RENUNGAN TARBIYYAH X











RENUNGAN TARBIYYAH X

Sang pelaku sejarah








Mukaddimah
Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan hambaNya yang mu’min sebagai khalifah dimuka bumi.Shalawat dan salam senantiasa tercurah atas sang pembawa risalah yang sempurna,Muhammad bin Abdillah dan keluarganya yang suci serta sahabatnya yang mulia,selanjutnya:
Tak pelak lagi,bahwa seseorang adalah anak zamannya (ibnu waqtihi),yang bila mana berada pada zaman kemajuan ia akan ikut maju dan berkembang,dan bila berada pada zaman kemunduran akan ikut mundur dan terbelakang.Kita semua menyadari,bahwa hanya melalui pendidikan bangsa kita menjadi maju dan dapat mengejar ketertinggalan dari bangsa lain,baik dalam bidang sains dan teknologi maupun ekonomi. Peran pendidikan penting  dalam membangun peradaban bangsa yang berdasarkan atas jati diri dan karakter bangsa. Pendidikan merupakan gejala yang universal, dimana ada manusia, di sana ada pendidikan. Gejala yang universal ini bukanlah hanya sekedar gejala yang melekat pada manusia saja, melainkan merupakan usaha untuk memanusiakan manusia itu sendiri,yaitu untuk membudayakan manusia.Dengan demikian pendidikan merupakan keharusan bagi manusia. Sesuai dengan perkembangan kebudayaan manusia timbulah tuntutan akan adanya pendidikan yang terselenggara dengan baik, lebih teratur dan didasarkan atas pemikiran yang matang. Disinilah muncul keharusan adanya pemikiran teoritis tentang pendidikan.
Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan bagi kehidupan umat manusia merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat. Tanpa pendidikan sama sekali mustahil suatu kelompok manusia dapat hidup berkembang sejalan dengan aspirasi untuk maju, sejahtera dan bahagia menurut konsep pandangan hidup mereka. Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan/atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat.

Pendidikan adalah suatu proses di mana suatu bangsa mempersiapkan generasi mudanya untuk menjalankan kehidupan dan untuk memenuhi tujuan hidup secara efektif dan efisien. Pendidikan adalah suatu proses dimana suatu bangsa atau negara membina dan mengembangkan kesadaran diri diantara individu-individu.Disamping itu pendidikan adalah suatu hal yang benar-benar ditanamkan selain menempa fisik,mental dan moral bagi individu-individu,agar mereka menjadi manusia yang berbudaya sehingga diharapkan mampu memenuhi tugasnya sebagai manusia yang diciptakan Allah Tuhan Semesta Alam, sebagai mahluk yang sempurna dan terpilih sebagai khalifahNya di muka bumi ini yang sekaligus menjadi warga negara yang berarti dan bermanfaat bagi suatu negara.
Dalam konteks modern dan kontemporer,istilah pendidikan senantiasa diletakkan dalam kerangka kegiatan dan tugas yang ditujukan bagi sebuah angkatan atau generasi yang sedang ada dalam masa-masa pertumbuhan. Oleh karena itu pendidikan lebih mengarahkan dirinya pada pembentukan dan pendewasaan pengembangan kepribadian manusia yang mengutamakan proses pengembangan dan pembentukan diri secara terus menerus (on going formation).
Proses pembentukan diri terus-menerus ini terjadi dalam kerangka ruang dan waktu. Pendidikan dengan demikian mengacu pada setiap bentuk pengembangan dan pembentukan diri yang sifanya prosesual,yaitu sebuah kesinambungan yang terus menerus yang tertata rapi dan terorganisasi,berupa kegiatan yang terarah dan tertuju pada strukturasi dan konsolidasi kepribadian serta kehidupan rasional yang menyertainya,secara personal,komuniter, mondial, dan sebagainya.
Pendidikan adalah fenomena fundamental dalam kehidupan manusia. Melalui pendidikan manusia akan menemukan eksistensinya. Eksistensi manusia adalah eksistensi sosio-budaya, karena proses memanusiakan diri berarti juga proses membudayakan diri yang akan menyangkut eksistensi bersama dan menyangkut kehidupan orang lain. Oleh karena itu pendidikan harus menempatkan keberadaan peserta didik yang terintegrasi dengan lingkungan sosial-kulturalnya dan pada gilirannya akan menumbuhkan individu sebagai pribadi dan anggota masyarakat mandiri yang berbudaya. Hal ini sejalan dengan proses pentahapan aktualisasi intelektual, emosional dan spiritual peserta didik di dalam memahami sesuatu, mulai dari tahapan paling sederhana dan bersifat eksternal, sampai tahapan yang paling rumit dan bersifat internal, yang berkenaan dengan pemahaman dirinya dan lingkungan kulturalnya.
Pesantren adalah kampung peradaban yang didambakan setiap orang.Pondok pesantren secara berkesinambungan memproduksi ulama dengan keintelektualan yang khas.
Pesantren terbukti telah mampu memproduksi kader dalam jumlah besar yang pada akhirnya tampil sebagai lokomotif perubahan dan keterbukaan di Indonesia.Kemampuan pesantren membangun peradaban tidak bisa dilepaskan dari kyai dengan segala pemikiran dan karyanya sebagai tulang punggung pesantren. Peradaban agung merupakan barokah kyai yang tanpa lelah membangun pesantren, mengembangkan masyarakat,dan merawat tradisi intelektual-keilmuwan yang mutawatir dari generasi ke generasi melalui transmisi kitab kuning.
Melalui khazanah khas (genuine) dunia pesantren yang disebut kitab kuning, para kyai mampu menggerakkan bahkan menentukan laju perubahan zaman. Para kyai dengan kreatif menyelami dan mendalami gerak kehidupan yang dipahatkan dalam berbagai karya tulis yang mengagumkan.Warisan kitab-kitab kuning selalu dikreasi untuk terus melaju dengan tantangan zaman. Kreasi tersebut berbentuk aneka ragam, mulai dari
kitab syarah, khulashah, mukhtashar, hingga menulis kitab baru dalam beragam bahasa.
Kehebatan para kyai baik dari segi kedalaman ilmu maupun dalam melahirkan karya-karya telah menarik minat bukan hanya bagi masyarakat Indonesia tetapi juga berpengaruh besar pada dunia Islam pada umumnya. Tidak sedikit kiai dari Indonesia yang menarik perhatian dunia internasional sehingga biografinya dituliskan,terutama dengan bahasa Arab, sejak abad 18 Masehi.Tarajim (biografi ulama) Indonesia yang ditulis dan diterbitkan di Arab Saudi misalnya, Sayyid Abdurrahman Abdushamad Al-Palimbani (Palembang), Mahfudz at-Termasi (Pacitan Jawa Timur), Syaikh Nawawi Al-Bantani (Banten), dan Syaikh Muhammad Yasin ibn Isa Al-Padani (Padang).
Ketika zaman penjajahan pun, kiai telah mendapatkan perhatian yang besar sehingga untuk pertamakalinya Biografi ulama Indonesia ditulis oleh Raden Aboe Bakar (informan atau asisten peneliti Snouck Hurgronje di Makah). Judul bukunya Tarajim Al-Ulama Al-Jawah bi Makkah Al-Mukaramah (Leiden, Cod.Or. 7111),  yang terdiri 13 ulama, yang mukim di Makkah akhir abad 19. Lima guru-murid dari Banten, Nawawi Al-Bantani, Marzuqi, Ismail, Abdul Karim, Arsyad ibnu Alwan, Arsyad ibnu As’ad (Banten). Hasan Mustafa dan Muhammad (Priangan), Tiga dari Batavia, Junayd, Mujitaba, Aydarus; serta dua ulama dari Sumbawa, Zainudin dan Umar.
Kemasyhuran para kyai hingga menarik perhatian khalayak karena mereka membangun tradisi menulis dan mewariskan karya tulis tersebut pada generasi berikutnya. Tampaknya para kyai sadar bahwa pengetahuan hanya bisa bertahan dan berkembang bila dituliskan. Karena alasan ini, para kyai memiliki tradisi menulis yang sangat kuat dengan menghasilkan karya abadi melintasi generasi dan zaman.
Namun,di kalangan kyai dan santri pondok pesantren kini dirasakan mengalami kemandegan bahkan kemunduran dalam karya tulis.Saat ini sangat sulit menemukan kyai pesantren-apalagi santri-yang menulis kitab yang menjadi rujukan.Jangankan untuk menulis kitab kuning, sekadar terampil menulis untuk menuangkan gagasan saja sangat terbatas. Kitab-kitab yang dikaji di pesantren adalah karya para ulama terkemuka pada zamannya,dan kebanyakan masih orisinil, belum ada pensyarahan, pengkhulashahan, pemukhtasharan,apalagi penulisan kitab baru.Ada juga alumni pesantren yang saat ini menjadi penulis,tetapi bukan hasil dari kaderisasi yang disiapkan untuk menjadi penulis ketika belajar di pesantren.Mereka menjadi penulis karena telah bergumul dengan dunia luar pesantren, kemudian bersungguh-sungguh secara mandiri belajar untuk menjadi penulis.
Di sisi lain ada perkembangan baru setelah terjadi modernisasi dalam pendidikan pesantren. Beberapa kyai yang berkarya tidak lagi hanya berbahasa arab tetapi juga berbahasa Indonesia dan bahasa lokal lainnya. Bukan hanya berbentuk kitab kuning tetapi juga dalam bentuk makalah seminar, workshop, artikel untuk koran, tabloid, majalah, bahkan karya untuk di sajikan didunia maya, website, blog, twiter, juga facebook.
Kondisi ini terjadi di hampir semua pondok pesantren, baik salaf, khalaf, terpadu, Ma’had ‘Aly, maupun pondok pesantren mahasiswa. Situasi ini sungguh ironi sekaligus anomali, karena krisis tradisi menulis di pesantren telah menjadi keprihatinan bersama khususnya di dunia pesantren sendiri. Para ulama, kyai, pengasuh pesantren, dan akademisi telah menuturkan krisis ini hampir tidak terhitung lagi.Tetapi pada saat yang sama belum ada upaya-upaya strategis, sistematis, dan saling bersinergi untuk membangun budaya menulis yang lahir dari dunia dalam pesantren.
Para kyai yang saya kenal, dan dikenal sebagai penulis dan berkarya tulis, mayoritas mereka tidak menularkan ilmu semangat menulisnya kepada para santri. Kyai yang menulis seakan menikmati dunianya sendiri. Oleh karena itu, sudah waktunya tradisi menulis di dunia pesantren dibangun kembali spiritnya sehingga pesantren kembali pada zaman keemasannya sebagai lembaga akademik yang memiliki dunia menulis yang sangat kuat dan mapan.
Wassalam
Cianjur,Minggu 25 Jumadits Tsani 1437
03 April 2016
Prakata
Berangkat dari pertanyaan, bagaimana membangunkan masyarakat Indonesia yang sedang tertidur pulas dan terpinggirkan secara politik, ekonomi, sosial dan budaya dari serbuan modal dan budaya asing.
Upaya membangunkan masyarakat yang tertidur, tentunya dimulai dengan  membangunkan individu individu yang semakin individualistis, banyak dari sisi jumlah,  namun seperti buih di lautan, keropos mudah diadu domba dan di provokasi.
Memahami diri
Dalam struktur diri kita, setidaknya terdiri dari 3 komponen utama, yakni :Jasad ( fisik), Ruh dan Akal. Sedangkan  Jiwa ( Nafs) disebut sebagai hakekat eksistensi diri manusia yang akan dimintai pertanggungjawabannya di akhir nanti.
Kwalitas Jiwa kita, seperti kondisi  jiwa yang tenang, jiwa  amarah atau jiwa yang senantiasa lawwamah (galau)  sangat tergantung dari bagaimana kita mampu memeliharan kesucian dan sinergi dari Jasad,Ruh dan Akal.Ketiga komponen tersebut mempunyai karakteristik dan  kebutuhan yang berbeda beda.
Bila Jasad yang berbentuk materi berfungsi  sebagai indera (melihat, mendengar, berbicara, berjalan, bergerak  dan lainnya) mempunyai kebutuhan akan materi juga seperti makan,minum,pakaian,tempat tinggal,kendaraan, lingkungan yang sehat, dan sebagainya.
Sedangkan Akal yang berfungsi untuk menyimpan informasi dan  pengetahuan serta  menganalisanya, mempunyai kebutuhan akan informasi dan pengetahuan yang berkualitas melalui bacaan ayat ayat yang tertulis maupun ayat ayat yang tersirat di alam semesta.
Maka Ruh, merupakan wujud eksistensi Tuhan dalam diri manusia, karenanya dalam diri  manusia, terdapat 99 sifat ketuhanan (asma alhusna) dalam dirinya seperti, pengasih, penyayang,berpengetahuan,kuasa,gagah,suci,sabar,mandiri dan sebagainya.
Ruh sebagaimana jasad dan akal juga mempunyai kebutuhan,yaitu aktivitas spiritualitas berupa  ibadah kepada Allah baik ibadah vertikal (hablum minallah) yang akan membentuk kesalehan pribadi atau ibadah horizontal (hablum minnannas) yang akan membentuk kesalehan sosial.
Sayangnya ditengah kuatnya budaya  konsumerisme dan hedonisme, kita sering kali lalai dan abai untuk dapat memenuhi apa yang sebenarnya menjadi kebutuhan diri. Kita hanya berkutat dan berfokus pada kebutuhan material saja seperti makanan, minuman, pakaian, kendaraan dan tempat tinggal. Jarang sekali kita memenuhi kebutuhan diri berupa kebutuhan akal dan ruh yakni berupa aktivitas membaca,menulis dan juga ibadah harian seperti shalat, infaq, puasa dan sebagainya.
Akibatnya diri kita mengalami kehampaan dan kekeringan spiritual. Bila tubuh ini memerlukan air mineral dan sayur mayuran agar tubuh tidak mengalami kekeringan, begitu juga ruh dan akal  kita akan menjadi kering dan hampa, ketika asupan intelektualitas dan spiritualitas tidak pernah kita berikan.
Efeknya bagi diri kita adalah, hidup terasa hampa tanpa makna, mudah goyah, mudah stress, mudah marah dan mudah sedih.
Kebutuhan Spiritilualitas dan Intelektualitas
Sesungguhnya tidak sulit untuk dapat memenuhi kebutuhan diri akan spiritualitas dan intelektualitas, selain shalat harian, ternyata dengan  “membaca kitab suci Al Quran”, kita akan mendapatkan dua dimensi sekaligus, yakni aspek intelektualitas maupun aspek spiritiualitas.
Membaca teksnya saja  sudah merupakan ibadah, dan juga sarana komunikasi dengan Allah yang sesungguhnya merupakan dorongan  religius kepada kaum muslim  untuk mengaktifkan pendayagunaan akal fikiran  guna memahami  teks teks Quran.Itulah salah satu rahasia mengapa Islam sejak awal kelahirannya dengan cepat mengembangkan tradisi keilmuan yang sangat kaya.
Disamping itu Al Quran sangat menghormati kedudukan ilmu.  Di dalam  Al Quran terdapat  beratus ratus ayat yang menyebut  ilmu dan pengetahuan  sebagai kualitas kemuliaan manusia.
Lima ayat pertama yang diturunkan kepada Rasulallah shallallahu alaihi wa laihi wa salam berkaitan dengan kegiatan keilmuan. Kata pada ayat pertama, “Iqro”, jelas sekali  berkaitan merupakan aktivitas intelektual manusia.
Dalam ayat lain Allah berfirman ,” Allah meninggikan derajat orang  orang beriman dan berilmu (QS:  Al Mujadilah/58  : 11).
Dipertegas disurah Az Zumar/39 : 9, Allah berfirman, ” Apakah sama orang orang  yang mengetahui dengan orang orang yang tidak mengetahui ? Sebenarnya hanya orang orang yang berakal sehat yang dapat menerima pelajaran.
Wahyu : Sumber inspirasi
Al Quran menjadi sumber inspirasi yang menjadi penggerak  dan elan vital luar biasa bagi para ilmuwan dan aktivis muslim dalam mengembangkan berbagai ilmu pengetahuan yang mencerahkan peradaban  dunia.
Di dalam Al Quran setidaknya terdapat 750 ayat atau sekitar seperdelapan isi Al Quran yang mendorong  kaum beriman untuk menelaah alam serta merenungkan  dan menyelidikan dengan akal budi.
Al Quran mengajak kita untuk mempelajari alam semesta sebagai jalan untuk mengetahui al Haq dan Realitas  serta cermin  untuk mengetahui alam  disamping juga adanya manfaat  praktis dari ilmu ilmu itu untuk kesejahteraan umat manusia.
Lebih jauh,sesungguhnya  Al Quran bukan hanya sumber inspirasi,namun juga secara alamiah menumbuh kembangkan  ilmu ilmu filsafat, matematika, biologi, kedokteran, psikologi, ekonomi,  kesastraan dan sejarah.
Sejumlah saintis  dan filsuf besar dilahirkan  dalam rahim peradaban Islam.  Katakankah Ibnu Sina,yang karyanya  Qanun fi al-Thibb merupakan karya  yang paling sering diterjemahkan  kedalam bahasa  bahasa Eropa pada era Renaisance.
Umar khayyam ( penyair dan  matematikawan peletak dasar  geometri analitik),Ibnu Rusyd (filsuf besar yang memantik api rasionalisme di Eropa), atau kelompok Al Shafa yang menyuarakan pesan  pesan universal kemanusiaan dan kosmopiltan.
Disamping itu ada, Al Khazini ( pencetus teori Gravitasi), Ibn Nafis (penemu kapiler paru paru), Ibn Al Haitsam  (Bapak Optik), Al Batani ( astronom  penentu 24 jam perhari), Al khawarizmi ( bapak Aljabar), Abdul  Al Wafa (pengembang Trigonometri), Al Biruni (bapak Eksperimentalis) yang telah melahirkan 200 karya ilmiah.
Filsuf Muhammad Iqbal, mencoba menjelaskan mengapa Al Quran memberi inspirasi  sarjana muslim awal untuk mengembangkan  pelbagai disiplin ilmu.Iqbal menjelaskan  bahwa nilai nilai Quran  berkarakter dinamis, konkret, nyata yang mendorong  kaum muslim melakukan   eksperimen  dan berfikir induktif, dan membedakan  dengan para ilmuwan Yunani, Mesir, Persia, India dan China.
Kebudayaan Persia, India dan China kuno  cenderung  bercorak mistis-esoteris dan agak abai dalam pengembangan tradisi pengetahuan emperis dan rasional. Kelemahan Peradaban Yunani dalam hal sains empiris menggunakan metode eksperimen  dan logika induktif.  Sedangkan barat menekankan tradisi sians empiris  dengan pendekatan  induktif  dan meninggalkan  tradisi pengetahuan  rasional iluminatif.
Hanya saja, saat ini tradisi keilmuan Islam dari para pemikir hebat tersebut hanya dinilai sebagai produk sejarah,bukan sebagai  proses interprestasi  yang selalu menyingkap makna ajaran Islam yang tak habis habisnya digali.
Akibatnya, berbagai upaya  membangun kepercayaan diri  dan kesadaran kolektif ummat untuk bangkit kembali menjadi pelaku sejarah senantiasa  membuahkan hasil yang tidak maksimal.
Karena api semangat pembaruan tidak diikuti oleh sumber pembaruan yakni tradisi intelektual dan hikmah.
Karenanya, membangun kembali tradisi keilmuan islam berguna untuk  membangun keautentikan peradaban,tanpa apresiasi  akan tradisi keimuan Islam, kita akan sulit  menghidupkan dan mengembangkan kembali etos keilmuan muslim yang tinggi.
Tradisi Hikmah/filsafat  dan tradisi keilmuan  ( kekayaan dan kesuburan karya keilmuan)  dikalangan muslim  akan membuat kita mampu bersikap  kritis terhadap segala sesuatu yang tidak sesuai dengan  nilai nilai dasar keyakinan kita serta membuat kita akan kreatif dalam menghasilkan karya karya intelektual.
Tidak terjebak pada parsialitas strategi wujudkan semangat kebangkitan Islam, seperti yang dipraktekkan beberapa elemen gerakan Islam saat ini, yang berfokus pada strategi politik saja, sosial saja, pendidikan saja tanpa disinergikan dengan pendekatan budaya dan kearifan lokal.Hasilnya bisa ditebak, masyarakat Indonesia yang memiliki akar sejarah dan budaya yang panjang tidak bisa didekati oleh elemen elemen gerakan sosial  yang ada, apalagi dengan pendekatan yang ujung ujungnya ingin menghapus budaya lokal.
Membaca ulang masalah dan Merancang ulang strategi
Kegagalan elemen pergerakan  mendekati masyarakat  adalah permasalahan serius dalam pergerakkan, yang terjadi akibat gagalnya dalam memahami permasalahan masyarakat serta gagal memahami struktur sosial budaya masyarakat dan gagal dalam memahami esensi  dan substansi dari dakwah itu sendiri.Masyarakat, baik masyarakat desa atau kota adalah tatanan sosial yang sudah ada ribuan tahun lamanya dengan karakteristik dan akar budaya yang beragam dan mengakar.Sehingga,setiap elemen gerakan harus memahami secara mendalam karakteristik masyarakat dan individunya.
Hanya mendekati masyarakat untuk kepentingan politik sesaat atau kepentingan ekonomi jangka pendek,apalagi  untuk kepentingan pribadi dan kelompok,jangan harap kita akan bisa mengubahnya.Karena yang akan terjadi hanya kesenjangan dan bias samar yang hilang dengan cepat, seperti debu diterpa angin.Dan itu bisa kita saksikan sendiri masa ini dengan nyata.Apalagi pendekatan dengan cara puritan dan paksaan,semua hanya berdampak kekacauan dan kekakuan.Jangankan untuk melakukan pendekatan dan konsolidasi,sedangkan untuk memberikan sedikit penyuluhan pun akan menerima banyak hambatan dan rintangan.Bila begitu,apalagi untuk mengisi dan membawa umat menuju kemajuan dan kejayaan.Sungguh hanya mimpi disiang hari bolong.
Wassalam
Barang siapa yang pandai membaca tanda-tanda zaman, maka zaman akan menyelamatkannya. Siapa yang lalai terhadap zaman, maka zaman akan merendahkannya
DUNIA ini membosankan.Maka perlu inovasi (cara baru melakukan sesuatu) dan kreatifitas (proses mental dari suatu generasi untuk melahirkan gagasan dan konsep dari kondisi tertentu).
Kreativitas merupakan produk dari kecerdasan dan kemauan (niat) untuk melahirkan sesuatu yang baru dan lebih berguna.Bahwa perubahan bergerak cepat,jika tak mampu diimbangi dengan pengetahuan maka akan tergilas.Rasulallah shallallahu alaihi wa alihi wa salam, berpesan "siapa yang hari ini sama dengan kemarin, maka ia telah merugi.Siapa yang hari ini lebih buruk dari kemarin maka ia telah celaka, dan siapa yang hari ini lebih baik dari kemarin, itulah orang yang beruntung".
Siapa pun tak terlepas dari hukum perubahan. Mereka yang enggan mengubah diri akan ’ketinggalan zaman‘ dan akan mengalami kemandekan bahkan kemunduran. Dalam surat Al-’Ashr,Allah telah menyatakan,bahwa manusia akan rugi dalam dimensi waktu jika tidak melakukan perbaikan atas kebenaran dan kesabaran.Dalam satu riwayat,imam Ali r.a; berkata “Barang siapa yang pandai membaca tanda-tanda zaman, maka zaman akan menyelamatkannya. Siapa yang lalai terhadap zaman, maka zaman akan merendahkannya”.
Dalam kontek itu,Pesantren yang berdiri diatas landasan tradisi keilmuan mutlak harus terus melakukan inovasi dan kreatifitas.Kewajiban ponpes untuk membangun masyarakatnya dengan memelihara dan mengembangkan fungsi-fungsi krusialnya melalui penegakan etik dan keteguhan ilmiah serta intelektual melalui berbagai aktifitasnya.
Insan pondok pesantren (kyai dan santri),harus berbicara lantang dan tegas tentang masalah-masalah etik, kebudayaan dan sosial secara independent serta dengan kesadaran penuh tanggung-jawab menegakkan otoritas intelektual yang diperlukan masyarakat dalam berefleksi, memahami, dan bertindak. Juga mampu memperkuat fungsi-fungsi kritis dan berorientasi kemasa depan (future oriented) melalui analisis yang berkelanjutan tentang kecenderungan perubahan dan perkembangan sosial, ekonomi, budaya dan politik yang sedang tumbuh; dan sekaligus memberikan fokus bagi prediksi, peringatan dan pencegahan. Juga menegakkan kapasitas intelektual dan prestise moralnya untuk membela dan secara aktif menyebarkan nilai-nilai yang telah diterima secara universal, termasuk perdamaian, keadilan, kebebasan, kesetaraan, dan solidaritas.
Dengan kebebasan dan otonomi akademis,lembaga pondok pesantren bertanggungjawab sepenuhnya kepada masyarakat dengan memainkan peran dalam membantu mengidentifikasi dan menjawab masalah-masalah yang mempengaruhi kesejahteraan berbagai komunitas, bangsa, dan masyarakat.Di sinilah santri sebagai aktor-aktor utama. Santri jadi “pusat” atau “orientasi” dalam seluruh kegiatannya,dan memandang santri sebagai stakeholder yang penting.
Para kyai adalah orang terikat dengan tradisi ilmiah yang dilandasi keyakinan,harus mampu memberikan makna terhadap masyarakat atau bangsa.Kyai harus mempertegas komitmennya sebagai insan intelektual untuk terus meningkatkan etos intelektualnya dengan berbagai aktifitas ilmiah melalui pendidikan-pengajaran dan pengabdian kepada masyarakat.Para kyai yang berkecimpung dalam keilmuan Islam,selain perlu untuk mempelajari tradisi ilmiah Islam klasik,perlu pula untuk mempelajari tradisi ilmiah kontemporer serta mengkombinasikan hal-hal positif dari keduanya dan memperbaiki hal-hal yang negatif dari keduanya.
Mempelajari tradisi ilmiah klasik melalui karya-karya Intelektual muslim seperti kitab al-Muwatha‘ karya Imam Malik, Ar-Risalah Karya Imam Syafi‘i, Kitab Hadis Imam, Bukhari, Muslim dan lain-lain yang bertebaran diberbagai pustaka.Menunjukkan kreatifitas dan tradisi ilmiah yang mereka tunjukkan sebagai keagungan peradaban Islam yang dibangun dengan ilmu pengetahuan.
Kita juga tidak bisa menutup mata bagaimana kemajuan terhadap kemajuan ilmu pengetahuan saat ini dengan tradisi ilmiah kontemporer.

Lalu,bagaimana memulainya ?
Memulai tradisi intelektual itu dengan mengubah ponpes sebagai tempat untuk tiga hal:
Pertama,membiasakan membaca sebagai suatu kebutuhan. Baik membaca sesuatu yang teoritis-tertulis maupun membaca kondisi, situasi yang terus berubah, sehingga mampu memberi respon intelektual secara proporsional. Ini penting sebab disinyalir banyak kyai dan santri yang rendah bahkan tidak lagi memiliki kebiasaan membaca.
Kedua,membiasakan untuk proaktif terlibat, dan berinisiatif melakukan diskusi dengan apa yang sudah dibaca dari konsep dan kondisi faktual sehingga melahirkan gagasan baru.
Ketiga,membiasakan menulis yang merupakan tradisi ilmiah yang sangat penting. Sebab para intelektual dari zaman dahulu telah menunjukkan betapa menulis adalah bagian dari menyebarkan dan merawat sumber ilmu pengetahuan bagi genarasi yang akan datang.
Kenyataan, kebanyakan para kyai saat ini, hanya menjalankan salah satu tugasnya saja,antara lain mengajar.  Sangat disayangkan,kreatifitas menulis sesuatu yang sering diabaikan, karena menganggap tidak mampu, apa yang akan ditulis sudah ditulis orang dan berbagai alasan lainnya. Padahal Allah telah menganugerahkan kepada kita potensi yang sama.Yaitu potensi intelektual, emosional dan spiritual untuk dapat dimanfa‘atkan dengan mendaya gunakannya.Maka dengan tidak mendaya gunakan berarti telah mengingkari nimat dan amanah Allah.Dan khusus bagi kyai,hal tersebut telah mematikan tradisi ilmiah yang berarti akan memadamkan keagungan peradaban Islam itu sendiri.
Mampukah Pesantren Bertahan ?
Tulisan ini berisi daftar “keluhan” tentang sejumlah tantangan berat yang dihadapi oleh pesantren. Sebab saya memang seorang pengeluh yang,insya Allah,sangat baik. Apa yang saya tulis ini bukanlah daftar yang “exhaustive”/lengkap mengenai tantangan-tantangan yang melilit pesantren saat ini, terutama di sektor pemikiran. Tetapi apa yang saya tulis ini semoga saja memberikan gambaran sekilas mengenai tantangan tersebut.
Tantangan pertama menyangkut kelanjutan pesantren sebagai lembaga dalam jangka panjang. Pertanyaan besar yang harus dijawab adalah: Apakah pesantren bisa bertahan sebagai benteng pemikiran yang berbasis tradisi intelektual Islam klasik dalam jangka panjang?
Pertanyaan ini tak mudah dijawab dengan sekali pukul. Jawaban atas pertanyaan ini tentu saja bergantung kepada komunitas pesantren dan kemampun mereka mengembangkan lebih lanjut lembaga tersebut. Tetapi, di sini saya hanya akan mengulas sejumlah tantangan besar yang dihadapi pesantren saat ini.
Kelanjutan suatu lembaga tergantung pada banyak hal. Salah satunya adalah pendanaan. Menyelenggarakan lembaga pendidikan yang bermutu bukanlah pekerjaan yang murah.Pendidikan yang mutunya baik makin mahal saat ini. Pada masa lampau, pesantren bisa tegak sebagai pendidikan yang secara intelektual bermutu dengan biaya yang sangat murah. Tetapi keadaan masa lampau itu tidak bisa lagi diulang saat ini. Ada keuntungan-keuntungan historis yang dinikmati oleh generasi pengelola pesantren di masa lampau yang sudah tak lagi bisa dinikmati oleh pemangkut pesantren sekarang. Contoh yang sangat baik adalah “social confidence” atau kepercayaan masyarakat pada pesantren sebagai “provider of best opportunities,” (penyedia solusi terbaik).Seratus tahun lalu, pesantren mendapatkan kepercayaan yang sangat besar dari masyarakat sebagai lembaga yang memungkinkan para talamidz atau santri meraih kesempatan-kesempatan sosial terbaik pada zamannya. Sebagai lembaga pendidikan di tengah-tengah umat Islam, pesantren belum mendapatkan saingan dari lembaga serupa yang menyediakan lembaga pendidikan alternatif.
Pada masa kolonial dulu, pesantren juga menikmati keuntungan yang tak dipunyai oleh pesantren di zaman ini. Walau pendidikan modern dengan model Eropa sudah mulai bermunculan di tengah-tengah masyarakat, terutama di Jawa, tetapi akses ke sana sangat lah terbatas. Hanya kalangan bangsawan dan pangreh praja yang memperoleh “luxury” atau kemewahan untuk mengirimkan anak-anaknya ke sana. Sebagian besar masyarakat yang umumnya miskin mustahil mengirimkan putera-putera mereka ke lembaga pendidikan modern tersebut.
Sementara itu, sikap antipati masyarakat Muslim terhadap lembaga pendidikan modern ala Belanda juga tak bisa diabaikan. Sekolah-sekolah modern ala Eropa tak mendapatkan “social confidence” yang cukup dari kalangan umat Islam karena dianggap sebagai lembaga pendidikan bikinan penjajah. Semangat nasionalisme yang berkobar sejak awal abad ke-20 di tanah Jawa di kalangan umat Islam menihilkan sama sekali simpati dan kepercayaan umat pada lembaga pendidikan modern yang bernama “sekolah” atau “universitas”. Hingga waktu yang tak berselang lama, sebetulnya perasaan antipati di kalangan sebagian masyarakat Muslim, terutama yang berafiliasi dengan kultur NU, masih sangat mendalam.
Situasi sosial semacam ini tentu menjadikan pesantren, atau madrasah pada umumnya, sebagai “the premium choice,” (pilihan utama),sebagai lembaga pendidikan yang dipercaya oleh umat Islam. Ini adalah kentungan sosial yang jika dirupiahkan tentu tak bisa dinilai yang dinikmati oleh pesantren/madrasah pada masa lampau dan tak lagi bisa dinikmati sepenuhnya oleh pemangku lembaga pendidikan tersebut saat ini. Sekarang, kita menyaksikan keadaan yang sama sekali berlainan.
Setelah kemerdekaan, kita menyaksikan keadaan yang makin tak menguntungkan bagi pesantren, di segala level dan sektor. Pemandangan pendidikan Indonesia pasca-kemerdekaan bisa diikhtisarkan dengan satu istilah: modernisasi. Apa yang disebut modernisasi di sini pada dasarnya adalah usaha membangun lembaga pendidikan dengan model dan kultur yang kurang lebih mendekati gaya dan model pendidikan di Eropa. Usaha modernisasi pendidikan sebetulnya sudah dilakukan sejak zaman kolonial. Tetapi, sebagaimana kita lihat, modernisasi pendidikan pada era itu berhadapan dengan antipati dari kalangan bumiputera, terutama bumiputera Islam. Di samping itu, modernisasi pendidikan di era kolonial hanya dinikmati oleh segelentir kelas pangreh praja.
Di era kemerdekaan, aktor modernisasi pendidikan bukan lagi pihak penjajah, melainkan pemerintah pribumi yang berkuasa atas nama “la volontè générale,”(kehendak umum) bangsa Indonesia.Usaha modernisasi ini agak tersendat sejenak pada dekade 50an dan 60an karena situasi politik yang kurang stabil saat itu. Namun, keadaan mengalami perubahan drastis pada era Orde Baru. Bersamaan dengan upaya pembangunan ekonomi yang dilakukan secara agresif oleh pemerintah Orba, modernisasi pendidikan juga dilakukan secara besar-besaran sejak dekade 70an dengan sokongan dana yang luar biasa besar.
Ada dua ciri khas yang menonjol dalam modernisasi ini. Yang pertama adalah massifikasi pendidikan, terutama pada tingkat pendidikan dasar. Ribuan SD Inpres dibangun di seluruh Indonesia dan untuk pertama kali memberikan akses pendidikan yang murah kepada rakyat luas. Jika selama ini pendidikan murah disediakan secara terbatas oleh aktor swasta, antara lain pihak pesantren dan madrasah, kini pendidikan murah disediakan dalam skala raksasa oleh negara dengan disokong pendanaan yang memadai.Ciri kedua adalah pemodelan pendidikan menurut kultur dan pola kelembagaan yang dikenal di Barat. Seluruh lembaga pendidikan yang dibangun oleh Orde Baru, mulai dari tingkat dasar hingga tinggi, pada dasarnya adalah pendidikan dengan model yang kurang lebih sama dengan pendidikan yang dikembangkan di Barat dengan tradisi keilmuan dan kelembagaannya yang khas. Dengan kata lain, lepas dari retorika nasionalisme kebudayaan yang mencirikan kebijakan Orba dalam lapangan kebudayaan, apa yang dilakukan rejim itu di sektor pendidikan adalah “westernisasi” atau pembaratan.
Pendidikan Islam pun tak terlepas dari proses modernisasi ini. Di bawah kepemimpinan Prof. Mukti Ali sebagai menteri agama saat itu, pemerintah melakukan upaya modernisasi madrasah secara besar-besaran dengan dukungan pendanaan dari negara yang sangat cukup. Apa yang disebut sebagai madrasah modern, dalam bentuk Madrasah Negeri atau lembaga pendidikan tinggi seperti STAIN/IAIN (sekarang menjadi UIN), memperkenalkan tradisi keilmuan dan kelembagaan yang sama sekali berbeda dengan tradisi yang kita kenal di pesantren. Tradisi keilmuan yang dikembangkan dalam lembaga-lembaga pendidikan modern itu mengikuti suatu “epistemologi baru” yang berbasis pada “free inquiry,” (penelaahan bebas),walau dengan derajat yang terbatas. Tradisi kajian Islam yang berkembang di lembaga-lembaga modern seperti IAIN jelas berbeda secara radikal dengan corak kajian yang berkembang di pesantren atau madrasah. “Faith baggage” (basis keimanan) dalam kajian keislaman di IAIN, harus diakui, tak sebesar di pesantren, dan itulah yang memungkinkan berlangsungnya “free inquiry” dalam kajian keislaman di “madrasah modern.”
“State-sponsored modernization,” atau modernisasi yang disokong pemerintah ini menghadapkan pesantren kepada keadaan yang sama sekali kurang mengutungkan. Karena sokongan pendanaan yang luar biasa besar dari negara, pamor dan prestise pendidikan modern, baik yang umum maupun agama, meningkat tajam di tengah-tengah masyarakat. Pesantren mendapatkan pesaing berat sebagai “the provider of best opportunities” kepada masyarakat luas. Situasi ini memojokkan pesantren pada posisi “David vs Goliath” dalam persaingan yang sama sekali tak berimbang. Sementara pesantren bergantung pada sokongan sukarela dari masyarakat yang juga pelan-pelan kian merosot (saya akan jelaskan dalam bagian berikut), lembaga pendidikan modern makin mengalami ekspansi besar-besaran karena sokongan dana negara yang nyaris tanpa batas. Jika kerangka teoritis “negara kuat vs masyarakat lemah” yang populer di era Orba dulu bisa kita pakai di sini, dengan jelas dapat kita saksikan kompetisi yang sama sekali kurang adil antara lembaga pendidikan modern yang begitu kuat karena sokongan negara, berhadapan dengan lembaga pendidikan pribumi yang dibangun oleh swadaya masyarakat yang lemah.
Sementara itu, modernisasi dalam ranah kehidupan lebih luas juga berlangsung secara agresif melalui penetrasi lembaga-lembaga modern ke tengah-tengah masyarakat. Yang paling besar dampaknya, tentu saja, adalah penetrasi lembaga ekonomi modern melalui kekuatan pasar dan segala pernik penopangnya. Muncullah harapan-harapan sosial baru yang tampaknya lebih banyak dipenuhi oleh lembaga pendidikan modern. Ini semua membuat posisi pesantren kian terdesak di tengah-tengah masyarakat. Bukan saja pesantren/madrasah mendapat pesaing berat dari lembaga pendidikan modorn, tetapi penetrasi lembaga-lembaga modern ke tengah-tengah masyarakat menciptakan harapan sosial baru yang membuat “social confidence” terhadap pesantren menjadi merosot. Tentu saja ini berkaitan dengan merosotnya dukungan pendanaan dari masyarakat bagi pesantren.
Inilah yang melahirkan tantangan berikutnya, yakni memudarnya otonomi pesantren karena lembaga ini pun pelan-pelan mengalami proses “etatisasi,”(ketergantungan) kepada sokongan pemerintah. Sudah bukan rahasia lagi bahwa sumber pendanaan terbesar bagi pesantren saat ini adalah dana pemerintah melalui Kemenag. Naiknya dana pendidikan secara tajam melalui skema “capping” atau pematokan sebesar 20% dalam konstisusi kita (UUD Pasal 31 ayat 4) yang terjadi setelah era reformasi, menciptakan kemungkinan baru, yakni besarnya “state largesse” (bantuan negara) untuk pendidikan agama melalui Kemenag. Era reformasi menyaksikan ekspansi peran pemerintah yang luar biasa di bidang pendidikan, termasuk dalam pendidikan agama. Bersamaan dengan itu, proses modernisasi pendidikan pun berlangsung kian jauh dan kian mendalam.
Tentu saja situasi semacam ini tidak seluruhnya disesali oleh pengelola pendidikan pesantren. Mungkin sebagian besar kalangan pesantren menyambut dengan baik membesarnya dana pendidikan bagi madrasah dan pesantren, sebab dengan demikian kemungkinan pengembangan pendidikan di lembaga itu bisa diperbesar. Sokongan pendanaan yang berasal dari masyarakat untuk pesantren, sebagaimana kita tahu, sudah tak bisa lagi diandalkan seperti dulu. Mengatasi situasi yang tak ideal ini, cara paling cepat yang tersedia bagi para kyai atau pengelola pesantren adalah menoleh kepada pemerintah sebagai alternatif pendanaan baru.Tetapi,dengan demikian, sebuah harga sosial-politik harus dibayarkan oleh pesantren,yaitu kehilangan otonomi.Dengan masuknya pesantren dalam pusaran modernisasi pendidikan yang digerakkan oleh pemerintah,maka dengan demikian, pesantren juga kehilangan otonomi untuk menentukan agendanya sendiri.
Salah satu dampak dari hilangnya otonomi ini adalah kian memudarnya corak kajian Islam yang dulu pernah dikembangkan oleh pesantren, dan makin dominannya corak pendidikan Islam ala pemerintah di lembaga pesantren itu sendiri.Dengan kata lain, sekarang ini garis demarkasi antara corak pendidikan pesantren dengan madrasah pemerintah nyaris kabur. Dengan mengecualikan beberapa pesantren besar di Jawa Timur dan Jawa Tengah, saya kira kita melihat tren umum di pesantren-pesantren di Indonesia: yakni tren “pemerintahifikasi” (etatification) – makin miripnya pendidikan pesantren dengan pendidikan keagamaan luar pesantren yang disokong oleh pemerintah. Di sini,agen penting yang menentukan “agenda pendidikan Islam” bukan lagi pesantren,tapi pejabat di Kemenag.
Bagi saya,hilangnya otonomi pesantren ini jelas patut disayangkan.Saya melihat bahwa kajian Islam di Indonesia sudah seharusnya merawat keragaman yang dimungkinkan oleh kehadiran lembaga pendidikan “swasta” seperti pesantren.Saat ini, sekurang-kurangnya kita melihat tiga corak kajian Islam di Indonesia.Pertama adalah corak kajian seperti kita lihat di pesantren yang “silsilah intelektual”-nya bersambung jauh ke belakang, ke tradisi serupa yang berkembang selama berabad-abad dalam khazanah intelektual Islam klasik.Kedua, adalah kajian Islam seperti dikembangkan di IAIN/UIN. Corak kajian ini sudah mengadopsi spirit “free inquiry” yang dominan di “Western academia”.Ketiga adalah corak kajian Islam yang berkembang di perguruan tinggi umum yang sudah mengikuti sepenuhnya pendekatan saintifik-fenomenologis seperti kita lihat dalam tradisi “religious studies” yang berkembang di Barat. Ketiga model kajian itu harus ada secara serentak, dan ketiganya memperkaya wawasan kita tentang Islam dan “Islamic discourse.” Dengan hilangnya otonomi pesantren sebagai aktor pendidikan yang mampu menentukan agendanya sendiri sesuai dengan tradisi intelektual yang sudah berkembang lama di sana, tentu saja kita harus dengan sedih menyaksikan tumbangnya salah satu “varietas” penting dalam keragaman kajian Islam di Indonesia.
Apalagi jika kita pertimbangkan bahwa apa yang disebut sebagai “Islamic moderation” yang menjadi ciri Islam di Indonesia pada dasarnya banyak berhutang pada corak kajian Islam dan “Islamicity” yang dikembangkan di pesantren. Hilangnya otonomi pesantren, bagi saya, adalah ancaman bagi pilar penting moderasi Islam di Indonesia.
Meskipun peran pemerintah yang kian membesar dalam ranah pendidikan, termasuk pendidikan agama, tidak merupakan hal yang jelek pada dirinya sendiri, bahkan sangat positif bagi sebagian kalangan dilihat dari segi ketersediaan dana yang kian besar untuk pengembangan lembaga pendidikan Islam, tetapi ada satu hal yang harus kita perhatikan. Hal yang menonjol dalam lembaga-lembaga pendidikan keislaman yang disokong pemerintah adalah absennya “tradisi intelektual Islam” yang sudah berumur ratusan tahun. Tradisi itu ada di pesantren, tetapi sama sekali absen di sekolah-sekolah pemerintah yang didukung dana besar itu. Secara metaforis, lembaga-lembaga pendidikan keislaman yang disokong oleh pemerintah itu mirip mal-mal mewah di Jakarta yang memiliki “facade” (penampakan luar) yang gemerlap dan menakjubkan, tetapi kosong dari “tradisi” dan “sejarah”. Ia adalah struktur yang dangkal. Sementara pesantren dengan kesederhanaan fisiknya, sesungguhnya menyimpan “deep structure” berupa tradisi intelektual serta sejarah kelembagaan yang tua, bersambung dengan sejarah “Islamic colleges” seperti pernah diulas dengan baik oleh Prof. George Makdisi dalam karya klasiknya, The Rise of Colleges (1984).
Dengan mengaburnya batas antara pendidikan pesantren dan “madrasah pemerintah,” maka kita melihat gejala yang menarik, gejala yang mirip dengan mal-mal di kota. Sementara pesantren mengalami modernisasi fisik dan kelembagaan, antara lain karena sokongan pendanaan dari pemerintah, di pihak lain kita melihat merosotnya “deep structure” berupa tradisi keilmuan yang menjadi ciri khas pesantren. Inilah yang akan menjadi sorotan saya dalam bagian berikut.
Disorientasi dan pendangkalan tradisi intelektual
Tantangan ini berkaitan langsung dengan “core” (inti) dari tradisi pesantren, yakni di sektor pemikiran dan tradisi keilmuan.Tesis saya dalam bagian ini adalah bahwa terjadi kemerosotan, sekaligus disorientasi dalam tradisi keilmuan pesantren,terutama sejak terjadinya proses modernisasi besar-besaran di sektor pendidikan yang disponsori oleh pemerintah.Saya menganggap, kemerosotan ini sebagai ancaman yang serius terhadap “intellectual integrity” dari pendidikan di pesantren.Menurut saya, ini adalah tantangan yang belum sepenuhnya disadari oleh kalangan pesantren.Sekurang-kurangnya, hingga saat ini, saya belum mendengar semacam “hype” (kegaduhan) karena adanya rasa was-was dan khawatir terhadap situasi semacam ini.Sebaliknya,yang terlihat nyata malah kecenderungan  “business as usual-ness,” atau adem-adem saja, baik di kalangan kyai, santri atau para stake holders lain di masyarakat.
Perkenankan saya pelan-pelan mengurai masalah yang sangat serius ini. Sejak semula, sudah ada sejumlah kelemahan dalam tradisi keilmuan pesantren. Saya akan jelaskan beberapa saja yang patut mendapatkan perhatian kita.
Masalah pertama adalah, adanya kecenderungan isolasionisme intelektual dalam pesantren. Saya akan jelaskan istilah yang kedengarannya mentereng tetapi isinya sangat sederhana ini. Pada mulanya, tradisi intelektual pesantren tumbuh karena kontak dengan pusat-pusat kajian dan pengajaran Islam di Timur Tengah, terutama di haramain, yakni Mekah dan Madinah. Sejarah munculnya pendidikan pesantren dan tumbuhnya tradisi intelektual pesantren di sana adalah karena adanya sejumlah murid-murid dari kawasan Asian Tenggara yang belajar di Mekah dan Madinah, dan kemudian balik ke tanah air, dan mengembangkan pendidikan di negeri sendiri. Rekaman yang cukup baik mengenai hal ini bisa dibaca dalam disertasinya Prof. Azyumardi Azra, The Origins of Islamic Reform (2004).
Dengan kata lain, pada mulanya tradisi keilmuan di pesantren bersifat kosmopolit, dalam pengertian non-isolasionistik, tak terpisahlan dari pusat-pusat kajian Islam di pusat Islam di Timur Tengah. Pada periode ini, kita melihat produksi intelektual yang cukup menonjol dari beberapa ulama asal kawasan Melayu/Jawa, baik dalam bahasa Arab maupun bahasa lokal (Melayu atau Jawa). Nama-nama seperti Muhammad Arsyad al-Banjari pengarang Sabil al-Muhtadin, Zainuddin al-Sumbawi, Daud al-Fatani, Mahfuz al-Tarmasi, dan lainnya,tentu sangat kita kenal. Nama yang selalu melekat dalam benak komunitas pesantren tentu saja adalah Syekh Nawawi al-Bantani, seorang ulama asal Banten yang tinggal di Tanah Suci dan cukup prolifik menulis karya-karya dalam pelbagai bidang ilmu klasik Islam.
Tetapi, watak keilmuan pesantren yang semula kosmopolit ini tiba-tiba berubah menjadi isolasionistik. Dalam perkembangan belakangan, tradisi keilmuan pesantren cenderung terpisah (isolated) dari perkembangan tradisi serupa di pusat-pusat kajian Islam di dunia luar, terutama di Timur Tengah. Ada dua penjelasan kenapa hal ini terjadi.Pertama adalah munculnya pemerintahan Wahabi di Saudi Arabia. Konsolidasi dinasti Saud yang mengadopsi doktrin Wahabi pada awal abad ke-21 menyebabkan putusnya kontak intelektual antara dunia pesantren dan dunia Haramain. Doktrin Wahabisme memang berseberangan dengan model Islam sunni yang dikembangkan di pesantren yang basisnya adalah teologi Asyariyyah dan tradisi bermazhab.Kedua, perkembangan-perkembangan di tanah air yang memberikan kontribusi terhadap kecenderungan isolasionisme ini. Modernisasi pendidikan yang disponsori negara-sebegaimana telah  diulas sebelumnya-menyebabkan merosotnya pesantren sebagai isntitusi intelektual. Hal ini membuat insentif intelektual bagi dunia pesantren untuk membangun kontak-kontak pemikiran dengan dunia luar makin mengecil,kalau tidak dikatakan hilang sama sekali.
Baik karena sebab ini atau itu, kecenderungan isolasionisme ini membuat mutu tradisi intelektual di pesantren juga pelan-pelan merosot. Ini bisa dilihat secara sederhana misalnya dengan makin sedikitnya, atau bahkan hilangnya sama sekali tradisi menulis kitab dalam bahasa Arab oleh para kyai pesantren. Bahkan secara umum, kemampuan berbahasa Arab secara aktif di kalangan kyai juga merosot tajam. Kemampuan berbahasa Arab, dalam hal ini, saya pandang sebagai faktor yang mencerminkan tinggi-rendahnya “intellectual mastership” dari seorang kyai.Sebab bahasa Arab terhadap dunia intelektual di pesantren adalah sama kedudukannya dengan bahasa Latin dalam seminari-seminari Katolik.Bahasa Arab merupakan “intellectual reservoir” bagi pemikiran-pemikiran Islam klasik.
Masalah kedua adalah, bahwa sejak awal, pada dasarnya, tradisi keilmuan Islam di pesantren belumlah sekokoh dan semendalam yang kita lihat di negeri-negeri lain seperti India, misalnya.Produksi intelektual ulama Indonesia dalam bentuk publikasi tertulis sangatlah rendah jika dibandingkan dengan,misalnya, India. Ribuan karya dalam berbagai bidang ilmu keislaman telah lahir dari para ulama India sejak dahulu hingga sekarang. Ini tidak kita lihat pada kasus Indonesia.Dengan kata lain,bisa kita tegaskan bahwa tradisi intelektual Islam di pesantren pada dasarnya tidak kokoh sejak awal. Ini ditandai dengan minimnya publikasi ilmiah yang lahir dari tangan para kyai dan ulama pesantren, relatif terhadap ulama dari negeri-negeri lain. Mungkin hal ini ada hubungannya dengan lemahnya “literate tradition” atau tradisi keilmuan berbasis bahan bacaan tertulis secara umum di kalangan masyarakat Melayu/ Jawa. Atau,kemungkinan lain, penetrasi tradisi ilmiah keislaman dalam lembaga pesantren/madrasah di Jawa/Melayu belum berlangsung terlalu jauh,atau akar-akarnya masih lemah.
Dan dalam kondisi semacam ini, tiba-tiba pesantren harus berhadapan dengan “juggernaut” (kekuatan raksasa) yang menimbulkan perubahan besar-besaran dalam lanskap pendidikan di Indonesia, yaitu modernisasi sekolah yang disponsori oleh negara, terutama sejak dekade 70an. Jika Universitas al-Azhar yang mempunyai tradisi intelektual begitu kokoh selama ratusan tahun saja bisa pontang-panting menghadapi proses modernisasi di Mesir,kita bisa bayangkan betapa repotnya pesantren harus berhadapan dengan fenomena serupa di sini.
Masalah ketiga, pesantren, sejak awal memang tak memiliki pendidikan Islam pada level “under-graduate” (S1) atau “post-graduate” (S2 dan S3). Pada masa lampau, pendidikan Islam pada dua level itu, secara tak langsung, sebetulnya tersedia di pesantren. Misalnya, jika kita hitung rata-rata masa pendidikan yang ditempuh oleh seorang santri di pesantren berkisar antara 5-12 tahun. Pemandangan seorang santri yang melewatkan pendidikan di pesantren selama 7-12 tahun bukanlah pemandangan yang langka pada generasi pesantren setengah abad yang lalu,antara dekade 50 hingga 90an,misalnya.Dengan masa pendidikan selama itu, kita bisa menduga-duga bahwa pesantren,pada masa lampau, bisa menghasilkan lulusan dengan level yang setara dengan S2 atau S3. Masa pendidikan yang ditempuh oleh santri kita saat ini kian pendek, karena tekanan yang datang dari berbagai arah. Tekanan yang paling besar tentu datang dari tuntutan untuk segera mendapatkan pekerjaan yang bisa menopang ekonomi keluarga.Dan dengan kian singkatnya masa pendidikan di pesantren saat ini,tentu mutu pengetahuan keislaman yang diperoleh oleh santri juga kian merosot.
Kelemahan ini sebetunya sudah diantisipasi oleh kalangan pesantren. Respon terhadap keadaan ini lahir dalam bentuk rintisan mendirikan sejumlah Ma’had ‘Ali (semacam college atau sekolah tinggi) di sejumlah pesantren. Salah satu eksperimen yang cukup berhasil dengan Ma’had ‘Ali ini dapat kita jumpai di dua pesantren: Krapyak dan Situbondo.Namun,secara umum, eksperimen ini belum menampakkan hasil yang memuaskan, selain belum banyaknya jumlah Ma’had ‘Ali yang berdiri di sejumlah pesantren,juga bisa kita lihat,justru kecenderungan yang sebaliknya.Minat pesantren untuk mendirikan Ma’had ‘Ali jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan minat mereka untuk mendirikan lembaga pendidikan tinggi modern di tengah-tengah pesantren.Ini bisa dilihat dengan banyaknya Sekolah Tinggi Agama Islam yang berafiliasi dengan pesantren di banyak daerah.Beberapa pesantren bahkan sudah melangkah jauh dengan mendirikan akademi, sekolah tinggi, atau bahkan universitas dengan cabang keilmuan yang lebih luas,dan tentu dengan tradisi keilmuan yang sudah sama persis dengan perguruan tinggi pada umumnya, dengan model pendidikan Eropa dan Barat sebagai kiblat intelektualnya.
Kombinasi dari tiga masalah ini, ditambah dengan faktor “state-sponsored modernization” seperti telah jelaskan di muka, bermuara pada satu hal, yakni adanya disorientasi dan kian melemahnya mutu “diskursus intelektual” di pesantren kita sekarang ini. Jika kita mengukur kesuksesan pesantren dari sudut mampu tidaknya lembaga ini menjaga tradisi Islam Sunni ala Indonesia/Jawa, mungkin tidak ada sesuatu yang harus dikhawatirkan. Dari segi ini, pesantren kurang lebih sudah berhasil mengembangkan tugasnya dengan baik. Dengan kata lain, dari sudut kepentingan dakwah dan pelestarian tradisi Islam Sunni, pesantren di Jawa tak bisa dikatakan gagal sama sekali, bahkan cukup berhasil.Tetapi jika kita melihat dari arah yang lain,yaitu dinamisme intelektual, tentu saja penilaian kita bisa berbeda.
Ada kontras yang menarik antara pesantren di satu pihak dan lembaga pendidikan modern di pihak lain. Pada yang pertama, kita melihat tradisi intelektual yang nyaris mati, repetitif, serta semacam “kelembaman,” sementara pada yang kedua kita melihat adanya semangat “free inquiry” dan spirit penelaahan yang hidup,dengan seluruh kekurangan yang ada dalam universitas kita saat ini.
Dari mana asal-usul semua ini? Kenapa semua hal ini terjadi? Menurut saya jawabannya sederhana:Pertama, secara umum, lanskap kehidupan masyarakat telah mengalami modernisasi begitu jauh,sehingga muncul harapan-harapan sosial (termasuk harapan “employment”/ pekerjaan) yang secara umum hanya bisa dipenuhi oleh lembaga pendidikan modern.Kedua,lembaga pendidikan modern sukses besar di Indonesia,antara lain, karena sokongan pendanaan yang begitu besar dari negara.
Lalu selanjutnya ?
Bagaimana masa depan pesantren kita? Ini pertanyaan penting yang mesti menjadi pemikiran dan refleksi kalangan pesantren saat ini. Pertanyaan ini terlihat sederhana, dan secara redaksi sangat pendek, tetapi jawabannya sangatlah tidak sederhana. Saya ingin membuat sejumlah pengandaian untuk jawaban atas pertanyaan ini.
Pengandaian pertama: “business as usual”
Dalam pengandaian ini, saya asumsikan bahwa stake holders pesantren, terutama para kyai, mengerjakan segala hal seperti biasa, dan tak melakukan perubahan yang cukup radikal dalam desain kelembagaan maupun tradisi keilmuan yang berkembang di pesantren. Dengan asumsi ini, maka yang terjadi adalah berlanjutnya sejumlah tren yang sekarang sudah kita saksikan,yaitu makin meleburnya pesantren ke dalam corak pendidikan ala pemerintah, dan kian terserapnya pesantren dalam tradisi intelektual yang berasal dari universitas modern.
Tentu saja, pesantren sebagai “subkultur” tidak akan hilang sama sekali. Nyaris mustahil membayangkan bahwa lembaga dengan akar yang begitu kuat dan umur yang begitu panjang seperti pesantren akan memudar dan musnah begitu saja. Kemungkinan ini tentu ada,tetapi dengan probabilitas statistik yang sangat rendah, begitu rendahnya sehingga nyaris mustahil. Pesantren sebagai sebuah subkultur tetap akan bertahan, tetapi dengan sejumlah modifikasi yang begitu besar karena tekanan lingkungan yang tak terhindarkan,yang berdampak pada makin buram serta samarnya esensi dan eksistensi pesantren itu sendiri.
Karena itu,dalam pengandaian pertama ini, kita sulit mengharapkan pesantren bisa berkembang sebagai suatu lembaga kajian Islam yang kokoh dengan tradisi keilmuan yang kuat, dengan corak khas yang dibentuk oleh tradisi intelektual Islam klasik yang umurnya ratusan tahun.
Pengandaian kedua: “radical reform”
Yang saya maksud dengan “radical reform” di sini bukan reformasi dalam pengertian yang kita pahami selama ini, yaitu perubahan-perubahan pada tradisi agar sesuai dengan tuntutan modernitas. Yang saya maksudkan hanyalah makna umum dari kata “reform,” yaitu melakukan perbaikan. Kata “radikal” sebagai “modifier” di sini saya maksudkan suatu usaha perbaikan yang sungguh-sungguh.
Dengan pengandaian kedua ini, kita asumsikan ada usaha perombakan yang sungguh-sungguh dalam penataan pesantren,baik secara kelembagaan maupun tradisi keilmuan.Tujuan yang hendak dicapai dengan perbaikan ini adalah menjadikan kembali pesantren sebagai bukan saja lembaga untuk merawat tradisi Islam Sunni ala Indonesia, tetapi juga sebagai “centre of traditional Islamic studies”(titik pusat kajian keilmuan Islam kultural) dengan warna yang secara mendasar berbeda dengan model kajian Islam yang berkembang di lembaga perguruan tinggi modern, misalnya IAIN/UIN.
Pengandaian yang kedua ini, harus saya akui, agak susah terjadi.Karena ini proyek raksasa yang membutuhkan dukungan pendanaan besar. Hanya negara, menurut saya, yang bisa menyediakan dana cukup untuk melaksanakan proyek seperti ini. Tetapi, persis di sinilah problem muncul: jika proyek ini disponsori sepenuhnya oleh pemerintah, apakah ini tidak akan menghilangkan otonomi pesantren? Apakah hal ini tidak akan membawa pesantren kepada situasi di mana ia terserap kembali kepada agenda yang telah ditetapkan oleh negara, dan bukan agendanya sendiri? Apakah hal ini tidak akan membawa resiko pesantren masuk ke dalam jebakan “political partisanship” yang merupakan gejala umum yang menyifati hubungan antara negara dan masyarakat di Indonesia, baik pra atau pasca reformasi?.Jadi pilihan yang ideal tentu saja adalah kemampuan pesanteren dan komunitasnya untuk mendanai sendiri usaha “radical reform”. Jika hal ini terjadi, maka kita sangat patut bergembira.
Tetapi,ada masalah besar di sini berkaitan dengan struktur sosial yang khas pada masyarakat Sunni pada umumnya. Sebagaimana kita tahu, struktur sosial dalam masyarakat Sunni cenderung poliarkis (menyebar) dan terfragmentasi (terpecah),karena tiadanya “singular spiritual authority” , berbeda dengan yang kita saksikan pada komunitas Syiah misalnya.Dalam pengalaman Indonesia, ini menyebabkan sulitnya masyarakat Sunni melakukan mobilisasi dana secara besar-besaran.Dengan kata lain, absennya konsep “imamah” dalam komunitas Sunni, menimbulkan situasi di mana struktur sosial di sana agak mirip dengan situasi dalam komunitas Protestan.Sementara pada komunitas Syiah yang mengenal konsep “imamah,” situasinya agak mirip dengan komunitas Katolik yang hirarkis.
Tapi,mestinya halangan struktural semacam ini tidak mesti menjadi kendala permanen, asal ada upaya menciptakan struktur sosial baru yang basisnya bukan “individual authority” dalam bentuk figur seorang tokoh spiritual atau ulama,melainkan “institutionalized authority,” dalam bentuk organisasi modern yang kuat. Ekperimen semacam ini sudah dilakukan dalam dua contoh menarik di Indonesia:pertama dalam kasus Muhammadiyah, dan kedua adalah PKS. Kedua komunitas ini (yang satu pada level “civil society,” yang kedua pada level “political society”) berhasil mengembangkan otoritas yang sifatnya lebih terlembaga,bukan personal.
Pengandaian kedua ini juga mensyaratkan hal lain lagi, yakni adalah sistem “social reward” dalam masyarakat yang kondusif untuk upaya membangun pesantren sebagai pusat kajian Islam yang maju. Pertanyaan yang layak kita ajukan adalah: Apakah masyarakat Islam merasakan perlu hadirnya tokoh-tokoh Islam dengan kemampuan keilmuan yang mendalam, ataukah mereka hanya butuh tokoh-tokoh keagamaan “medioker” yang sekedar bisa memuaskan dahaga mereka akan spritualistas sederhana? Dengan kata lain,apakah umat Islam memang benar membutuhkan seorang ulama dengan tingkat kedalaman ilmu seperti Kiai Sahal Mahfudz,Allahu yarhamuh, atau cukup puas dengan ulama-da’i yang muncul di panggung-panggung ceramah atau tabung televisi yang hanya berbekal pengetahuan tentang Islam yang elementer/cemen/dangkal?
Jika lingkungan sosial tak memberikan insentif yang cukup untuk lahirnya ulama atau kyai dengan kemampuan intelektual yang tinggi, tentu saja usaha menjadikan pesantren sebagai “centre of traditional Islamic studies” agak terhambat,bahkan nyaris mustahil.Tapi,bila kita lihat keadaan di Indonesia saat ini, jelas kebutuhan akan lahirnya seorang ulama dengan penguasaan yang mendalam akan tradisi keilmuan Islam klasik sebagaimana dikembangkan di pesantren,sangat tinggi. Di mana-mana kita mendengar keluhan akan makin mengecilnya jumlah kyai/ulama yang kompeten di bidang ilmu-ilmu keislaman klasik. Yang belum kunjung kita lihat adalah respon yang memadai terhadap keluhan tersebut.Selama ini,keluhan hanyalah keluhan;mirip dengan teriakan yang tak berbalas.
Namun hanya seakan seruan dari kejauhan,mirip rintihan daun pepohonan di musim gugur
* * * * *










 
TARBIYYAH ISLAMIYYAH Copyright © | Template designed by Liza Burhan | SEO by Islamic Blogger Template