RENUNGAN TARBIYYAH X
Sang pelaku sejarah
Mukaddimah
Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan
hambaNya yang mu’min sebagai khalifah dimuka bumi.Shalawat dan salam senantiasa
tercurah atas sang pembawa risalah yang sempurna,Muhammad bin Abdillah dan
keluarganya yang suci serta sahabatnya yang mulia,selanjutnya:
Tak pelak lagi,bahwa seseorang adalah anak zamannya (ibnu
waqtihi),yang bila mana berada pada zaman kemajuan ia akan ikut maju dan
berkembang,dan bila berada pada zaman kemunduran akan ikut mundur dan
terbelakang.Kita semua menyadari,bahwa hanya melalui pendidikan
bangsa kita menjadi maju dan dapat mengejar ketertinggalan dari bangsa
lain,baik dalam bidang sains dan teknologi maupun ekonomi. Peran pendidikan
penting dalam membangun peradaban bangsa
yang berdasarkan atas jati diri dan karakter bangsa. Pendidikan merupakan gejala yang universal, dimana
ada manusia, di sana ada pendidikan. Gejala yang universal ini bukanlah hanya
sekedar gejala yang melekat pada manusia saja, melainkan merupakan usaha untuk
memanusiakan manusia itu sendiri,yaitu untuk membudayakan manusia.Dengan
demikian pendidikan merupakan keharusan bagi manusia. Sesuai dengan perkembangan
kebudayaan manusia timbulah tuntutan akan adanya pendidikan yang terselenggara
dengan baik, lebih teratur dan didasarkan atas pemikiran yang matang. Disinilah
muncul keharusan adanya pemikiran teoritis tentang pendidikan.
Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya.
Pendidikan bagi kehidupan umat manusia merupakan kebutuhan mutlak yang harus
dipenuhi sepanjang hayat. Tanpa pendidikan sama sekali mustahil suatu
kelompok manusia dapat hidup berkembang sejalan dengan aspirasi untuk maju,
sejahtera dan bahagia menurut konsep pandangan hidup mereka. Pendidikan
merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses
pembelajaran dan/atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat.
Pendidikan adalah suatu proses di mana suatu bangsa mempersiapkan
generasi mudanya untuk menjalankan kehidupan dan untuk memenuhi tujuan hidup
secara efektif dan efisien. Pendidikan adalah suatu proses dimana suatu bangsa
atau negara membina dan mengembangkan kesadaran diri diantara individu-individu.Disamping
itu pendidikan adalah suatu hal yang benar-benar ditanamkan selain menempa
fisik,mental dan moral bagi individu-individu,agar mereka menjadi manusia yang
berbudaya sehingga diharapkan mampu memenuhi tugasnya sebagai manusia yang
diciptakan Allah Tuhan Semesta Alam, sebagai mahluk yang sempurna dan terpilih
sebagai khalifahNya di muka bumi ini yang sekaligus menjadi warga negara yang
berarti dan bermanfaat bagi suatu negara.
Dalam konteks modern dan kontemporer,istilah pendidikan senantiasa diletakkan
dalam kerangka kegiatan dan tugas yang ditujukan bagi sebuah angkatan atau
generasi yang sedang ada dalam masa-masa pertumbuhan. Oleh karena itu
pendidikan lebih mengarahkan dirinya pada pembentukan dan pendewasaan
pengembangan kepribadian manusia yang mengutamakan proses pengembangan dan
pembentukan diri secara terus menerus (on
going formation).
Proses pembentukan diri terus-menerus ini terjadi
dalam kerangka ruang dan waktu. Pendidikan dengan demikian mengacu pada setiap
bentuk pengembangan dan pembentukan diri yang sifanya prosesual,yaitu sebuah
kesinambungan yang terus menerus yang tertata rapi dan terorganisasi,berupa
kegiatan yang terarah dan tertuju pada strukturasi dan konsolidasi kepribadian
serta kehidupan rasional yang menyertainya,secara personal,komuniter, mondial,
dan sebagainya.
Pendidikan adalah fenomena fundamental dalam kehidupan manusia. Melalui
pendidikan manusia akan menemukan eksistensinya. Eksistensi manusia adalah
eksistensi sosio-budaya, karena proses memanusiakan diri berarti juga proses
membudayakan diri yang akan menyangkut eksistensi bersama dan menyangkut
kehidupan orang lain. Oleh karena itu pendidikan harus menempatkan keberadaan
peserta didik yang terintegrasi dengan lingkungan sosial-kulturalnya dan pada
gilirannya akan menumbuhkan individu sebagai pribadi dan anggota masyarakat
mandiri yang berbudaya. Hal ini sejalan dengan proses pentahapan aktualisasi
intelektual, emosional dan spiritual peserta didik di dalam memahami sesuatu,
mulai dari tahapan paling sederhana dan bersifat eksternal, sampai tahapan yang
paling rumit dan bersifat internal, yang berkenaan dengan pemahaman dirinya dan
lingkungan kulturalnya.
Pesantren adalah kampung peradaban yang didambakan setiap orang.Pondok
pesantren secara berkesinambungan memproduksi ulama dengan keintelektualan yang
khas.
Pesantren terbukti telah mampu memproduksi kader dalam jumlah besar yang pada akhirnya tampil sebagai lokomotif perubahan dan keterbukaan di Indonesia.Kemampuan pesantren membangun peradaban tidak bisa dilepaskan dari kyai dengan segala pemikiran dan karyanya sebagai tulang punggung pesantren. Peradaban agung merupakan barokah kyai yang tanpa lelah membangun pesantren, mengembangkan masyarakat,dan merawat tradisi intelektual-keilmuwan yang mutawatir dari generasi ke generasi melalui transmisi kitab kuning.
Pesantren terbukti telah mampu memproduksi kader dalam jumlah besar yang pada akhirnya tampil sebagai lokomotif perubahan dan keterbukaan di Indonesia.Kemampuan pesantren membangun peradaban tidak bisa dilepaskan dari kyai dengan segala pemikiran dan karyanya sebagai tulang punggung pesantren. Peradaban agung merupakan barokah kyai yang tanpa lelah membangun pesantren, mengembangkan masyarakat,dan merawat tradisi intelektual-keilmuwan yang mutawatir dari generasi ke generasi melalui transmisi kitab kuning.
Melalui khazanah khas (genuine) dunia pesantren
yang disebut kitab kuning, para kyai mampu menggerakkan bahkan menentukan laju
perubahan zaman. Para kyai dengan kreatif menyelami dan mendalami gerak
kehidupan yang dipahatkan dalam berbagai karya tulis yang mengagumkan.Warisan
kitab-kitab kuning selalu dikreasi untuk terus melaju dengan tantangan zaman.
Kreasi tersebut berbentuk aneka ragam, mulai dari
kitab syarah, khulashah, mukhtashar, hingga menulis kitab baru dalam beragam bahasa.
kitab syarah, khulashah, mukhtashar, hingga menulis kitab baru dalam beragam bahasa.
Kehebatan para kyai baik dari segi kedalaman ilmu
maupun dalam melahirkan karya-karya telah menarik minat bukan hanya bagi
masyarakat Indonesia tetapi juga berpengaruh besar pada dunia Islam pada
umumnya. Tidak sedikit kiai dari Indonesia yang menarik perhatian dunia
internasional sehingga biografinya dituliskan,terutama dengan bahasa Arab,
sejak abad 18 Masehi.Tarajim (biografi ulama) Indonesia yang ditulis dan
diterbitkan di Arab Saudi misalnya, Sayyid Abdurrahman Abdushamad Al-Palimbani
(Palembang), Mahfudz at-Termasi (Pacitan Jawa Timur), Syaikh Nawawi Al-Bantani
(Banten), dan Syaikh Muhammad Yasin ibn Isa Al-Padani (Padang).
Ketika zaman penjajahan pun, kiai telah mendapatkan perhatian yang besar sehingga untuk pertamakalinya Biografi ulama Indonesia ditulis oleh Raden Aboe Bakar (informan atau asisten peneliti Snouck Hurgronje di Makah). Judul bukunya Tarajim Al-Ulama Al-Jawah bi Makkah Al-Mukaramah (Leiden, Cod.Or. 7111), yang terdiri 13 ulama, yang mukim di Makkah akhir abad 19. Lima guru-murid dari Banten, Nawawi Al-Bantani, Marzuqi, Ismail, Abdul Karim, Arsyad ibnu Alwan, Arsyad ibnu As’ad (Banten). Hasan Mustafa dan Muhammad (Priangan), Tiga dari Batavia, Junayd, Mujitaba, Aydarus; serta dua ulama dari Sumbawa, Zainudin dan Umar.
Ketika zaman penjajahan pun, kiai telah mendapatkan perhatian yang besar sehingga untuk pertamakalinya Biografi ulama Indonesia ditulis oleh Raden Aboe Bakar (informan atau asisten peneliti Snouck Hurgronje di Makah). Judul bukunya Tarajim Al-Ulama Al-Jawah bi Makkah Al-Mukaramah (Leiden, Cod.Or. 7111), yang terdiri 13 ulama, yang mukim di Makkah akhir abad 19. Lima guru-murid dari Banten, Nawawi Al-Bantani, Marzuqi, Ismail, Abdul Karim, Arsyad ibnu Alwan, Arsyad ibnu As’ad (Banten). Hasan Mustafa dan Muhammad (Priangan), Tiga dari Batavia, Junayd, Mujitaba, Aydarus; serta dua ulama dari Sumbawa, Zainudin dan Umar.
Kemasyhuran para kyai hingga menarik perhatian
khalayak karena mereka membangun tradisi menulis dan mewariskan karya tulis
tersebut pada generasi berikutnya. Tampaknya para kyai sadar bahwa pengetahuan
hanya bisa bertahan dan berkembang bila dituliskan. Karena alasan ini, para kyai
memiliki tradisi menulis yang sangat kuat dengan menghasilkan karya abadi
melintasi generasi dan zaman.
Namun,di kalangan kyai dan santri pondok pesantren kini dirasakan
mengalami kemandegan bahkan kemunduran dalam karya tulis.Saat ini sangat sulit
menemukan kyai pesantren-apalagi santri-yang menulis kitab yang menjadi
rujukan.Jangankan untuk menulis kitab kuning, sekadar terampil menulis untuk
menuangkan gagasan saja sangat terbatas. Kitab-kitab yang dikaji di pesantren
adalah karya para ulama terkemuka pada zamannya,dan kebanyakan masih orisinil,
belum ada pensyarahan, pengkhulashahan, pemukhtasharan,apalagi penulisan kitab
baru.Ada juga alumni pesantren yang saat ini menjadi penulis,tetapi bukan hasil
dari kaderisasi yang disiapkan untuk menjadi penulis ketika belajar di
pesantren.Mereka menjadi penulis karena telah bergumul dengan dunia luar
pesantren, kemudian bersungguh-sungguh secara mandiri belajar untuk menjadi
penulis.
Di sisi lain ada perkembangan baru setelah terjadi modernisasi dalam
pendidikan pesantren. Beberapa kyai yang berkarya tidak lagi hanya berbahasa
arab tetapi juga berbahasa Indonesia dan bahasa lokal lainnya. Bukan hanya
berbentuk kitab kuning tetapi juga dalam bentuk makalah seminar, workshop,
artikel untuk koran, tabloid, majalah, bahkan karya untuk di sajikan didunia
maya, website, blog, twiter, juga facebook.
Kondisi ini terjadi di hampir semua pondok pesantren, baik salaf,
khalaf, terpadu, Ma’had ‘Aly, maupun pondok pesantren mahasiswa. Situasi ini
sungguh ironi sekaligus anomali, karena krisis tradisi menulis di pesantren
telah menjadi keprihatinan bersama khususnya di dunia pesantren sendiri. Para
ulama, kyai, pengasuh pesantren, dan akademisi telah menuturkan krisis ini
hampir tidak terhitung lagi.Tetapi pada saat yang sama belum ada upaya-upaya
strategis, sistematis, dan saling bersinergi untuk membangun budaya menulis
yang lahir dari dunia dalam pesantren.
Para kyai yang saya kenal, dan dikenal sebagai
penulis dan berkarya tulis, mayoritas mereka tidak menularkan ilmu semangat
menulisnya kepada para santri. Kyai yang menulis seakan menikmati dunianya
sendiri. Oleh karena itu, sudah waktunya tradisi menulis di dunia pesantren
dibangun kembali spiritnya sehingga pesantren kembali pada zaman keemasannya sebagai
lembaga akademik yang memiliki dunia menulis yang sangat kuat dan mapan.
Wassalam
Cianjur,Minggu 25 Jumadits Tsani 1437
03 April 2016
Prakata
Berangkat dari pertanyaan,
bagaimana membangunkan masyarakat Indonesia yang sedang tertidur pulas dan
terpinggirkan secara politik, ekonomi, sosial dan budaya dari serbuan modal dan
budaya asing.
Upaya membangunkan
masyarakat yang tertidur, tentunya dimulai dengan membangunkan individu
individu yang semakin individualistis, banyak dari sisi jumlah, namun
seperti buih di lautan, keropos mudah diadu domba dan di provokasi.
Memahami diri
Dalam struktur diri kita,
setidaknya terdiri dari 3 komponen utama, yakni :Jasad ( fisik), Ruh
dan Akal. Sedangkan Jiwa ( Nafs) disebut sebagai hakekat
eksistensi diri manusia yang akan dimintai pertanggungjawabannya di akhir nanti.
Kwalitas Jiwa
kita, seperti kondisi jiwa yang tenang, jiwa amarah atau jiwa yang senantiasa lawwamah
(galau) sangat tergantung dari bagaimana kita mampu memeliharan kesucian
dan sinergi dari Jasad,Ruh dan Akal.Ketiga komponen
tersebut mempunyai karakteristik dan kebutuhan yang berbeda beda.
Bila Jasad yang
berbentuk materi berfungsi sebagai indera (melihat, mendengar, berbicara,
berjalan, bergerak dan lainnya) mempunyai kebutuhan akan materi juga
seperti makan,minum,pakaian,tempat tinggal,kendaraan, lingkungan yang sehat, dan
sebagainya.
Sedangkan Akal yang
berfungsi untuk menyimpan informasi dan pengetahuan serta
menganalisanya, mempunyai kebutuhan akan informasi dan pengetahuan yang
berkualitas melalui bacaan ayat ayat yang tertulis maupun ayat ayat yang
tersirat di alam semesta.
Maka
Ruh, merupakan wujud eksistensi Tuhan dalam diri manusia, karenanya
dalam diri manusia, terdapat 99 sifat ketuhanan (asma alhusna) dalam
dirinya seperti, pengasih, penyayang,berpengetahuan,kuasa,gagah,suci,sabar,mandiri
dan sebagainya.
Ruh sebagaimana jasad dan akal
juga mempunyai kebutuhan,yaitu aktivitas spiritualitas berupa ibadah
kepada Allah baik ibadah vertikal (hablum minallah) yang akan membentuk
kesalehan pribadi atau ibadah horizontal (hablum minnannas) yang akan
membentuk kesalehan sosial.
Sayangnya ditengah kuatnya
budaya konsumerisme dan hedonisme, kita sering kali lalai dan abai untuk
dapat memenuhi apa yang sebenarnya menjadi kebutuhan diri. Kita hanya berkutat
dan berfokus pada kebutuhan material saja seperti makanan, minuman, pakaian,
kendaraan dan tempat tinggal. Jarang sekali kita memenuhi kebutuhan diri berupa
kebutuhan akal dan ruh yakni berupa aktivitas membaca,menulis dan
juga ibadah harian seperti shalat, infaq, puasa dan sebagainya.
Akibatnya diri kita
mengalami kehampaan dan kekeringan spiritual. Bila tubuh ini memerlukan air
mineral dan sayur mayuran agar tubuh tidak mengalami kekeringan, begitu juga ruh
dan akal kita akan menjadi kering dan hampa, ketika asupan
intelektualitas dan spiritualitas tidak pernah kita berikan.
Efeknya bagi diri kita
adalah, hidup terasa hampa tanpa makna, mudah goyah, mudah stress, mudah marah
dan mudah sedih.
Kebutuhan Spiritilualitas
dan Intelektualitas
Sesungguhnya tidak sulit
untuk dapat memenuhi kebutuhan diri akan spiritualitas dan intelektualitas,
selain shalat harian, ternyata dengan “membaca kitab suci Al Quran”, kita
akan mendapatkan dua dimensi sekaligus, yakni aspek intelektualitas maupun
aspek spiritiualitas.
Membaca teksnya saja
sudah merupakan ibadah, dan juga sarana komunikasi dengan
Allah yang sesungguhnya merupakan dorongan religius kepada kaum
muslim untuk mengaktifkan pendayagunaan akal fikiran guna memahami
teks teks Quran.Itulah salah satu rahasia mengapa Islam sejak awal kelahirannya
dengan cepat mengembangkan tradisi keilmuan yang sangat kaya.
Disamping itu Al Quran
sangat menghormati kedudukan ilmu. Di dalam Al Quran terdapat
beratus ratus ayat yang menyebut ilmu dan pengetahuan sebagai
kualitas kemuliaan manusia.
Lima ayat pertama yang
diturunkan kepada Rasulallah shallallahu alaihi wa laihi wa salam berkaitan
dengan kegiatan keilmuan. Kata pada ayat pertama, “Iqro”, jelas
sekali berkaitan merupakan aktivitas intelektual manusia.
Dalam ayat lain Allah
berfirman ,” Allah meninggikan derajat orang orang beriman dan berilmu
(QS: Al Mujadilah/58 : 11).
Dipertegas disurah Az
Zumar/39 : 9, Allah berfirman, ” Apakah sama orang orang yang mengetahui
dengan orang orang yang tidak mengetahui ? Sebenarnya hanya orang orang yang
berakal sehat yang dapat menerima pelajaran.
Wahyu : Sumber inspirasi
Al Quran menjadi sumber
inspirasi yang menjadi penggerak dan elan vital luar biasa bagi para
ilmuwan dan aktivis muslim dalam mengembangkan berbagai ilmu pengetahuan
yang mencerahkan peradaban dunia.
Di dalam Al Quran
setidaknya terdapat 750 ayat atau sekitar seperdelapan isi Al Quran yang
mendorong kaum beriman untuk menelaah alam serta merenungkan dan
menyelidikan dengan akal budi.
Al Quran mengajak kita
untuk mempelajari alam semesta sebagai jalan untuk mengetahui al Haq dan
Realitas serta cermin untuk mengetahui alam disamping juga
adanya manfaat praktis dari ilmu ilmu itu untuk kesejahteraan umat manusia.
Lebih jauh,sesungguhnya
Al Quran bukan hanya sumber inspirasi,namun juga secara alamiah menumbuh kembangkan
ilmu ilmu filsafat, matematika, biologi, kedokteran, psikologi, ekonomi,
kesastraan dan sejarah.
Sejumlah saintis dan
filsuf besar dilahirkan dalam rahim peradaban Islam. Katakankah
Ibnu Sina,yang karyanya Qanun fi al-Thibb merupakan
karya yang paling sering diterjemahkan kedalam bahasa bahasa
Eropa pada era Renaisance.
Umar khayyam ( penyair dan
matematikawan peletak dasar geometri analitik),Ibnu Rusyd (filsuf besar yang
memantik api rasionalisme di Eropa), atau kelompok Al Shafa yang menyuarakan
pesan pesan universal kemanusiaan dan kosmopiltan.
Disamping itu ada, Al
Khazini ( pencetus teori Gravitasi), Ibn Nafis (penemu kapiler paru paru), Ibn
Al Haitsam (Bapak Optik), Al Batani (
astronom penentu 24 jam perhari), Al khawarizmi ( bapak Aljabar),
Abdul Al Wafa (pengembang Trigonometri), Al Biruni (bapak Eksperimentalis)
yang telah melahirkan 200 karya ilmiah.
Filsuf Muhammad Iqbal,
mencoba menjelaskan mengapa Al Quran memberi inspirasi sarjana muslim
awal untuk mengembangkan pelbagai disiplin ilmu.Iqbal menjelaskan
bahwa nilai nilai Quran berkarakter dinamis, konkret, nyata yang
mendorong kaum muslim melakukan eksperimen dan berfikir
induktif, dan membedakan dengan para ilmuwan Yunani, Mesir, Persia, India
dan China.
Kebudayaan Persia, India
dan China kuno cenderung bercorak mistis-esoteris dan agak abai
dalam pengembangan tradisi pengetahuan emperis dan rasional. Kelemahan
Peradaban Yunani dalam hal sains empiris menggunakan metode eksperimen
dan logika induktif. Sedangkan barat menekankan tradisi sians
empiris dengan pendekatan induktif dan meninggalkan
tradisi pengetahuan rasional iluminatif.
Hanya saja, saat ini
tradisi keilmuan Islam dari para pemikir hebat tersebut hanya dinilai sebagai
produk sejarah,bukan sebagai proses interprestasi yang selalu
menyingkap makna ajaran Islam yang tak habis habisnya digali.
Akibatnya, berbagai
upaya membangun kepercayaan diri dan kesadaran kolektif ummat untuk
bangkit kembali menjadi pelaku sejarah senantiasa membuahkan hasil yang
tidak maksimal.
Karena api semangat
pembaruan tidak diikuti oleh sumber pembaruan yakni tradisi intelektual dan
hikmah.
Karenanya, membangun
kembali tradisi keilmuan islam berguna untuk membangun keautentikan
peradaban,tanpa apresiasi akan tradisi keimuan Islam, kita akan
sulit menghidupkan dan mengembangkan kembali etos keilmuan muslim yang
tinggi.
Tradisi
Hikmah/filsafat dan tradisi keilmuan ( kekayaan dan kesuburan karya
keilmuan) dikalangan muslim akan membuat kita mampu bersikap
kritis terhadap segala sesuatu yang tidak sesuai dengan nilai nilai dasar
keyakinan kita serta membuat kita akan kreatif dalam menghasilkan karya karya
intelektual.
Tidak terjebak pada
parsialitas strategi wujudkan semangat kebangkitan Islam, seperti yang
dipraktekkan beberapa elemen gerakan Islam saat ini, yang berfokus pada
strategi politik saja, sosial saja, pendidikan saja tanpa disinergikan dengan
pendekatan budaya dan kearifan lokal.Hasilnya bisa ditebak, masyarakat
Indonesia yang memiliki akar sejarah dan budaya yang panjang tidak bisa
didekati oleh elemen elemen gerakan sosial yang ada, apalagi dengan
pendekatan yang ujung ujungnya ingin menghapus budaya lokal.
Membaca ulang masalah dan
Merancang ulang strategi
Kegagalan elemen
pergerakan mendekati masyarakat adalah permasalahan serius dalam
pergerakkan, yang terjadi akibat gagalnya dalam memahami permasalahan
masyarakat serta gagal memahami struktur sosial budaya masyarakat dan gagal
dalam memahami esensi dan substansi dari dakwah itu sendiri.Masyarakat,
baik masyarakat desa atau kota adalah tatanan sosial yang sudah ada ribuan
tahun lamanya dengan karakteristik dan akar budaya yang beragam dan
mengakar.Sehingga,setiap elemen gerakan harus memahami secara mendalam
karakteristik masyarakat dan individunya.
Hanya mendekati masyarakat
untuk kepentingan politik sesaat atau kepentingan ekonomi jangka pendek,apalagi untuk kepentingan pribadi dan kelompok,jangan
harap kita akan bisa mengubahnya.Karena
yang akan terjadi hanya kesenjangan dan bias samar yang hilang dengan cepat, seperti
debu diterpa angin.Dan itu bisa kita saksikan sendiri masa ini dengan nyata.Apalagi
pendekatan dengan cara puritan dan paksaan,semua hanya berdampak kekacauan dan
kekakuan.Jangankan untuk melakukan pendekatan dan konsolidasi,sedangkan untuk
memberikan sedikit penyuluhan pun akan menerima banyak hambatan dan
rintangan.Bila begitu,apalagi untuk mengisi dan membawa umat menuju kemajuan
dan kejayaan.Sungguh hanya mimpi disiang hari bolong.
Wassalam
Barang siapa yang pandai membaca tanda-tanda zaman, maka zaman akan
menyelamatkannya. Siapa yang lalai terhadap zaman, maka zaman akan
merendahkannya
DUNIA
ini membosankan.Maka perlu inovasi (cara
baru melakukan sesuatu)
dan kreatifitas (proses
mental dari suatu generasi untuk melahirkan gagasan dan konsep dari kondisi
tertentu).
Kreativitas
merupakan produk dari kecerdasan dan kemauan (niat) untuk melahirkan sesuatu
yang baru dan lebih berguna.Bahwa perubahan bergerak cepat,jika tak mampu
diimbangi dengan pengetahuan maka akan tergilas.Rasulallah shallallahu alaihi
wa alihi wa salam, berpesan "siapa yang hari ini sama dengan kemarin, maka
ia telah merugi.Siapa yang hari ini lebih buruk dari kemarin maka ia telah
celaka, dan siapa yang hari ini lebih baik dari kemarin, itulah orang yang
beruntung".
Siapa pun tak terlepas dari
hukum perubahan. Mereka yang enggan mengubah diri akan ’ketinggalan zaman‘ dan akan mengalami kemandekan bahkan
kemunduran. Dalam surat Al-’Ashr,Allah telah menyatakan,bahwa
manusia akan rugi dalam dimensi waktu jika tidak melakukan perbaikan atas
kebenaran dan kesabaran.Dalam satu riwayat,imam Ali
r.a; berkata “Barang siapa yang pandai membaca tanda-tanda zaman, maka
zaman akan menyelamatkannya. Siapa yang lalai terhadap zaman, maka
zaman akan merendahkannya”.
Dalam kontek itu,Pesantren yang berdiri diatas landasan
tradisi keilmuan mutlak harus terus melakukan inovasi dan kreatifitas.Kewajiban
ponpes untuk membangun masyarakatnya dengan memelihara dan mengembangkan fungsi-fungsi krusialnya
melalui penegakan etik dan keteguhan ilmiah serta intelektual melalui berbagai aktifitasnya.
Insan pondok pesantren (kyai dan
santri),harus berbicara lantang dan tegas tentang masalah-masalah etik,
kebudayaan dan sosial secara independent serta dengan kesadaran penuh tanggung-jawab
menegakkan otoritas intelektual yang diperlukan masyarakat dalam berefleksi,
memahami, dan bertindak. Juga mampu memperkuat fungsi-fungsi kritis dan
berorientasi kemasa depan (future oriented) melalui analisis
yang berkelanjutan tentang kecenderungan perubahan dan perkembangan sosial,
ekonomi, budaya dan politik yang sedang tumbuh; dan sekaligus memberikan fokus
bagi prediksi, peringatan dan pencegahan. Juga menegakkan kapasitas intelektual
dan prestise moralnya untuk membela dan secara aktif menyebarkan nilai-nilai
yang telah diterima secara universal, termasuk perdamaian, keadilan, kebebasan,
kesetaraan, dan solidaritas.
Dengan kebebasan dan otonomi akademis,lembaga
pondok pesantren bertanggungjawab sepenuhnya kepada masyarakat dengan memainkan
peran dalam membantu mengidentifikasi dan menjawab masalah-masalah yang
mempengaruhi kesejahteraan berbagai komunitas, bangsa, dan masyarakat.Di sinilah
santri sebagai aktor-aktor utama. Santri
jadi “pusat” atau “orientasi” dalam seluruh kegiatannya,dan memandang santri
sebagai stakeholder yang penting.
Para kyai adalah orang terikat dengan tradisi
ilmiah yang dilandasi keyakinan,harus mampu memberikan makna terhadap
masyarakat atau bangsa.Kyai harus mempertegas komitmennya sebagai insan
intelektual untuk terus meningkatkan etos intelektualnya dengan berbagai
aktifitas ilmiah melalui pendidikan-pengajaran dan pengabdian kepada
masyarakat.Para kyai yang berkecimpung dalam keilmuan Islam,selain perlu untuk
mempelajari tradisi ilmiah Islam klasik,perlu pula untuk mempelajari tradisi
ilmiah kontemporer serta mengkombinasikan hal-hal positif dari keduanya dan
memperbaiki hal-hal yang negatif dari keduanya.
Mempelajari tradisi ilmiah klasik melalui karya-karya Intelektual muslim seperti kitab al-Muwatha‘ karya Imam Malik, Ar-Risalah Karya Imam Syafi‘i, Kitab Hadis Imam, Bukhari, Muslim dan lain-lain yang bertebaran diberbagai pustaka.Menunjukkan kreatifitas dan tradisi ilmiah yang mereka tunjukkan sebagai keagungan peradaban Islam yang dibangun dengan ilmu pengetahuan. Kita juga tidak bisa menutup mata bagaimana kemajuan terhadap kemajuan ilmu pengetahuan saat ini dengan tradisi ilmiah kontemporer.
Lalu,bagaimana memulainya ?
Mempelajari tradisi ilmiah klasik melalui karya-karya Intelektual muslim seperti kitab al-Muwatha‘ karya Imam Malik, Ar-Risalah Karya Imam Syafi‘i, Kitab Hadis Imam, Bukhari, Muslim dan lain-lain yang bertebaran diberbagai pustaka.Menunjukkan kreatifitas dan tradisi ilmiah yang mereka tunjukkan sebagai keagungan peradaban Islam yang dibangun dengan ilmu pengetahuan. Kita juga tidak bisa menutup mata bagaimana kemajuan terhadap kemajuan ilmu pengetahuan saat ini dengan tradisi ilmiah kontemporer.
Lalu,bagaimana memulainya ?
Memulai tradisi intelektual itu dengan mengubah ponpes
sebagai tempat untuk tiga hal:
Pertama,membiasakan
membaca sebagai suatu kebutuhan. Baik membaca sesuatu yang teoritis-tertulis
maupun membaca kondisi, situasi yang terus berubah, sehingga mampu memberi
respon intelektual secara proporsional. Ini penting sebab disinyalir banyak kyai dan
santri yang rendah bahkan tidak lagi memiliki kebiasaan membaca.
Kedua,membiasakan
untuk proaktif terlibat, dan berinisiatif melakukan diskusi dengan apa yang
sudah dibaca dari konsep dan kondisi faktual sehingga
melahirkan gagasan baru.
Ketiga,membiasakan
menulis yang merupakan tradisi ilmiah yang sangat penting. Sebab para
intelektual dari zaman dahulu telah
menunjukkan betapa menulis adalah bagian dari menyebarkan dan merawat sumber
ilmu pengetahuan bagi genarasi yang akan datang.
Kenyataan, kebanyakan para kyai saat ini, hanya menjalankan salah satu tugasnya saja,antara lain mengajar. Sangat disayangkan,kreatifitas menulis sesuatu yang sering diabaikan, karena menganggap tidak mampu, apa yang akan ditulis sudah ditulis orang dan berbagai alasan lainnya. Padahal Allah telah menganugerahkan kepada kita potensi yang sama.Yaitu potensi intelektual, emosional dan spiritual untuk dapat dimanfa‘atkan dengan mendaya gunakannya.Maka dengan tidak mendaya gunakan berarti telah mengingkari ni’mat dan amanah Allah.Dan khusus bagi kyai,hal tersebut telah mematikan tradisi ilmiah yang berarti akan memadamkan keagungan peradaban Islam itu sendiri.
Kenyataan, kebanyakan para kyai saat ini, hanya menjalankan salah satu tugasnya saja,antara lain mengajar. Sangat disayangkan,kreatifitas menulis sesuatu yang sering diabaikan, karena menganggap tidak mampu, apa yang akan ditulis sudah ditulis orang dan berbagai alasan lainnya. Padahal Allah telah menganugerahkan kepada kita potensi yang sama.Yaitu potensi intelektual, emosional dan spiritual untuk dapat dimanfa‘atkan dengan mendaya gunakannya.Maka dengan tidak mendaya gunakan berarti telah mengingkari ni’mat dan amanah Allah.Dan khusus bagi kyai,hal tersebut telah mematikan tradisi ilmiah yang berarti akan memadamkan keagungan peradaban Islam itu sendiri.
Mampukah Pesantren Bertahan ?
Tulisan ini berisi daftar “keluhan” tentang
sejumlah tantangan berat yang dihadapi oleh pesantren. Sebab saya memang
seorang pengeluh yang,insya Allah,sangat baik. Apa yang saya tulis ini bukanlah
daftar yang “exhaustive”/lengkap mengenai tantangan-tantangan yang melilit
pesantren saat ini, terutama di sektor pemikiran. Tetapi apa yang saya tulis
ini semoga saja memberikan gambaran sekilas mengenai tantangan tersebut.
Tantangan pertama menyangkut kelanjutan pesantren
sebagai lembaga dalam jangka panjang. Pertanyaan besar yang harus dijawab
adalah: Apakah pesantren bisa bertahan sebagai benteng pemikiran yang berbasis
tradisi intelektual Islam klasik dalam jangka panjang?
Pertanyaan ini tak mudah dijawab dengan sekali
pukul. Jawaban atas pertanyaan ini tentu saja bergantung kepada komunitas
pesantren dan kemampun mereka mengembangkan lebih lanjut lembaga tersebut.
Tetapi, di sini saya hanya akan mengulas sejumlah tantangan besar yang dihadapi
pesantren saat ini.
Kelanjutan suatu lembaga tergantung pada banyak
hal. Salah satunya adalah pendanaan. Menyelenggarakan lembaga pendidikan yang
bermutu bukanlah pekerjaan yang murah.Pendidikan yang mutunya baik makin mahal
saat ini. Pada masa lampau, pesantren bisa tegak sebagai pendidikan yang secara
intelektual bermutu dengan biaya yang sangat murah. Tetapi keadaan masa lampau
itu tidak bisa lagi diulang saat ini. Ada keuntungan-keuntungan historis yang
dinikmati oleh generasi pengelola pesantren di masa lampau yang sudah tak lagi
bisa dinikmati oleh pemangkut pesantren sekarang. Contoh yang sangat baik
adalah “social confidence” atau kepercayaan masyarakat pada pesantren sebagai
“provider of best opportunities,” (penyedia solusi terbaik).Seratus tahun lalu,
pesantren mendapatkan kepercayaan yang sangat besar dari masyarakat sebagai
lembaga yang memungkinkan para talamidz atau santri meraih
kesempatan-kesempatan sosial terbaik pada zamannya. Sebagai lembaga pendidikan
di tengah-tengah umat Islam, pesantren belum mendapatkan saingan dari lembaga
serupa yang menyediakan lembaga pendidikan alternatif.
Pada masa kolonial dulu, pesantren juga
menikmati keuntungan yang tak dipunyai oleh pesantren di zaman ini. Walau
pendidikan modern dengan model Eropa sudah mulai bermunculan di tengah-tengah
masyarakat, terutama di Jawa, tetapi akses ke sana sangat lah terbatas. Hanya
kalangan bangsawan dan pangreh praja yang memperoleh “luxury” atau kemewahan
untuk mengirimkan anak-anaknya ke sana. Sebagian besar masyarakat yang umumnya
miskin mustahil mengirimkan putera-putera mereka ke lembaga pendidikan modern
tersebut.
Sementara itu, sikap antipati masyarakat Muslim
terhadap lembaga pendidikan modern ala Belanda juga tak bisa diabaikan.
Sekolah-sekolah modern ala Eropa tak mendapatkan “social confidence” yang cukup
dari kalangan umat Islam karena dianggap sebagai lembaga pendidikan bikinan
penjajah. Semangat nasionalisme yang berkobar sejak awal abad ke-20 di tanah
Jawa di kalangan umat Islam menihilkan sama sekali simpati dan kepercayaan umat
pada lembaga pendidikan modern yang bernama “sekolah” atau “universitas”.
Hingga waktu yang tak berselang lama, sebetulnya perasaan antipati di kalangan
sebagian masyarakat Muslim, terutama yang berafiliasi dengan kultur NU, masih
sangat mendalam.
Situasi sosial semacam ini tentu menjadikan
pesantren, atau madrasah pada umumnya, sebagai “the premium choice,” (pilihan
utama),sebagai lembaga pendidikan yang dipercaya oleh umat Islam. Ini adalah
kentungan sosial yang jika dirupiahkan tentu tak bisa dinilai yang dinikmati
oleh pesantren/madrasah pada masa lampau dan tak lagi bisa dinikmati sepenuhnya
oleh pemangku lembaga pendidikan tersebut saat ini. Sekarang, kita menyaksikan
keadaan yang sama sekali berlainan.
Setelah kemerdekaan, kita menyaksikan keadaan
yang makin tak menguntungkan bagi pesantren, di segala level dan sektor.
Pemandangan pendidikan Indonesia pasca-kemerdekaan bisa diikhtisarkan dengan
satu istilah: modernisasi. Apa yang disebut modernisasi di sini pada
dasarnya adalah usaha membangun lembaga pendidikan dengan model dan kultur yang
kurang lebih mendekati gaya dan model pendidikan di Eropa. Usaha modernisasi
pendidikan sebetulnya sudah dilakukan sejak zaman kolonial. Tetapi, sebagaimana
kita lihat, modernisasi pendidikan pada era itu berhadapan dengan antipati dari
kalangan bumiputera, terutama bumiputera Islam. Di samping itu, modernisasi
pendidikan di era kolonial hanya dinikmati oleh segelentir kelas pangreh praja.
Di era kemerdekaan, aktor modernisasi
pendidikan bukan lagi pihak penjajah, melainkan pemerintah pribumi yang
berkuasa atas nama “la volontè générale,”(kehendak umum) bangsa Indonesia.Usaha
modernisasi ini agak tersendat sejenak pada dekade 50an dan 60an karena situasi
politik yang kurang stabil saat itu. Namun, keadaan mengalami perubahan drastis
pada era Orde Baru. Bersamaan dengan upaya pembangunan ekonomi yang dilakukan
secara agresif oleh pemerintah Orba, modernisasi pendidikan juga dilakukan
secara besar-besaran sejak dekade 70an dengan sokongan dana yang luar biasa
besar.
Ada dua ciri khas yang menonjol dalam
modernisasi ini. Yang pertama adalah massifikasi pendidikan, terutama
pada tingkat pendidikan dasar. Ribuan SD Inpres dibangun di seluruh Indonesia
dan untuk pertama kali memberikan akses pendidikan yang murah kepada rakyat
luas. Jika selama ini pendidikan murah disediakan secara terbatas oleh aktor
swasta, antara lain pihak pesantren dan madrasah, kini pendidikan murah
disediakan dalam skala raksasa oleh negara dengan disokong pendanaan yang
memadai.Ciri kedua adalah pemodelan pendidikan menurut kultur dan pola
kelembagaan yang dikenal di Barat. Seluruh lembaga pendidikan yang dibangun
oleh Orde Baru, mulai dari tingkat dasar hingga tinggi, pada dasarnya adalah
pendidikan dengan model yang kurang lebih sama dengan pendidikan yang
dikembangkan di Barat dengan tradisi keilmuan dan kelembagaannya yang khas.
Dengan kata lain, lepas dari retorika nasionalisme kebudayaan yang mencirikan
kebijakan Orba dalam lapangan kebudayaan, apa yang dilakukan rejim itu di
sektor pendidikan adalah “westernisasi” atau pembaratan.
Pendidikan Islam pun tak terlepas dari proses
modernisasi ini. Di bawah kepemimpinan Prof. Mukti Ali sebagai menteri agama
saat itu, pemerintah melakukan upaya modernisasi madrasah secara besar-besaran
dengan dukungan pendanaan dari negara yang sangat cukup. Apa yang disebut
sebagai madrasah modern, dalam bentuk Madrasah Negeri atau lembaga pendidikan
tinggi seperti STAIN/IAIN (sekarang menjadi UIN), memperkenalkan tradisi
keilmuan dan kelembagaan yang sama sekali berbeda dengan tradisi yang kita
kenal di pesantren. Tradisi keilmuan yang dikembangkan dalam lembaga-lembaga
pendidikan modern itu mengikuti suatu “epistemologi baru” yang berbasis pada
“free inquiry,” (penelaahan bebas),walau dengan derajat yang terbatas. Tradisi
kajian Islam yang berkembang di lembaga-lembaga modern seperti IAIN jelas
berbeda secara radikal dengan corak kajian yang berkembang di pesantren atau
madrasah. “Faith baggage” (basis keimanan) dalam kajian keislaman di IAIN,
harus diakui, tak sebesar di pesantren, dan itulah yang memungkinkan
berlangsungnya “free inquiry” dalam kajian keislaman di “madrasah modern.”
“State-sponsored modernization,” atau
modernisasi yang disokong pemerintah ini menghadapkan pesantren kepada keadaan
yang sama sekali kurang mengutungkan. Karena sokongan pendanaan yang luar biasa
besar dari negara, pamor dan prestise pendidikan modern, baik yang umum maupun
agama, meningkat tajam di tengah-tengah masyarakat. Pesantren mendapatkan
pesaing berat sebagai “the provider of best opportunities” kepada masyarakat
luas. Situasi ini memojokkan pesantren pada posisi “David vs Goliath” dalam
persaingan yang sama sekali tak berimbang. Sementara pesantren bergantung pada
sokongan sukarela dari masyarakat yang juga pelan-pelan kian merosot (saya akan
jelaskan dalam bagian berikut), lembaga pendidikan modern makin mengalami
ekspansi besar-besaran karena sokongan dana negara yang nyaris tanpa batas.
Jika kerangka teoritis “negara kuat vs masyarakat lemah” yang populer di era
Orba dulu bisa kita pakai di sini, dengan jelas dapat kita saksikan kompetisi
yang sama sekali kurang adil antara lembaga pendidikan modern yang begitu kuat
karena sokongan negara, berhadapan dengan lembaga pendidikan pribumi yang
dibangun oleh swadaya masyarakat yang lemah.
Sementara itu, modernisasi dalam ranah
kehidupan lebih luas juga berlangsung secara agresif melalui penetrasi
lembaga-lembaga modern ke tengah-tengah masyarakat. Yang paling besar
dampaknya, tentu saja, adalah penetrasi lembaga ekonomi modern melalui kekuatan
pasar dan segala pernik penopangnya. Muncullah harapan-harapan sosial baru yang
tampaknya lebih banyak dipenuhi oleh lembaga pendidikan modern. Ini semua
membuat posisi pesantren kian terdesak di tengah-tengah masyarakat. Bukan saja
pesantren/madrasah mendapat pesaing berat dari lembaga pendidikan modorn,
tetapi penetrasi lembaga-lembaga modern ke tengah-tengah masyarakat menciptakan
harapan sosial baru yang membuat “social confidence” terhadap pesantren menjadi
merosot. Tentu saja ini berkaitan dengan merosotnya dukungan pendanaan dari
masyarakat bagi pesantren.
Inilah yang melahirkan tantangan berikutnya,
yakni memudarnya otonomi pesantren karena lembaga ini pun pelan-pelan mengalami
proses “etatisasi,”(ketergantungan) kepada sokongan pemerintah. Sudah bukan
rahasia lagi bahwa sumber pendanaan terbesar bagi pesantren saat ini adalah
dana pemerintah melalui Kemenag. Naiknya dana pendidikan secara tajam melalui
skema “capping” atau pematokan sebesar 20% dalam konstisusi kita (UUD Pasal 31
ayat 4) yang terjadi setelah era reformasi, menciptakan kemungkinan baru, yakni
besarnya “state largesse” (bantuan negara) untuk pendidikan agama melalui
Kemenag. Era reformasi menyaksikan ekspansi peran pemerintah yang luar biasa di
bidang pendidikan, termasuk dalam pendidikan agama. Bersamaan dengan itu,
proses modernisasi pendidikan pun berlangsung kian jauh dan kian mendalam.
Tentu saja situasi semacam ini tidak seluruhnya
disesali oleh pengelola pendidikan pesantren. Mungkin sebagian besar kalangan
pesantren menyambut dengan baik membesarnya dana pendidikan bagi madrasah dan
pesantren, sebab dengan demikian kemungkinan pengembangan pendidikan di lembaga
itu bisa diperbesar. Sokongan pendanaan yang berasal dari masyarakat untuk
pesantren, sebagaimana kita tahu, sudah tak bisa lagi diandalkan seperti dulu.
Mengatasi situasi yang tak ideal ini, cara paling cepat yang tersedia bagi para
kyai atau pengelola pesantren adalah menoleh kepada pemerintah sebagai
alternatif pendanaan baru.Tetapi,dengan demikian, sebuah harga sosial-politik
harus dibayarkan oleh pesantren,yaitu kehilangan otonomi.Dengan
masuknya pesantren dalam pusaran modernisasi pendidikan yang digerakkan oleh
pemerintah,maka dengan demikian, pesantren juga kehilangan otonomi untuk
menentukan agendanya sendiri.
Salah satu dampak dari hilangnya otonomi ini
adalah kian memudarnya corak kajian Islam yang dulu pernah dikembangkan oleh
pesantren, dan makin dominannya corak pendidikan Islam ala pemerintah di
lembaga pesantren itu sendiri.Dengan kata lain, sekarang ini garis demarkasi
antara corak pendidikan pesantren dengan madrasah pemerintah nyaris kabur.
Dengan mengecualikan beberapa pesantren besar di Jawa Timur dan Jawa Tengah,
saya kira kita melihat tren umum di pesantren-pesantren di Indonesia: yakni
tren “pemerintahifikasi” (etatification) – makin miripnya pendidikan pesantren
dengan pendidikan keagamaan luar pesantren yang disokong oleh pemerintah. Di
sini,agen penting yang menentukan “agenda pendidikan Islam” bukan lagi
pesantren,tapi pejabat di Kemenag.
Bagi saya,hilangnya otonomi pesantren ini jelas
patut disayangkan.Saya melihat bahwa kajian Islam di Indonesia sudah seharusnya
merawat keragaman yang dimungkinkan oleh kehadiran lembaga pendidikan “swasta”
seperti pesantren.Saat ini, sekurang-kurangnya kita melihat tiga corak kajian
Islam di Indonesia.Pertama adalah corak kajian seperti kita lihat
di pesantren yang “silsilah intelektual”-nya bersambung jauh ke belakang, ke
tradisi serupa yang berkembang selama berabad-abad dalam khazanah intelektual
Islam klasik.Kedua, adalah kajian Islam seperti dikembangkan di
IAIN/UIN. Corak kajian ini sudah mengadopsi spirit “free inquiry” yang dominan
di “Western academia”.Ketiga adalah corak kajian Islam yang
berkembang di perguruan tinggi umum yang sudah mengikuti sepenuhnya pendekatan
saintifik-fenomenologis seperti kita lihat dalam tradisi “religious studies”
yang berkembang di Barat. Ketiga model kajian itu harus ada secara serentak,
dan ketiganya memperkaya wawasan kita tentang Islam dan “Islamic discourse.”
Dengan hilangnya otonomi pesantren sebagai aktor pendidikan yang mampu
menentukan agendanya sendiri sesuai dengan tradisi intelektual yang sudah
berkembang lama di sana, tentu saja kita harus dengan sedih menyaksikan tumbangnya
salah satu “varietas” penting dalam keragaman kajian Islam di Indonesia.
Apalagi jika kita pertimbangkan bahwa apa yang
disebut sebagai “Islamic moderation” yang menjadi ciri Islam di Indonesia pada
dasarnya banyak berhutang pada corak kajian Islam dan “Islamicity” yang
dikembangkan di pesantren. Hilangnya otonomi pesantren, bagi saya, adalah
ancaman bagi pilar penting moderasi Islam di Indonesia.
Meskipun peran pemerintah yang kian membesar
dalam ranah pendidikan, termasuk pendidikan agama, tidak merupakan hal yang
jelek pada dirinya sendiri, bahkan sangat positif bagi sebagian kalangan
dilihat dari segi ketersediaan dana yang kian besar untuk pengembangan lembaga
pendidikan Islam, tetapi ada satu hal yang harus kita perhatikan. Hal yang
menonjol dalam lembaga-lembaga pendidikan keislaman yang disokong pemerintah
adalah absennya “tradisi intelektual Islam” yang sudah berumur ratusan tahun.
Tradisi itu ada di pesantren, tetapi sama sekali absen di sekolah-sekolah
pemerintah yang didukung dana besar itu. Secara metaforis, lembaga-lembaga
pendidikan keislaman yang disokong oleh pemerintah itu mirip mal-mal mewah di
Jakarta yang memiliki “facade” (penampakan luar) yang gemerlap dan menakjubkan,
tetapi kosong dari “tradisi” dan “sejarah”. Ia adalah struktur yang dangkal.
Sementara pesantren dengan kesederhanaan fisiknya, sesungguhnya menyimpan “deep
structure” berupa tradisi intelektual serta sejarah kelembagaan yang tua,
bersambung dengan sejarah “Islamic colleges” seperti pernah diulas dengan baik
oleh Prof. George Makdisi dalam karya klasiknya, The Rise of Colleges (1984).
Dengan mengaburnya batas antara pendidikan
pesantren dan “madrasah pemerintah,” maka kita melihat gejala yang menarik,
gejala yang mirip dengan mal-mal di kota. Sementara pesantren mengalami
modernisasi fisik dan kelembagaan, antara lain karena sokongan pendanaan dari
pemerintah, di pihak lain kita melihat merosotnya “deep structure” berupa
tradisi keilmuan yang menjadi ciri khas pesantren. Inilah yang akan menjadi
sorotan saya dalam bagian berikut.
Disorientasi dan pendangkalan tradisi
intelektual
Tantangan ini berkaitan langsung dengan “core” (inti)
dari tradisi pesantren, yakni di sektor pemikiran dan tradisi keilmuan.Tesis
saya dalam bagian ini adalah bahwa terjadi kemerosotan, sekaligus disorientasi
dalam tradisi keilmuan pesantren,terutama sejak terjadinya proses modernisasi
besar-besaran di sektor pendidikan yang disponsori oleh pemerintah.Saya
menganggap, kemerosotan ini sebagai ancaman yang serius terhadap “intellectual
integrity” dari pendidikan di pesantren.Menurut saya, ini adalah tantangan yang
belum sepenuhnya disadari oleh kalangan pesantren.Sekurang-kurangnya, hingga
saat ini, saya belum mendengar semacam “hype” (kegaduhan) karena adanya rasa
was-was dan khawatir terhadap situasi semacam ini.Sebaliknya,yang terlihat nyata
malah kecenderungan “business as
usual-ness,” atau adem-adem saja, baik di kalangan kyai, santri atau para stake
holders lain di masyarakat.
Perkenankan saya pelan-pelan mengurai masalah
yang sangat serius ini. Sejak semula, sudah ada sejumlah kelemahan dalam
tradisi keilmuan pesantren. Saya akan jelaskan beberapa saja yang patut
mendapatkan perhatian kita.
Masalah pertama adalah,
adanya kecenderungan isolasionisme intelektual dalam pesantren. Saya akan
jelaskan istilah yang kedengarannya mentereng tetapi isinya sangat sederhana
ini. Pada mulanya, tradisi intelektual pesantren tumbuh karena kontak dengan
pusat-pusat kajian dan pengajaran Islam di Timur Tengah, terutama di haramain,
yakni Mekah dan Madinah. Sejarah munculnya pendidikan pesantren dan tumbuhnya
tradisi intelektual pesantren di sana adalah karena adanya sejumlah murid-murid
dari kawasan Asian Tenggara yang belajar di Mekah dan Madinah, dan kemudian
balik ke tanah air, dan mengembangkan pendidikan di negeri sendiri. Rekaman
yang cukup baik mengenai hal ini bisa dibaca dalam disertasinya Prof. Azyumardi
Azra, The Origins of Islamic Reform (2004).
Dengan kata lain, pada mulanya tradisi keilmuan
di pesantren bersifat kosmopolit, dalam pengertian non-isolasionistik, tak
terpisahlan dari pusat-pusat kajian Islam di pusat Islam di Timur Tengah. Pada
periode ini, kita melihat produksi intelektual yang cukup menonjol dari
beberapa ulama asal kawasan Melayu/Jawa, baik dalam bahasa Arab maupun bahasa
lokal (Melayu atau Jawa). Nama-nama seperti Muhammad Arsyad al-Banjari
pengarang Sabil al-Muhtadin, Zainuddin al-Sumbawi, Daud al-Fatani, Mahfuz
al-Tarmasi, dan lainnya,tentu sangat kita kenal. Nama yang selalu melekat dalam
benak komunitas pesantren tentu saja adalah Syekh Nawawi al-Bantani, seorang
ulama asal Banten yang tinggal di Tanah Suci dan cukup prolifik menulis
karya-karya dalam pelbagai bidang ilmu klasik Islam.
Tetapi, watak keilmuan pesantren yang semula
kosmopolit ini tiba-tiba berubah menjadi isolasionistik. Dalam perkembangan
belakangan, tradisi keilmuan pesantren cenderung terpisah (isolated) dari
perkembangan tradisi serupa di pusat-pusat kajian Islam di dunia luar, terutama
di Timur Tengah. Ada dua penjelasan kenapa hal ini terjadi.Pertama
adalah munculnya pemerintahan Wahabi di Saudi Arabia. Konsolidasi dinasti Saud
yang mengadopsi doktrin Wahabi pada awal abad ke-21 menyebabkan putusnya kontak
intelektual antara dunia pesantren dan dunia Haramain. Doktrin Wahabisme
memang berseberangan dengan model Islam sunni yang dikembangkan di pesantren
yang basisnya adalah teologi Asyariyyah dan tradisi bermazhab.Kedua,
perkembangan-perkembangan di tanah air yang memberikan kontribusi terhadap
kecenderungan isolasionisme ini. Modernisasi pendidikan yang disponsori negara-sebegaimana
telah diulas sebelumnya-menyebabkan
merosotnya pesantren sebagai isntitusi intelektual. Hal ini membuat insentif
intelektual bagi dunia pesantren untuk membangun kontak-kontak pemikiran dengan
dunia luar makin mengecil,kalau tidak dikatakan hilang sama sekali.
Baik karena sebab ini atau itu, kecenderungan
isolasionisme ini membuat mutu tradisi intelektual di pesantren juga
pelan-pelan merosot. Ini bisa dilihat secara sederhana misalnya dengan makin
sedikitnya, atau bahkan hilangnya sama sekali tradisi menulis kitab dalam
bahasa Arab oleh para kyai pesantren. Bahkan secara umum, kemampuan berbahasa
Arab secara aktif di kalangan kyai juga merosot tajam. Kemampuan berbahasa
Arab, dalam hal ini, saya pandang sebagai faktor yang mencerminkan
tinggi-rendahnya “intellectual mastership” dari seorang kyai.Sebab bahasa Arab
terhadap dunia intelektual di pesantren adalah sama kedudukannya dengan bahasa
Latin dalam seminari-seminari Katolik.Bahasa Arab merupakan “intellectual
reservoir” bagi pemikiran-pemikiran Islam klasik.
Masalah kedua adalah,
bahwa sejak awal, pada dasarnya, tradisi keilmuan Islam di pesantren belumlah
sekokoh dan semendalam yang kita lihat di negeri-negeri lain seperti India,
misalnya.Produksi intelektual ulama Indonesia dalam bentuk publikasi tertulis
sangatlah rendah jika dibandingkan dengan,misalnya, India. Ribuan karya dalam
berbagai bidang ilmu keislaman telah lahir dari para ulama India sejak dahulu
hingga sekarang. Ini tidak kita lihat pada kasus Indonesia.Dengan kata lain,bisa
kita tegaskan bahwa tradisi intelektual Islam di pesantren pada dasarnya tidak
kokoh sejak awal. Ini ditandai dengan minimnya publikasi ilmiah yang lahir dari
tangan para kyai dan ulama pesantren, relatif terhadap ulama dari negeri-negeri
lain. Mungkin hal ini ada hubungannya dengan lemahnya “literate tradition” atau
tradisi keilmuan berbasis bahan bacaan tertulis secara umum di kalangan
masyarakat Melayu/ Jawa. Atau,kemungkinan lain, penetrasi tradisi ilmiah
keislaman dalam lembaga pesantren/madrasah di Jawa/Melayu belum berlangsung
terlalu jauh,atau akar-akarnya masih lemah.
Dan dalam kondisi semacam ini, tiba-tiba
pesantren harus berhadapan dengan “juggernaut” (kekuatan raksasa) yang
menimbulkan perubahan besar-besaran dalam lanskap pendidikan di Indonesia,
yaitu modernisasi sekolah yang disponsori oleh negara, terutama sejak dekade
70an. Jika Universitas al-Azhar yang mempunyai tradisi intelektual begitu kokoh
selama ratusan tahun saja bisa pontang-panting menghadapi proses modernisasi di
Mesir,kita bisa bayangkan betapa repotnya pesantren harus berhadapan dengan
fenomena serupa di sini.
Masalah ketiga,
pesantren, sejak awal memang tak memiliki pendidikan Islam pada level
“under-graduate” (S1) atau “post-graduate” (S2 dan S3). Pada masa lampau,
pendidikan Islam pada dua level itu, secara tak langsung, sebetulnya tersedia
di pesantren. Misalnya, jika kita hitung rata-rata masa pendidikan yang
ditempuh oleh seorang santri di pesantren berkisar antara 5-12 tahun.
Pemandangan seorang santri yang melewatkan pendidikan di pesantren selama 7-12
tahun bukanlah pemandangan yang langka pada generasi pesantren setengah abad
yang lalu,antara dekade 50 hingga 90an,misalnya.Dengan masa pendidikan selama
itu, kita bisa menduga-duga bahwa pesantren,pada masa lampau, bisa menghasilkan
lulusan dengan level yang setara dengan S2 atau S3. Masa pendidikan yang
ditempuh oleh santri kita saat ini kian pendek, karena tekanan yang datang dari
berbagai arah. Tekanan yang paling besar tentu datang dari tuntutan untuk
segera mendapatkan pekerjaan yang bisa menopang ekonomi keluarga.Dan dengan
kian singkatnya masa pendidikan di pesantren saat ini,tentu mutu pengetahuan
keislaman yang diperoleh oleh santri juga kian merosot.
Kelemahan ini sebetunya sudah diantisipasi oleh
kalangan pesantren. Respon terhadap keadaan ini lahir dalam bentuk rintisan
mendirikan sejumlah Ma’had ‘Ali (semacam college atau sekolah tinggi) di
sejumlah pesantren. Salah satu eksperimen yang cukup berhasil dengan Ma’had
‘Ali ini dapat kita jumpai di dua pesantren: Krapyak dan Situbondo.Namun,secara
umum, eksperimen ini belum menampakkan hasil yang memuaskan, selain belum
banyaknya jumlah Ma’had ‘Ali yang berdiri di sejumlah pesantren,juga bisa kita
lihat,justru kecenderungan yang sebaliknya.Minat pesantren untuk mendirikan
Ma’had ‘Ali jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan minat mereka untuk
mendirikan lembaga pendidikan tinggi modern di tengah-tengah pesantren.Ini bisa
dilihat dengan banyaknya Sekolah Tinggi Agama Islam yang berafiliasi dengan
pesantren di banyak daerah.Beberapa pesantren bahkan sudah melangkah jauh
dengan mendirikan akademi, sekolah tinggi, atau bahkan universitas dengan
cabang keilmuan yang lebih luas,dan tentu dengan tradisi keilmuan yang sudah
sama persis dengan perguruan tinggi pada umumnya, dengan model pendidikan Eropa
dan Barat sebagai kiblat intelektualnya.
Kombinasi dari tiga masalah ini, ditambah
dengan faktor “state-sponsored modernization” seperti telah jelaskan di muka, bermuara
pada satu hal, yakni adanya disorientasi dan kian melemahnya mutu “diskursus
intelektual” di pesantren kita sekarang ini. Jika kita mengukur kesuksesan
pesantren dari sudut mampu tidaknya lembaga ini menjaga tradisi Islam Sunni ala
Indonesia/Jawa, mungkin tidak ada sesuatu yang harus dikhawatirkan. Dari segi
ini, pesantren kurang lebih sudah berhasil mengembangkan tugasnya dengan baik.
Dengan kata lain, dari sudut kepentingan dakwah dan pelestarian tradisi Islam
Sunni, pesantren di Jawa tak bisa dikatakan gagal sama sekali, bahkan cukup
berhasil.Tetapi jika kita melihat dari arah yang lain,yaitu dinamisme
intelektual, tentu saja penilaian kita bisa berbeda.
Ada kontras yang menarik antara pesantren di
satu pihak dan lembaga pendidikan modern di pihak lain. Pada yang pertama, kita
melihat tradisi intelektual yang nyaris mati, repetitif, serta semacam
“kelembaman,” sementara pada yang kedua kita melihat adanya semangat “free
inquiry” dan spirit penelaahan yang hidup,dengan seluruh kekurangan yang ada
dalam universitas kita saat ini.
Dari mana asal-usul semua ini? Kenapa semua hal
ini terjadi? Menurut saya jawabannya sederhana:Pertama, secara
umum, lanskap kehidupan masyarakat telah mengalami modernisasi begitu
jauh,sehingga muncul harapan-harapan sosial (termasuk harapan “employment”/ pekerjaan)
yang secara umum hanya bisa dipenuhi oleh lembaga pendidikan modern.Kedua,lembaga
pendidikan modern sukses besar di Indonesia,antara lain, karena sokongan
pendanaan yang begitu besar dari negara.
Lalu selanjutnya ?
Bagaimana masa depan pesantren kita? Ini
pertanyaan penting yang mesti menjadi pemikiran dan refleksi kalangan pesantren
saat ini. Pertanyaan ini terlihat sederhana, dan secara redaksi sangat pendek,
tetapi jawabannya sangatlah tidak sederhana. Saya ingin membuat sejumlah
pengandaian untuk jawaban atas pertanyaan ini.
Pengandaian pertama: “business as usual”
Dalam pengandaian ini, saya asumsikan bahwa
stake holders pesantren, terutama para kyai, mengerjakan segala hal seperti
biasa, dan tak melakukan perubahan yang cukup radikal dalam desain kelembagaan
maupun tradisi keilmuan yang berkembang di pesantren. Dengan asumsi ini, maka
yang terjadi adalah berlanjutnya sejumlah tren yang sekarang sudah kita
saksikan,yaitu makin meleburnya pesantren ke dalam corak pendidikan ala
pemerintah, dan kian terserapnya pesantren dalam tradisi intelektual yang
berasal dari universitas modern.
Tentu saja, pesantren sebagai “subkultur” tidak
akan hilang sama sekali. Nyaris mustahil membayangkan bahwa lembaga dengan akar
yang begitu kuat dan umur yang begitu panjang seperti pesantren akan memudar
dan musnah begitu saja. Kemungkinan ini tentu ada,tetapi dengan probabilitas
statistik yang sangat rendah, begitu rendahnya sehingga nyaris mustahil.
Pesantren sebagai sebuah subkultur tetap akan bertahan, tetapi dengan sejumlah
modifikasi yang begitu besar karena tekanan lingkungan yang tak terhindarkan,yang
berdampak pada makin buram serta samarnya esensi dan eksistensi pesantren itu
sendiri.
Karena itu,dalam pengandaian pertama ini, kita
sulit mengharapkan pesantren bisa berkembang sebagai suatu lembaga kajian Islam
yang kokoh dengan tradisi keilmuan yang kuat, dengan corak khas yang dibentuk
oleh tradisi intelektual Islam klasik yang umurnya ratusan tahun.
Pengandaian kedua: “radical reform”
Yang saya maksud dengan “radical reform” di
sini bukan reformasi dalam pengertian yang kita pahami selama ini, yaitu
perubahan-perubahan pada tradisi agar sesuai dengan tuntutan modernitas. Yang
saya maksudkan hanyalah makna umum dari kata “reform,” yaitu melakukan
perbaikan. Kata “radikal” sebagai “modifier” di sini saya maksudkan suatu usaha
perbaikan yang sungguh-sungguh.
Dengan pengandaian kedua ini, kita asumsikan
ada usaha perombakan yang sungguh-sungguh dalam penataan pesantren,baik secara
kelembagaan maupun tradisi keilmuan.Tujuan yang hendak dicapai dengan perbaikan
ini adalah menjadikan kembali pesantren sebagai bukan saja lembaga untuk
merawat tradisi Islam Sunni ala Indonesia, tetapi juga sebagai “centre of
traditional Islamic studies”(titik pusat kajian keilmuan Islam kultural) dengan
warna yang secara mendasar berbeda dengan model kajian Islam yang berkembang di
lembaga perguruan tinggi modern, misalnya IAIN/UIN.
Pengandaian yang kedua ini, harus saya akui,
agak susah terjadi.Karena ini proyek raksasa yang membutuhkan dukungan
pendanaan besar. Hanya negara, menurut saya, yang bisa menyediakan dana cukup
untuk melaksanakan proyek seperti ini. Tetapi, persis di sinilah problem
muncul: jika proyek ini disponsori sepenuhnya oleh pemerintah, apakah ini tidak
akan menghilangkan otonomi pesantren? Apakah hal ini tidak akan membawa
pesantren kepada situasi di mana ia terserap kembali kepada agenda yang telah
ditetapkan oleh negara, dan bukan agendanya sendiri? Apakah hal ini tidak akan
membawa resiko pesantren masuk ke dalam jebakan “political partisanship” yang
merupakan gejala umum yang menyifati hubungan antara negara dan masyarakat di
Indonesia, baik pra atau pasca reformasi?.Jadi pilihan yang ideal tentu saja
adalah kemampuan pesanteren dan komunitasnya untuk mendanai sendiri usaha
“radical reform”. Jika hal ini terjadi, maka kita sangat patut bergembira.
Tetapi,ada masalah besar di sini berkaitan
dengan struktur sosial yang khas pada masyarakat Sunni pada umumnya.
Sebagaimana kita tahu, struktur sosial dalam masyarakat Sunni cenderung
poliarkis (menyebar) dan terfragmentasi (terpecah),karena tiadanya “singular
spiritual authority” , berbeda dengan yang kita saksikan pada komunitas Syiah
misalnya.Dalam pengalaman Indonesia, ini menyebabkan sulitnya masyarakat Sunni
melakukan mobilisasi dana secara besar-besaran.Dengan kata lain, absennya
konsep “imamah” dalam komunitas Sunni, menimbulkan situasi di
mana struktur sosial di sana agak mirip dengan situasi dalam komunitas
Protestan.Sementara pada komunitas Syiah yang mengenal konsep “imamah,”
situasinya agak mirip dengan komunitas Katolik yang hirarkis.
Tapi,mestinya halangan struktural semacam ini
tidak mesti menjadi kendala permanen, asal ada upaya menciptakan struktur
sosial baru yang basisnya bukan “individual authority” dalam bentuk figur
seorang tokoh spiritual atau ulama,melainkan “institutionalized authority,”
dalam bentuk organisasi modern yang kuat. Ekperimen semacam ini sudah dilakukan
dalam dua contoh menarik di Indonesia:pertama dalam kasus Muhammadiyah, dan
kedua adalah PKS. Kedua komunitas ini (yang satu pada level “civil society,”
yang kedua pada level “political society”) berhasil mengembangkan otoritas yang
sifatnya lebih terlembaga,bukan personal.
Pengandaian kedua ini juga mensyaratkan hal
lain lagi, yakni adalah sistem “social reward” dalam masyarakat yang kondusif
untuk upaya membangun pesantren sebagai pusat kajian Islam yang maju.
Pertanyaan yang layak kita ajukan adalah: Apakah masyarakat Islam merasakan
perlu hadirnya tokoh-tokoh Islam dengan kemampuan keilmuan yang mendalam,
ataukah mereka hanya butuh tokoh-tokoh keagamaan “medioker” yang sekedar bisa
memuaskan dahaga mereka akan spritualistas sederhana? Dengan kata lain,apakah
umat Islam memang benar membutuhkan seorang ulama dengan tingkat kedalaman ilmu
seperti Kiai Sahal Mahfudz,Allahu yarhamuh, atau cukup puas dengan ulama-da’i
yang muncul di panggung-panggung ceramah atau tabung televisi yang hanya
berbekal pengetahuan tentang Islam yang elementer/cemen/dangkal?
Jika lingkungan sosial tak memberikan insentif
yang cukup untuk lahirnya ulama atau kyai dengan kemampuan intelektual yang
tinggi, tentu saja usaha menjadikan pesantren sebagai “centre of traditional
Islamic studies” agak terhambat,bahkan nyaris mustahil.Tapi,bila kita lihat
keadaan di Indonesia saat ini, jelas kebutuhan akan lahirnya seorang ulama
dengan penguasaan yang mendalam akan tradisi keilmuan Islam klasik sebagaimana
dikembangkan di pesantren,sangat tinggi. Di mana-mana kita mendengar keluhan
akan makin mengecilnya jumlah kyai/ulama yang kompeten di bidang ilmu-ilmu
keislaman klasik. Yang belum kunjung kita lihat adalah respon yang memadai
terhadap keluhan tersebut.Selama ini,keluhan hanyalah keluhan;mirip dengan
teriakan yang tak berbalas.
Namun hanya seakan seruan dari
kejauhan,mirip rintihan daun pepohonan di musim gugur
* * * * *