi dengan kebijakan-kebijakan politik yang berpihak kepada pesantren. Sikap politik yang ikhtiyath (hati-hati) dengan mengakomodasi semua partai politik yang ada, akan lebih bermanfaat dan dapat menanamkan sikap mengayomi semua golongan, dibanding dengan fanatik pada partai politik tertentu, tetapi di belakang hari tidak memberikan kemaslahatan kepada umat Islam secara keseluruhan (kaffah).

Problematika sikap politik pesantren akhir-akhir ini kadang menjadikan lembaga itu menjadi tujuan para pemimpin-pemimpin parpol mencari dukungan dan legitimasi politik untuk mencari simpati umat Islam secara keseluruhan.
Semakin besar sebuah pesantren, dengan jumlah santri-alumni banyak, semakin sering pesantren dan pengasuhnya menerima tamu dari parpol-parpol. Tetapi di sisi lain juga akan menimbulkan miss persepsi (kesenjangan pandangan) dari umat Islam awam yang berada di akar rumput (grass root). Mereka akan bingung untuk menetapkan hati kepada panutan figur pesantren yang diikutinya. Kadang pesantren menerima tamu dari parpol nasionalis, kadang agamis atau malah kadang non muslim. Pemikiran orang awam semacam ini adalah wajar, hanya saja melakukan pendidikan politik umat yang diimbangi dengan pencerahan sikap politik yang dibawa oleh pesantren, akan lebih memposisikan pesantren sebagai primadona bagi semua golongan yang ada di Indonesia.
Akhirnya, pesantren dalam konteks sekarang sebenarnya telah menempatkan dirinya sebagai institusi yang multi talenta.Pesantren dapat memposisikan diri sebagai lembaga pendidikan, juga bisa masuk ranah politik, bidang ekonomi, sosial dan lain-lain. Pesantren yang semula hanya sebagai penyampai ajaran Islam secara formal ubudiyah, nampaknya dengan dinamika kehidupan pesantren yang dihadapkan dengan berbagai tantangannya,telah merubahnya menjadi sebuah lembaga yang melaksanakan program-program pemberdayaan umat dari berbagai bidang. Ini terbukti dengan adanya lembaga ekonomi di pesantren seperti koperasi, juga Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), politisi, advokat (praktisi hukum), dokter rumah sakit dalam keluarga pesantren, tekhnokrat dan lain sebagainya. Semoga dengan paradigma pesantren yang berubah ini juga diikuti oleh semua elemen masyarakat dalam memberikan perspektif tentang pesantren,baik oleh kalangan dalam (internal) pesantren sendiri maupun orang-orang yang berada di luar (eksternal) pesantren.Dengan menjamurnya pondok-pondok pesantren sekarang ini, berarti membuktikan betapa besarnya peranan pesantren dalam mencetak kader, membimbing umat dalam rangka mengembangkan sumber daya umat manusia yang dilandasi oleh iman dan takwa, yang bertujuan menciptakan manusia-manusia yang jujur, percaya diri dan bertanggung jawab dalam mengemban misi dakwah Islam, dengan dedikasi tinggi untuk menegakkan perjuangan Li’ilai Kalimatillah.
Sehingga pesantren yang umurnya sudah tua itu menemukan relevansinya dalam memberikan kontribusi kepada kehidupan umat Islam di Indonesia secara khusus, maupun umat Islam secara keseluruhan, atau bahkan memberikan manfaat bagi seluruh alam, Rahmatan Li Al-Alamin. Wa Allu A’lamu Bi Al-Shawab.









Wassalam,penyusun
Cianjur,selasa 21 Jumadil Awwal 1437
01 Maret 2016
Prakata
Pada era globalisasi, umat Islam sedang dihadapkan dengan krisis pendidikan, ekonomi, sosial, budaya, politik, teknologi, dan lainnya. Proses identifikasi akar persoalan penyebab umat Islam mengalami krisis dan kemunduran  telah dibahas oleh para pemikir Muslim dan kaum cendikiawan. Menurut Abdul Hamid Sulayman, akar penyebab krisis yang dialami oleh umat ini sejatinya tidak berakar pada persoalan ekonomi, politik atau tekhnologi,tapi akarnya adalah terjangkitnya umat Islam dewasa ini dengan krisis intelektualisme atau pemikiran “Crisis of thought” (Abdul Hamid Abu Sulayman ,A Crisis of Muslim Mind).
Sebenarnya, permasalahan krisis intelektualisme atau pemikiran ini bersumber dari pola pendidikan, karena sejatinya pemikiran adalah hasil dari sebuah pendidikan. Krisis pemikiran merupakan akibat dari problem pendidikan.
Penyebab ‘kemunduran’ umat Islam.
Syakib Arsalan menulis buku berjudul “Limadza Taakharal Muslimun wa Limadza Taqaddama Ghairuhum?” (Mengapa Kaum Muslimin Mundur dan  Kaum non Muslim Maju?) terbit pertama kali pada 1349 H. Dalam bukunya,  beliau menjelaskan kemajuan umat Islam pada masa awal penyebarannya terjadi karena perubahan sikap bangsa Arab dan kabilah-kabilahnya  setelah menerima cahaya Islam yaitu  seruan Rasulallah shallallahu alaihi walaihi wa salam.Mereka dengan sungguh-sungguh mengikuti dan mentaatinya. Islam menjadikan mereka dari terpecah-belah dan bercerai-berai menjadi satu, dari sifat keras hati menjadi lunak, ramah tamah dan kasih sayang, dan dari penyembah berhala menjadi penyembah Allah SWT.
Selanjutnya, beliau menjelaskan bila kaum Muslimin berilmu dan beramal, maka sunnatullah akan memberikan kemuliaan atau pertolongan (nashr) kepada kaum Muslimin. Sebaliknya jika umat Islam tidak berilmu dan beramal, maka umat Islam akan mundur. Syakib Arsalan menyatakan, agar bangsa-bangsa Muslim ini mulia, maka perlu  berjihad dengan harta dan jiwa.  Sesuai firman Allah SWT yang artinya: “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.” (QS. at-Taubah 111).
Syakib Arsalan juga mengatakan diantara sebab-sebab lain mundurnya umat Islam adalah karena kebodohan umat, akhlak yang buruk yang meliputi sifat penakut, pengecut, cinta dunia (hubbu dunya) dan takut mati (karahiyatul maut), juga banyaknya ulama su’ (buruk). Selain itu sebab pokok lainnya adalah  kebejatan moral dan kerusakan budi para pemimpin.  Kebodohan ini menjadi sebab utama penyebab kemunduran umat Islam. Oleh karena itu, pendidikan adalah solusinya.
Dari paparan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa, Pertama akar penyebab krisis yang dialami oleh umat ini sejatinya tidak berakar pada persoalan ekonomi, politik atau tekhnologi melainkan akar permasalahannya terletak pada pendidikan. Di sisi lain masyarakat atau bangsa saat ini berada dalam arena persaingan (competition) dalam segala bidang, dan kompetisi ini hanya mungkin dihadapi bila semua warga bangsa menyadari kewajibannya. Dan untuk menumbuhkan kesadaran itu, langkahnya adalah dengan pendidikan. Kedua, penyebab lain mundurnya umat Islam ini karena  lemahnya semangat persatuan, solidaritas dan loyalitas dikalangan umat Islam itu sendiri. Sebab-sebab lainnya adalah karena kebodohan umat, akhlak yang buruk yang meliputi sifat penakut, pengecut, cinta dunia (hubbu dunya) dan takut mati (karahiyatul maut), juga banyaknya ulama su’ (buruk). Ketiga, persoalan yang mendasar yang menyebabkan mundurnya pendidikan kita adalah karena terjadinya krsisi pemikiran yang parah sehingga jadi sebab hilangnya unsur ruhaniyah dan  ubudiyyah  baik  dalam diri anak didik maupun diri pendidiknya. Persoalan ini menjadi persoalan yang sangat mendasar.Hilangnya unsur tersebut berakibat pada bergesernya nilai pendidikan. Keempat, sebagai solusi dari permasalahan pendidikan diatas Pondok Pesantren perlu tampil untuk menanamkan iman dan taqwa terhadap Allah SWT, menyebarkan ilmu, dan mewujudkan amal shalih dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Selain daripada hal tersebut, kita perlu pula mengkaji ulang sebab sebab kemunduran ummat Islam dengan kajian yang menyeluruh (kully/universal) tidak secara terpotong potong (juz’y/parsial),sehingga kita akan bisa berharap untuk mencarikan obat yang sesuai dengan ‘penyakit’ yang diderita umat sekarang ini.Karena..........
Seorang dokter yang salah diagnosa, akan salah pula memberi therapi.
Bila ummat Islam salah memahami proses kemundurannya, maka mereka
akan salah pula dalam mencari cara-cara menuju kebangkitannya"
Kalau kita mencoba melakukan analisis atas kwalitas suatu ummat, tak terkecuali ummat Islam, maka kita harus menetapkan dulu tolok ukurnya, agar tak salah bila kita katakan suatu ummat itu maju atau mundur, dan bila mundur, kita juga tahu bagaimana seharusnya, atau ke mana langkah menuju perbaikan.

Kwalitas ummat terbaik dapat ditemui pada generasi Nabi,generasi  sesudahnya (Tabiin) dan generasi sesudahnya lagi (Tabiit-Tabiin).(HR Bukhari,dan lainnya).

Kwalitas itu diukur dengan kriteria yang uniq, yakni pada aktivitasnya  dalam menyuruh yang ma'ruf dan mencegah yang mungkar (QS Ali Imran:110).  Tugas ini memerlukan type-type manusia muttaqin, mereka yang hanya takut  kepada Allah saja.Dan tidak bisa dipungkiri, bahwa jumlah "muttaqin per kapita" yang terbanyak adalah di zaman Nabi.

Di zaman sesudahnya, jumlah ini makin menurun secara berangsur-angsur, meskipun wilayah Islam dan populasi muslim terus membesar, dan karya-karya peradaban baik dalam ilmu-ilmu agama maupun dalam iptek dan kesenian terasa menuju "masa keemasan"-nya.  Dalam konteks materialisme seperti pada budaya Barat, memang kwalitas suatu bangsa biasa diukur dari produk peradaban (iptek, kesenian, arsitektur, etc).Namun dalam konteks Islam, ukuran yang standard adalah kontribusi bangsa itu dalam amar ma'ruf nahi munkar.Jadi peradaban sesungguhnya hanyalah alat semata.Motivasi amar ma'ruf nahi munkar-lah yang pernah membawa ummat Islam untuk menciptakan peradaban yang maju, karena berlaku prinsip: "APA YANG DIPERLUKAN UNTUK MEMENUHI YANG FARDL, HUKUMNYA JUGA FARDL".
Bila kita analisis, maka proses kemunduran ummat Islam itu secara singkat bisa dibagi dalam tiga tahapan:
1.  Kekaburan Fikrah Islamiyah (=ide atau fikiran)
2.  Kekaburan Thariqah Islamiyah (=methode mewujudkan ide)
3.  Kekaburan Relasi antara Fikrah dan Thariqah.
1    Kekaburan Fikrah Islamiyah
a.    Merebaknya Mitos

Kekaburan fikrah mulai terjadi sejak dini (abad 2 H), saat derap perluasan wilayah Islam kurang terimbangi dengan derap pewarisan fikrah Islam.Akibatnya,berbagai bangsa yang tadinya hidup dalam mitos dan filsafat serta mistik Yunani/Mesir, Persia atau India, tidak segera membuang mitos/filsafat/mistik itu dari alam fikirnya, melainkan mencoba "mengawinkannya dengan Islam" atau dengan kata lain: "mengislamkan mitos" dan "memitoskan Islam".

Contoh dari mitos ini banyak sekali.  Kita tahu, dalam semua ajaran lain, keyakinan dasarnya selalu berasal dari mitos, atau suatu aksioma dasar yang tidak bisa dilacak secara rasional.  Bangsa yang tadinya penganut mitos itu, ketika beralih ke Islam, pun memandang aqidah Islam sebagai mitos. Pribadi Rasul berubah dari sosok manusia yang bisa ditiru setiap muslim (uswatun hasanah) menjadi sosok keramat yang supranatural.Bahkan belakangan,seorang 'alim yang aslinya hanyalah ilmuwan atau pakar, yang dalam ijtihadnya bisa benar maupun salah,tiba-tiba dipandang sebagai "orang suci" yang tidak mungkin salah,sebagaimana orang-orang Kristen memandang Paus atau orang-orang Hindu memandang Sri Bhagawan.

Ketika seseorang bisa menjadi "kult-figur" karena mitos, maka orang-orang yang ada penyakit di hatinya berlomba untuk juga memiliki posisi di sana.  Mereka melegitimasi diri di depan orang-orang yang tidak tahu dengan ayat-ayat Qur'an yang diselewengkan tafsirnya, atau dengan hadits-hadits yang dhaif atau palsu.  Maka muncullah bid'ah (hal baru dalam agama yang tidak berdasar) di mana-mana.




b.    Pengabaian Bahasa Arab

Kekaburan fikrah ini makin dipercepat tatkala bahasa Arab tidak lagi dipelihara.Hingga berakhirnya masa khilafah Abbasiyah, islamisasi selalu dilakukan bersama-sama dengan "arabisasi".  Dengan itulah, maka orang-orang yang berpotensi dari seluruh dunia Islam, meskipun berasal dari etnis bukan Arab, bisa memberikan kontribusinya yang besar pada Islam.  Bahasa Arab klasik sebagai bahasa Qur'an, yang memang paling  kaya di antara bahasa-bahasa di dunia, menjadi bahasa internasional, bahasa silaturahmi ummat Islam, dan bahasa ilmu pengetahuan Islam.Tak ada suatu kata yang tidak bisa diungkapkan dalam bahasa Arab.

Adalah keputusan yang fatal dari suatu masa khilafah Utsmaniyah,ketika mereka memutuskan untuk meninggalkan tradisi tersebut, dengan alasan, agar Islam lebih mudah "diserap" tanpa barier bahasa Arab.  Namun akibatnya, di negeri-negeri yang belum berbahasa Arab, bahasa Arab menjadi "hak istimewa" selapis kecil kaum terpelajar saja, sedangkan bagi ummat, khazanah ilmu yang luar biasa, yang selama itu hanya ada dalam bahasa Arab, menjadi tertutup.




c.    Surutnya Ijtihad

Akibatnya, ketika faktor bahasa Arab menjadi barier, maka ijtihad tidak lagi dikerjakan dengan cukup.  Padahal ummat Islam hanya bisa terus menerus menghadapi zaman,bila mereka terus menerus berijtihad. Sedangkan ijtihad hanya bisa dikerjakan dalam bahasa Arab klasik.Lalu  ketika sebagian orang nekad berijtihad tanpa bekal yang memadai, timbullah berbagai "fatwa nyleneh", sehingga beberapa penguasa pada zaman itu merasa perlu untuk "menutup pintu ijtihad".  Suatu keputusan berniat baik namun gegabah dan justru memperburuk suasana.

Karena ijtihad tidak lagi dikerjakan, maka persoalan baru tampak menjadi musykil dipecahkan dengan Islam.  Maka ummat Islam pun mulai mengambil solusi dari luar Islam.  Mulai abad 17 (abad 11 H) sejalan dengan invasi Barat ke negeri-negeri muslim, ummat Islam mengambil sistem ekonomi kapitalis dan sistem hukum & politik sekuler, meskipun mereka masih "menguji" agar "tidak bertentangan dengan Islam". Namun kekaburan ini sudah terlanjur menjadi,dan ummat Islam tidak lagi kritis, bahwa sistem asing yang diimpornya itu didasarkan pada mitos. Bahkan lambat laun mereka cukup fanatik pada sistem asing itu, karena  telah ada seseorang yang juga sudah dimitoskan yang melegitimasi (mensahkan) nya.

2    Kekaburan Thariqah Islamiyah

Islam bukanlah ajaran yang memberikan sekedar ide, melainkan juga menunjukkan metode untuk mewujudkan ide tersebut, yang dikenal dengan term "thariqah". Bila kita telaah,semua perintah-perintah ilahi selalu termasuk fikrah (=ide) atau thariqah (=metode), dan tak ada perintah fikrah tanpa thariqah, atau thariqah tanpa fikrah.

Sebagai contoh, "Berimanlah" adalah perintah fikrah.  Perintah thariqah yang berkaitan dengan ini adalah hal-hal yang menyangkut pengamatan alam serta melakukan pemikiran rasional yang menjadi landasan iman,dan perlindungan iman termasuk jihad serta hukuman mati bagi orang-orang yang murtad.
Contoh lain, "Jiwamu, Hartamu dan Kehormatanmu adalah suci" adalah perintah fikrah. Perintah thariqah yang berkaitan adalah perlindungan atas kesucian itu, seperti fasilitas kesehatan, polisi, pengawas pasar, peradilan keluarga, dan juga termasuk hukuman bagi pelanggaran atas tindak pidana yang terkait.

Kekaburan atas thariqah Islamiyyah bisa dibagi dalam tiga tahap:




a.    Kendurnya Jihad

Pada awalnya ummat Islam sadar bahwa hidup mereka dipersembahkan untuk Islam serta untuk memanggul dakwah Islam, dan ini berarti termasuk jihad al-qital (perang fisabilillah), agar tak ada lagi fitnah di muka bumi sehingga agama itu hanya untuk Allah belaka (QS Al Baqarah:193).

Dan karena jihad memerlukan persiapan yang matang, maka otomatis kaum muslimin menyiapkan tubuh yang sehat dan kuat, keluarga yang intakt, negara yang adil, ekonomi yang mapan, IPTEK yang maju dan ibadah yang khusyu'.  Jihad sebagai alat dakwah sekaligus menjaga kaum muslimin agar selalu menjadi ummat terbaik di muka bumi (khairu ummat) agar ummat lain yakin,bahwa ajakan kepada Islam memang akan membawa mereka menjadi maju, adil, makmur dan diridhoi Allah.Bila mereka perlu contoh,maka silakan melihat sendiri fakta di Daarul Islam. Saat itu, adakah negara yang lebih baik dari Daarul Islam? Inilah dakwah yang sangat meyakinkan.

Namun lambat laun, bersamaan dengan kekaburan fikrah,maka orientasi ummat Islam mulai bergeser. Di satu sisi,sebagian ummat lebih cenderung untuk "meresapi kehidupan religi" yang disalahtafsirkan sebagai "Jihad Qubra", sebagaimana tampak dalam ribuan sekte-sekte "sufi" yang menjauhi jihad serta amar ma'ruf nahi munkar.Di sisi lain, sebagian ummat lebih cenderung "menikmati rejeki Allah" dengan hidup lux, walaupun dari rejeki yang halal.Yang jelas, jihad mulai redup.Dan dakwah mulai dikerjakan "sambil lalu".  Ini yang menjelaskan, mengapa dakwah ke Asia Tenggara praktis tanpa jihad, walau tetap pantas dikagumi, bahwa "dakwah sambil lalu" dari para pedagang itu toh masih memiliki kemampuan yang tinggi untuk mendesak suatu ajaran lama.Namun fikrah yang masuk sudah tidak sejernih dakwah pada generasi awal Islam.

b.    Lenyapnya Daulah Khilafah

Ketika kwalitas ummat semakin redup, maka semakin turun pulalah kontrol atas kekuasaan sesuai pepatah Arab ("Pemimpinmu itu sebagaimana kamu").  Daulah khilafah, meski saat itu masih ada dan diakui ummat Islam di seluruh dunia, namun kekuasannya mulai terbatas sekedar sebagai simbol persatuan spiritual, sedangkan di mana-mana mulai tampil raja-raja monarki, yang meskipun masih memerintah dengan Islam, namun tak lagi sepenuhnya menyemangatkan "Jama'atul Islamiyah" (=negara dunia Islam) melainkan "Jama'atul Qaumiyah" (=negara kebangsaan).  Akibatnya, potensi ummat Islam mulai tidak menyatu menjadi sinergi yang luar biasa. "Take care" ummat Islam di suatu wilayah atas penderitaan ummat Islam di wilayah lain tinggal sebatas pada doa dan sedekah yang tidak seberapa, karena khilafah tidak lagi kuat untuk menjalankan fungsi baik komando maupun koordinasinya.Di samping itu, bahasa Arab sebagai bahasa pemersatu mulai kurang dipahami oleh ummat Islam sendiri,karena kurang dipelihara.

c.    Lepasnya Bumi Islam

Ketika khilafah mulai lemah, sementara fikrah sudah sangat kabur, maka relatif mudah bagi bangsa Barat untuk invasi dengan menggunakan politik devide et impera. Antar raja-raja muslim karena semangat qaumiyahnya mulai gampang dihasut dan diadu domba.  Maka Barat menjanjikan bantuan pada salah satu pihak, dengan imbalan wilayah.Para penguasa muslim tidak lagi sadar,bahwa adalah haram hukumnya meminta perlindungan pada orang-orang kafir,dan perselisihan antar kaum muslimin harus dicarikan penengah yakni dari khalifah.  Namun apa daya ketika khilafah sendiri mulai lemah?

Maka satu demi satu bumi Islam mulai lepas ke tangan penjajah.Dan mulailah, sedikit demi sedikit penjajah memasukkan sistem kufur dalam kehidupan, dan menggeser sistem Islam.Proses ini makin  dipercepat ketika kalangan elit muslim juga terpengaruh fikrahnya, apalagi melihat Barat secara material/fisik berada di atas angin.

Ketika di abad-20 bumi Islam diberi kemerdekaan kembali - karena desakan politik (pseudo) anti imperialisme dari Uni Soviet maupun Amerika Serikat,  sehingga kolonialisme gaya lama menjadi tidak "in" lagi, sistem yang berlaku pada mereka, serta fikrah yang lazim pada mereka,sudah sangat terkontaminasi dengan produk-produk mitos Barat. Sementara khilafah, sebagai simbol persatuan ummat Islam, pun sejak 1924 secara formal sudah tidak ada lagi.

3    Kekaburan Relasi Fikrah-Thariqah

Bila di kesempatan yang lalu kita sama-sama melihat secara terpisah bahwa bidang fikrah maupun thariqah sama-sama terserang "penyakit", maka lepasnya kaitan antara fikrah dan thariqah lebih mempercepat lagi proses tersebut,atau setidaknya,mempersulit proses penyembuhannya.Ibarat seorang pasien penyakit jiwa yang juga mengalami penyakit jasmani,  maka mestinya penanganannya dilakukan secara holistis ("menyeluruh"), dan tidak sepotong-sepotong, karena kestabilan jiwa juga tergantung pada kesehatan jasmani, dan demikian pula sebaliknya.
Kekaburan atas hal tersebut dapat kita ringkas pada tiga sebab,yaitu:

a.    Disintegrasi Studi Islam

Pada awalnya, kaum muslimin mempelajari Islam secara menyeluruh.Prioritas mempelajari ilmu tidak tergantung dari subyeknya, namun semata dari hukum syar'i amal/ prakteknya (fardl-mustahab-mubah). Suatu amalan yang fardl,maka semua ilmu yang terkait pun fardl.Maka ketika jihad fardl, iptek pendukung jihad pun fardl.  Demikianlah, ketika studi Islam dikerjakan dengan benar, tak ada dikotomi antara so called "ilmu agama" dengan "ilmu dunia", tidak ada pemisahan antara hukum warits dengan aljabar, atau ilmu sholat dengan astronomi, atau hukum perkawinan dengan seksologi dan lainnya.

Namun lambat laun, sejalan dengan merebaknya mitos dan melemahnya ijtihad, kaum muslimin lebih berkonsentrasi pada ilmu-ilmu "ide" namun mengabaikan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan metode pelaksanaan ide-ide tersebut.  Maka mereka memusatkan diri pada peraturan ibadat ritual (sholat/puasa) atau tentang nikah dan cerai;namun mengabaikan misalnya peraturan tentang jihad,khilafat,lembaga peradilan dan sistem ekonomi Islam.Belakangan,sistem peradilan bahkan dipisah menjadi peradilan sistem (al-qadhi an-Nizhami) yang menjalankan hukum positif (non Islam) yang berkaitan dengan pidana,ekonomi,tata negara dan sebagainya;dan peradilan agama (al-qadhi as-Syar'i) yang cuma mengurusi keluarga (nikah, cerai, waris).  Hukum Islam tidak lagi dijadikan pegangan untuk semua jenis peradilan.

Mereka mempelajari Islam berlawanan dengan metode yang diperlukannya.  Sebelumnya, fiqh selalu dipelajari secara praktis, yang sesuai masalahnya akan dijalankan oleh individu,keluarga atau negara sebagai organ exekutif.Pada awalnya, fiqh berkembang di tangan para mujtahid yang diikuti oleh qadli (=hakim), sehingga masalah yang dibahasnya selalu relevan dengan realita.  Maka ketika syari'ah tidak lagi dijadikan pegangan dalam menetapkan hukum positif, mulailah ia jauh dari realita.  Fiqh Islam didegradasi menjadi aspek teoritis-moral saja.Ia tidak lagi menjadi alat untuk memberikan solusi bagi permasalahan sehari-hari ummat,dan para ahlinya diturunkan jabatannya menjadi sekedar penceramah atau missionaris yang membosankan masyarakat dengan khutbahnya yang selalu berulang-ulang,tanpa bisa melahirkan suatu energi yang produktif. Ujung-ujungnya, studi Islam dianggap "melangit" dan tidak "membumi".

Akhirnya,pemuda-pemuda yang cerdas dari ummat Islam pada umumnya akan lebih condong pada studi yang lebih praktis seperti tekhnologi, kedokteran, ataupun "ilmu-ilmu sistem" yang dipakai, seperti ekonomi atau hukum positif,meskipun tidak berasal dari Islam.Dan sebaliknya, studi Islam tinggal ditekuni oleh mereka yang secara umum "second class", walaupun tetap ada satu dua orang yang gemilang, sebagai pengecualian. Sementara itu, secara keseluruhan,ummat menganggap studi Islam sebagai fardlu kifayah, dan gugurlah kewajiban mereka bila telah ada orang yang mengerjakannya.Padahal mestinya,setiap muslim yang dewasa dan berakal sehat, fardluain untuk mengetahui segenap peraturan Islam yang diperlukan dalam hidupnya sehari-hari,karena ia diwajibkan untuk senantiasa beriorientasi pada perintah dan larangan Allah.Hanya ijtihad untuk istinbath (menurunkan) hukum syar'i dari Qur'an dan Sunnah yang fardlu kifayah.

Akibatnya,spiral kemunduran studi Islam makin menjadi-jadi.Mereka yang akhirnya secara formal dianggap "pakar" dalam studi Islam, sering tidak lagi kompeten untuk mengajukan Islam sebagai solusi permasalahan aktual.Bahkan tidak jarang, orang yang hanya mengenal Islam sepotong-sepotong, dengan mudah dijadikan masyarakat sebagai "tokoh Islam", yang didengar ucapannya,dan diikuti pendapatnya,sehingga hanya kesesatan dan penyesatan yang akhirnya terjadi.

b.    Evolusi Islam

Akibat "the wrong man on the wrong place" ini, yang sering ada bukannya "Islam meluruskan masyarakat" namun "Islam disesuaikan dengan masyarakat".  Karena ummat tidak mengetahui lagi metode menjalankan ide-ide asli Islam,maka Islam dicoba untuk ditafsirkan kembali agar konform/sesuai dengan "semangat zaman".Yang dimasuki tidak cuma aspek-aspek hukum parsial,namun bahkan ushul fiqh yang fundamental.Maka timbullah prinsip-prinsip nyeleneh seperti "Fiqh itu mengikuti tempat dan waktu", atau "Tradisi itu boleh menjadi sumber hukum", atau "Hukum boleh dihapus demi kemaslahatan",dan sebagainya.Bahkan tidak jarang,mimpi ataupun contoh kehidupan / pengalaman pribadi seorang tokoh muslim kontemporer dijadikan hujjah.

Mereka mulai menghalalkan bunga dengan alasan itu perlu untuk uang yang mengalami inflasi atau untuk mengisi kas anak yatim (=ada maslahat).  Pelacuran, judi atau konsumsi khamr mulai tidak dijauhi habis-habisan namun justru ditolerir secara terbatas dengan istilah "lokalisasi".Kerjasama dengan negara perampok (Israel) dikatakan halal dengan alasan tidak ada mimpi yang melarangnya.Dan muslimah difatwakan tidak usah berjilbab karena istri sang tokoh juga tidak berjilbab.

Dan karena "semangat zaman", maka semua hukum Islam yang lain pun disesuaikan agar cocok dengan ideologi modern,entah itu kapitalisme,marxisme, sekulerisme / demokrasi, dan sebagainya.Bahkan mereka menganggap "ada demokrasi dalam Islam" atau "ada kapitalisme dalam Islam".  Mereka tidak lagi mampu melihat mitos-mitos yang ada di balik isme-isme modern itu,sehingga menganggap asas musyawarah sebagai demokrasi, pasar bebas sebagai kapitalisme, dan toleransi madzhab sebagai sekularisme.

Bahkan mereka anggap, syi'ar Islam bisa "ditinggikan" atau "disempurnakan" dengan slogan-slogan nasionalisme, demokrasi, hak asasi manusia, dan lainnya. Mereka berpikir, dengan itu, Islam bisa ditampilkan dengan wajah yang lebih "ramah".Namun pada hakekatnya,Islam justru semakin jauh dari kehidupan. Andaipun nama Islam tampil, ia tak lebih sekedar sebagai "agama yang diakui negara", "agama negara" atau sekedar kenyataan bahwa "kekuasaan ada di tangan mereka yang mengaku muslim". Dan ummat umumnya tanpa sadar sudah puas, bahwa kini mereka tidak lagi diperhamba oleh penjajah kafir, namun oleh "penjajah muslim". Maka mereka menghentikan usaha untuk hanya diperhamba oleh Allah atau oleh hukum-hukum Allah saja.

c.    Terpojok di Sudut Defensif

Ketika fikrah Islam sudah sangat redup, mitos sudah merajalela, orang menjadi mu’min tidak karena berpikir tetapi karena ikut-ikutan keturunan/lingkungan, khilafah sebagai methode menerapkan Islam di masyarakat  tidak exist lagi, bahkan masyarakat semakin asing dari ajaran Islam yang murni karena studi Islam ditangani oleh orang-orang yang bukan ahlinya, yang tidak meluruskan masyarakat namun justru merubah Islam, di saat yang sama datang serangan yang telak dari orang-orang kafir: MENYUDUTKAN ISLAM.

Musuh-musuh Islam sadar, bahwa tidak mungkin menghancurkan Islam dan ummatnya dengan kekuatan senjata.Karena itu, mereka berupaya  terus menerus tanpa henti,untuk minimal membuat Islam dan ummat Islam tidak lagi berbahaya bagi kepentingan mereka.  Andaikata ummat Islam masih tegar seperti pohon yang sehat dan berakar dalam, maka niscaya badai topan sebesar apapun akan dengan tatag dihadapinya. Namun kini,ketika akar sang pohon telah lapuk, maka terpaan angin sepoi-sepoi saja bisa membuatnya rubuh.

Maka ummat Islam dewasa ini umumnya kelimpungan,ketika dikonfrontasikan dengan berbagai ajaran Islam yang ada dalam Qur'an atau Sunnah sendiri. Mereka tidak bisa menerangkan,mengapa Islam memerintahkan memotong tangan pencuri,atau mengapa warisan bagi lelaki 2 kali wanita,atau bahwa seorang lelaki boleh menikahi sampai 4 istri, atau bahwa dalam Islam ada perintah jihad, dan sebagainya. Ketika orang-orang kafir mengkritik hal itu sebagai prilaku barbarian, bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia, atau Islam itu fanatik dan agresif, ummat Islam umumnya hanya bisa membela diri dengan terbata-bata. Mereka mencoba untuk menafsirkan kembali Islam, sekedar agar musuh-musuhnya puas,dan kritikan mereka mereda.

Mereka katakan, perintah memotong tangan pencuri itu hanya metaforis.Mereka katakan juga, bahwa sekarang ini warisan harus dibagi sama,karena wanita muslim sekarang sudah sama derajatnya.Tentang polygami, mereka katakan,sebenarnya di Qur'an diharamkan,karena manusia tidak  mungkin berlaku adil.Dan tentang jihad, mereka katakan jihad itu hanya dilakukan bila ummat Islam diserang (defensif).

Aduhai,betapa jauhnya tafsiran-tafsiran "modern" ini dengan ajaran Islam yang murni.Karena dalam Sunnah-nya,Rasulullah telah menunjukkan sendiri bahwa beliau memotong tangan pencuri,bahwa beliau menikahi banyak wanita,dan bahwa jihad yang dilakukan ummat Islam melawan Persia atau Romawi, sama sekali bukan jihad ketika ummat Islam diserang.Dan ajaran Islam merupakan risalah terakhir yang diturunkan Allah di muka bumi, sehingga tetap berlaku hingga hari kiamat.  Maka betapa anehnya tafsiran-tafsiran baru, yang mungkin dilakukan dengan "niat baik", namun hasilnya malah justru memporak-porandakan ajaran Islam yang murni. Kesalahan tafsir yang fatal ini terjadi,karena ummat Islam memisahkan antara fikrah dan thariqah, karena semua hukum yang dihujjat tadi, memang tidak akan bisa jalan sendiri-sendiri, melainkan hanya berfungsi dalam rangkaian metode yang tepat, dalam suatu negara yang islami, dalam suatu Daulah Khilafah.

Spiral kemunduran berputar semakin cepat,ketika  orang-orang yang ditokohkan berlomba mencari pembenaran atas perilakunya, sehingga banyak rakyat jelata yang karena kebingungan akhirnya memutuskan untuk beramai-ramai melepaskan kepercayaannya pada para ulama,termasuk ulama yang shaleh. Bahkan mereka yang semula gembira dengan type ulama ini,karena merasa bisa "ngerti bahasanya",lambat laun akan dihadapkan dengan sejumlah besar kontradiksi.Dan akhirnya sama saja: makin jauh dengan ulama.

Ummat yang masih tersisa ghirahnya pada Islam mencoba langsung mempelajari Islam dari sumbernya: Qur'an dan Sunnah.Namun mereka lupa, bahwa untuk itu diperlukan seperangkat bekal,baik ilmu bahasa Al-Quran (bahasa Arab klasik) maupun ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh.  Karena mereka maju tanpa bekal ini, mereka akan terbentur ke sana ke mari.Akhirnya kalau tidak terjerumus ke extremitas yang satu (menganggap yang hukum Islam itu cuma fardl semua dan yang lain haram semua),maka akan terpuruk ke extremitas lainnya (menolak memakai hadits,karena terlalu was-was dengan hadits yang "tidak jelas", dan ujung-ujungnya meragukan Qur'an,karena tanpa penjelasan dari hadits,Qur'an mustahil dipahami dengan benar).

Maka tak heran, ummat Islam sekarang hanya sensitif  bila sisa-sisa rasa agamanya diganggu. Mereka menjadi bersikap menunggu (re-aktif) dan tidak berani memulai (pro-aktif). Mereka justru menghindari untuk dikenal sebagai muslim,karena ini berarti harus menghadapi berbagai pertanyaan yang tidak bisa dijawabnya. Dan di masyarakat di mana muslim mayoritas, mereka hanya sensitif bila ada kristenisasi, namun "cuek" bila hukum-hukum kafir diberlakukan di atasnya.Bahkan mereka marah,bila ada orang yang berbeda madzhab shalat agak lain dengan mereka (misalnya tidak baca qunut), namun tenang-tenang saja,ketika harus bermuamalah dengan riba,atau harus mendidik anak dengan pola pendidikan dan kurikulum sekuler,yang notabene adalah produk kafir.

Ummat Islam akhirnya tersudut di pojok defensif. Jarang dari mereka yang berani mengambil inisiatif untuk menelanjangi berbagai ideologi kafir yang didasarkan pada mitos, entah mitos demokrasi (dalam politik), mitos pertumbuhan (dalam ekonomi), maupun mitos HAM (dalam sosial). Tidak ada lagi dakwah offensif  sebagaimana yang dilakukan Rasulullah shallallahu alaihi wa alihi wa salam dan para pengikutnya terdahulu.

Hasilnya memang tepat seperti yang diinginkan musuh-musuh Islam.
Islam kini tinggal akhlaq - tanpa jihad,
Islam kini tinggal ibadah (ritual) - tanpa syari'ah,
Islam kini boleh menyinari rumah, tapi bukan pasar, pabrik atau bank,
Islam kini boleh menguasai masjid, tapi tidak menguasai kantor,
Islam kini boleh bicara tentang akherat, tapi tidak tentang negara,
Islam yang boleh disanjung adalah Islamnya para pertapa shufi, dan bukan Islamnya umara' yang zuhud, ulama faqih yang zuhud, aghniya' yang zuhud atau mujahidin yang zuhud.
Islam yang tidak mampu menolong ummatnya sendiri, baik di Bosnia, Palestina, Chechnya atau Sudan, apalagi menolong dunia dari disorientasi kehidupan, dari AIDS, dari kerusakan lingkungan, dari kesewenang-wenangan para kapitalis di era globalisasi.
dan Qur'an boleh didendangkan di MTQ, dan bukan di Pengadilan,
dan Qur'an boleh dibacakan pada orang mati, bukan pada orang hidup,
dan Qur'an boleh diajarkan di pesantren, dan bukan di universitas,
dan Qur'an boleh untuk menghitung pembagian zakat, namun bukan untuk membagi kekayaan alam dengan adil,
dan seterusnya yang terlalu panjang untuk dikatakan.
Inilah, Islam semakin jauh dari kehidupan, dan Ummat Islam semakin mundur, meskipun kadang mereka merasa "ada kebangkitan", ketika melihat masjid penuh, MTQ semarak, dan para pejabat berlomba naik haji.Namun mereka bingung,ketika melihat ketidakadilan tetap saja langgeng,dan korupsi, kolusi serta manipulasi malah justru semakin menjadi.
Ibarat orang yang sudah sakit parah, Ummat Islam tidak disembuhkan, tidak dioperasi atau diberi antibiotik, namun hanya diberikan valium,yaitu  “Valium Islam”. Dan inilah realita yang sangat pahit.Adakah obatnya?  Pasti,bukankah untuk setiap penyakit,Allah telah menyiapkan obatnya.Masalahnya hanya apakah kita cukup tekun berikhtiar serta belajar dari ayat-ayat,baik kauny maupun qur’any,sehingga penyelidikan kita akhirnya sampai ke sana?????.


* * * * *

Wassalam.............................

Persoalan Jauhari pendidikan masa kini.
Pada pertengahan abad ke-19 terjadi penjajahan besar besaran ke dalam dunia Islam. Hampir tidak ada satupun negara Muslim yang lepas dari cengkraman penjajah ini. Penjajahan tidak hanya merampas kekayaan alam bangsa-bangsa Muslim. Penjajahan juga meliputi berbagai dimensi dan nilai, dari sisi pendidikan, politik, budaya, ekonomi, masyarakat, bahkan agamapun menjadi sasaran penjajahan. Penjajahan bertujuan mengubah sistem yang ada, dari sistem syariah Islam menjadi sistem sekuler Barat. Dampaknya, penjajahan ini pun masuk dalam ranah pendidikan yang berujung pada pendidikan sekuler. Padahal pendidikan adalah benteng terakhir.
Tantangan yang dihadapi oleh dunia pendidikan saat ini begitu kompleks. Mulai dari sisi ledakan informasi yang serba mudah dan cepat,tekhnologi canggih, industrialisasi, globalisasi dan liberalisasi, dan etika moral, hingga tuntutan masyarakat terhadap dunia pendidikan semakin tinggi. Ini berimbas kepada penyelenggara dunia pendidikan saat ini, yang mana mereka dituntut agar dapat mengeluarkan output (anak didik) seperti keinginan masyarakat, yang mampu bersaing (survive) dalam berbagai kondisi. Terkadang untuk meraih hal tersebut, penipuan pun dilakukan. Beberapa kasus menunjukkan banyak sekolah yang untuk mengejar target lulus 100% mengatrol nilai hasil raport anak didik mereka. Pengelola pendidikan membantu jawaban kepada anak didik ketika proses ujian berlangsung. Kejujuran dan tanggung jawab sudah tidak diindahkan lagi.  Padahal, pemerintah menggalakkan program pendidikan karakter.
Nirwan Syafrin, seorang intelektual Muslim kontemporer, menjelaskan persoalan mendasar yang menyebabkan mundurnya pendidikan kita adalah karena hilangnya unsur ruhaniyah dan  ubudiyyah  baik  dalam diri anak didik maupun diri pendidiknya.
Hilangnya unsur  ruhaniyah dan ‘ubudiyyah ini pada jiwa anak didik dan pendidik akan menyebabkan pergeseran makna dan nilai pendidikan. Lembaga pendidikan tidak lagi berorientasi pada Akhlak,Adab dan Iman,tapi pada secarik kertas yang bernama ijazah. Sehingga dengan kondisi seperti ini, lembaga pendidikan telah beralih fungsi, yang awalnya mencetak kader-kader bangsa yang berakhlak mulia bergeser menjadi “robot” bernama manusia.  Jadi, unsur ruhaniyah dan ‘ubudiyyah dalam pendidikan bagaikan ruh yang menggerakkan semua aktifitas pendidikan. Dan ruh itu bisa berwujud niat yang ikhlas, yang hanya mengharap ridha Allah SWT. Ruh inilah yang harus selalu ditanamkan dan ditumbuhkan dalam jiwa-jiwa setiap pendidik.
KH R Zainuddin Fananie dalam bukunya Pedoman Pendidikan, menjelaskan bahwa pendidikan itu adalah sebuah jawaban atas persoalan universal umat manusia. Pendidikan merupakan usaha (ikhtiar) mencari hasil yang akan menjadi isi peti harapan dikemudian hari, pendidikan pun adalah cara berinvestasi bagi masa depan. Pendidikan bukan hanya terbatas pada apa yang dilakukan oleh guru-guru sekolah atau ibu bapak didalam rumah tangga saja. Namun, pendidikan yang dimaksud meliputi segala aktifitas yang mempengaruhi kebaikan dan perbaikan jiwa manusia semenjak kecil hingga dewasa. Bahkan bagi mereka yang sudah tua pun masih melakukan kegiatan pendidikan. (KH R Zainuddin Fannani, Pedoman Pendidikan Islam).Dengan pendidikan, kehidupan manusia akan dipenuhi kebaikan sebenar-benarnya. Pendapat ini sesuai dengan pendapat al-Ghazali, bahwa pendidikan dimaksudkan agar manusia dekat dengan Tuhannya. Sedangkan az-Zarnuji dalam bukunya Ta’limul Muta’allim menekankan perlunya aspek-aspek agama dalam pendidikan. Dan ini tidak akan terwujud tanpa adanya kerjasama yang sinergis (saling topang) dari semua pihak.
Pesantren adalah sebuah lembaga yang merupakan wujud proses wajar perkembangan sistem pendidikan nasional yang telah menunjukkan eksistensinya selama berabad-abad,sekaligus lembaga pendidikan yang memiliki pengaruh besar terhadap masyarakat pedesaan secara khusus, sehingga jangan heran bila ada banyak tokoh yang dilahirkan dari pesantren baik tokoh Negarawan, Sastrawan, dan Cendikiawan. Pesantren juga merupakan lembaga pendidikan yang mempunyai andil besar dalam merebut kemerdekaan indonesia, ketika penjajah jepang mengeluarkan intruksi militernya untuk menutup semua pendidikan buatan belanda, yang hal ini akan berakibat pada buruknya pendidikan indonesia yang baru tahap pengenalan terhadap ilmu pengetahuan, pesantren tampil sebagai lembaga pendidikan alternatif yang tetap eksis mentranformasikan nilai-nilai Islam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
 Peran Pesantren
Dilihat dari posisi Pesantren dari dahulu sampai sekarang. Pesantren sangat memberi pengaruh besar dalam mempengaruhi kondisi masyarakat yang ada disekitarnya. Sehingga peribahasa mengatakan jika Pesantren tak ada, maka umat  seperti anak ayam yang kehilangan induknya yang tak menentu arah, kemana dia akan melangkah, yang akhirnya dia hanya melihat dan melangkah pada hal yang tak jelas dan tak menentu arah.Sering kita dengar bahwa Pesantren adalah nafasnya umat Islam,sehingga dengan berhenti atau ditutupnya Pesantren atau lembaga pendidikan Islam berarti berhentinya nafas kehidupan umat.Yang akhirnya, tinggal menunggu kapan kehancurannya. Fenomena ini tidak akan pernah berubah jika kita tidak mau mengantisipasinya mulai dari diri sendiri, dari hal yang terkecil, dan mulai dari sekarang.Jika kita tinjau dari sejarah,maka telah tercatat bahwa berdirinya pesantren  di nusantara bersamaan dengan mulai masuk dan menyebarnya ajaran islam ke negeri ini. Selama keberadaanya itu, pesantren telah memiliki peran yang sangat besar bagi perkembangan umat Islam Indonesia.
Bila ditinjau dari peranannya,Pesantren mempuyai  tiga peranan yang sangat besar dan strategis yang selalu dimainkan lembaga pendidikan ini, yaitu:
Pertama, Pesantren adalah lembaga pencetak kader cendikiawan (ulama) Islam.
Sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam, selama ini Pesantren dikenal sebagai pencetak para ulama handal di Indonesia. Ini terkait dengan misi utama Pesantren sebagai lembaga pencetak thâ`ifah mutafaqqihîna fiddîn (para ahli agama). Tak terhitung jumlahnya ulama yang telah lahir dari Pesantren,seperti KH.Hasyim Asy’ari,KH. Ahmad Dahlan dan lainnya. Mereka adalah sebagian kecil dari para alumni Pesantren yang menjadi ulama  besar dikemudian hari.
Salah satu ciri khas ulama lulusan Pesantren adalah, mereka  bukan hanya memiliki ilmu yang luas tapi juga akhlak yang tinggi. Karena akhlak merupakan inti dari sebuah pendidikan yanng tentunya hal ini terkait dengan metode pendidikan yang dikembangkan oleh sang kyai di Pesantren.
Pendidikan Pesantren ini tidaklah semata-mata untuk memperkaya pikiran santri dengan penjelasan ilmiah, tetapi juga untuk meninggikan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan bermoral, dan menyiapkan murid untuk hidup sederhana dan bersih hati. Setiap murid diajar untuk menerima etika (peraturan moral) agama di atas etika-etika lain.
Tujuan utama dari pendidikan Pesantren ini, bukanlah untuk mengejar kepentingan kekuasaan, uang dan keagungan duniawi, tetapi ditanamankan kepada mereka bahwa belajar adalah semata-mata kewajiban dan pengabdian kepada Allah.
 Kedua,Pesantren adalah pusat penyebaran Islam.
Karena Pesantren berhasil mencetak para ulama yang sekaligus juru da’wah.  Maka tidak heran, kalau kemudian Pesantren juga menjadi pusat penyebaran Islam. Para santri yang sudah lulus, kemudian banyak berkelana untuk menda’wahkan Islam hingga ke pelosok-pelosok tanah air.
 Ketiga, Pesantren adalah pemelihara kehidupan keberagamaan umat dan benteng budaya.
Disamping memberikan pelajaran kepada para santrinya, Pesantren juga biasanya membuka pengajian umum untuk masyarakat sekitar. Sehingga disamping sebagai lembaga pendidikan, Pesantren juga berfungsi sebagai tempat umat Islam bertanya. Tidak hanya masalah keagamaan, tapi juga masalah-masalah kehidupan lainnya. Karena peranan pemimpin Pesantren (kyai) selalu diharapkan untuk menjadi komponen pengayom masyarakat dari tingkat bawah sampai tingkat atas.
Oleh karena itu,selama ini Pesantren juga dikenal sebagai pemelihara kehidupan keberagamaan umat Islam, khususnya yang berada disekitar lokasi Pesantren tersebut. Hal ini juga diakui oleh para peneliti Barat semacam Van den Berg, Snouck Hurgronye dan Clifford Geertz. Setelah melakukan penelitian terhadap Pesantren, mereka betul-betul menyadari tentang pengaruh kuat dari Pesantren dalam membentuk dan memelihara kehidupan sosial, kultural, politik dan keagamaan masyarakat.

Catatan: Inilah tiga karakter pesantren pada zamannya dahulu.Lalu,apakah kita mau belajar dari sejarah wahai tuan,atau akan tetap dengan segala keegoan dan kejumudan yang telah membatu dalam jiwa kita?/?/??
Selain itu sistem pendidikan yang dikembangkan di pesantren adalah sistem pendidikan yang penuh kelenturan dan memiliki spektrum luas, melampaui batas-batas pesantren itu sendiri, proses pembelajaran dan pendidikan di pesantren serta pengambangan intlektualitas dan spiritualitas menyatu dalam kerangka nilai-nilai yang diyakini pesantren.Perkembangan pesantren cukuplah pesat, bila dihitung akan didapat ribuan pesantren yang ada di seluruh Indonesia, hal ini disebabkan karena kebanyakan seorang santri apabila pulang kedaerah asalnya akan membangun sebuah lembaga pendidikan yang sistemnya tidak jauh berbeda (sama) dengan sistem pendidikan dimana ia belajar           (pesantren asal).
Namun pertambahan jumlah pesantren yang menjamur tidak lantas menjadi gambaran dari kejayaan pesantren itu sendiri tapi menjadi masalah baru bagi perkembangan pesantren terkait dengan ketidak jelasan visi dan misi pesantren, sehingga pesantren hanya megah secara fisik saja sedangkan secara intlektual tidak sama sekali. Sebuah keadaan pesantren yang sangat berbeda dengan masa awal berdirinya kemarin,maka dari itu potret pesantren saat ini mulai memudar, pesantren mulai tidak relevan,out-put yang lahir dipesantren tidak mampu melakukan apa-apa, jangankan untuk melakukan sebuah perubahan di masyarakat (menjadi pemimpin dalam skala besar),memimpin dirinya sendiri saja mengalami kesulitan karena dirinya tidak memiliki bekal untuk menjawab setiap tantangan zaman, sehingga mereka menjadi manusia yang tidak berguna sekaligus menjadi sampah di masyarakat.Potret pesantren saat ini tak ubahnya seperti kapal kecil tak bermesin dengan biduk yang rapuh, tak berlayar, penuh dengan penumpang di tengah terjangan gelombang Globalisasi, sehingga secara perlahan pesantren semakin kehilangan kendali dan perannya dalam masyarakat,oleng dan hampir tenggelam. Jika dibiarkan maka pesantren akan tenggelam, kejayaannya di masa lalu hanya akan tinggal sejarah yang akan jadi dongeng sebelum tidur.Coba saja kita lihat nilai-nilai pesantren sudah mulai hilang dan terlupakan.Nilai-nilai ciri khas pesantren seperti kesederhanaan, keikhlasan, kemandirian sudah mulai hilang terganti dengan paham-paham baru yang di hembuskan oleh orang-orang barat dengan tekhnologinya yang semakin maju.Jika kemarin pesantren merupakan lembaga pendidikan yang tidak hanya berfungsi sebagai proses tanformasi keilmuan namun juga sebagai media tranformasi moralitas, namun saat ini pesantren tak lebih sebagai lembaga yang mempunyai potensi yang signifikan dalam hal mengembangkan komunitas hedonis dan kapital yang baru, nilai-nilai yang di junjung tinggi oleh pesantren mulai di tinggalkan dan dilupakan. Perilaku santri sudah tidak mencerminkan lagi sosok yang sederhana, mandiri, ikhlas, namun justru sebaliknya santri masa kini telah menjadi sosok yang pragmatis, mengedepankan serta mengukur segala hal dengan materi,yang dibarengi dengan arogansi,kumuh dan ta’ashub.Lalu dimanakah letak kesalahan itu? Dapatkah pesantren bangkit dan tetap eksis serta mengembalikan nilai-nilai kepesantrenannya sekaligus bisa kembali mencetak kader-kader yang jempolan sebagaimana hari kemarin??.
Apakah  Pesantren itu?
Istilah Pesantren secara etimologi berasal dari kata santri. Dengan ditambah awalan pe dan akhiran an menjadi pesantrian,lalu dilafalkan menjadi “Pesantren” yang berarti tempat tinggal para santri.Istilah santri sendiri ada yang mengatakan berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru ngaji.Namun yang jelas,kata santri merupakan peralihan dari kata çantrik,yang berarti murid yang selalu mengikuti gurunya dalam sebuah paguron yang dipimpin oleh seorang resi pada masa hindu dahulu. Dan menurut c.c.berg,istilah tersebut berasal dari kata shastri yang berarti orang yang yang tahu buku buku suci agama hindu atau sarjana ahli kitab suci hindu.
 Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam nusantara selalu diidentikan dengan lima ciri berikut:
1.kyai  
2.santri 
3.masjid/mushalla
4.pondok/asrama
5.pengajian kitab kuning
Perkembangan dan kemajuan masyarakat Islam Nusantara, tidak mungkin terpisahkan dari peranan pesantren. Pesantren dengan bermacam historisnya telah dianggap sebagai lembaga pendidikan yang mengakar kuat dari budaya asli bangsa Indonesia. Kehadiran pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam, kini semakin diminati oleh banyak kalangan, termasuk masyarakat kelas menengah atas. Hal ini membuktikan lembaga ini mampu memberikan solusi terhadap kebutuhan pendidikan anak-anak mereka. Tetapi banyak kalangan yang beranggapan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan yang kuno, anti akan perubahan, atau hanya sebatas tempat rehabilitas anak-anak nakal. Tentunya hal ini merupakan suatu tantangan bagi pesantren dalam era modern.
Pendidikan Pesantren memang menyimpan karakter yang cukup khas, tidak hanya dalam sistemnya, tetapi juga dalam perannya.Tujuan utama Pendidikan Nasional menitik beratkan pada peningkatan ketaqwaan kepada Tuhan YME, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air, dimana hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan Islam baik secara sosiologis maupun filosofis. Namun tujuan utama dari pendidikan nasional itu masih terbentur tembok besar bernama ‘fakta’ dan ‘realita’ yang menunjukkan kwalitas lulusan lembaga pendidikan masih belum mencapai tujuan utama dari Pendidikan Nasional. Oleh karena itu tidak sedikit orang berpikir bahwa "sekolah saja" tidak mungkin dapat diandalkan untuk mendidik manusia secara utuh.
Banyak yang mengeluh bahwa akhlak dan prilaku pelajar dewasa ini cenderung merosot dengan berbagai bentuk tindakannya yang merisaukan banyak pihak. Karena itu, patut dipikirkan kemungkinan "pesantren masuk sekolah".
Disinilah lembaga pendidikan pesantren pasti akan diuji eksistensinya seputar ihwal apakah mampu menjadi alternatif dari kebuntuan tersebut. Serta akan semakin mengukuhkan kemampuan pesantren dalam mewujudkan kualitas manusia Indonesia seutuhnya.

Catatan:Mari kita bersama mengoreksi diri masing masing,jangan hanya dapat menunjuk hidung orang lain atau bangga dengan amal perbuatan orang yang tidak akan memberikan manfaat dan mudlarat bagi kita.Mari kita mulai dari diri kita sendiri,lalu keluarga kemudian tetangga terdekat dan akhirnya masyarakat luas,sebagai saudara seiman.
Bila ada suatu kritik walau bagaimana tajamnya kepada dunia pesantren kita,hendaklah tidak ditanggapi dengan sikap emosional dan apriori tapi tanggapi dengan arif dan rasional.Sikap anti atau kebal kritik tersebut memang saya lihat sebagai bentuk over confidence yang menjadi salah satu penyakit yang sukar disembuhkan dalam diri santri.
Dalam pandangan saya, kritik yang di lontarkan oleh mereka terhadap pesantren boleh dibilang benar, meskipun tidak bisa dibenarkan seluruhnya. Kita tidak bisa menghindar dari kenyataan, bahwa kita memang ketinggalan jauh dari mereka. Ketertinggalan ini bukan bersumber dari disiplin keilmuan yang kita miliki, melainkan berasal dari ketidakmampuan kita mengkontekstualisasikan dan mengaktualisasikan serta mempraktikkan apa yang kita pelajari di pesantren. Tambahan pula, watak eksklusifisme santri yang tidak mau menerima pengetahuan apapun yang berasal dari luar pesantren juga ikut memberikan pengaruhnya.
    Jika melihat sejarah, bukankah para ulama
pendahulu kita dahulu tidak alergi menerima apapun bentuk pengetahuan yang berasal dari luar Islam. Terbukti, Imam Al Ghazali faham sekali filsafat Aristoteles dan Plato,yang membuat ia berani menyalahkan pendapat Ibnu Syna cs yang terpengaruh filsafat-filsafat Yunani. Dan jangan lupa, ilmu Ushul Fiqh yang kita pelajari di pesantren, juga merupakan pengaruh dari filsafat Yunani  yang bertendensi pada rasionalitas.
    Saat ini yang menjadi tantangan masyarakat dunia adalah ketidak adilan, penindasan, permasalahan gender, ketimpangan ekonomi dan problem-problem sosial lainnya yang memerlukan perhatian serius. Saya bertanya, pernahkah santri memperhatikan masalah-masalah ini? Pernahkah santri memberikan kontribusi pemikiran terhadap penyelesaian masalah Aceh dan Ambon? Pernahkah santri memberikan pemecahan terhadap permasalahan disintegrasi bangsa? Pernahkah santri memberikan solusi terhadap problem kenakalan remaja dan penyalahgunaan narkoba yang merupakan problem sosial yang  sangat akut? Pernahkah santri memberikan solusi terhadap penanganan korupsi yang telah menghancurkan sendi-sendi perekonomian bangsa? Pernahkah santri memperhatikan bagaimana caranya men
sejahterakan orang-orang yang hidupnya di kolong-kolong jembatan, di emperan-emperan toko? Pernahkah santri mengusulkan bagaimana cara meningkatkan ekonomi rakyat kecil, bagaimana konsep ekonomi yang memihak pada rakyat kecil? Saya fikir, hingga kini santri belum pernah menyentuh isu-isu global semacam itu.
    Saya pernah membaca sebuah soal bahtsul masail “Jakarta merupakan daerah dataran rendah, karenanya sering terjadi banjir yang menyebabkan resiko kematian sangat tinggi, pertanyaanya, bagaimana cara mengubur mayit pada tempat yang tergenang air?”
Menurut saya, persoalan yang lebih besar dari cara mengubur mayit dalam kondisi seperti disebutkan adalah bagaimana cara mengatasi problem banjir agar tingkat kematian bisa di minimalisasi. Setidaknya ini merupakan satu indikasi bahwa wacana fiqh pesantren masih berbicara pada aspek yang bersifat partikular dan parsial serta masih berkutat dalam persoalan normatif. Alangkah lebih baik jika kita melangkah lebih jauh, yaitu dengan mendorong fiqh ke spektrum permasalahan yang lebih luas, sebab jangkauan fiqh sangat universal dan menjamah setiap aspek kehidupan. Tidak ada satu permasalahan pun yang tidak
tersentuh oleh fiqh.
    Karena  itu, saya mengharapkan agar ada pembenahan dalam wacana intelektual kita. Jika kita masih saja berkutat pada persoalan parsial-partikular, maka apa yang kita bahas dan kita putuskan tentunya hanya bermanfaat bagi sebagian orang saja, tidak untuk seluruh umat manusia. Jika pembahasan kita hanya memutuskan bagaimana mengubur  mayit pada tempat yang tergenang air, pastinya keputusan hukum yang dihasilkan bermanfat hanya untuk mayit, paling besar untuk keluarga si mayit. Tapi jika kita membahas bagaimana fiqh mengatasi tingginya angka kematian akibat  banjir,ini bermanfaat
sekali tentunya untuk semua manusia.     
      Selanjutnya, hendaknya santri mulai menghilangkan sikap eksklusif dan jumud. Kita jangan beranggapan bahwa semua yang berasal dari luar adalah buruk. Ingat, Islam mengalami masa keemasan setelah bersentuhan dengan peradaban luar. Kemudian pengetahuan dari luar tersebut diolah secara kreatif oleh para ulama untuk dikembangkan hingga menjadi berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan. Secara tidak langsung, ilmu pengetahuan Islam sebagian besar tidak murni berasal dari  islam, yang berasal dari Islam hanyalah pokok-pokoknya saja, lalu pokok-pokok tersebut di kembangkan ke dalam berbagai disiplin. Umat Islam tidak mungkin bisa mengembangkan pokok-pokok tersebut tanpa ada proses interaksi dengan pengetahuan
dari luar . Wallahu A’lam
Metode pembelajaran pesantren
Pesantren dewasa ini telah banyak menyesuaikan dengan tuntutan zaman dalam pembelajarannya seperti kurikulum yang banyak mengikuti anjuran pemerintah. Walaupun,masih banyak pesantren yang tetap memegang teguh sistem pembelajaranya yang lama.
      1.      Metode Tradisional
Sebagai lembaga pendidikan,pondok pesantren (walaupun banyak kalangan menyatakan sebagai lembaga pendidikan tradisional) memiliki sistem pengajaran tersendiri,dan itu menjadi ciri khas sistem pengajaran dari sistem-sistem pengajaran yang dilakukan di lembaga pendidikan formal. Metode-metode tersebut diantara lain adalah:
A. Sorogan
Sorogan, berasal dari kata sorog (bahasa Jawa), yang berarti menyodorkan,sebab setiap santri menyodorkan kitabnya di hadapan kyai atau asisten kyai pertanyaan atau sanggahan yang dikemukakan.Hal lain yang dinilai adalah pemahaman terhadap teks bacaan, juga ketepatan peserta dalam membaca dan menyimpulkan isi teks yang menjadi persoalan atau teks yang menjadi rujukan.Metode ini merupakan cara untuk santri mengenali mufradat (kosakata) bahasa Arab.
B. Bandongan
Bandongan atau juga disebut wetonan, istilah weton ini berasal dari kata wektu (bhs. Jawa) yang berarti waktu, sebab pengajian tersebut diberikan pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum dan atau sesudah melakukan shalat fardlu.Metode weton ini merupakan metode kuliah, dimana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kyai yang menerangkan pelajaran secara kuliah,santri menyimak kitab masing-masing dan membuat catatan padanya.Istilah weton ini, di Jawa Barat disebut dengan bandungan, merupakan cara penyampaian kandungan kitab kuning di mana seorang guru, kyai, atau ustadz membacakan dan menjelaskan isi kitab kuning sementara santri mendengarkan, memberi makna, dan menerima. Dalam metode ini,sang guru berperan aktif sementara murid bersifat pasif. Metode bandongan atau wetonan dapat bermanfaat ketika jumlah murid cukup besar dan waktu yang tersedia relatif sedikit, sementara materi yang harus disampaikan cukup banyak.
C. Halaqoh
Sistem ini merupakan kelompok kelas dari sistem bandongan.Halaqah arti bahasanya adalah lingkaran . Sekelompok siswa yang belajar dibawah bimbingan seorang guru belajar bersama dalam satu tempat dan membentuk lingkaran. Halaqah ini juga merupakan diskusi untuk memahami isi kitab,tapi bukan untuk mempertanyakan kemungkinan benar salahnya apa-apa yang diajarkan oleh kitab,namun hanya untuk memahami apa maksud yang diajarkan dalam kitab tersebut.
D. Hafalan
Metode hafalan yang diterapkan di pesantren-pesantren, umumnya dipakai untuk menghafal kitab-kitab tertentu atau juga sering dipakai untuk menghafal al-Qur`an, baik surat-surat pendek maupun secara keseluruhan. Biasanya santri diberi tugas untuk menghafal beberapa bait dari salah satu kitab, dan setelah beberapa hari baru dibacakan di depan kyai atau ustadnya. Hafalan adalah sebuah metode pembelajaran yang mengharuskan murid mampu menghafal naskah atau syair-syair dengan tanpa melihat teks yang disaksikan oleh guru. Metode ini cukup relevan untuk diberikan kepada murid-murid usia anak-anak,tingkat dasar, dan tingkat menengah.
2.              Metode Modern
Namun ada juga beberapa pondok pesantren yang tidak lagi menggunakan metode klasik dalam pembelajarannya di kelas, layaknya sekolah modern saat ini yang mengggunakan metode modern seperti:
      A.    Demonstrasi
Metode demonstrasi adalah metode yang menggunakan peraga dalam pembelajaranya untuk memberikan pemahaman lebihi pada siswa.
      B.     Kerja Kelompok
Metode ini dilakukan bila ustadz merasa perlu membagi-bagi peserta didik dalam kelompok untuk menyelesaikan masalah dan dikerjakan secara bersama-sama dalam kelompoknya.
      C.    Problem Solving
Metode ini suatu metode pembelajaran yang mengedepankan peserta didik untuk mencari dan menyelesaikan suatu permasalahan tertentu. Metode ini bukan hanya metode pembelajaran saja namun juga merupakan metode berfikir.
Walaupun demikian pesantren sampai sekarang masih banyak yang mempertahankan metode klasik tersebut, dan itu menjadi lambang supremasi serta ciri khas metode pengajaran di Pondok Pesantren.Selain metode-metode diatas masih banyak lagi metode pembelajaran yang digunakan dalam pesantren.Hanya saja model model tersebut adalah yang menjadi pegangan umum dunia pesantren.
Pada ahirnya tergantung kepada kita, apakah mau menganggap semua arus globalisasi ini dipukul rata dengan istilah negatif atau positif. Justru dari sinilah kita dapat mengambil pelajaran yang sangat berharga dalam kedewasaan pola pikir umat dan cenderung lebih beranggapan bersikap picik dalam memandang suatu probelamatika umat.Allahu a’lam



Sekian

Tidak ada komentar:

 
TARBIYYAH ISLAMIYYAH Copyright © | Template designed by Liza Burhan | SEO by Islamic Blogger Template