RISALAH
AHKAMUL MASAJID
Hukum
hukum Masjid
Disusun oleh
Sayyid Soleh bin Muhammad Alhabsyi
Pendiri yayasan Tarbiyyah Islamiyyah
Ahkamul
masajid
Mukaddimah
Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan masjid sebagai
tempat beribadah kepadaNya dan sarana pemersatu hamba hambaNya.Shalawat dan
salam senantiasa dilimpahkan atas penghulu para utusan,Muhammad bin Abdillah
dan seluruh keluarganya yang disucikan serta sahabatnya yang mulia, selanjutnya:
Adalah merupakan suatu keniscayaan bahwa dalam setiap kelompok umat
Islam,masjid adalah satu sarana pokok dalam menunjang eksistensi
dan esensi umat.Sehingga menjadi satu keharusan bila umat perlu
diberikan pengarahan dan bimbingan tentang hukum seputar masjid agar tidak
akan menimbulkan kerancuan dalam mengurus dan mengelola serta mengembangkannya.
Semua hal tersebut diperlukan sebagai penyeimbang dan untuk
memaksimalkan daya guna masjid dan memberikan pengetahuan ajaran Islam
bagi masyarakat terutama umat yang awam,seperti halnya kita.Karena telah
banyak contoh dan kejadian yang sebagian besar bertolak belakang dengan hukum
masjid yang seharusnya diterapkan sebagai rumah besar bersama umat Islam.
Risalah kecil ini hanya akan mengangkat sekelumit saja dari
berbagai permasalahan yang sering terjadi dan menjadikan sebab perpecahan dari
sebab perbedaan pendapat dan pemikiran sebagian golongan diseputar hukum masjid.Dan
tentunya,itu semua menurut kemampuan penyusun yang sepi dari ilmu dan amal ini.Tegur
sapa serta saran yang membangun selalu penyusun nantikan untuk perbaikan dimasa
depan,karena terkadang penyusun melakukan pengambilan kesimpulan sendiri dari
teks yang ada.Bilamana hal tersebut benar,maka itulah yang diharapkan dan bila
salah maka itu semua merupakan akibat dari kealfaan dan ketidaktahuan diri
penyusun terhadap kemampuan diri sendiri.Penyusun memohon ampunan kepadaNya
atas bisikan yang diada adakan serta kekeliruan dari sebab kebodohan dan
ketidak mengertian akan kapasitas diri.
Akhir kata,semoga risalah ini dapat membantu memahami permasalahan
tersebut serta jadi amal yang diterima oleh Allah sebagai pemberat timbangan
amal penyusun di akhir kelak. Amin....................................
Wassalam,penyusun
Cianjur,Selasa
18 Rabiul Awwal 1437
29 Desember 2015
Prakata
Agar supaya bahasan memiliki batasan yang jelas ,dan tidak ngawur
tanpa tujuan,ada baiknya kita sorot beberapa hal yang dianggap paling pokok
dalam masalah hukum Masjid ini.Dan tentang masjid,terdapat beberapa hal yang
seharusnya diketahui terutama oleh orang yang mempunyai jabatan pengelola
(seperti DKM),bahkan oleh semua orang dalam komunitas tersebut.Agar supaya
tidak menjadikan adanya kerancuan dan kesalahan pandangan diantara mereka.
Hal yang erat hubungannya dengan masalah masjid adalah:
a.sejarah masjid
b.apakah masjid itu?
c.dimana masjid adanya?
d.penghuni masjid
**********
PEMBAHASAN
A.sejarah Masjid
Ketika Rasulallah
shallallahu alaihi wa alihi wa salam tiba di Madinah, beliau memutuskan
untuk membangun sebuah masjid, yang sekarang dikenal dengan nama Masjid Nabawi, yang artinya Masjid Nabi.Setelah unta tunggangan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa salam berhenti di suatu tempat di Madinah, maka kaum
muslimin menjadikannya sebagai tempat untuk menunaikan shalat. Tempat itu
merupakan tempat penjemuran kurma milik Suhail dan Sahl,dua anak yatim dari
Bani Najjâr yang berada dalam pemeliharaan As’ad bin Zurârah. Ketika tunggangan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berhenti di tempat itu, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
هَذَا
إِنْ شَاءَ اللهُ الْمَنْزِلُ
“Ini -Insya Allah- tempat
menetap” [HR Bukhâri]
Kemudian Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa alihi wa salam memanggil kedua anak yatim itu dan menawar tanah
itu untuk dijadikan masjid. Tetapi kedua anak itu berkata: “Justru kami ingin
memberikannya kepada anda, wahai Rasulullah”. Meski demikian,Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa alihi wa salam
enggan menerima pemberian dua anak kecil ini,sehingga beliau Shallallahu
‘alaihi wa alihi wa salam tetap membelinya. Dan di atas tanah ini, Masjid
Nabawi dibangun. (HR Bukhâri, al-Fath, 15/101, no. 3906.)
Maka jadilah Masjid Nabawi
sebagai tempat ibadah dan pusat persatuan pemerintahan kaum muslimin di Madinah
dikala itu. Masjid Nabawi
terletak di pusat Madinah.Di Masjid
Nabawi, juga terdapat mimbar yang sering dipakai khatbah oleh Rasulallah
shallallahu alaihi wa alihi wa salam.Masjid Nabawi menjadi jantung kota Madinah
saat itu yang digunakan untuk kegiatan politik,perencanaan da’wah,strategi
militer, dan untuk mengadakan perjanjian.Bahkan,di area sekitar masjid digunakan sebagai
tempat tinggal sementara oleh orang-orang fakir miskin,yang kemudian dikenal
sebagai ahlu sufah (penghuni emperan).
Dari hal diatas
tersebut,timbul bahasan tentang fungsi masjid dan mendirikan lebih dari
satu masjid disuatu wilayah.
Fungsi Masjid
Target
pendirian sebuah masjid adalah untuk menghidupkan fungsi utamanya sebagai center
point ( titik pusat ) kegiatan Islami bagi masyarakat
sekitarnya,khususnya shalat Jum’at dan jama’ah shalat lima waktu dan umumnya
kegiatan Islam lainnya seperti membaca al Qur’an,belajar mengajar,tempat
musyawarah serta kegiatan lainnya dalam rangka kemaslahatan umat.Target inilah
yang seharusnya menjadi pokok pertimbangan dalam setiap pendirian masjid.
Artinya,bila untuk beberapa komplek, satu masjid saja sudah mencukupi
berbagai keperluan di atas dengan baik, kiranya tidak perlu lagi didirikan masjid
lain. Lebih-lebih jika masjid didirikan bukan atas dasar semangat
menghidupkan syi’ar Islam dan penyempurnaan kewajiban.Tapi,motivasinya
tak lebih hanya karena perbedaan pendapat dalam masalah yang tidak esensial,sehingga
pihak yang merasa tersisih memutuskan mendirikan masjid sendiri di
kompleknya dengan lokasi yang tidak jauh dengan masjid yang ada
sebelumnya.Semua itu tidak menjadikan solusi,tapi justru berakibat pada
langgengnya perpecahan dan perselisihan.Sebab kedua belah pihak tak pernah lagi
berjama’ah,bertatap muka di masjid apalagi musyawarah demi kemaslahatan
bersama.Lebih buruk lagi jika masjid didirikan hanya atas dasar fanatik
golongan, dengki dan sakit hati,perebutan jama’ah serta pamer kekayaan.
Oleh sebab itu
hendaknya pendirian masjid benar-benar didasarkan atas pertimbangan
kebutuhan warga akan sarana ibadah, bukan hanya sebagai simbol kepemilikan semata
bahwa kampung tersebut telah ‘memiliki’ masjid sendiri,atau sekedar
pemanfaatan dana dari pemerintah atau donatur tertentu. Apalagi bila masjid
dijadikan komoditi bisnis percaloan,seperti kita saksikan di zaman ini.Dimana
seorang yang memiliki channel (hubungan) dengan seorang donatur
(yang biasanya orang arab wahhaby saudi) menawarkan pembangunan masjid
di suatu daerah,demi untuk memperoleh sedikit keuntungan dari hasil dana
sumbangan tersebut.Sungguh satu kehinaan yang memperburuk keadaan,dan hanya
orang yang tidak memiliki akal saja yang mau melakukan tindakan demikian.
Seorang teman
yang bisa dipercaya pernah mengabarkan bahwa di daerahnya ada masjid yang
dibangun dari hasil donatur arab. Namun bukan masalah donasinya yang menjadikan
keheranan saya,tapi perjalanan untuk pembangunan masjid tersebut. Katanya,lahan
masjid itu merupakan tanah waqaf,lalu demi untuk kelancaran dana dari
donatur tersebut diaturlah siasat seolah olah lahan itu masih
merupakan lahan milik.Jadi si donatur,selain mengeluarkan dana untuk membangun
fisik masjid juga sekaligus membeli lahan tersebut.Silahkan
renungkan,apa jadinya bila tempat yang menurut mereka adalah sarana ‘ibadah’
merupakan hasil dari penipuan dan dusta. Allahul Musta’an.
Sungguh membangun masjid adalah
suatu keutamaan yang besar,diriwayatkan
dari Utsman bin Affan ra :
عَنْ
عُثْمَانِ بْنَ عَفَّانَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ بَنَى مَسْجِدًا لِلَّهِ بَنَى اللَّهُ لَهُ فِي الْجَنَّةِ
مِثْلَهُ (رواه مسلم)
Dari Utsman bin Affan
-radhiyallahu’anhu- dia berkata; Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa alihi wa salam bersabda, “Barangsiapa yang membangun masjid karena Allah
maka Allah akan membangunkan baginya yang serupa dengannya di surga.” (HR.
Muslim dalam Kitab al-Masajid wa Mawadhi’ as-Shalah)
Namun sebagian orang karena hanya
dorongan semangat ditambah ketidaktahuannya akan hukum-hukum dan mashlahat
syar’i diapun membangun masjid tanpa memperhatikan keadaan sekitarnya dan
akibat buruk yang akan ditimbulkannya dikemudian hari.
Telah banyak kita saksikan
orang-orang yang bersemangat menegakkan sunnah membangun masjid di dekat
masjid yang sudah ada tanpa dia sadari akan mafsadat yang
ditimbulkannya, baik untuk dirinya pribadi maupun untuk persatuan umat.
Hendaklah diketahui bahwa membangun masjid bukanlah hanya membangun suatu bangunan
lalu selesai,tapi lebih dari itu,masjid selain tempat untuk shalat juga
merupakan rumah besar bagi umat ini,sebagai lambang pemersatu.
Masjid Sebagai Pemersatu
Allah ta’ala berfirman:
وَلا تَكُونُوا كَالَّذِينَ
تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَئِكَ
لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ (آل عمرا:١۰٥)
“Dan janganlah kamu menyerupai
orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang
jelas kepada mereka.Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat,” (Ali-Imron: 105)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
alihi wa salam bersabda:
لَتُسَوُّوْنَ صُفُوْفَكُمْ أَوْ
لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ وُجُوْهِكُمْ
“Hendaklah luruskan shaf-shaf kalian, atau (bila tidak
demikian) sungguh Allah akan menjadikan wajah-wajah kalian saling berpaling.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud
-radhiyallahu anhu-,ia berkata: Rasulullah-shallallahu alaihi wa alihi wa salam-
bersabda:
اِسْتَوُوْا وَلاَ تَخْتَلِفُوْا
فَتَخْتَلِفَ قُلُوْبُكُمْ
“Luruslah kalian dan jangan
kalian berselisih. Sehingga akan menjadikan hati-hati kalian akan berselisih”.
(HR. Al-Imam Muslim dalam Shohih-nya (432)
Dalam hadits lain beliau
-Shallallahu ‘alaihi wa alihi wa salam bersabda:
لَتَسُوُّنَّ صُفُوْفَكُمْ أَوْ
لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ
“Kalian akan benar-benar meluruskan
shaf, atau Allah benar-benar akan membuat hati-hati kalian berselisih”. (HR.Al-Bukhory dalam Shohih-nya
(717), dan Muslim dalam Shohih-nya (436))
Dasar dasar diatas menunjukkan
kepada kita bahwa shalat berjam’ah adalah pemersatu kaum muslimin,dan masjid
sebagai tempat shalat merupakan sarana pemersatu umat.
Kisah
Masjid Dhiror
Sebelum Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa alihi wa salam hijrah ke Madinah, di kota suci ini ada seorang
laki-laki dari bani Khazraj berjuluk Abu Amir Ar-Râhib. Lelaki ini pada masa
jahiliyah beragama Nashrani dan mempelajari kitab-kitabnya, sehingga dia
termasuk orang yang tekun beribadah pada masa itu. Di sisi lain dia juga
mempunyai kedudukan dan pengaruh besar dalam kabilahnya. Ketika Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah, kaum Muslimin bersatu di bawah
tampuk kepemimpinan beliau Shallallahu ‘alaihi wa alihi wa salam; sehingga Islam
menjadi kuat, apalagi setelah Allah Azza wa Jalla memenangkannya pada waktu
perang Badar.
Melihat keadaan seperti ini Abu Amir
tidak rela, sehingga dia menampakkan permusuhannya terhadap kaum Muslimin;
sampai-sampai dia pergi ke Mekah menemui orang-orang kafir Quraisy untuk
mengajak memerangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa alihi wa salam dan kaum Muslimin di Madinah.
Mereka pun setuju dan kemudian menyusun kekuatan; hingga terjadilah perang
Uhud. Dia juga mengajak kaum Anshar untuk bekerja sama dan menyetujui
pemikirannya. Namun ketika mereka mengetahui maksud buruknya, mereka berkata,
”Wahai musuh Allah Azza wa Jalla, semoga Allah Azza wa Jalla menjadikanmu
sebagai orang yang dibenci setiap orang yang melihatmu”, Mereka mencaci-maki
dan mencelanya; lalu dia pulang dan berkata, ”Demi Allah Azza wa Jalla,
kejelekan telah menimpa kaumku”.Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa alihi wa
salam juga telah mengajaknya untuk masuk Islam serta membacakan al-Qur’ân
kepadanya sebelum dia lari ke negeri Romawi.Meskipun demikian,dia tetap menolak
masuk Islam, bahkan mengatakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi
wa salam, “Aku tidak menemui suatu kaum yang memerangimu kecuali aku bersama
mereka”. Maka beliau mendoakan dia agar mati di tempat yang jauh dalam keadaan
terusir.
Lelaki ini memang selalu bersama
orang-orang kafir dalam semua peperangan melawan kaum Muslimin. Kemudian ketika
mereka kalah dalam perang di Hawazun, dia pergi ke negeri Romawi meminta
bantuan raja Romawi untuk memerangi Rasulallah Shallallahu ‘alaihi wa alihi wa
salam. Dari sana dia juga menyuruh orang-orang munafik (dari penduduk Madinah)
untuk membangun masjid dhirâr.
Atas dasar perintah tersebut, mereka
lalu mendirikan masjid berdekatan dengan masjid Quba’. Masjid tersebut selesai
didirikan sebelum Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam berangkat
ke Tabuk.Lalu mereka mendatangi beliau Shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam,
meminta agar beliau mengunjungi mereka dan shalat di masjid itu. Sebenarnya
mereka bermaksud (mengelabui kaum Muslimin) menjadikan shalat beliau ini
sebagai hujjah bagi mereka, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa alihi wa salam
telah menyetujui pembangunan masjid tersebut. Mereka menyebutkan kepada beliau
alasan mendirikan masjid itu; yaitu untuk orang-orang tua maupun yang sakit
(yang tidak bisa hadir shalat berjama’ah di masjid Quba’) pada saat malam musim
dingin (akan tetapi alasan ini tidaklah benar adanya,tapi hanya dalih untuk
mencari pembenaran diri).
Kemudian Allah Azza wa Jalla
melarang rasul-Nya agar tidak melaksanakan shalat di masjid tersebut, dengan
menurunkan ayat.
وَالَّذِينَ
اتَّخَذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ
وَإِرْصَادًا لِّمَنْ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مِن قَبْلُ, وَلَيَحْلِفُنَّ
إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا الْحُسْنَىٰ ,وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ
(التوبة:١۰۷
)
“Dan (di antara orang-orang munafik
itu) ada orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemadharatan (pada
orang-orang Mukmin), untuk kekafiran dan memecah belah antara orang-orang
Mukmin serta menunggu kedatangan orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya
sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah,”kami tidak menghendaki selain
kebaikan.”Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta
(dalam sumpahnya).” [at-Taubah/9:107]
Dijelaskan, “Mereka yang mendirikan
masjid dhirâr adalah sekawanan orang (munafik) dari penduduk Madinah yang
jumlahnya dua belas orang. Mereka mendirikan masjid dengan tujuan menimbulkan
kemadharatan pada orang-orang Mukmin dan masjid mereka’, dan untuk menguatkan
kekafiran orang-orang munafik, serta memecah belah jama’ah kaum Mukminin. Pada
awalnya mereka semua shalat berjamaah di satu masjid (masjid Quba’), kemudian
terpecah menjadi dua masjid (di masjid Quba’ dan masjid dhirâr). Mereka ingin
mendapatkan kesempatan untuk menyebarkan syubhat, menghasut, menfitnah dan
memecah belah shaf kaum Mukminin. Juga untuk menunggu kedatangan orang yang
telah memerangi Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sejak dahulu yaitu Abu Amir ar-Râhib. Mereka sesungguhnya bersumpah dengan
mengatakan,”Kami tidak menghendaki kecuali kebaikan yaitu menunaikan shalat dan
berdzikir di dalamnya serta memberi kemudahan bagi para jama’ah.” Dan Allah
Azza wa Jalla menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta
(dalam sumpahnya).
Larangan Allah Azza wa Jalla
tersebut telah di sebutkan dengan jelas di dalam ayat berikutnya, yaitu:
لَا
تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا لَّمَسْجِدٌ أُسِّسَ
عَلَى التَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَن تَقُومَ فِيهِ ,فِيهِ رِجَالٌ
يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُوا,وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ (التوبة:١۰٨ )
“Janganlah kamu shalat di dalam
masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa,
sejak hari pertama adalah lebih patut kamu shalat di dalamnya. Di dalamnya ada
orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah Azza wa Jalla menyukai
orang-orang yang bersih.” [at-Taubah/9:108]
Larangan Allah Azza wa Jalla ini
tidaklah khusus bagi Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa alihi wa salam saja, akan
tetapi kaum Muslimin juga termasuk dalam larangan tersebut; sebagaimana
dijelaskan oleh Imam Ibnu Katsîr rahimahullah, “Ayat (di atas) merupakan
larangan dari Allah Azza wa Jalla kepada Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wa
alihi wa salam agar tidak shalat di masjid tersebut selama lamanya, dan umatnya
mengikutinya dalam hal ini’.Kemudian Allah Azza wa Jalla memerintahkan
Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa alihi wa salam untuk melaksanakan shalat di
masjid Quba’ yang telah didirikan atas dasar takwa sejak hari pertama.
Maksudnya atas dasar ketaatan kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya dan juga untuk
mempersatukan ukhuwah kaum Muslimin serta sebagai markas mereka.Kemudian
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa alihi wa salam mengutus Mâlik bin Dukhsyum
saudara Bani Salim dan Ma’an bin Adi seraya berkata kepada mereka berdua,
”Pergilah kalian ke masjid yang didirikan oleh orang-orang dzalim (masjid
dhirâr), kemudian hancurkan dan bakarlah.” Maka keduanya pun berangkat;
sesampainya di perkampungan Bani Sâlim, Mâlik berkata kepada Ma’an, “Tunggu
sebentar, aku akan mengambil api dari rumah keluargaku.” Sesaat kemudian dia
keluar dengan membawa pelepah kurma yang dibakar dan berjalan dengan Ma’an
menuju masjid itu; lalu membakar dan menghancurkannya, sehingga orang yang
berada di dalamnya (berlarian) keluar.
Sedangkan Abu Amir ar-Râhib; dia
mati di kota Qansarin (wilayah Romawi) akibat doa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa alihi wa salam atasnya.1
Maka setiap masjid yang dibangun
dengan memberikan madharat dan memecah belah kaum Muslimin serta untuk memusuhi
Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa alihi wa salam, maka
hukumnya wajib dihancurkan (oleh penguasa) dan haram shalat di dalamnya.
Karena itu berhati-hatilah membangun masjid baru agar tidak
menyerupai kaum munafiqin yang membangun masjid dhirar.
Madlarat
membangun Masjid di dekat Masjid
1.
Memecah Belah kaum muslimin
Alloh ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مَسْجِدًا
ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَادًا لِمَنْ
حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مِنْ قَبْلُ وَلَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَا إِلاَّ
الْحُسْنَى وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ (التوبة:١٠٧)
“Dan (di antara orang-orang munafik
itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan
(pada orang-orang mukmin), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara
orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi
Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. mereka Sesungguhnya bersumpah: “Kami tidak
menghendaki selain kebaikan.” dan Allah menjadi saksi bahwa Sesungguhnya mereka
itu adalah pendusta (dalam sumpahnya).” (Attaubah: 107)
₁.rujuk tafsir Ibnu Katsîr (Juz 4),tafsir Ath-thabary (Juz 14),
tafsir Abu Su’ûd (Juz 4), tafsir Al-Qurthubi (Juz 8)]
2.
Menimbulkan sifat fanatisme golongan (al-wala’ (pro) dan al-bara’(kontra) yang
sempit kepada kelompoknya) yang ada di masjid tersebut sebab masjid yang
berdekatan akan saling memperebutkan jama’ah siapa yang paling banyak.
Allah ta’ala berfirman,
مِنَ
الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ
فَرِحُونَ (الروم:٣٢)
“Yaitu orang-orang yang
memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. tiap-tiap
golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (Arrum: 32)
3. Berlomba-lomba
meninggikan bangunan yang tercela.
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
meriwayatkan bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda, “Kiamat
tidak akan terjadi sebelum manusia berlomba-lomba meninggikan gedung-gedung”.
(HR. Bukhari)
4. Berkurangnya
keutamaan pahala langkah berjalan dari rumah menuju sholat berjama’ah sebab
masjidnya saling berdekatan.
5. Berkurangnya
pahala berjama’ah sebab jama’ah terbagi dua.
Ini menurut
tinjauan kemashlahatan umat.Dan adapun boleh tidaknya terdapat beberapa masjid
di satu wilayah yang sama menurut persepsi fiqh,maka para ulama berbeda
pendapat tentang hal tersebut,diantaranya:
وَقَعَ حَرْبٌ وَاخْتِلاَفٌ بَيْنَ جُنْدَيْنِ
فِي بَلْدَةٍ وَتَحَزَّبَ كُلٌّ وَخاَفَ بَعْضُ الرَّعِيَّةِ مِنْ حُضُوْرِ الْجُمْعَةِ
فِي جاَمِعِهَا الْأَصْلِيِّ فَأَحْدَثُواْ جُمْعَةً فِي مَحَلِّهِمْ غَيْرَ الْجُمْعَةِ
الْأَصْلِيَّةِ,حُرِّمَ عَلَيْهِمْ إِقاَمَتُهاَ وَالْحاَلُ مَا ذُكِرَ فَضْلاً عَنْ
نُدْبِهَا أَوْ أَنَّهاَ تَلْزَمُهُمْ إِذْ لَمْ يَقُلْ أَحَدٌ مِنْ أَئِمَّةِ الْمَذْهَبِ
إِنَّ الْمَعْذُورِيْنَ بِعُذْرٍ مِنْ أَعْذَارِ الْجُمْعَةِ وَالْجَمَاعَةِ إِذَا
اجْتَمَعَ مِنْهُمْ أَرْبَعُوْنَ فِي جاَنِبٍ مِنَ الْبَلْدَةِ الْوَاحِدَةِ كَانَ
لَهُمْ أَنْ يُقِيْمُوْا الْجُمْعَةَ بَلْ وَلاَ مِنْ أَئِمَّةِ الْمَذَاهِبِ الثَّلاَثَةِ
إِلاَّ مَا نُقِلَ عَنِ الْإِماَمِ أَحْمَدَ مِنْ جَوَازِ تَعَدُّدِهَا لِحَاجَةٍ,وَإِنَّمَا
الْخِلاَفُ فِيْمَا إِذَا كاَنَ الْمَعْذُوْرُوْنَ بِمَحَلٍّ يَجُوْزُ فِيْهِ تَعَدُّدُ
الْجُمْعَةِ كَمَا يُعْلَمُ مِنْ عِبَارَةِ التُّحْفَةِ وَالنِّهاَيَةِ.وَالْحاَصِلُ
مِنْ كَلاَمِ الْأَئِمَّةِ أَنَّ أَسْبَابَ جَوَازِ التَّعَدُّدِ ثَلاَثَةٌ:ضَيْقُ
مَحَلِّ الْجُمْعَةِ بِحَيْثُ لاَ يَسَعُ المُجْتَمِعِيْنَ لَهَا
غاَلِبًا,وَالْقِتَالُ بَيْنَ الْفِئَتَيْنِ بِشَرْطِهِ,وَبُعْدُ أَطْرَاِفِ
الْبَلَدِ بِأَنْ كَانَ بِمَحَلٍّ لاَ يَسْمَعُ مِنْهُ الِنّدَاءُ أَو بِمَحَلٍّ
لَوْ خَرَجَ مِنْهُ بَعْدَ الْفَجْرِ لَمْ يُدْرِكْهَا إِذْ لاَ يَلْزَمُهُ
السَّعْيُ إِلَيْهَا إِلاَّ بَعْدَ الْفَجْرِ اﻫ
وَخاَلَفَهُ ي فَقَالَ:يَجُوْزُ بَلْ يَجِبُ تَعَدُّدُ الْجُمْعَةِ
حِيْنَئِذٍ لِلْخَوْفِ الْمَذْكُوْرِ لأَنَّ لَفْظَ التَّقَاتُلِ نَصٌّ فِيْهِ
بِخُصُوْصِهِ وَلأَنَّ الْخَوْفَ دَاخِلٌ تَحْتَ قَوْلِهِمْ "إِلاَّ لِعُسْرِ
اْلإِجْتِمَاعِ" فَالْعُسْرُ عَامٌّ لِكُلِّ عُسْرٍ نَشَأَ عَنِ الْمَحَلِّ
أَوْ خَارِجَهُ,وَانْحِصَارُ التَّعَدُّدِ فِي الثَّلاَثِ الصُّوَرِ الَّتي
اسْتَدَلَّ بِهَا الْمُجِيْبُ الْمُتَقَدِّمُ لَيْسَ حَقِيْقَةً إِذْ لَمْ
يَحْصُرِ الْعُذْرُ فِي التُّحْفَةِ وَالنِّهاَيَةِ وَغَيْرِهِمَا بَلْ ضَبَطُوْهُ
بِالْمَشَقَّةِ,وَهَذَا الْحَصْرُ إِمَا مِنَ الْحَصْرِ الْمَجَازِي لاَ
الْحَقِيْقِي إِذ هُوَ اْلأَكْثَرُ فِي كَلاَمِهِمْ أَوْ مِنْ بَابِ حَصْرِ
الْمَسْئَلَةِ,فَالضَّيْقُ لِكُلِّ عُسْرٍ نَشَأَ عَن ِالْمَحَلِّ وَالْبُعْدِ
وَلِكُلِّ عُسْرٍ نَشَأَ عَنِ الطَّرِيْقِ وَالتَّقَاتُلِ وَلِغَيْرِهِمَا
كَالْخَوْفِ عَلَى النَّفْسِ وَالْمَالِ وَالْحُرُّ الشَّدِيْدِ وَالْعَدَاوَةِ
وَنَحْوِهَا مِنْ كُلِّ مَا فَيْهِ مَشَقَّةٌ (بغية المسترشدين ص ۷٩)
Terjadi
peperangan dan perselisihan antara dua kelompok bersenjata dalam satu wilayah,sehingga
setiap kelompok pecah dalam beberapa golongan,hingga sebagian rakyat jadi takut
untuk menghadiri jum’at di masjid jami’ mereka yang asal,lalu mereka mengadakan
jum’at di tempat mereka,selain dari jum’at mereka yang biasa.Maka kelakuan mereka itu haram dalam keadaan
seperti itu,apalagi bila dikatakan sunnah atau bahwa jum’at tersebut wajib bagi
mereka (itu lebih jauh lagi).Karena tidak ada seorangpun para imam yang
berpendapat bahwa orang yang memiliki udzur dari udzur jum’at dan jama’ah bila
ada 40 orang telah terkumpul disuatu titik wilayah negeri yang sama boleh bagi
mereka untuk melaksanakan jum’at,bahkan tidak ada pula (yang berpendapat
demikian) dari salah satu imam mujtahid yang tiga lagi,kecuali pendapat yang dicutat
dari Ahmad bin Hanbal tentang bolehnya mendirikan jum’at lebih dari satu bila
ada kebutuhan.Sebab perbedaan pendapat hanya ada pada kasus bila ada yang
memiliki udzur jum’at (mendirikan jum’at) ditempat yang boleh disana terdapat
lebih satu jum’at,sebagaimana bisa difaham dari ibarat Tuhfah dan Nihayah.
Kesimpulan
daripada pendapat para imam,bahwa syarat mendirikan jum’at lebih dari satu itu
ada tiga:sempitnya tempat jum’at sehingga tidak dapat lagi menampung jama’ah
seperti biasa lazimnya,adanya peperangan antara dua kelompok dengan syaratnya
dan jauhnya sisi sisi negeri,seperti adanya ditempat yang disana tidak bisa
terdengar adzan,atau berada ditempat yang sekiranya ia keluar (menuju tempat
jum’at) setelah fajar,tidak akan sampai mengikuti shalat jum’at,karena tidak
harus bagi seseorang mendatangi tempat jum’at kecuali setelah terbit fajar.
Namun ibn Ziyad
berbeda pendapat,katanya:sunnah bahkan wajib (bagi mereka) mendirikan jum’at
lebih dari satu bila karena rasa takut seperti itu,karena ucapan peperangan
seakan jadi nash (kata tegas) bagi keadaan khusus,dan karena kata
‘takut’ masuk dalam arti perkatan ashab ‘karena sukar berkumpul’. Kesukaran itu
umum,mencakup semua kesukaran yang timbul dari tempat atau luar tempat.Sedang
persempitan arti mendirikan jum’at lebih dari satu pada hanya tiga gambaran
masalah seperti yang dijadikan dalih oleh penjawab itu bukan suatu
kenyataan,karena udzur tidak pernah dipersempit maknanya,baik dalam tuhfah,
nihayah dan lainnya,sebab mereka (ashab syafi’i) telah memberikan satu dlabit
(acuan baku) tentang kesukaran itu dengan masyaqah. (Karena itu)
persempitan tersebut mungkin bisa jadi hanya persempitan majazi bukan
hakiki,karena hal ini yang sering terjadi pada ibarat mereka,atau hanya dari
sisi persempitan masalah saja. Oleh karena itu,kesukaran itu umum untuk setiap
kesukaran yang timbul dari tempat dan kejauhan dan yang timbul dari jalan atau
adanya peperangan (perselisihan),dan juga yang lain dari keduanya,seperti takut
terhadap (keselamatan) diri dan harta,dan karena dingin yang sangat dan
permusuhan dan lain sebagainya dari setiap hal yang didalamnya terdapat masyaqah.
B.apakah Masjid?
Secara bahasa, masjid
[مسجد]
diambil dari kata sajada [سجد]
yang artinya bersujud.Disebut masjid,karena dia menjadi tempat untuk bersujud.Kemudian
arti kata masjid mengalami perluasan,sehingga diartikan sebagai tempat
berkumpulnya umat Islam untuk melaksanakan shalat.
Az-Zarkasyi
mengatakan,
ولَمَّا كاَنَ السُّجُوْدُ أَشْرَفَ
أَفْعَالِ الصَّلاَةِ، لِقُرْبِ الْعَبْدِ مِنْ رَبِّهِ، اشْتُقَّ اسْمُ الْمَكاَنِ
مِنْهُ فَقِيْلَ: مَسْجِد، وَلَمْ يَقُوْلُوا: مَرْكَع
”Mengingat
sujud adalah gerakan yang paling mulia dalam shalat, karena kedekatan seorang
hamba kepada Tuhannya (ketika sujud), maka nama tempat shalat diambil dari kata
ini, sehingga orang menyebutnya: ’Masjid’, dan mereka tidak menyebutnya: Marka’
(tempat rukuk). (I’lam as-Sajid bi Ahkamil Masajid, az-Zarkasyi, hlm. 27).
Arti Masjid menurut
syara’
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa alihi wa salam menyebut seluruh permukaan bumi yang digunakan
untuk shalat, sebagai masjid.Dalam hadits dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu
‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda:
…
وجُعِلَت لِيَ الْأَرْضُ مَسْجِداً وَطَهُوْراً،
فَأيُّماَ رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلاَةُ، فَلْيُصَلِّ
”… dan telah
dijadikan seluruh permukaan bumi sebagai masjid dan alat bersuci untukku. Maka
siapapun di kalangan umatku yang menjumpai waktu shalat, segeralah dia shalat.” (HR. Bukhari
335 dan Muslim 521)
Dalam riwayat
lain, dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, beliau bersabda:
وَأَيْنَماَ
أَدْرَكَتْكَ الصَّلاَةُ فَصَلِّ، فَهُوَ مَسْجِدٌ
”Dimanapun
seseorang menjumpai waktu shalat, segera dia shalat.Maka tempatnya adalah masjid.”
(HR. Bukhari 3425 & Muslim 520).
Berdasarkan
hadits di atas, asal makna masjid dalam syariat adalah semua tempat di
muka bumi ini yang digunakan untuk bersujud kepada Allah. (I’lam as-Sajid bi
Ahkamil Masajid, az-Zarkasyi, hlm. 27).
وَقَالَ الزَّجَّاجُ: كُلُّ مَوْضِعٍ يَتَعَبَّدُ فِيْهِ فَهُوَ
مَسْجِدٌ، أَلاَ تَرَى أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ
قَالَ: جُعِلَتْ لِيَ الْأَرْضُ مَسْجِداً وَطَهُوْراً
Az Zajaz berkata:setiap tempat yang dipergunakan untuk ibadah
adalah masjid,bukankan Nabi shallallahu alaihi wa alihi wa salam
bersabda,"telah dijadikan bagiku bumi sebagai masjid yang suci".
Dapat kita pahami
bahwa makna kata masjid dalam hadits di atas adalah masjid dalam arti
umum. Bahwa semua permukaan bumi bisa digunakan untuk shalat, kecuali beberapa
wilayah yang dilarang untuk digunakan sebagai tempat shalat, seperti kamar
mandi (WC), atau tempat najis dan kotoran.
Yang menjadi
kajian kita adalah masjid dalam arti khusus. Yaitu tempat yang berlaku
di sana hukum-hukum masjid, seperti shalat tahiyatul masjid,i’tikaf,larangan
diam wanita haidl dan orang junub,larangan jual beli, dan lainnya.
az-Zarkasyi,menyebutkan
arti masjid menurut urf (istilah) yang dikhususkan untuk lahan yang
disebut masjid.
ثُمَّ إِنَّ الْعُرْفَ خَصَّصَ الْمَسْجِدَ
بِالْمَكاَنِ الْمُهَيَّأِ لِلصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ، حَتَى يَخْرُجَ الْمُصَلَّى
الْمُجْتَمَعُ فِيْهِ لِلْأَعْياَدِ وَنَحْوِهاَ، فَلاَ يُعْطَى حُكْمَهُ
Kemudian,urf
(istilah) mengkhususkan kata masjid kepada tempat (lahan) yang disiapkan
untuk shalat lima waktu. Sehingga tanah lapang tempat berkumpul untuk shalat Id
atau semacamnya, tidak dihukumi sebagai masjid.(I’lam as-Sajid bi Ahkamil
Masajid,az-Zarkasyi, hlm. 27).
Dan sebagaimana
telah kita maklumi bahwa tempat ibadah bagi kaum muslim ada juga yang di sebut mushalla,langgar
atau surau (tergantung bahasa daerah masing masing).Lalu apakah tempat
yang disebut dengan nama diatas itu memiliki hukum masjid juga atau memiliki
hukum dan kondisi tertentu yang berbeda
dengan masjid?
Ringkasnya,apakah mushalla dan masjid memiliki fungsi
dan makna yang sama ?
Definisi mushalla (musala) dalam bahasa Indonesia adalah : tempat shalat;
langgar; surau; (2) tikar shalat; sajadah.(rujuk KBBI).
Definisi mushala sebagai langgar atau surau adalah definisi
yang sesuai dengan urf (kebiasaan) masyarakat indonesia, dimana arti
langgar adalah:masjid kecil tempat mengaji atau bershalat,tetapi tidak
digunakan untuk shalat Jumat; surau; mushala.
Demikian arti mushala yang bisa digunakan untuk merujuk
sebagai masjid yang bukan jami', surau, ruang khusus tempat shalat di
suatu gedung,kantor atau bahkan pasar (mal) ataupun tempat shalat di rumah.
Kata mushalla salah satunya terdapat dalam al-Baqarah: 125
وَإِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِلنَّاسِ وَأَمْناً
وَاتَّخِذُوْا مِنْ مَقاَمِ إِبْرَاهِيْمَ مُصَلَّى
Kata 'maqam' memiliki beberapa tafsiran mengenai dalam ayat
tersebut, ada yang mengartikan batu, dan ada yang mengartikan al-haram secara
keseluruhan.Sedangkan mushalla ada yang mengartikan sebagai tempat yang
secara khusus diperuntukkan untuk shalat.
Dengan demikian, baik masjid dan mushalla mempunyai
arti dan fungsi yang sama secara kebahasaan. Namun, penggunaan kata masjid
dalam hukum fiqh mempunyai kekhususan yang tidak terdapat dalam arti
kata mushalla sebagai tempat shalat secara umum.
Silahkan perhatikan ibarat berikut ini:
قَوْلُهُ فِى الْمَسْجِدِ أَىْ الْخَالِصِ الْمَسْجِدِيَّةِ فَلاَ يَصْحُّ
الْإِعْتِكاَفُ فِى غَيْرِ الْمَسْجِدِ كاَلْمَدَارِسِ وَالرَّبْط وَمُصَلَّى الْعِيْدِ.(حاشية
الباجوري على التقريب ۱|٣۰٨)
(Perkataan pengarang dimasjid) artinya yang murni masjid , maka
tidak sah i’tikaf diselain masjid, seperti dimadrasah, pondok, dan mushalla
‘id.
وَالْجَدْيْدُ أَنَّهُ لاَ يَصِحُّ اعْتِكاَفُ الْمَرْأَةِ
فِي مَسْجِدِ بَيْتِهَا وَهُوَ الْمَنْزِلُ الْمُهَيَّأُ لْلصَّلاَةِ
(منهاج الطالبين بشرح المحلي ٢|۷٦)
Pendapat baru (mengatakan) bahwa tidak sah bagi wanita untuk
i’tikaf dalam masjid rumahnya,yaitu tempat yang disiapkan/ digunakan untuk
shalat
وَثاَنِيْهَا مَسْجِدٌ لِلْإِتِّباَعِ رَوَاهُ الشَّيْخَانِ فَلاَيَصِحُّ
فِى غَيْرِهِ وَلَوْ هِيَ لِلصَّلاَةِ.(فتح الوهّاب ۱|۱٢٨)
Yang kedua : harus masjid dengan dasar hadits Nabi yang
diriwayatkan Bukhori dan Muslim,maka tidak sah i’tikaf diselain masjid meskipun
disediakan untuk shalat.
فِى
الْمَسْجِدِ وَهُوَ ماَ وَقَفَهُ الْوَاقِفُ مَسْجِدًا لاَ رِبَاطاً وَلاَ مَدْرَسَةً
(الشرقاوي ١|٤٤٨)
Di Masjid yaitu suatu tempat yang
telah diwaqofkan untuk menjadi masjid bukan pondok atau madrasah.
وَخَرَجَ
بِالْمَسْجِدِ مُصَلَّى الْعِيْدِ وَماَ بُنِىَ فِى أَرْضٍ مُسْتَأْجَرَةٍ عَلَى صُوْرَةِ
الْمَسْجِدِ وَأَذِنَ باَنِيْهِ فِى الصَّلاَةِ فِيْهِ.(تحفة المحتاج
٢|٢٢٣)
Dikecualikan dari kata masjid adalah
: tempat shalat hari raya dan bangunan yang didirikan di atas tanah persewaan
dengan model bangunan masjid dan pendirinya / pembangunnya mengizinkan untuk shalat
di situ.
فَلَوْ
رَأَيْناَ مَحَلاًّ مُهَيَّأً لِلصَّلاَةِ وَلَمْ يَتَوَاتَرْ بَيْنَ النَّاسِ أَنَّهُ
مَسْجِدٌ لَمْ يَجِبِ الْتِزَامُ أَحْكاَمِ الْمَسْجِدِيَّةِ فِيْهِ.(بغية
المسترشدين ص ٦)
Jika kita melihat tempat yang
diperuntukkan untuk sholat, dan manusia tidak beranggapan kalau hal itu tadi
masjid, maka tidak bisa ditetapkan sebagai masjid.
Dengan demikian,maka jelaslah bahwa mushalla walaupun
memiliki kesamaan arti dari segi bahasa dan kesamaan dari sebagian fungsinya dengan
masjid,namun berbeda dalam esensinya menurut fiqh.Sehingga dalam mushalla
tidak perlu diberlakukan hukum hukum masjid jami’.
Penulis pernah membaca dalam suatu buku tentang masalah masjid
dan mushalla ini,yang disebutkan penulisnya sebagai berikut:
وَنَقَلَ الزَّرْكَشِي عَنِ الْغَزَالِي أَنَّهُ سُىِٔلَ عَنِ
الْمُصَلَّى الَّذِي بُنِيَ لِصَلاَةِ الْعِيْدِ خَارِجَ الْبَلَدِ فَقَالَ : لاَ
يَثْبُتُ لَهُ حُكْمُ الْمَسْجِدِ فِى الْإِعْتِكَافِ وَمُكْثِ الْجُنُبِ وَغَيْرِهِ
مِنَ الْأَحْكَامِ، لِأَنَّ الْمَسْجِدَ هُوَ الَّذِي أُعِدَّ لِرَوَاتِبِ الصَّلاَةِ
وَعُيِّنَ لَهاَ حَتَّى لاَ يُنْتَفَعُ بِهِ فِى غَيْرِهاَ، وَمَوْضِعُ صَلاَةِ الْعِيْدِ
مُعَدٌّ لِلْإِجْتِماَعاَتِ وَلِنُزُوْلِ الْقَوَافِلِ وَلِرُكُوْبِ الدَّواَبِ وَلَعْبِ
الصِّبْيَانِ، وَلَمْ تَجْرِ عَادَةُ السَّلَفِ بِمَنْعِ شَيءٍ مِنْ ذَلِكَ فِيْهِ،وَلَوِ
اعْتَقَدُوْهُ مَسْجِدًا لَصَانُوْهُ عَنْ هَذِهِ اْلأَسْبَابِ وَلَقُصِدَ لِإِقاَمَةِ
ساَىِٔرِ الصَّلَواَتِ، وَصَلاَةُ الْعِيْدِ تَطَوُّعٌ وَهُوَ لاَ يَكْثُرُ تَكَرُّرُهُ
بَلْ يُبْنَى لِقَصْدِ اْلإِجْتِمَاعِ، وَالصَّلاَةُ تَقَعُ فِيْهِ بِالتَّبْعِ.
Dan Imam Zarkasyi menukilkan dari Imam Ghazali bahwasanya beliau
ditanya tentang mushalla yang dibangun untuk shalat Ied di luar perkampungan.
Maka beliau menjawab tidak ditetapkan padanya hukum masjid dalam hal i'tikaf
dan berdiamnya orang junub dan hukum hukum lainnya
KARENA MASJID ADALAH TEMPAT YANG DISIAPKAN UNTUK SHALAT SECARA RUTIN DAN DITENTUKAN UNTUK SHALAT HINGGA TIDAK DIPAKAI UNTUK KEPENTINGAN LAINNYA. SEDANG TEMPAT SHALAT IED DIPERUNTUKKAN UNTUK PERTEMUAN2 DAN MENURUNKAN ORANG DARI PERJALANAN DAN TEMPAT TURUN NAIK KENDARAAN DAN TEMPAT MAIN ANAK ANAK.Dan tidak berlaku kebiasaan salaf melarang hal tersebut di musholla ied.JIKALAU MEREKA MENGANGGAPNYA MASJID MAKA AKAN DIJAGA DARI SEBAB SEBAB TERSEBUT DAN ADA NIAT UNTUK MELAKUKAN SEMUA SHALAT DISANA.Dan shalat ied adalah sunnah yang tidak banyak berulangnya dan pembangunan musholla tersebut hanya untuk bisa mengumpulkan orang orang sedangkan shalat dilakukan disitu sekedar sebagai fungsi ikutan (tambahan).
KARENA MASJID ADALAH TEMPAT YANG DISIAPKAN UNTUK SHALAT SECARA RUTIN DAN DITENTUKAN UNTUK SHALAT HINGGA TIDAK DIPAKAI UNTUK KEPENTINGAN LAINNYA. SEDANG TEMPAT SHALAT IED DIPERUNTUKKAN UNTUK PERTEMUAN2 DAN MENURUNKAN ORANG DARI PERJALANAN DAN TEMPAT TURUN NAIK KENDARAAN DAN TEMPAT MAIN ANAK ANAK.Dan tidak berlaku kebiasaan salaf melarang hal tersebut di musholla ied.JIKALAU MEREKA MENGANGGAPNYA MASJID MAKA AKAN DIJAGA DARI SEBAB SEBAB TERSEBUT DAN ADA NIAT UNTUK MELAKUKAN SEMUA SHALAT DISANA.Dan shalat ied adalah sunnah yang tidak banyak berulangnya dan pembangunan musholla tersebut hanya untuk bisa mengumpulkan orang orang sedangkan shalat dilakukan disitu sekedar sebagai fungsi ikutan (tambahan).
Dari jawaban Imam Ghazali bisa ditarik kesimpulan :
JIKA MUSHALLA DIBANGUN UNTUK SHALAT SECARA RUTIN, PERUNTUKAN UTAMANYA UNTUK SHALAT DAN TIDAK DIPAKAI UNTUK HAL LAIN YANG TAK SEJALAN, DIJAGA DARI HAL-HAL YANG TIDAK SESUAI DENGAN FUNGSI MASJID,MAKA PADA TEMPAT TERSEBUT BERLAKU HUKUM HUKUM MASJID, alias bisa dipakai tahiyyat masjid, dilarang orang junub berdiam, dsb. Artinya tempat tersebut adalah masjid meski sebutannya mushalla.
JIKA MUSHALLA DIBANGUN UNTUK SHALAT SECARA RUTIN, PERUNTUKAN UTAMANYA UNTUK SHALAT DAN TIDAK DIPAKAI UNTUK HAL LAIN YANG TAK SEJALAN, DIJAGA DARI HAL-HAL YANG TIDAK SESUAI DENGAN FUNGSI MASJID,MAKA PADA TEMPAT TERSEBUT BERLAKU HUKUM HUKUM MASJID, alias bisa dipakai tahiyyat masjid, dilarang orang junub berdiam, dsb. Artinya tempat tersebut adalah masjid meski sebutannya mushalla.
Dan sekarang mari kita koreksi bersama:
Pertama,pertanyaan merujuk kepada tanah lapang,yaitu ungkapannya,’diluar
perkampungan,tempat shalat Id, diperuntukan untuk pertemuan,tempat persinggahan
kafilah, tempat naik turun kendaraan dan tempat bermain anak anak’.
Jadi disini tidak ada bangunan atau bentuk fisik masjid.Karena
untuk shalat Id,bukan hanya di Arab bahkan di negara kitapun banyak yang
melakukannya dilapangan terbuka.Oleh karena itu sudah tentu lahan tersebut
bukan lahan waqaf,tapi lahan umum yang terkadang dipakai shalat Id setahun
sekali.Bahkan bila dilihat ibaratnya,kita bisa menarik kesimpulan bahwa tanah
yang dimaksud dalam pertanyaan adalah tanah lapang dekat pasar, dengan dasar
ucapan ‘tempat persinggahan kafilah dan naik kendaraan serta bermain anak anak’.
Oleh karena itulah Al Ghazali memberikan alasan sebagai berikut:
Kedua,karena masjid adalah lahan yang dipergunakan untuk melakukan
rutinitas shalat,dan ditentukan untuknya sehingga tidak bisa dimanfaatkan untuk
selainnya.
Jawaban ini sangat jelas menunjukkan bahwa tanah tersebut bukan
lahan waqaf yang dikhususkan untuk shalat,tapi hanya lahan umum yang sekali
kali dipakai untuk melakukan kegiatan shalat Id setahun sekali.Dan itu
diperkuat dengan ucapannya:
Ketiga:’bila mereka beri’tikad bahwa lahan itu masjid tentu mereka
akan menjaganya dari hal hal tersebut dan tentu tempat itu akan selalu dipakai
untuk melaksanakan semua kegiatan shalat’.
Sebagaimana telah maklum bahwa shalat fardlu itu bukan hanya shalat
lima waktu,namun ditambah shalat Jum’at.Dan sebenarnyalah bahwa fariq
(pembeda) antara masjid dan mushalla adalah dalam urusan shalat
jum’at tersebut.Karena itulah masjid jum’at sering disebut dengan istilah
masjid jami’, yang mengacu pada kegiatan shalat jum’at tadi.Dan jawaban
Alghazali ‘melaksanakan semua kegiatan shalat’itu memberi indikasi kuat bahwa
yang dimaksudnya adalah masjid jami’. Dan dengan demikian,justru jawaban
Alghazali ini merupakan jawaban bagi perbedaan antara masjid jami’ dan mushalla.Dan
dengan demikian,sah saja apabila kita membuat perbedaan antara masjid dan
mushalla dengan ibarat,’masjid ialah tempat shalat yang juga dipakai
untuk melaksanakan shalat jum’at, sedangkan mushalla tidak’.
Kenapa begitu?,karena sebagaimana beberapa referensi yang telah
penulis turunkan diatas,bahwa kalau hanya untuk shalat lima waktu dan
sebagainya,mushalla juga sama dengan masjid, namun bila tentang
shalat jum’at,maka hanya masjid jami’ yang digunakan.Dan masjid jami’
inilah yang bertalian dengan hukum hukum khusus tentang masjid,seperti
i’tikaf,larangan masuk orang haidl,junub dan sebagainya.
Dengan demikian,menurut penulis,kesimpulan yang diambil dari
jawaban Alghazali dalam buku tersebut itu tidak tepat sasaran.Wallahu ‘alam
Dalam kitab
al-Masajid, Dr. Said al-Qohthani menjelaskan,
أَمَّا الْجَامِعُ: فَهُوَ نَعْتٌ لِلْمَسْجِدِ،
سُمِّيَ بِذَلِكَ؛ لِأَنَّهُ يَجْمَعُ أَهْلَهُ؛ وَلِأَنَّهُ عَلَامَةٌ لِلْإِجْتِمَاعِ،فَيُقَالُ:
الْمَسِجْدُ الْجاَمِعُ… وَيُقَالُ لِلْمَسْجِدِ الَّذِي تُصَلَّى فِيْهِ الْجُمْعَةُ،
وَإِنْ كاَنَ صَغِيْراً؛ لِأَنَّهُ يَجْمَعُ النَّاسَ فِي وَقْتٍ مَعْلُوْمٍ
Adapun kata
‘al-Jami’ ini merupakan kata sifat untuk masjid. Disebut jami’, karena masjid
ini mengumpulkan seluruh jamaahnya, dan merupakan ciri berkumpulnya (manusia).Maka
disebut Masjid Jami’… Dan istilah ini dipakai untuk menyebut masjid yang
digunakan untuk shalat jumat, meskipun masjid ini kecil (bentuk atau lahannya).Karena
masjid ini mengumpulkan masyarakat di waktu tertentu. (al-Masajid, hlm. 7).
Adapun tentang merubah status mushalla menjadi masjid jami’,
maka yang menjadi acuan hanya apakah mushalla tersebut merupakan lahan waqaf atau tidak?.Bila lahan
waqaf, maka bisa dirubah sesuai kebutuhan saat itu dan bila bukan maka tidak
bisa,sebagaimana bahasan yang akan datang,bahwa masjid harus di atas lahan
waqaf.Kecuali bila lahan tersebut dirubah statusnya dahulu menjadi lahan waqaf
untuk dijadikan masjid.
Hukum perubahan ini bisa kita lihat dari fakta sejarah saja, dimana
sebuah gereja dapat dirubah menjadi masjid.Bila sebuah gereja saja dapat
berubah fungsi jadi masjid,lalu mengapa mushalla yang memiliki banyak
persamaan dengan masjid tidak boleh?.
Rasulallah
shallallahu alaihi wa alihi wa salam bersabda:
اخْرُجُوْا فَإِذَا أَتَيْتُمْ
أَرْضَكُمْ فَاكْسِرُوْا بِيْعَتِكُمْ وَانْضَحُوْا مَكَانَهَا بِهَذَا الْمَاءِ
وَاتَّخِذُوْهَا مَسْجِدًا (رواه النسائي)
“
pulanglah kalian,jika kalian sudah sampai di kampung kalian, maka hancurkanlah
gereja kalian, dan siramlah (bekas) tempat itu dengan air ini,dan dirikanlah
masjid di tempat tersebut“. ( HR.Nasa’i )
Adapun bila yang menjadi persoalan adalah karena adanya perubahan
bentuk atau fungsi benda waqaf,maka sesungguhnya perlu diketahui bahwa perubahan
mushalla menjadi masjid tidak terdapat didalamnya perubahan
fungsi dan bentuk,karena sebagaimana telah lalu,bahwa diantara keduanya
memiliki banyak persamaan,kecuali masalah shalat jum’at dan hukum hukum masjid
yang tertentu saja.
لاَ يَجُوْزُ تَغْيِيْرُ الْوَقْفِ عَنْ هَيْئَتِهِ ،فَلاَ
تُجْعَلُ الدَارُ بُسْتاَناً ،وَلاَ حَمَاماً،وَلاَ بِالْعَكْسِ،إِلاَّ إِذَا جَعَلَ
الْوَاقِفُ إِلَى النَّاظِرِ ماَ يَرَى فِيْهِ مَصْلَحَةً لِلْوَقْفِ ،وَفِي فَتَاوَى
الْقَفَّالِ :أَنَّهُ يَجُوْزُ أَنْ يُجْعَلَ حاَنُوْتُ الْقَصَّارِيْنَ لِلْخَبَّازِيْنَ،فَكَأَنَّهُ
احْتُمِلَ تَغْيِيْرُ النَّوْعِ دُوْنَ الْجِنْسِ (روضة الطالبين من كتاب الوقف
الباب الثاني فصل في المسائل المنثورة)
Tidak boleh mengubah bentuk (barang) waqaf.Maka tidak diperbolehkan
rumah (waqaf) menjadi kebun ataupun tempat pemandian,dan sebaliknya.Kecuali
jika waqif memasrahkan kepada nadhir apa yang dipandang maslahah bagi
kepentingan wakaf.Dalam fatwa imam al-Qaffal menyatakan:boleh menjadikan
(waqaf) tempat cuci (binatu) sebagai toko roti. Barangkali pengertiannya adalah
merubah nau’ (model) bukan jenis (ragam).
وَلِأَهْلِ الْوَقْفِ الْمُهَايَأَةُ لاَ قِسْمَتُهُ وَلَوْ
إِفْرَازاً وَلَا تَغْيِيْرُهُ كَجَعْلِ الْبُسْتاَنِ داَراً وَعَكْسِهِ مَا لَمْ
يَشْرُطِ الْوَاقِفُ الْعَمَلَ بِالْمَصْلَحَةِ فَيَجُوْزُ تَغْيِيْرُهُ بِحَسَبِهَا
،قَالَ السُّبْكِي:وَالَّذِي أَرَاهُ تَغْيِيْرُهُ فِي غَيْرِهِ وَلَكِنْ بِثَلاَثَةِ
شُرُوْطٍ:أَنْ يَكُوْنَ يَسِيْرًا لاَ يُغَيِّرُ مُسَمَّاهُ ،وَأَنْ لاَ يُزِيْلَ
شَيْئاً مِنْ عَيْنِهِ بَلْ يَنْقُلُهُ مِنْ جاَنِبٍ إِلَى آخَرَ،وَأَنْ يَكُوْنَ
مَصْلَحَةَ وَقْفٍ (نهاية المحتاج من كتاب الوقف فصل في أحكام الوقف المعنوية)
Boleh bagi mauquf alaihi mengadakan penyelarasan (benda waqaf),tetapi
tidak boleh membagi-bagi meskipun bagi rata,dan tidak boleh merubah (bentuk)
benda waqaf seperti menjadikan kebun sebagai rumah atau sebaliknya,selama waqif
tidak mensyarat (memboleh) kan satu tindakan antisipasi demi kemaslahatan,
(jika waqif mensyaratkan satu tindakan tertentu) maka boleh merubah (bentuk)
benda waqaf atas dasar kemaslahatan.Imam as Subky berkata: pendapat saya adalah
boleh mengubah benda waqaf diselain terdapatnya syarat waqif,tetapi dengan tiga
syarat:1perubahan itu sedikit yang tidak merubah musamma (esensi/sifat/fungsi),2tidak boleh
menghilangkan sekecil apapun dari bendanya,tapi boleh memindahkan ke arah yang
lain,dan 3 adanya perubahan tersebut untuk kemaslahatan wakaf.
Dalam ibarat Raudlah terdapat kata jins dan nau’,yang bila
diterjemahkan dalam bahasa kita tentu agak sukar memberikan arti yang
jelas,karena itu ada baiknya penulis turunkan ibarat kitab lughat Mishbah Munir
berikut ini:
الجِنْسُ الضَّرْبُ مِنْ كُلِّ شئٍ وَالْجَمْعُ أَجْنَاسٌ
وَهُوَ أَعَمُّ مِنَ النَّوْعِ,فَالْحَيَوَانُ جِنْسٌ وَاْلإِنْسَانُ نَوْعٌ.وَحُكِيَ
عَنِ الْخَلِيْلِ "هَذَا يُجَانِسُ هَذَا" أَيْ يُشَاكِلُهُ,وَنَصَّ
عَلَيْهِ فِي التَّهْذِيْبِ أَيْضًا,وَعَنْ بَعْضِهِمْ "فُلاَنٌ لاَ
يُجَانِسُ النَّاسَ",إِذَا لَمْ يَكُنْ لَهُ تَمْيِيْزٌ وَلاَ
عَقْلٌ.وَاْلأَصْمَعِي يُنْكِرُ هَذَيْنِ اْلإٍسْتِعْمَالَيْنِ وَيَقُوْلُ:هُوَ
مِنْ كَلاَمِ الْمُوَلَّدِيْنَ لَيْسَ
بِعَرَبِيٍّ (المصباح المنير في غريب شرح الكبير ١|١١١ )
Jins ialah ragam
dari segala sesuatu dan jama’nya ajnas,jins lebih umum dari nau’,maka
haiwan itu jins dan insan itu nau’. Dan telah diriwayatkan dari
imam Khalil (ucapan),’hadza yujanisu hadza’,yaitu ini menyerupainya’.begitu
pula dalam kitab tahdzib telah ditegaskan.Dan dari sebagian ahli bahasa,
(diriwayatkan ungkapan),’fulan la yujanisu an nas’,yaitu bila ia tidak memiliki
kewarasan dan akal fikiran.Al Ashma’i tidak sependapat pada pemakaian kedua
ibarat tersebut dan berkata: ini dari sebagian perkataan muwalladin (arab
keturunan),bukan bahasa arab asli’.
النَّوْعُ مِنَ الشَّئِ الصِّنْفُ,وَتَنَوَّعَ صَارَ
أَنْوَاعًا,وَنَوَّعْتُهُ تَنْوِيْعًا جَعَلْتُهُ أَنْوَاعًا مُتَنَوِّعَةً.قَالَ
الصَّغَانِيّ: النَّوْعُ أَخَصُّ مِنَ
الْجِنْسِ,وَقِيْلَ هُوَ الضَّرْبُ مِنَ الشَّئِ كالثِّيَابِ وَالثِّمَارِ حَتَّى
فِي الْكَلاَمَ (المصباح المنير في غريب شرح الكبير ٢|٦٣١ )
Nau’ dari sesuatu
ialah sinf ( model ),tanawwa’a,artinya jadi beberapa model,dan nawwa’tuhu-tanwi’an
artinya aku menjadikannya berbagai model yang berbeda.Berkata Ash Shaghany:Nau’
itu lebih khusus daripada jins,dan ada disebutkan:nau’ itu macam dari
setiap sesuatu,seperti kain dan bebuahan,bahkan pada perkataan (sekalipun).
Dan untuk memperjelas,ada baiknya kita membuatkan beberapa contoh
dari masalah benda waqaf tersebut.Seperti kendaraan,ini jenis dan motor itu
nau’.Bila ada seseorang mewakafkan motor, maka tidak boleh merubah bentuk motor
tersebut daripada aslinya ketika ia diwakafkan.Kendaraan yang berupa motor itu
memiliki musamma (sifat/fungsi) yaitu alat pengangkut atau transfortasi.Dan
tentang sifat/fungsi ini menurut As Subky boleh untuk dirubah,namun dengan
catatan tidak sampai menghilangkan sifatnya secara total.Seperti contoh pada
motor, bila sifat motor itu dihilangkan,seperti ban dan mesinnya
dibuang/dipreteli,sehingga tidak lagi memiliki fungsi asalnya, tapi hanya
tinggal bangkai atau rangka motor,maka yang demikian itu tidak
diperbolehkan.Adapun bila motor tersebut sifatnya hanya sedikit berubah,yang
asalnya merupakan alat transfort menjadi bahan pajangan/totonan misalnya,maka
yang demikian itu tidak menjadikan sifat aslinya berubah total. Karena masih
bisa digunakan lagi sesuai fungsi asalnya.
Demikian pula dengan contoh pada ibarat kitab,yaitu rumah,
kebun,toko binatu dan toko roti.Rumah adalah nau’ dari jenis sukna (tempat
tinggal) yang memiliki sifat untuk tinggal dan berdiam sebagai sarana kebutuhan
papan manusia.Kebun adalah nau’ dari jenis gharas (lahan cocok
tanam),yang memiliki sifat untuk menyemai benih tanaman dan bercocok tanam
sebagai sarana kebutuhan pangan manusia.Dan begitu pula dengan toko roti dan
kios binatu,merupakan nau’ dari mutlak toko dan kios,yang memiliki sifat
sebagai tempat produksi roti dan pembersihan pakaian pelanggan.
Pendapat imam Qaffal yang ditukilkan oleh imam Nawawi lalu
diartikan olehnya sebagai perubahan dari nau’ bukan jenisnya. Artinya,bentuk
tempat itu tetap toko,tapi nau’nya yaitu asalnya tempat produksi roti beralih
menjadi tempat cuci pakaian.
Bila telah dapat dimengerti,maka kita akan lanjut pada pembahasan
tentang status masjid dan mushalla.Masjid dan mushalla
adalah nau’ daripada mutlak tempat sujud (ibadah), yaitu bumi
sebagaimana dalam hadits diatas.Sifat dari keduanya adalah sama,yaitu tempat
mendirikan shalat (walau dari segi pertalian dengan hukum tertentu ada perbedaan).Bila
kita telah mengetahui hal tersebut,maka apa yang menjadikan perbedaan faham
tentang perubahan dari mushalla ke masjid?. Adapun tentang yang asalnya tidak terdapat hukum
khusus pada mushalla,lalu setelah jadi masjid memiliki aturan hukum
tertentu,maka hal demikian itulah yang dimaksud oleh As Subky tentang boleh
adanya sedikit perubahan pada musamma, asal tidak sampai merubah bentuk
benda waqaf tersebut,yaitu mushalla pada bahasan kita sekarang.Dan ini
pula maksud pelurusan makna oleh imam Nawawi tentang pendapat imam Qaffal
diatas.Wallahu a’lam.
Adapun masalah lain yang berkaitan dengan lahan waqaf masjid adalah
soal pemindahan lahan masjid.Dalam masalah ini ada dua arah yang menjadi
bahasan,yaitu:
a.lahan waqaf yang dijadikan masjid
b.lahan waqaf milik masjid
Tentang lahan waqaf untuk masjid,maka bisa dikatakan bahwa ulama
syafi’iyyah sepakat pemindahan lahan masjid tersebut tidak boleh.Dan
pendapat madzhab yang lain ada yang memperbolehkan,sebagai berikut:
وَلاَ
يَجُوْزُ اسْتِبْدَالُ الْمَوْقُوْفِ عِنْدَنَا وَاِنْ خَرَبَ،خِلاَفًا
لِلْحَنَفِيَّةِ.وَصُوْرَتُهُ عِنْدَهُ أَنْ يَكُوْنَ الْمَحَلُّ قَدْ آلَ إِلَى
السُّقُوْطِ فَيُبْدَلُ بِمَحَلٍّ آخَرَ اَحْسَنَ مِنْهُ بَعْدَ حُكْمِ حَاكِمٍ
يَرَى صِحَّتَهُ (الشرقاوي ٢|١۷٨)
"Tidak
boleh menukarkan lahan wakaf menurut madzhab kami (Syafi'i),walaupun telah sepi.Berbeda
dengan madzhab Hanafi yang membolehkannya.Gambarannya menurut pendapat mereka
adalah apabila tempat yang diwakafkan itu benar-benar hampir longsor, kemudian
ditukarkan dengan tempat lain yang lebih baik dari padanya, sesudah ditetapkan
oleh hakim yang melihat kebenarannya".
اعْلَمْ أَنَّ الِاسْتِبْدَالَ عَلَى ثَلَاثَةِ وُجُوهٍ: الْأَوَّلُ
أَنْ يَشْرِطَهُ الْوَاقِفُ لِنَفْسِهِ أَوْ لِغَيْرِهِ أَوْ لِنَفْسِهِ وَغَيْرِهِ ، فَالِاسْتِبْدَالُ فِيهِ جَائِزٌ عَلَى الصَّحِيحِ وَقِيلَ اتِّفَاقًا .وَالثَّانِي أَنْ لَا يَشْرُطَهُ سَوَاءٌ شَرَطَ عَدَمَهُ أَوْ سَكَتَ لَكِنْ صَارَ بِحَيْثُ لَا يُنْتَفَعُ بِهِ بِالْكُلِّيَّةِ بِأَنْ لَا يَحْصُلَ مِنْهُ شَيْءٌ أَصْلًا ، أَوْ لَا يَفِي بِمُؤْنَتِهِ فَهُوَ أَيْضًا جَائِزٌ عَلَى الْأَصَحِّ إذَا كَانَ بِإِذْنِ الْقَاضِي وَرَأْيِهِ الْمَصْلَحَةَ فِيهِ .وَالثَّالِثُ أَنْ لَا يَشْرُطَهُ أَيْضًا وَلَكِنْ فِيهِ نَفْعٌ فِي الْجُمْلَةِ وَبَدَلُهُ خَيْرٌ مِنْهُ رِيعًا وَنَفْعًا ، وَهَذَا لَا يَجُوزُ اسْتِبْدَالُهُ عَلَى الْأَصَحِّ الْمُخْتَارِ كَذَا حَرَّرَهُ الْعَلَّامَةُ قَنَالِي زَادَهْ فِي رِسَالَتِهِ الْمَوْضُوعَةِ فِي الِاسْتِبْدَالِ ، وَأَطْنَبَ فِيهَا عَلَيْهِ الِاسْتِدْلَالَ وَهُوَ مَأْخُوذٌ مِنْ الْفَتْحِ أَيْضًا كَمَا سَنَذْكُرُهُ عِنْدَ قَوْلِ الشَّارِحِ لَا يَجُوزُ اسْتِبْدَالُ الْعَامِرِ إلَّا فِي أَرْبَعٍ وَيَأْتِي بَقِيَّةُ شُرُوطِ الْجَوَازِ) .ردّ المختار ١| ٣٢٩(
Ketahuilah!
bahwa pertukaran itu ada tiga:pertama,waqif menyaratkannya bagi dirinya atau
pada orang lain,atau bagi dirinya dan orang lain.Maka petukaran seperti
demikian boleh menurut pendapat sahih,dan dsebutkan sepakat.Kedua,waqif tidak
menyaratkannya,baik syarat tidaknya atau diam,namun lahan tersebut beralih
mengalami posisi tidak dapat digunakan sama sekali,yaitu tidak dapat
menghasilkan lagi,atau tidak mencukupi lagi untuk biayanya,maka yang demikian
juga boleh (ditukar) menurut pendapat ashah,bila ada idzin qadli yang melihat
adanya maslahat . Ketiga,waqif tidak mensyaratkan juga,namun disitu terdapat
sebatas manfaat dan gantinya itu lebih baik hasil dan gunanya.Ini tidak boleh
meukarkannya menurut pendapat ashah yang terpilih,sebagaimana telah menyetujuinya
syekh Qanaly zadah dalam risalahnya tentang pertukaran (lahan waqaf).Beliau
memperpanjang pemberian dalil yang diambil dari kitab alfath juga,sebagaimana
nanti akan aku jelaskan pada poin ucapan penjelas’tidak boleh menukarkan lahan
yang produktif kecuali pada empat (keadaan).Dan nanti akan datang sisa sisa
syarat yang memperbolehkan.
Menurut penulis pribadi,bila ada kejadian seperti ini dan keadaan
mendesak untuk menggantikan lahan waqaf tersebut, maka tidak ada salahnya untuk
mengunakan madzhab Hanafy, daripada melakukan tindakan yang tidak berdasar sama
sekali, ada lebih baik memakai madzhab luar Syafi’i,apalagi kita adalah awam
yang tidak berpegang pada satu madzhab tertentu.
وَقَالَ ابْنُ السُّبْكِي:وَمَا أَحْسَنَ التَّمَذْهُبَ
وَاسْتِعْمَالَ الأَوْجُهِ فيِ دَرْءِ الْمَفَاسِدِ الْوَأقِعَةِ فِي مُصَادَمَةِ
الشَّرْعِ, وَفِي التُّحْفَةِ:قَالَ ابْنُ السُّبْكِي:يَجُوْزُ الإِفْتَأءُ
بِغَيْرِ الْمَذْهَبِ الأَرْبَعَةِ لِمَصْلَحَةٍ دِيْنِيَّةٍ,أَي مَعَ
تَبْيِيْنِهِ لِلْمُسْتَفْتِي قَائِلَ ذَلِكَ (بغية المسترشدين ص ١٦٤ )
Anak Subky berkata:’alangkah baiknya berpindah madzhab dan
menggunakan wajh (pendapat lemah) untuk mengantisipasi mafsadat
yang terjadi karena melanggar aturan syari’at’.Dan dalam kitab Tuhfah
disebutkan:anak Subky berkata:boleh untuk berfatwa dengan selain madzhab empat
untuk kemashlahatan agama,yaitu dengan disertai penerangan kepada yang meminta
fatwa akan orang yang memiliki pendapat tersebut.
وَقَالَ الشَّرِيْفُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَبْدِ اللهِ
باَفَقِيْه:وَيَظْهَرُ مِنْ عَمَلِ وَكَلاَمِ الْأَئِمَّةِ أَنَّ الْعاَمِي حَيْثُ
عَمِلَ مُعْتَقِدًا أَنَّهُ حُكْمٌ شَرِعِيٌّ وَوَافَقَ مَذْهَباً مُعْتَبَرًا وَإِنْ
لَمْ يَعْرِفْ عَيْنَ قاَئِلِهِ صَحَّ ماَ لَمْ يَكُنْ حَالَ عَمَلِهِ مُقَلِّداً
لِغَيْرِهِ تَقْلِيْداً صَحِيْحًا اﻫ. (بغية المسترشدين ص ١۰ )
Syarif Abdurrahman bin Abdillah ba Faqih berkata:terlihat dari
perbuatan dan ucapan para imam bahwa sesungguhnya orang awam bila berbuat
(sesuatu) sembari memiliki i’tikad bahwasanya itulah hukum syara’ dan mengenai
satu madzhab yang diakui,walau ia tidak mengenal pemilik pendapat,maka sah
amalnya,selama ia ketika berbuat tidak sedang bertaklid pada yang lainnya.
إِذِ الْعَامِي لاَ مَذْهَبَ لَهُ بَلْ لَهُ أَنْ يَأْخُذَ
بِفَتْوَى مَنْ أَفْتَاهُ مِنْ أَرْبَابِ الْمَذَاهِبِ,لَكِنْ بِشَرْطِ
التَّقْلِيْدَ الْمَارَ (بغببية المسترشدين ص ١٨٤ )
Karena orang awam tidak memiliki madzhab tertentu,namun boleh
baginya untuk mengambil fatwa seorang mufti dari para mufti madzhab,tentu
dengan syarat taqlid yang telah lalu.
Sedangkan soal
perubahan barang waqaf,ada beberapa pendapat, seperti berikut ini:
وَلاَ يَنْقُضُ
الْمَسْجِدُ اَيِ الْمُنْهَدِمُ الْمُتَقَدِّمُ ذِكْرُهُ فِى قَوْلِهِ "
فَلَوِ انْهَدَمَ مَسْجِدٌ " ، وَمِثْلُ الْمُنْهَدِمِ اَلْمُتَعَطِّلُ.(
وَالْحَاصِلُ ) اَنَّ هذَا الْمَسْجِدَ الَّذِى انْهَدَمَ اَىْ اَوْ تَعَطَّلَ
بِتَعْطِيْلِ اَهْلِ الْبَلَدِ لَهُ كَمَا مَرَّ لاَ يُنْقَضُ اَىْ لاَ يُبْطَلُ
بِنَاؤُهُ بِحَيْثُ يُتَمَّمُ هَدْمُهُ فِىْ صُوْرَةِ الْمَسْجِدِ الْمُنْهَدِمِ
اَوْ يُهْدَمُ مِنْ أَصْلِهِ فِى صُوْرَةِ الْمُتَعَطَّلِ,بَلْ يَبْقَى عَلَى
حَالِهِ مِنَ الاِنْهِدَامِ أَوْ التَّعْطِيْلِ.وَذلِكَ لإِمْكَانِ الصَّلاَةِ
فِيْهِ وَهُوَ بِهذِهِ الْحَالَةِ وَلإِمْكَانِ عَوْدِهِ كَمَا كَانَ (إعانة
الطالبين ٣|١٨١)
"Dan tidak
boleh masjid dirusak.yaitu, masjid roboh yang telah disebutkan sebelumnya dalam
ucapan pengarang "Maka andaikata ada sebuah masjid yang roboh". Dan masjid
yang kosong adalah seperti masjid yang roboh.Walhasil, sesungguhnya masjid yang
telah roboh ini,atau telah kosong sebab dikosongkan oleh penduduk desa tempat
masjid tersebut berada sebagaimana keterangan yang telah lalu, maka masjid
tersebut tidak boleh dirusak, artinya bangunannya tidak boleh dibatalkan dengan
jalan disempurnakan penghancurannya dalam bentuk masjid yang roboh, atau
dihancurkan mulai dari asalnya dalam bentuk masjid yang dikosongkan.Akan tetapi
hukum masjid tersebut tetap dalam keadaannya sejak roboh atau kosong.Yang
demikian itu ialah karena masih mungkin melakukan shalat di masjid tersebut
dalam keadaannya yang roboh ini dan masih mungkin mengembalikan bangunannya
seperti sediakala".
يَحْرُمُ تَطْيِيْنُ
الْمَسْجِدِ بِالْآجُرِ النَّجِسِ وَيَكْرَهُ بِنَاؤُهُ بِهِ وَنَصَّ بَعْضُهُمْ عَلَى
التَّحْرِيْمِ أَيْضاً,وَيَجُوْزُ تَوْسِيْعُ الْمَسْجِدِ وَتَغَيِيْرُ بِنَائِهِ
بِنَحْوِ رَفْعِهِ لِلْحَاجَةِ بِشَرْطِ إِذْنِ النَّاظِرِ مِنْ جِهَةِ الْوَاقِفِ
ثُمَّ الْحَاكِمِ الْأَهْلِ,فَإِنْ لَمْ يُوْجَدْ وَكَانَ الْمُوَسِّعُ ذَا عَدَالَةٍ
وَرَآهُ مَصْلَحَةً بِحَيْثُ يَغْلِبُ عَلَى الظَّنِّ أَنَّهُ لَوْ كاَنَ الْوَاقِفُ
حَيًّا لَرَضِيَ بهِ جَازَ وَلاَ يَحْتَأجُ إِلَى إِذْنِ وَرَثَةِ الْوَاقِفِ
إِذَا لمَ يشْرُطْ لَهُمُ النَّظَرَ.وَلَوْ وَقَفَ مَا حَوَالَيْهِ مَرَافِقَ لَهُ
جَازَ تَوْسِيْعُهُ مِنْهُ أَيْضًا إِنْ شَرِطَ الْوَاقِفُ التَّوْسِيْعَ مِنْهَا
عِنْدَ الْحَاجَةِ أَوِ اطَّرَدَ عُرْفٌ لأَنَّ الْعَادَةَ الْمُقْتَرَنَةَ
بِالْوَقْفِ مُنَزَّلَةٌ مَنْزِلَةَ شَرْطِهِ,وكَذَا إِنْ جَعَلَ لِمَنْ
يَتَوَلاَّهُ أَنْ يَفْعَلَ مَا رَآهُ مَصْلَحَةً أَوِ اقْتَضَى نَظَرُ
الْمُتَوَلِّي بِدِلاَلَةِ الْحَالِ ذَلِكَ.وَلاَ تَصِيْرُ الزِّيَأَدَةُ
الْمَذْكُوْرَةُ مَسْجِدًا إِلاّ بِالتَّلَفُّظِ بِوَقْفِهَا أَوْ مَا قَامَ
مَقَامَهَا كّإِشَارَةِ اْلأَحِرِسِ (بغية المسترشدين ص ٦٥)
Dilarang
mengapur masjid dengan kapur najis,dan makruh membangun masjid dengan batu
kapur (bata) najis.Dan sebagian ulama ada yang menjelaskan larangannya juga.Dan
boleh untuk memperluas masjid dan merubah bangunannya dengan seumpama
meningkatkan bangunannya karena adanya kebutuhan,dengan syarat ada idzin nadhir
dari pihak waqif,lalu hakim yang ahli (bila tidak ada nadhir khas).Dan bila
tidak ada, maka bila orang yang akan memperluasnya itu seorang yang bersifat
adil dan melihat adanya mashlahat,sekira ada dugaan dominan bahwa bila waqif
masih hidup tentu akan setuju,maka boleh untuk memperluas,dan tidak harus
menunggu idzin ahli warits waqif bila tidak memiliki jabatan nadhir.Dan bila
waqif mewakafkan (pula) pelataran disekeliling masjid,maka boleh untuk
memperluas dari lahan tersebut bila waqif telah memperbolehkan perluasan
diambil dari lahan itu ketika dibutuhkan,atau adat telah berlaku
(demikian),karena adat yang bertepatan dengan waqaf itu disamakan dengan syarat
waqif. Begitu pula (boleh memperluas dengan mengambil lahan tersebut) bila
waqif mempersilahkan kepada pengurus untuk berbuat yang ia anggap mashlahat,atau
pemikiran pengurus melihat adanya kemashlahatan untuk itu.Lahan tambahan
perluasan tersebut tidak sekaligus menjadi masjid kecuali dengan ikrar waqaf
atau yang seumpama ikrar lisan,seperti isyarat orang yang bisu.
فَقَدِ
اسْتَظْهَرَ فِى فَتَاوِيْهِ رَأْيَ الْقَائِلِيْنَ بِجَوَازِ تَغْيِيْرِ
الْوَقْفِ لِلْمَصْلَحَةِ حَيْثُ بَقِيَ الْإِسْمُ وَنَقَلَ مِثْلَهُ عَنِ
الْخَادِمِ وَابْنِ الرِّفْعَةِ وَالْقَفَّالِ.وَمِنْهُمُ الْإِماَمَانِ عُجَيْلٌ
وَالْإِماَمُ أَبُو شُكَيْلٍ فَقَدْ أَطْلَقاَ الْجَوَازَ وَلَمْ يُقَيِّدَاهُ
بِشَئٍ بَلْ نَقَلَ بَعْضُهُمْ عَنْهُماَ عَدَمَ التَّقْيِيْدِ.وَمِنْهُمُ
الشَّيْخُ أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ بَلْحَاج وَقَدْ وَسَّعَ كَثِيْرًا وَلَمْ
يَشْتَرِطْ إِلاَّ عَدَمَ زَوَالِ اسْمِ الْمَسْجِدِ. )فى النصّ الوارد
فى حكم تجديد المساجد :١٣-١٤ )
Pemilik fatwa
telah melakukan istidhar (mengambil pendapat yang lebih dekat) dalam
fatwanya dengan pendapat yang memperbolehkan perubahan benda waqaf karena
adanya mashlahat,dengan tetap namanya.Ia menakil hal tersebut pula dari
pengarang kitab al khadim dan ibn Rif’ah serta AlQaffal. Dan sebagian mereka
ialah dua orang imam,yaitu imam Uzail dan imam Abu syukail yang telah
mengumumkan kebolehan dan tidak memberikan suatu batasan,bahkan sebagian ulama
ada yang menukil dari mereka berdua tidak ada batasan sama sekali.Dan dari
sebagian mereka ialah syekh Ahmad bin Abdillah balhaj,dimana beliau telah
memberikan keleluasaan dan tidak memberi syarat kecuali masih adanya nama
masjid.
وَقِيلَ يَجُوزُ
أَنْ يُهْدَمَ الْمَسْجِدُ وَيُجَدَّدَ بِنَاؤُهُ لِمَصْلَحَةٍ نَصَّ عَلَيْهِ .)كشاف
القناع ٤|٣٥٥ (
Disebutkan
bahwa boleh merobohkan masjid dan memperbaharui bangunannya karena (adanya)
mashlahat .
أَرَادَ اَهْلُ
الْمَحَلَّةِ نَقْضَ الْمَسْجِدِ وَبِنَاءَهُ أَحْكَمَ مِنَ الأَوَّلِ،إِنِ
الْبَانِى مِنْ
اَهْلَ الْمَحَلَّةِ لَهُمْ ذلِكَ ، وإِلاَّ فَلاَ (ردّ المختار ٣|٥١٢)
"Penduduk
suatu daerah ingin membongkar masjid dan membangunnya kembali dengan bangunan
yang lebih kokoh dari yang pertama. Jika yang membangun kembali masjid tersebut
adalah penduduk daerah tersebut, maka hukumnya boleh, dan jika tidak maka
hukumnya tidak boleh".
فَاِنْ
تَعَطَّلَتْ مَنَافِعُهُ بِالْكُلِّيَّةِ كَدَارٍ اِنْهَدَمَتْ أَوْ أَرْضٍ
خَرَبَتْ وَعَادَتْ مَوَاتًا لَمْ يُمْكِنْ عِمَارَتُهَا أَوْ مَسْجِدٍ اِنْتَقَلَ
أَهْلُ الْقَرْيَةِ عَنْهُ وَصَارَ فِى مَوْضِعٍ لاَ يُصَلَّى فِيْهِ أَوْ ضَاقَ
بِأَهْلِهِ وَلَمْ يُمْكِنْ تَوْسِيْعُهُ فِى مَوْضِعِهِ،فَإِنْ أَمْكَنَ بَيْعُ
بَعْضِهِ لِيُعْمَرَ بَقِيَّتُهُ جَازَ بَيْعُ الْبَعْضِ وَاِنْ لَمْ يُمْكِنِ
الإِنْتِفَاعُ بِشَيْءٍ مِنْهُ بِيْعَ جَمِيْعُهُ (شرح الكبير ٣|٤٢۰)
"Jika
manfaat dari wakaf tersebut secara keseluruhan sudah tidak ada, seperti rumah
yang telah roboh atau tanah yang telah sepi dan kembali menjadi tanah yang mati
yang tidak mungkin membangunnya lagi,atau masjid yang penduduk desa dari masjid
tersebut telah pindah,dan masjid tersebut menjadi masjid di tempat yang tidak
dipergunakan untuk melakukan shalat, atau masjid tersebut sempit dan tidak
dapat menapung para jama'ah dan tidak mungkin memperluasnya di tempat tersebut,maka
jika mungkin menjual sebahagiannya untuk membangun sisanya, maka boleh menjual
sebahagian. Dan jika tidak mungkin memanfaatkannya sedikitpun,maka boleh
menjual seluruhnya"
Sedangkan penukaran lahan waqaf milik masjid,maka itu boleh bila
lahan yang akan ditukarnya lebih bermanfaat dari lahan asal,sebagai berikut:
وَتَجُوْزُ بَلْ تَجِبُ الْمُعَاوَضَةُ فِي مِلْكِ
الْمَسْجِدِ إنْ رَأَى الْمَصْلَحَةَ كَأَنْ كَانَتْ أَرْضُ الْمَسْجِدِ لاَ
تَحْرُثُ أَوْ تَحْرُثُ نَادِرًا فَرَغِبَ فِيْهاَ شَخْصٌ بِأَرْضٍ تَحْرُثُ
دَأئِمًا,وَيَكُوْنُ بِصِيْغَةِ الْمُعَأوَضَةِ أَوْلَى (بغية المسترشدين ص ١۷٤ )
Boleh bahkan wajib untuk mengadakan pertukaran tentang harta masjid
bila nadhir melihat suatu mashlahat,seperti keadaan lahan masjid kurang
menghasilkan atau menghasilkan namun jarang,lalu ada orang yang suka (untuk
ditukar) dengan lahan yang selalu menghasilkan.Dan aqad dengan ucapan
pertukaran itu lebih utama (daripada memakai ikrar nadzar atau yang lain).
Demikian Wallahu a’lam
C.dimanakah Masjid
adanya?
Lahan masjid,disyaratkan harus merupakan lahan berstatus waqaf,sebab
masjid telah kembali menjadi milik Allah, firmanNya:
وَأَنّ الْمِسَاجِدَ للهِ,فَلاَ تَدْعُوا مَعَ اللهِ
أَحَدًا ( الجن :١٨ )
“Dan sesungguhnya masjid masjid itu merupakan milik
Allah, maka janganlah menyeru beserta Allah sesuatupun” (Qs.Al Jin :18 )
Sedangkan dalam ajaran Islam,tidak ada suatu benda atau manfaat
yang secara mutlak lepas dari kepemilikan manusia kecuali dalam masalah waqaf.
وَالْأَصَحُّ وَإِنْ ناَزَعَ فِيْهِ الْأَسْنَوِى وَغَيْرُهُ أَنَّ قَوْلَهُ
جَعَلْتُ الْبُقْعَةَ مَسْجِدًا مِنْ غَيْرِ نِيَةٍ صَرِيْحٌ فَحِيْنَئِدٍ تَصِيْرُ
بِهِ مَسْجِدًا وَإِنْ أَتَى بِلَفْظٍ مِمَّا مَرَّ لِأَنَّ الْمَسْجِدَ لاَيَكُوْنُ
إِلاَّ وَقْفاً.(الشرواني:٦ |٢٥١)
Menurut pendapat ashab yang lebih populer -meskipun ditentang imam Asnawi
dan lainnya-,bahwa perkataan seseorang :“saya jadikan tempat ini menjadi
masjid” dengan tanpa niat itu shorih wakaf, maka dengan demikian (tempat itu)
akan menjadi masjid.Meskipun dengan lafadh yang telah tersebut diatas,karena
masjid itu pasti wakaf. (artinya tidak ada lahan masjid yang bukan wakaf).
Apakah waqaf itu?
Waqaf ialah salah
satu bentuk shadaqah,namun memiliki kelebihan yaitu sifatnya yang dawam
(langgeng).Dan inilah maksud utama daripada waqaf.Rasulallah shallallahu
alaihi wa alihi wa salam bersabda:
إَذَا ماَتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ:صَدَقَةٍ
جاَرِيَةٍ أَوْعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَأْ وَلَدٍ صاَلِحٍ يَدْعُو لَهُ (رواه
مسلم)
“Bila
anak manusia mati,maka putuslah amalnya kecuali dari tiga hal:shadaqah jariyah,ilmu yang
bermanfaat dan anak salih yang mendoakan” (HR.Muslim )
Dan para ulama mengartikan shadaqah jariyah dalam hadits diatas
dengan waqaf.Walaupun bukan berarti setiap shadaqah jariyah itu pasti wakaf.Berikut
ibarat Qawaid al Ahkam:
وَأَمَّا قَوْلُهُ
عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ : ( إذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ
إلَّا مِنْ ثَلَاثٍ ؛ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ ، أَوْ
وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ )،وَمَعْنَاهُ انْقَطَعَ أَجْرُ عَمَلِهِ أَوْ
ثَوَابُ عَمَلِهِ فَهَذَا عَلَى وَفْقِ الْقَاعِدَةِ لِأَنَّ هَذِهِ
الْمُسْتَثْنَيَاتِ مِنْ كَسْبِهِ،فَإِنَّ الْعِلْمَ الْمُنْتَفَعَ بِهِ مِنْ
كَسْبِهِ فَجُعِلَ لَهُ ثَوَابُ التَّسَبُّبِ إلَى تَعْلِيمِ هَذَا الْعِلْمِ .وَكَذَلِكَ
الصَّدَقَةُ الْجَارِيَةُ تُحْمَلُ عَلَى الْوَقْفِ وَعَلَى الْوَصِيَّةِ
بِمَنَافِعِ دَارِهِ وَثِمَارِ بُسْتَانِهِ عَلَى الدَّوَامِ ، فَإِنَّ ذَلِكَ
مِنْ كَسْبِهِ،لِتَسَبُّبِهِ إلَيْهِ،فَكَانَ لَهُ أَجْرُ التَّسَبُّبِ،وَلَيْسَ
الدُّعَاءُ مَخْصُوصًا بِالْوَلَدِ ، بَلْ الدُّعَاءُ شَفَاعَةٌ جَائِزَةٌ مِنْ
الْأَقَارِبِ وَالْأَجَانِبِ،وَلَيْسَتْ مُسْتَثْنَاةً مِنْ هَذِهِ ، لِأَنَّ
ثَوَابَ الدُّعَاءِ لِلدَّاعِي (قواعد الأحكام فى مصالح الأنام ١|١٣٥)
Adapun sabda Nabi shallallahu alaihi wa alihi wa salam,’bila anak
manusia mati maka putuslah amalnya kecuali dari tiga hal:shadaqah jariyah,ilmu
yang bermanfaat dan anak shalih yang mendoakannya’.
Artinya ialah:putus pahala dan ganjaran perbuatannya.Ini selaras
dengan qaidah,karena yang dikecualikan tersebut merupakan kasab (perbuatan) nya,karena ilmu
manfaat merupakan salah satu kasabnya,sehingga diberikan padanya pahala sebab
mempelajari ilmu ini.Begitu pula shadaqah jariyah (dalam hadits),yang
diartikan kepada waqaf dan wasiat dengan manfaat rumah atau bebuahan kebunnya
secara langgeng.Maka yang demikian itu dari kasabnya,karena ia pernah
melaksanakannya,maka baginya pahala dari kasabnya. Dan doa tidak khusus dari
anak,namun doa merupakan bentuk syafa’at yang diperbolehkan dari kerabat dan
orang lain.Dan syafaat bukan merupakan pengecualian dari ini,karena pahala doa
tetap bagi yang berdoa.
Rukun waqaf ada empat:
a.waqif (pemberi wakaf) b.mauquf (barang yang
diwakafkan) c.mauquf alaih (penerima wakaf) dan d.shighat (ikrar
wakaf)
Terdapat empat bentuk wakaf untuk masjid khususnya, yaitu:
a.waqif mewakafkan lahan beserta bangunannya sekaligus
b.waqif hanya mewakafkan lahannya saja
c.waqif hanya mewakafkan bangunannya saja
d.waqif mengumumkan hanya dengan kata,’saya wakafkan lahan ini
untuk sarana ibadah’,misalnya.
Tiga bentuk pertama (poin a,b dan c) bisa kita ambil dari ibarat
kitab Bughyah berikut ini:
وَقَفَ نَخْلَةً فَقُلِعَتْ فَبَقِيَتِ الْأَرْضُ وَقْفاً,ثُمَّ
إِنْ غَرَسَهَا الْمَوْقُوْفُ عَلَيْهِ وَإِلاَّ أُجِرَتْ بِمَا يَعْمُرُهاَ كَمَا
قاَلَهُ فِي التُّخْفَةِ وَالنِّهَايَةِ فِيْماَ إِذَا وَقَفَ دَاراً عَلَى مُعَلِّمِ
الصِّبْيَانِ أَوْ عَلَى أَنَّ لَهُ أُجْرَتَهاَ فَخَرَبَتْ وَلَمْ يَعْمُرْهَا الْمَوْقُوْفُ
عَلَيْهِ أَنَّهاَ تُوَجَرُ بِمَا يَعْمُرُهاَ لِلضَّرُوْرَةِ,هَذَا إِنْ كاَنَتِ
الْأَرْضُ مَوْقُوْفَةً مَعَ النَّخْلَةِ وَإِلاَّ فَهِيَ مِلْكٌ لِلْوَاقِفِ
وَوَارِثِهِ إِذْ لاَ يَدْخُلُ الْغَرْسُ فِي وَقْفِ النَّخْلَةِ كَمَا لاَ يَدْخُلُ
فِي بَيْعِهاَ اﻫ (بغية المسترشدين:١۷۱ )
Seseorang mewakafkan pohon kurma,lalu pohon tersebut tercabut
(runtuh),maka lahan itu tetap lahan waqaf.Lalu bila mauquf alaih
menanaminya (maka itu haknya),dan bila tidak, maka tanah itu disewakan dengan
biaya yang mencukupinya untuk pengurusan lahan,sebagaimana telah dikatakan oleh
ibn Hajar dan Ramly,dalam kasus masalah ketika seseorang mewakafkan rumah untuk
muallim (pengajar) anak anak atau baginya hasil dari ongkos sewa,lalu
rumah itu roboh dan tidak direnovasi oleh mauquf alaih,maka rumah
tersebut dapat disewakan untuk biaya rehabilitasi karena terdesak keadaan.Ini
semua bila tanah itu diwakafkan beserta kurmanya,dan bila tidak maka tanah
itu tetap milik waqif dan ahli waritsnya, karena lahan tidak masuk dalam waqaf
pohon sebagaimana tidak masuk dalam akad jual beli pohon.
Adapun bentuk keempat,karena waqaf diharuskan mengikuti syarat waqif
selama tidak bertentangan dengan hukum syara’. Dan bila waqif tidak menjelaskan
bagian mana dari lahan tersebut yang akan dijadikan masjid,maka boleh membangun
dilahan tersebut berbagai sarana lain disamping masjid sebagai penunjang
eksistensi masjid seperti kamar mandi,tempat wudlu,menara tempat adzan dan lainnya
dengan mengikuti adat setempat.
( تَنْبِيهٌ ) حَيْثُ أَجْمَلَ الْوَاقِفُ شَرْطَهُ اتُّبِعَ فِيهِ
الْعُرْفُ الْمُطَّرِدُ فِي زَمَنِهِ ِلأَنَّهُ بِمَنْزِلَةِ شَرْطِهِ ثُمَّ مَا
كَانَ أَقْرَبَ إِلَى مَقَاصِدِ الْوَاقِفِينَ كَمَا يَدُلُّ عَلَيْهِ كَلاَمُهُمْ
وَمِنْ ثَمَّ امْتَنَعَ فِي السِّقَايَاتِ الْمُسَبَّلَةِ عَلَى الطُّرُقِ غَيْرُ
الشُّرْبِ وَنَقْلُ الْمَاءِ مِنْهَا وَلَوْ لِلشُّرْبِ وَظَاهِرُ كَلاَمِ
بَعْضِهِمْ اعْتِبَارُ الْعُرْفِ الْمُطَّرَدِ اْلآنَ فِيْ شَيْءٍ فَيُعْمَلُ بِهِ
أَيْ عَمَلاً بِاْلاسْتِصْحَابِ الْمَقْلُوْبِ ِلأَنَّ الظَّاهِرَ وُجُوْدُهُ فِيْ
زَمَنِ الْوَاقِفِ وَإِنَّمَا يَقْرُبُ الْعَمَلُ بِهِ حَيْثُ انْتَفَى كُلٌّ مِنَ
اْلأَوَّلَيْنِ اهـ) تحفة المحتاج في
شرح المنهاج ٦| ٢٦۱)
Perhatian:sekiranya waqif mengumumkan syaratnya,maka bisa diikuti
adat yang berlaku di zamannya,karena adat tersebut sama dengan syarat waqif,lalu
hal yang paling dekat dengan keinginan waqif,sebagaimana diisyaratkan oleh
ungkapan ulama.Karena itu,dilarang dalam (penggunaan) air wakaf dipinggir jalan
selain minum,dan (dilarang) untuk membawa air tersebut walau untuk keperluan
minum.Dan dhahir ungkapan ulama,adalah memperhitungkan adat kebiasaan yang
telah berlaku sekarang dalam sesuatu,lalu menggunakannya,yaitu mengikuti
perbandingan terbalik,sebab secara dhahir adat itu telah ada ketika masa (hidup)
waqif.Dan penggunaan keadaan ini hanya bisa dilakukan bila dua keadaan yang
awal tidak ditemukan.
Takmir Masjid
Satu istilah di nusantara yang tidak terdapat arti yang jelas dari
kata asalnya bahasa Arab,karena arti ta’mir dalam bahasa Arab ialah panjang
umur,sebagaimana dalam Mishbah Munir berikut:
عَمَّرَهُ تَعْمِيْرًا أَيْ أَطاَلَ عُمْرَهُ,وَتَدْخُلُ لاَمُ
الْقَسَمِ عَلَى الْمَصْدَرِ الْمَفْتُوْحِ فَتَقُوْلُ لَعَمْرُكَ لَأَفْعَلَنَّ,وَالْمَعْنَى
وَحَيَاتِكَ وَبَقَائِكَ,وَمِنْهُ اشْتِقَاقُ الْعُمْرَى,وَأَعْمَرْتُهُ الدَّارَ
بِالْأَلِفِ جَعَلْتُ لَهُ سُكْنَاهَا. (المصباح المنير في غريب شرح الكبير ٢|٤٢٩)
Ammara
ta’miran,yaitu memperpanjang umurnya,lam sumpah biasa masuk pada mashdar yang
fathah fa fiilnya,kau ucapkan la amruka
la af’alanna,artinya demi hidupmu dan demi dirimu, dan dari kata inilah diambil
kata umra. A’martuhu ad dar dengan alif ta’diyyah,(artinya) aku jadikan
nya sebagai tempat ia berdiam.
Dalam beberapa
literatur, istilah ‘imarah al-masjid seringkali diartikan dengan
meramaikan atau menghidupkan suasana masjid dengan berbagai kegiatan keagamaan.
Namun, jika dilihat arti yang sebenarnya, ‘imarah’ diambil dari kata
amara amran yang berarti menghuni dan mendiami sebagaimana dalam kitab lughat Mishbah
Munir berikut:
عَمَرَ الْمَنْزِلَ بِأَهْلِهِ عَمْرًا
مِنْ بَابِ قَتَلَ فَهُوَ عاَمِرٌ,وَسُمِيَ بِالْمُضَارِعِ,وَعَمَرَهُ أَهْلُهُ سَكَنُوْهُ
وَأَقاَمُوْا بِهِ يَتَعَدَّى وَلاَ يَتَعَدَّى,وَعَمَرْتُ الدَّارَ عَمْرًا أَيْضاً
بَنَيْتُهاَ وَالْإِسْمُ الْعِماَرَةُ بِالْكَسْرِ. (المصباح المنير في غريب الشرح
الكبير ٢|٤٢٩)
“Amara
almanzil bi ahlihi (menetapi/ tinggal dengan keluarganya disuatu tempat),dari
bab qatala,maka ia adalah amir (penghuni),dan biasa dipakai nama dari fiil
mudlarinya (yaitu ya’mur).Amarahu ahluhu,(artinya) mereka menempatinya dan
berdiam didalamnya.Bisa memiliki obyek dan bisa pula tidak.Amartu ad dar
(artinya) membangun,dan nama mashdarnya ialah imarah “.
Membangun dalam
pengertian konstruksi bangunan fisik maupun membangun secara non-fisik—‘Imarah
al-masjid merupakan wewenang nadhir berarti menjaga serta memajukan
atau mengembangkan secara utuh masjid baik fisik maupun non-fisik.
Dalam konteks hukum
masjid, penjelasan mengenai ‘imarah dapat mengutip pendapat catatan kaki
Qalyubiy pada syarah Jalaluddin al-Mahalli dalam karyanya Kanzur Raghibin
yang merupakan komentar (syarh) kitab Minhajut Thalibin
فُرُوْعٌ : عِمَارَةُ الْمَسْجِدِ هِيَ الْبِناَءُ وَالتَّرْمِيْمُ وَالتَّجْصِيْصُ لِلْإحْكاَمِ وَالسَّلاَلِمِ وَالسَّوَارِي وَالْمَكاَنِسِ وَالْبَواَرِي لِلتَّظْلِيْلِ أَوْ لِمَنْعِ صَبِّ الْمَاءِ فِيْهِ لِتَدْفَعَهُ لِنَحْوِ شاَرِعٍ وَالْمَساَحِي وَأُجْرَةُ الْقَيِّمِ وَمَصَالِحِهِ تَشْمُلُ ذَلِكَ,وَمَا لِمُؤَذِّنٍ وَإِمَامٍ وَدُهْنٍ لِلسِّرَاجِ وَقَنَادِيْلَ لِذَلِكَ , وَالْوَقْفُ مُطْلَقاً يُحْمَلُ عَلَى الْمَصَالِحِ,وَلاَ يَجُوْزُ صَرْفُ شَيءٍ مِنَ الْوَقْفِ وَلَوْ مُطْلَقاً فِي تَزْوِيْقٍ وَنَقْشٍ وَنَحْوِهِماَ بَلِ الْوَقْفُ عَلَى ذَلِكَ باَطِلٌ,وَقَالَ شَيْخُنَا بِصِحَّةِ الْوَقْفِ عَلَى السُّتُوْرِ وَلَوْ بِحَرِيْرٍ وَإِنْ كاَنَ حَرَاماً ,وَفِيْهِ نَظَرٌ ثُمَّ رَجَعَ عَنْهُ وَلاَ يَجُوْزُ صَرْفُ ماَ وُقِفَ لِشَيءٍ مِنْ ذَلِكَ عَلَى غَيْرِهِ مِنْهُ ,وَلَا يَجُوْزُ سِرَاجٌ لاَ نَفْعَ فِيْهِ وَلَوْ عُمُوْماً وَجَوَّزَهُ ابْنُ عَبْدِ السَّلاَمِ احْتِرَاماً لَهُ وَدَفْعِ الْوَحْشَةِ بِالظُّلْمَةِ
) القليوبى ٣|
۱۰٩ (
Cabang masalah:imarah
masjid itu ialah:membangun, memperbaiki,membuat dinding untuk memperkokoh, tangga,
tiang dan sapu pembersih,serta atap (payon) untuk berteduh atau untuk mencegah
kucuran air kedalamnya agar supaya dapat mengalirkannya keseumpama jalan
umum,dan selokan, serta upah qayyim (pengurus waqaf),dan (semua) mashalih
masjid yang mencakup semua itu,dan juga upah muadzin dan imam dan (ongkos beli)
minyak untuk penerangan dan lampu, demikian pula.Waqaf secara umum diartikan
kepada mashalih.
Tidak boleh
memakai dana waqaf sedikitpun –walau waqaf umum- untuk menghiasi dan mengukir
(masjid),bahkan waqaf untuk hal demikian itu batal.Guru kami berpendapat
bolehnya waqaf untuk kelambu walau dengan kain sutera walaupun itu haram.Namun
pendapat tersebut perlu koreksi dan (akhirnya) guru kami kembali menarik
pendapatnya tersebut.
Tidak boleh
memakai hasil waqaf untuk sesuatu yang telah disebutkan bagi hal yang lain.Dan
tidak boleh pula (membeli atau mengadakan) lampu yang tidak bermanfaat (artinya
berlebihan) walaupun bersifat umum,namun dibolehkan oleh ibnu Abd as Salam
dengan dasar untuk menghormati masjid dan menolak kekumuhan karena suasana
gelap.
Catatan:perlu
diperhatikan adalah kata mashalih sering diartikan secara sembarangan
tanpa dasar yang jelas sehingga seakan akan kata tersebut tidak memiliki
batasan yang kongkrit dalam fiqh.Hendaknya diketahui bahwa kata mashalih
memiliki arti beragam menurut setiap bab fiqh,tidak hanya arti kata yang
dipandang dari segi kebahasaan saja,namun harus dilihat arti dalam konteks
khusus,yaitu apakah kata ini berarti maslahat umum atau mashlahat
khusus?sebagai contoh arti mashalih secara umum berikut ini:
فَالْمَالُ لِمَصَالِحِ الْمُسْلِمِيْنَ,يَعْنِي
مَا فِيْهِ مَصْلَحَةٌ عَامَةٌ كَإِحْياَءِ مَعَالِمِ الدِّيْنِ وَأَرْزَاقِ
الْقُضاَةِ وَالْمُعَلِّمِيْنَ وَبِنَاءِ الْمَساَجِدِ وَإِطْعَامِ الْجاَئِعِ وَنَحْوِهَا
(بغية المسترشدين ۱٨٣ )
Harta digunakan
bagi mashalih muslimin,yaitu segala sesuatu yang didalamnya terdapat
keuntungan /kepentingan umum, seperti membangun ciri ciri agama (artinya
memperluas syiar Islam),upah/gaji para qadli dan para pengajar,membangun
masjid,memberi makan bagi yang kelaparan dan seumpamanya.
Arti mashalih
secara khusus,sebagai berikut:
اَلْمَوْقُوْفُ عَلَى الْمَسْجِدِ
أَوْ عَلَى مَصَالِحِهِ يُصْرَفُ مِنْهُ لِلْمُؤَذِّنِ وَالْإِماَمِ وَالدُّهْنِ
وَنَحْوِهِمْ عَلَى الْمُعْتَمَدِ فِي الْفَتْوَى بِخِلاَفِ الْمَوْقُوْفِ عَلَى
عِمَارَتِهِ لاَ يُصْرَفُ مِنهُ شَئٌ لِذَلِكَ (فتاوى ابن زياد بهامش بغية
المسترشدين ص ۱٤٢
)
Barang waqaf
untuk masjid atau bagi mashalih masjid dapat digunakan untuk gaji
muaddzin,imam,beli minyak dan lainnya, menurut pendapat yang dapat dipegang
dalam fatwa.Berbeda dengan barang waqaf untuk imarah masjid,maka tidak
boleh digunakan sedikitpun untuk yang tersebut (diatas).
Penting untuk
diketahui adalah,bahwa dana masjid itu ada tiga macam bentuk,yaitu:
a.benda waqaf,seperti
misalnya tikar,karpet,lampu dan lainnya
b.hasil dari
lahan waqaf yang dimiliki oleh masjid
c.dana
pemberian berupa shadaqah,infaq,hadiah,hibah,wasiat dan sebagainya.
Benda waqaf
seperti contoh pada poin a,itu berhubungan dengan hukum waqaf,yaitu tidak boleh
dijualbelikan,atau diberikan atau dipinjam atau lainnya.Dan yang berada pada
poin b,harus sesuai dengan syarat waqif dalam pengelolaannya. Sedangkan benda
masjid hasil dari infaq,shadaqah dan pemberian mutabarry (sukarelawan)
lainnya boleh untuk dijual dan lain sebagainya.
Ibarat Mahallay
syarh Minhaj dengan catatan kaki dari Umairah,berikut ini:
(وَالْأَصَحُّ
جَوَازُ بَيْعِ حُصُرِ الْمَسْجِدِ) الْمَوْقُوْفَةِ (إِذَا بَلِيَتْ وَجُدُوْعُهُ
إِذَا انْكَسَرَتْ وَلَمْ تَصْلُحْ إِلاَّ لِلإِحْرَاقِ) لِئَلاَ
تَضِيْعَ,وَيُصْرَفُ ثَمَنُهَا فِي مَصَالِحِ الْمَسْجِدِ.وَالثَّانِي لاَ تُبَاعُ
بَلْ تُتْرَكُ بِحَالِهَا أَبَدًا.وَحُصُرُهُ الَّتِي اشْتُرِيَتْ أَوْ
وُهِبَتْ لَهُ وَلَمْ يُوْقَفْ يَجُوْزُ
بَيْعُهَا عِنْدَ الْحَأجَةِ جَزْمًا. قال عميرة في
حاشيته (قول الشارح الموقوفة) أي بأَنْ يَصْرَحَ بِوَقْفِهَا لَفْظًا,وَلاَ
يَكْفِي الشِّرَاءُ لِجِهَةِ الْوَقْفِ,وَحِيْنَئِذٍ فَالْمَوْجُوْدُ الآنَ
بِالْمَسَاجِدِ يُبَاعُ عِنْدَ الْحَاجَةِ لأَنَّهُمْ لاَ يَصْرَحُوْنَ فِيْهِ
بِوَقْفِيَّةٍ (شرح المحلي على المنهاج
بحاشية القليوبي وعميرة ٣|۱۰٨)
(pendapat
ashab yang lebih populer itu boleh menjual tikar masjid) yang diwaqafkan (bila
telah busuk/rusak,dan juga tiang kayunya bila telah pecah dan tidak ada lagi
gunanya kecuali untuk kayu bakar) sehingga tidak menjadi sia sia,dan hasilnya
digunakan untuk kemashlahatan masjid.Dan pendapat kedua tidak boleh dijual
namun dibiarkan saja sebagaimana adanya selamanya.Dan tikar masjid yang
dibeli atau hibah pemberian dan bukan benda waqaf,maka boleh dijual bila memang
diperlukan tanpa perbedaan pendapat.
Umairah
berkomentar dalam catatan kakinya: (ucapan penjelas, ‘yang diwaqafkan’) yaitu
waqif memberikan penjelasan status waqafnya secara lisan,dan tidak mencukupi pembelian
untuk pihak waqaf.Dengan demikian,benda yang (biasa) terdapat di masjid
sekarang ini boleh dijual bila diperlukan,karena mereka (para pewaqaf) tidak
menjelaskan status kewaqafan nya.
Penulis perhatikan
bahwa sering terjadi kerancuan dalam mengartikan dana masjid tersebut,sehingga
tidak ditempatkan dalam posisinya masing masing.Dan dengan keterangan diatas
semoga dapat memberi pengertian para ihkwan sekalian, terutama tentang status benda
benda yang berada dalam masjid.
Kesimpulan
benda masjid termasuk bangunan fisik masjid ada dua kategori,yaitu:
a.benda tersebut
barang waqaf,maka berjalan padanya hukum waqaf yang mengikat.
b.benda
tersebut bukan benda waqaf,maka penggunaannya lebih leluasa dan bebas.
Dan kita
maklumi bersama,bahwa bangunan fisik masjid serta benda benda di dalamnya
dikebanyakan daerah tidak termasuk barang waqaf,tapi merupakan barang hasil
sumbangan,gotong royong yang berarti benda hibah atau shadaqah biasa.Oleh sebab
itu tidak perlu diributkan bila ada barang masjid yang dijual karena telah
lapuk atau rusak misalnya,agar bisa diganti dengan barang yang baru.
Yang perlu pula
mendapat perhatian lebih adalah kesalah fahaman tentang uang kas masjid,yang
banyak menimbulkan masalah dibeberapa tempat.Dan ini karena tidak adanya
pengertian dari para pengelola masjid tentang status barang barang masjid,yang
menyamaratakan antara gulatul waqfi (hasil benda waqaf) dengan mal
(dana) masjid,yang padahal keduanya memiliki perincian hukum masing masing yang
berbeda.Sesungguhnya yang menjadi bahasan utama para ulama tentang tasharruf
dana masjid itu adalah dana yang dihasilkan dari barang waqaf untuk
masjid,bukan dana masjid yang merupakan hasil sumbangan dan infaq para jama’ah
masjid tiap jum’at.
Sebagaimana
telah dimaklumi bahwa masjid berstatus waqaf tahriri,artinya lepas bebas
dari kepemilikan manusia,dan kembali menjadi milik mutlak Allah.Dan karena
status inilah -seperti juga semua benda waqaf tahriri seperti madrasah,lahan
pekuburan,lembaga dan lain sebagainya- ,masjid berhak untuk menerima waqaf dan
dapat memiliki sesuatu seperti manusia. Namun walau demikian,masjid bukanlah
manusia,karena itu tidak dapat menerima zakat (karena bukan mustahiq),dan tidak
dapat melakukan amal tabarru’ (sosial),seperti meminjamkan, memberi dan
lainnya.Karena masjid disamakan kedudukannya dengan anak asuhan yang belum
baligh,yaitu ghairu ahliyyatit tasharruf (tidak memiliki wewenang
pengurusan/pengolahan).
Sehubungan
dengan dana masjid,maka yang dapat diolah dan dikembangkan adalah lahan waqaf
masjid,yang merupakan wewenang dari nadhir masjid.Sebab,walaupun lahan
waqaf itu milik masjid,namun bertalian erat dengan waqif yang syaratnya harus
diikuti.Ini tentu berbeda dengan dana lain,seperti kas masjid yang merupakan
hasil hibah dan infaq shadaqah para jama’ah.Dana tersebut tidak bisa digunakan
kecuali untuk segala hal yang bertalian dengan mashalih masjid,yaitu
fisik masjid dan seputar shalat dan adzan,serta fasilitas lain yang dibutuhkan
masjid seperti lampu,tempat air wudlu dan lainnya.
Dan adapun
untuk dipinjam atau diberikan pada orang lain, maka itu merupakan tindakan
pemaksaan terhadap masjid, sebab tadi telah disebutkan,bahwa masjid diserupakan
dengan anak belum baligh yang belum memiliki wewenang untuk pengurusan dan
pengolahan harta.Bila demikian,berarti orang yang berani untuk meminjam atau mengambil
dana kas masjid dengan dalih apapun telah melakukan tindakan ghashab
(pengambilan secara paksa) yang diharamkan dalam ajaran Islam.
Ada sebagian
yang berdalih dengan ibarat berikut tentang dana kas masjid itu benda waqaf
sehingga dapat diberlakukan hukum waqaf padanya.Berikut ibaratnya:
قَالَ الشَّيْخُ أَبُو
مُحَمَّدٍ وَكَذَا لَوْ أَخَذَ مِنَ النَّاسِ شَيْئاً لِيَبْنِيَ بِهِ زَاوِيَةً أَوْ
رِبَاطًا فَيَصِيْرُ كَذَلِكَ بِمُجَرَّدِ بِنَائِهِ (قَوْلُهُ لِيَبْنِي بِهِ زَاوِيَةً)
وَاشْتَهَرَ عُرْفًا فِي الزَّاوِيَةِ أَنَّهاَ تُرَادِفُ الْمَسْجِدَ وَقَدْ تُرَادِفُ
الْمَدْرَسَةَ وَقَدْ تُرَادِفُ الرِّباَطَ فَيُعْمَلُ فِيْهَا بِعُرْفِ مَحَلِّهاَ
الْمُطَّرِدِ وَإِلاَّ فَبِعُرْفِ أَقَرَبِ مَحَلٍّ إِلَيْهِ كَمَا هُوَ قِيَاسُ نَظَائِرِهِ
ا هـ حج أَقُوْلُ وَعَلَيْهِ فَلَوْ أَخَذَ مِنْ جَمَاعَةٍ فِي بِلاَدٍ مُتَفَرِّقَةٍ
مَثَلاً لِيَبْنِيَ زَاوِيَةً فِي مَحَلَّةِ كَذَا كَانَ الْعِبْرَةُ بِعُرْفِ
مَحَلَّةِ الزَّاوِيَةِ دُوْنَ الدَّافِعِيْنَ لَكِنْ هَلْ يُشْتَرَطُ عِلْمُ الدَّافِعِيْنَ
بِعُرْفِ مَحَلَّةِ الزَّاوِيَةِ حَتَّى يَصِحَّ ذَلِك؟َ وَلَوْ
لَمْ يَقْصِدِ اْلآخِذُ مَحَلاَّ بِعَيْنِهِ حَالَ الْأَخْذِ لِبِناَءِ الزَّاوِيَةِ
وَيَتَخَيَّرُ فِي الْمَحَلِّ الَّذِي يَبْنِي فِيْهِ أَوْ لاَ بُدَّ مِنَ التَّعْيِيْنِ
؟ فِيْهِ نَظَرٌ وَلاَ يُبْعَدُ الصِّحَةُ )نهاية المحتاج ٥|ـ
٣۷٢)
Berkata syekh Abu
Muhammad (Al Juwainy):begitu pula bila ia mengambil sesuatu dari orang lain
untuk membangun zawiyah atau ribath,maka jadi waqaf dengan
membangunnya. (ucapannya:untuk membangun zawiyah),telah masyhur menurut urf,bahwa
zawiyah sama arti dengan masjid,dan terkadang berarti madrasah dan terkadang
berarti pondok/panti. Maka dapat dipergunakan artinya menurut urf tempat yang
telah baku,dan bila tidak ada maka dengan urf tempat yang paling dekat
dengannya,sebagaimana perbandingan dengan kasus kasus serupa.Menurutku;dengan
demikian bila seseorang mengambil dari beberapa tempat yang berbeda misalnya
untuk membangun zawiyah,maka yang diperhitungkan adalah urf dari tempat
zawiyah,bukan urf tempat pemberi.Tapi apakah ada syarat harus
mengetahuinya sipemberi tentang urf tempat zawiyah tersebut agar supaya jadi
sah?.Dan bila sipengambil tidak bermaksud suatu tempat tertentu ketika
mengambil sumbangan untuk membangun zawiyah dan memilih tempat yang akan
dibangun diatasnya,atau harus ada ketentuan?.Ini perlu pertimbangan,namun tidak
jauh (bila disebut) sah.
Saya sebut
dalih karena:
a.ini masalah
mengumpulkan sumbangan bagi pembangunan masjid tanpa ikrar (shighat)
waqaf,bukan masalah kas masjid. b.pendapat juwainy ini pendapat dlaif,yang
menyalahi pendapat ashab tentang harusnya ada ikrar (ucapan) dalam soal waqaf.
Dan oleh karena itulah,tafri’ masalah inipun berkonotasi dlaif, seperti dilihat
dari ungkapan ‘wala yub’adu’,yang merupakan shighat tamridl
(ungkapan pelemah).
لَيْسَ لِلنَّاظِرِ
الْعاَمِّ وَهُوَ الْقَاضِى أَوِ الْواَلِى النَّظَرُ فِى أَمْوَالِ اْلأَوْقاَفِ
وَأَمْوَالِ الْمَساَجِدِ مَعَ وُجُوْدِ النَّظَرِ الْخاَصِّ الْمُتَأَهِّلِ فَحِيْنَئِذِ
فَماَ يَجْمَعُهُ النَّاسُ وَيَبْذُلُوْنَهُ لِعِماَرَتِهَا بِنَحْوِ نَذَرٍ أَوْ
هِبَةٍ وَصَدَقَةٍ مَقْبُوْضِيْنَ بِيَدِ النَّاظِرِ أَوْ وَكِيْلِهِ كاَلسَّاعِى
فِى الْعِمَارَةِ بِإِذْنِ النَّاظِرِ يَمْلِكُهُ الْمَسْجِدِ وَيَتَوَلَّى النَّاظِرُ
الْعِمَارَةَ بِالْهَدَمِ وَالْبِنَاءِ وَشِرَاءِ اْلآلَةِ وَاْلإِسْتِئْجاَرِ فَإِنْ
قَبَضَ السَّاعِى بِلاَ إِذْنِ النَّاظِرِ فَهُوَ بَاقٍ عَلَى مِلْكِ بَاذِلِهِ فَإِنْ
أَذِنَ فِى دَفْعِهِ لِلنَّاظِرِ أَوْ دَلَّتْ قَرِيْنَةٌ أَوِ اطَّرَدَتِ الْعَادَةُ
بِدَفْعِهِ دَفَعَهُ وَصَارَ مِلْكاً لِلْمَسْجِدِ حِيْنَئِذٍ فَيَتَصَرَّفُ فِيْهِ
كَمَا مَرَّ وَإِنْ لَمْ يَأْذَنْ فِى الدَّفْعِ لِلنَّاظِرِ فَالْقَابِضُ أَمِيْنُ
الْبَاذِلِ فَعَلَيْهِ صَرْفُهُ لِلْأُجَرَاءِ وَعَنِ اْلآلَةِ وَتَسْلِيْمُهاَ لِلنَّاظِرِ
وَعَلَى النَّاظِرِ الْعِمَارَةُ.هَذَا إِنْ جَرَتِ الْعَادَةُ أَوِ الْقَرِيْنَةُ
أوِ اْلِإذْنُ بِالصَّرْفِ كَذَلِكَ أَيْضاً وَإِلاَّ فَإِنْ أَمْكَنَتْ مُرَاجَعَةُ
الْبَاذِلِ لَزِمَتْ وَإِنْ لَمْ تُمْكِنْ فَالَّذِى أَرَاهُ عَدَمُ جَوَازِ الصَّرْفِ
حِيْنَئِذٍ لِعَدَمِ مِلْكِ الْمَسْجِدِ لَهاَ إِذْ لاَ يَجُوْزُ قَبْضُ الصَّدقَةِ
إِلاَّ بِإِذْنِ الْمُتَصَدِّقِ وَقَدِ انْتَفَى هُنَا وَلْيَتَفَطَّنْ لِدَقِيْقَةٍ
وَهُوْ أَنَّ مَا قُبِضَ بِغَيْرِ إِذْنِ النَّاظِرِ إِذَا ماَتَ بَاذِلُهُ قَبْلِ
قَبْضِ النَّاظِرِ أَوْ صَرْفِهِ عَلَى مَا مَرَّ تَفْصِيْلُهُ يُرَدُّ لِوَارِثِهِ
إِذْ هُوَ بَاقٍ عَلَى مِلْكِ الْمَيِّتِ وَبِمَوْتِهِ بَطَلَ إِذْنُهُ فِى صَرْفِه (بغية
المسترشدين ص ٦٥ (
Tidak
diperkenankan bagi nadhir ‘am,yaitu qadli atau wali (pejabat) untuk
mengekspansi harta waqaf dan aset masjid bila masih ada nadhir khas
yang ahli.Dengan demikian,apa yang dikumpulkan orang dan mereka berikan untuk
pembangunan masjid dengan cara nadzar,hibah atau shadaqah yang terkumpul
ditangan nadhir atau wakilnya,seperti juga pencari dana yang diberi idzin oleh
nadhir,maka menjadi milik masjid,dan nadhir berperan untuk merenovasi bangunan,membeli
alat (pertukangan) dan menyewa.Bila seorang pencari dana menerima (sumbangan)
tanpa idzin nadhir,maka dana tersebut tetap jadi milik pemberi.Dan bila pemberi
memberi idzin untuk memberikannya pada
nadhir,atau ada indikasi atau telah menjadi kebiasaan yang berlaku untuk
menjadi wakil memberikan pada nadhir,maka pencari dana memberikannya pada
nadhir,dan dana itu jadi milik masjid.Dan nadhir mulai bekerja mempergunakan
dana itu sebagaimana telah lalu perinciannya.Dan bila sipemberi tidak memberi
idzin untuk memberikannya pada nadhir,maka yang memegang dana itu ialah orang
kepercayaan sipemberi.Maka dialah yang boleh untuk menggunakan dana tadi untuk
upah para pekerja dan alat pertukangan serta memberikannya pada nadhir.Dan
nadhir harus (mulai) membangun.
Ini bila memang
telah berlaku adat atau ada indikasi atau idzin penggunaan seperti itu.Dan bila
tidak,maka bila masih bisa muraja’ah (melakukan pengulangan) sipemberi,maka
wajib,dan bila tidak mungkin, maka menurutku tidak boleh menggunakan dana
tersebut sebab bukan milik masjid.Karena tidak boleh mengambil sumbangan
kecuali dengan idzin yang memberi, sedang disini tidak ada. Dan hendaklah hati
hati terhadap masalah samar,yaitu dana yang diambil tanpa idzin nadhir,bila
sipemberi mati sebelum diterima oleh nadhir atau belum digunakan menurut
perincian yang lalu,harus dikembalikan pada ahli warits sipemberi,sebab dana
tersebut masih merupakan milik sipemberi,dan dengan kematiannya batal idzinnya
untuk menggunakannya.
**********
Sesungguhnya
yang dibutuhkan masjid adalah para mushalli, yang tentu berhubungan pula
dengan muadzin dan imam serta fasilitas untuk bersuci,pembangunan fisik masjid
dan juga biaya untuk lampu sebagai
penerangan.Adapun selain daripada hal tersebut,maka masjid tidak
membutuhkannya.Oleh karena itu sungguh sangat berani para pengelola masjid yang
tanpa berdasar pada ilmu memakai dana masjid untuk biaya perayaan maulid,rajab
dan amplop da’i undangan.Sungguh masjid tidak membutuhkan semua itu,dan hal
demikian bukan merupakan fungsi masjid.Bila para pengelola masjid tidak segera
menghentikan praktek seperti itu,maka sangat ditakutkan akan menimbulkan
bencana bagi dirinya,karena berani untuk melakukan ghashab terhadap dana
masjid yang merupakan tempat yang disucikan dan diagungkan Allah.
Sebab itulah
perlu untuk diadakan penataran dan pelatihan para pengurus masjid,yang
merupakan tugas pemerintah untuk melakukannya.Semua itu perlu segera dilakukan
demi untuk ketenangan dan keamanan serta penjagaan terhadap aset umat dari
praktek penyelewengan.Salah satunya seperti ungkapan dibawah ini,yang entah
darimana dapat mengambil kesimpulan rancu seperti itu,ini ungkapannya yang
penulis pernah baca dalam sebuah buku:
Dengan
demikian, adalah sah bagi nadzir mengadakan kegiatan bisnis demi mengembangkan
pembangunan fisik masjid, ataupun bertujuan bahwa hasil dari bisnisnya itu
dapat dijadikan upah (honor) bagi staf pengurus masjid, mulai dari gajih ketua
pengurus masjid, tukang membersihkan karpet masjid, tukang sapu, Offis Boy
(OB), tukang parkir, sampai dengan penjaga sandal. Atau pun hasilnya dapat
dijadikan sebagai dana bisyarah atau honor bagi khatib, muaddzin (tukang adzan),
guru, pencerahan, dan lain-lain.
Jika kekayaan
masjid sudah lebih dari kadar kesejahteraan dan kemakmuran, sudah lebih dari
cukup untuk membayar pengurus dan merenovasi bangunan yang rusak, menurut Ustadz
Mukti Ali el-Qum, maka dana lebihannya dapat digunakan untuk membangun
fasilitas umum seperti rumah sakit, sekolahan, dan lain-lain. Termasuk juga
dalam hal ini adalah menyelenggarakan kegiatan-kegiatan sosial, seperti baksos
(bakti sosial), menyembelih hewan kurban yang disedekahkan ke fakir dan miskin
yang membutuhkan.
Ungkapan diatas
merupakan salah satu ungkapan menyesatkan yang keluar dari orang yang berlagak
pintar,tapi sebenarnya ia hanyalah orang bodoh yang merasa pintar.Oleh sebab
itu, sebagai khatimah (akhir) dari bahasan ini,perlu kita ketahui siapa dan apa
tugas dari nadhir masjid.
Nadhir ناظر
Adalah
seseorang atau kelompok (lembaga) yang memiliki wewenang dalam menjaga,mengolah
dan mengurus masjid serta lahan dan segala bentuk asetnya.
Nadhir
disyaratkan orang yang:a.adalah عدالة b.kifayah كفاية
‘Adalah,ialah sifat
seseorang yang tidak pernah melakukan dosa besar dan tidak terlihat melakukan
dosa kecil,walaupun mungkin ia berbuat demikian.Ini disebut ‘adalah masthurah
(tertutup).
Kifayah,ialah
kemampuan pada bidangnya,yaitu orang yang memiliki kredibilitas dan
kapabilisitas terhadap tugasnya sebagai nadhir.
Tugas nadhir
Adapun tugasnya
adalah sebagai berikut:
وَوَظِيْفَةُ النَّاظِرِ
الْعِمَارَةُ وَاْلِإجاَرَةُ وَجَمْعُ الْغُلَّةِ وَخَلْطُهَا وَتَفْرِيْقُهَا
علَى أَهْلِهَا وَالتَّوْلِيَةُ وَالْعَزْلُ فِي التّدْرِيْسِ (فتاوى ابن زياد
بهامش بغية المسترشدين ص ١٨٥)
Tugas nadhir
ialah imarah,sewa,mengumpulkan hasil lahan waqaf,mencampurkannya,membagikannya
pada mustahiqnya, mengangkat dan memecat dalam hal pengajaran.
Perlu diketahui
bahwa ibarat diatas berkaitan dengan tugas nadhir dalam mengelola lahan
produktif masjid yang memiliki mashraf (tujuan alokasi dana)
tertentu.Jadi bukan tugas umum tentang semua aset masjid,kecuali pada kata imarah,yang
telah disinggung pada awal bahasan.
Yang perlu
digaris bawahi ialah bahwa nadhir harus mempertimbangkan segi ghibthah
(keuntungan ) dan mashlahat masjid dalam tugasnya.
وَظِيْفَةُ الْوَلِي فِيْمَا
تَوَلَّى فِيْهِ حِفْظُهُ وَتَعَهُّدُهُ وَالتَّصَرُّفُ فِيْهِ بِالْغِبْطَةِ
وَالْمَصْلَحَةِ وَصَرْفُهُ فِي مَصَارِفِهِ (بغية المسترشدين ص ١۷٤ )
Tugas seorang
pengelola dalam benda yang dikelolanya ialah menjaga,merawat dan mengolahnya
berdasarkan pada ghibthah (keuntungan) dan mashlahat serta memberikannya
pada alokasinya.
Dalam hal
ini,seorang nadhir selain harus bisa mencari cara untuk memaksimalkan
fungsi masjid dengan memperbanyak pengunjungnya,juga harus bisa menimbang
antara pengeluaran dan pendapatan masjid,sehingga tidak akan menimbulkan
pengeluaran dana yang tidak diperlukan,yang berakibat terjadi pemborosan dana
masjid.1
D.penghuni
masjid
Allah berfirman:
إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللهِ مَنْ آمَنَ بِاللهِ
وَالْيوْمِ الآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلَوةَ وَأَتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلاَّ
اللهَ, فَعَسَى أُوْلَئِك أَنْ يَكُوْنُوْا مِنَ الْمُهْتَدِيْنَ (التوبة:١٨ )
‘Hanyalah
orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir serta melaksanakan shalat dan
menunaikan zakat dan tidak memiliki perasaan takut selain kepada Allah,yang
boleh untuk menghuni dan mendiami masjid-masjid Allah.Maka mereka yang demikian
itulah yang akan termasuk orang yang mendapat petunjuk’.(Qs.At Taubah:18)
1.untuk
mengenal lebih jauh tentang waqaf,silahkan rujuk kembali risalah waqaf yang
telah penyusun tulis
Namun
demikian,boleh bagi orang kafir masuk masjid,jika memang ada keperluan.Dalam
sebuah hadist dari Abu Hurairah ra :
بَعَثَ رَسَوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ خَيْلاً قِبَلَ نَجْدٍ فَجَاءَتْ بِرَجُلٍ مِنْ بَنِي
حَنِيْفَةَ يُقاَلُ لَهُ ثَمَامَةُ بْنُ أَثاَلَ فَرَبَطُوْهُ بِسَارِيَةٍ مِنْ
سَوَارِي الْمَسْجِدِ (رواه البخاري)
“Rasulallah
shallallahu alaihi wa alihi wa salam pernah mengirim pasukan berkuda ke daerah
Najd,kemudian pasukan tersebut datang dengan membawa seorang laki-laki dari
Bani Hanifah yang bernama Tsumamah bin Atsal,lalu merekapun mengikat orang
tersebut pada salah satu dari tiang-tiang masjid’. ( HR Bukhari )
Sebagaimana boleh orang Islam untuk shalat digereja dalam keadaan
tertentu,sebagai berikut:
Dari Abdullah
bin Abbas ra :
وكَاَن َابْنُ عَبّاَسٍ يُصَلِّى فِي
الْبِيْعَةِ إِلاَّ بِيْعَةً فِيْهَا تَمَاثِيْلُ (رواه البخاري)
“
Bahwasanya Ibnu Abbas ra melakukan sholat di gereja , kecuali gereja yang di
dalamnya ada patung. “ ( HR. Bukhari )
Dalam
riwayat lain disebutkan bahwa :
“ Jika
di dalamnya ada patung-patung Abdullah bin Abbas ra keluar dan shalat di bawah
guyuran hujan. “
Namun zaman sekarang hampir tidak ada gereja yang kosong dari
patung,terutama patung yesus yang disalib telanjang.
Shalat di masjid bertingkat
فَالِاخْتِيَارُ
أَنْ يَكُونَ مُسَاوِيًا لِلنَّاسِ,وَلَوْ كَانَ أَرْفَعَ مِنْهُمْ أَوْ أَخْفَضَ
لَمْ تَفْسُدْ صَلَاتُهُ وَلَا صَلَاتُهُمْ. وَلَا بَأْسَ أَنْ يُصَلِّيَ
الْمَأْمُومُ مِنْ فَوْقِ الْمَسْجِدِ بِصَلَاةِ الْإِمَامِ فِي الْمَسْجِدِ إذَا
كَانَ يَسْمَعُ صَوْتَهُ، أَوْ يَرَى بَعْضَ مَنْ خَلْفَهُ (الأمّ ١|١٥٢)
Maka sebaiknya posisi imam sepadan dengan ma’mum,dan bila (posisi)
imam lebih tinggi dari ma’mum atau lebih rendah, shalatnya dan shalat ma’mum
tidak jadi batal.Dan tidak mengapa seorang ma’mum shalat diatas masjid
mengikuti shalat imam dalam masjid bila ma’mum bisa mendengar suara imam atau
melihat sebagian ma’mum yang lain.
لِلْإِمَامِ وَالْمَأْمُومِ فِي
الْمَكَانِ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ (أَحَدُهَا) أَنْ يَكُونَا فِي مَسْجِدٍ فَيَصِحُّ
الِاقْتِدَاءُ سَوَاءٌ قَرُبَتْ الْمَسَافَةُ بَيْنَهُمَا أَمْ بَعُدَتْ لِكِبَرِ
الْمَسْجِدِ وَسَوَاءٌ اتَّحَدَ الْبِنَاءُ أَمْ اخْتَلَفَ كَصَحْنِ الْمَسْجِدِ وَصُفَتِهِ
وَسِرْدَابٍ فِيهِ وَبِئْرٍ مَعَ سَطْحِهِ وَسَاحَتِهِ وَالْمَنَارَةِ الَّتِي
هِيَ مِنْ الْمَسْجِدِ تَصِحُّ الصَّلَاةُ فِي كُلِّ هَذِهِ الصُّوَرِ وَمَا
أَشْبَهَهَا إذَا عَلِمَ صَلَاةَ الْإِمَامِ وَلَمْ يَتَقَدَّمْ عَلَيْهِ سَوَاءٌ
كَانَ أعلا مِنْهُ أَوْ أَسْفَلَ وَلَا خِلَافَ فِي هَذَا وَنَقَلَ أَصْحَابُنَا
فِيهِ إجْمَاعَ الْمُسْلِمِينَ (شرح المهذّب ٤|١٩۷)
Imam dan ma’mum dalam posisi tempat memiliki tiga keadaan,Salah satunya imam berada dalam masjid,baik dekat jarak antara keduanya atau jauh karena besarnya masjid,dan baik tempat sama atau berbeda,seperti atap masjid,atau emperannya atau liang bawah tanah (terowongan) dalam masjid dan sumur serta tingkat atas masjid dan pelatarannya serta menara yang termasuk dalam masjid.Sah shalat dalam semua gambaran masalah ini dan yang menyerupainya,bila ma’mum mengetahui shalat imam dan tidak mendahuluinya,baik lebih tinggi (posisinya) dari imam atau lebih rendah.Dan tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini,serta ashab kami telah mencutat dalam masalah,ijma’ kaum muslim.
Kedua kitab tersebut menjelaskan
tentang sahnya shalat ma’mum di atas menara masjid yang imamnya di masjid. Hal
mana menunjukkan bahwa perbedaan ruang/tingkat di dalam masjid dianggap
kesatuan selama gerak imam dapat diketahui. Dan adapun masalah tangga dalam
masjid yang menjadi perantara antara imam dan ma’mum,maka sebagai berikut:
لاَ يُشْتَرَطُ
فِي الْمَسْجِدِ كَوْنُ الْمَنْفَذِ أَمَامَ الْمَأْمُوْمِ أَوْ بِجَانِبِهِ بَلْ
تَصِحُّ الْقُدْوةُ وَإِن كَانَ خَلْفَهُ, وَحِيْنَئِذٍ لَوْ كَانَ اْلإِمَامُ فِي
عُلُوٍ وَالْمَأْمُوْمُ فِي سُفْلٍ أَوْ عَكْسِهِ كَبِئْرٍ وَمَنَارَةٍ وَسُطْحٍ
فِي الْمَسْجِدِ وَكَانَ الْمَرْقَى وَرَاءَ الْمَأْمُوْمِ بِأَنْ لاَ يَصِلَ
إِلَى اْلإِمَامِ إِلآَّ بِازْوِرَارٍ بِأَنْ يُوَالِي ظَهْرَهُ الْقِبْلَةَ صَحَّ
اْلإِقْتِدَاءُ لإِطْلاَقِهِمْ صِحَّةَ الْقُدْوَةِ فِي الْمِسْجِدِ وَإِنْ
حَالَتِ اْلأَبْنِيَةُ الْمُتَنَافِدَةُ إلَيْه
وَإِلَى سَطْحِهِ فَيَتَناَوَلُ كَوْنَ الْمَرْقَى الْمَذْكُوْرِ أَمَامَ
الْمَأْمُوْمِ أَوْ وَرَاءَهُ أَوْ يَمِيْنَهُ أَوْشِمَالَهُ بَلْ صَرَحَ فِي
حَاشِيَتَي النِّهاَيَةِ وَالْمَحَلِّي بِعَدَمِ الضَّرَرِ وَإِنْ لَمْ يَصِلْ
إِلَى ذَلِكَ الْبِناءِ إِلاَّ بِازْوِرَارٍ وَانْعِطَافٍ......وَأَمَا اشْتِرَأطُ
أَلاَ يكُوْنَ الْمَنْفَذُ خَلْفَ الْمَأْمُوْمِ فَلَمْ يَقُلْهُ أَحَدٌ,وَلَوْ
قَالَهُ بَعْضُهُمْ لَمْ يُلْتَفَتْ لِكَلاَمِهِ لِمُخَالَفَتِهِ ِلِمَا سَبَقَ
(بغية المسترشدين ص ۷١
)
Tidak disyaratkan dalam masjid
keadaan jalan tembus harus dihadapan ma’mum atau disampingnya,namun sah
berma’mum walaupun jalan tembus itu berada dibelakangnya.Karena itu, bila imam
berada diatas dan ma’mum dibawah atau sebaliknya, seperti disumur atau di
menara dan atap masjid,dan tangga ada dibelakang ma’mum sehingga ia tidak akan
sampai pada imam kecuali dengan cara bergerak mundur,yaitu dengan menjadikan
punggungnya membelakangi kiblat,maka sah berma’mum, sebab ashab telah memberi
keumuman sahnya berma’mum dalam masjid walau terhalang oleh beberapa sekat yang
merupakan jalan tembus pada masjid dan atap masjid,sehingga keumuman kalam
ashab tersebut bisa mencakup keadaan tangga berada dihadapan ma’mum atau
belakangnya atau kanannya atau kirinya.Bahkan dijelaskan dalam hasyiyah Nihayah
dan Mahally,(bahwa yang demikian itu) tidak mengapa,walaupun ma’mum tidak dapat
mencapai bangunan itu kecuali dengan cara bergerak mundur atau berbelok..............
Adapun mensyaratkan keadaan jalan
tembus harus dihadapan ma’mum,maka yang demikian itu tidak pernah
disebutkan oleh seorangpun,dan bilapun dikatakan oleh sebagian manusia
maka tidak perlu dianggap karena telah bersanggahan dengan keterangan yang telah
lalu.
Hukum Seputar
I’tikaf
Apa yang
dimaksud dengan i’tikaf? Dalam kitab lisanul arab, i’tikaf bermakna merutinkan
(menjaga) sesuatu.Dan orang
yang mengharuskan dirinya untuk berdiam di masjid dan mengerjakan ibadah di
dalamya disebut mu’takif atau ‘akifun. Sedang dalam istilah,I’tikaf adalah berdiam diri di masjid untuk ketaatan kepada Allah.
Dan
paling utama adalah beri’tikaf pada hari terakhir di bulan Ramadlan. Aisyah radhiyallahu
‘anha mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
beri’tikaf pada 10 hari terakhir di bulan Ramadlan sampai Allah ‘azza wa
jalla mewafatkan beliau. (HR. Bukhari & Muslim).
Nabi shallallahu
‘alaihi wa alihi wa salam juga pernah beri’tikaf di 10 hari terakhir dari
bulan Syawal sebagai qadha’ karena tidak beri’tikaf di bulan Ramadlan.
(HR. Bukhari & Muslim)
- I’tikaf
disyari’atkan dilaksanakan di masjid berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ
عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ (البقرة:١٨۷ )
“(Tetapi)
janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”(QS.
Al Baqarah [2] : 187)
Demikian juga
dikarenakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa salam begitu juga
istri-istri beliau melakukannya di masjid,dan tidak pernah di rumah sama
sekali.Menurut mayoritas ulama, i’tikaf dibolehkan di semua masjid karena
keumuman firman Allah di atas (yang artinya) “Sedang kamu beri’tikaf dalam
masjid”.
Diriwayatkan
oleh Ad-Darimi dengan sanadnya dari Zuhri dari Urwah dan Said bin Musayyib dari
Aisyah dalam hadits :
وَأَنَّ
السُّنَّةَ لِلْمُعْتَكِفِ أَنْ لاَ يَخْرُجَ إِلاَّ لِحَاجَةِ الْإِنْسَانِ ,وَلاَ
اعْتِكَافَ إِلاَّ فِي مَسْجِدِ جَمَاعَةٍ
‘Sesungguhnya
sunnah bagi orang beri’tikaf, tidak keluar kecuali untuk keperluan manusia.Dan
tidak ada i’tikaf kecuali di masjid (yang ada shalat) jama’ah’.(maksudnya masjid jami’)
Adapun hadits marfu’
dari Hudzaifah ra yang mengatakan, ”Tidak ada i’tikaf kecuali pada tiga
masjid”, hadits ini masih dipersilisihkan apakah statusnya marfu’
atau mauquf.
- Dibolehkan
bagi wanita untuk melakukan i’tikaf sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa
alihi wa salam mengizinkan istri istri beliau untuk beri’tikaf. (HR.
Bukhari & Muslim)
Namun wanita
boleh beri’tikaf di sini harus memenuhi 2 syarat : [1] Diizinkan oleh suami dan
[2] Tidak menimbulkan fitnah (masalah) bagi lelaki lain
- I’tikaf tidak
disyaratkan dengan puasa. Karena Umar pernah berkata kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,”Ya Rasulullah, aku dulu pernah bernazar di masa
jahiliyah untuk beri’tikaf semalam di Masjidil Haram?” Lalu Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,”Tunaikan nadzarmu.”
Kemudian Umar beri’tikaf semalam. (HR. Bukhari dan Muslim).Dan jika beri’tikaf
pada malam hari,tentu tidak puasa. Jadi puasa bukanlah syarat untuk
i’tikaf.Maka dari hadits ini boleh bagi seseorang beri’tikaf hanya semalam.Wallahu
a’lam.
- Beberapa hal
yang membatalkan i’tikaf adalah : [1] Keluar dari masjid tanpa alasan syar’i
atau tanpa ada kebutuhan yang mubah yang mendesak (misalnya untuk mencari
makan, mandi junub , yang hanya bisa dilakukan di luar masjid), [2] Jima’
(bersetubuh) dengan istri berdasarkan Al Baqarah:187 di atas. Perbanyaklah dan
sibukkanlah diri dengan melakukan ketaatan tatkala beri’tikaf seperti berdo’a,
dzikir, dan membaca Al Qur’an dan ilmu.Semoga Allah memudahkan kita untuk
mengisi hari-hari dengan amalan shalih yang ikhlas dan sesuai dengan petunjuk
Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa salam.
Berbicara
urusan dunia di Masjid
اخْتَلَفَ
الْفُقَهَاءُ فِي الْكَلاَمِ فِي الْمَسَاجِدِ:فَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ
وَالْمَالِكِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ إِلَى كَرَاهَةِ الْكَلاَمِ فِي الْمَسَاجِدِ
بِأَمْرٍ مِنْ أُمُورِ الدُّنْيَا.قَال الْحَنَفِيَّةُ: وَالْكَلاَمُ الْمُبَاحُ
فِيهِ مَكْرُوهٌ يَأْكُل الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُل النَّارُ الْحَطَبَ فَإِنَّهُ
مَكْرُوهٌ وَالْكَرَاهَةُ تَحْرِيمِيَّةٌ، لِأَنَّ الْمَسَاجِدَ لَمْ تُبْنَ لَهُ.(فتح
القدير(١/٣٦٩)، وجواهر الإكليل (٢/٢۰٣)، وكشاف القناع (١/٣٢۷،٢/٣٦٩).
وَقَال
الْحَنَابِلَةُ :وَيُكْرَهُ أَنْ يَخُوضَ فِي حَدِيثِ الدُّنْيَا، وَيَشْتَغِلُ
بِالطَّاعَةِ مِنَ الصَّلاَةِ وَالْقِرَاءَةِ وَالذِّكْرِ.(كشاف القناع (١/٣٢۷)،(٢/٣٦٩)،وبريقة
محمودية في شرح طريقة محمدية (٣/٢٦٩-٢۷۰).
وَذَهَبَ
الشَّافِعِيَّةُ إِلَى جَوَازِ الْكَلاَمِ الْمُبَاحِ فِي الْمَسْجِدِ ،قَال
النَّوَوِيُّ: يَجُوزُ التَّحَدُّثُ بِالْحَدِيثِ الْمُبَاحِ فِي الْمَسْجِدِ
وَبِأُمُورِ الدُّنْيَا وَغَيْرِهَا مِنَ الْمُبَاحَاتِ وَإِنْ حَصَل فِيهَا
ضَحِكٌ وَنَحْوُهُ مَا دَامَ مُبَاحًا. (المجموع شرح المهذب ٢/١٨۰) وَالرَّاجِحُ هُوَ
مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ الشَّافِعِيَّةُ بِشَرْطِ أَلاَ يُؤَثِّرَ ذَلِكَ عَلَى الْمُصَلِّيْنَ
وَالْقَانِتِيْنَ فِي الْمَسْجِدِ، وَدَلِيْلُ التَّرْجِيْحِ حَدِيْثِ جَابِرِ
بْنِ سَمُرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: كَانَ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ لاَ يَقُومُ مِنْ مُصَلاَّهُ الَّذِي يُصَلِّي فِيهِ
الصُّبْحَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ، فَإِذَا طَلَعَتِ الشَّمْسُ قَامَ،
وَكَانُوا يَتَحَدَّثُونَ فَيَأْخُذُونَ فِي أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ فَيَضْحَكُونَ
وَيَتَبَسَّمُ (أخرجه مسلم).
Ahli fiqh
berbeda pendapat tentang membicarakan urusan dunia dalam masjid.Menurut ulama
hanafiyah,malikiyah dan hanabilah :Hukumnya makruh (makruh tahrim) membicarakan
hal-hal duniawi dalam masjid.Ulama Hanafiy berkata: pembicaran yang mubah
(boleh) dalam masjid itu makruh yang dapat melebur kebaikan seperti api yang
membakar kayu bakar, maka ini makruh dan makruhnya itu tahrim,karena masjid
tidak dibangun untuk hal demikian.Referensi:fathul qodir, jawahirul iklil,
kasyful qona’.
Ulama Hanbaly
berkata:makruh untuk menimbrung dalam pembicaraan duniawi,dan (hendaknya)
bersungguh untuk melakukan ketaatan dengan shalat,membaca qur’an dan dzikir . Referensi:kasyful
qona’dan bariqah Muhammadiyyah.
Menurut
Syafi’iyyah: boleh membicarakan hal-hal yang mubah dari perkara duniawi di
dalam masjid.Imam Nawawi berkata:boleh melakukan pembicaran mubah dalam masjid,
dan berbicara urusan dunia dan lainnya walaupun pembicaraannya mengundang tawa
dan semisalnya,selama pembicaraan tersebut diperbolehkan.Referensi:Al Majmu’
syarah Muhadzab
Dan pendapat
rajih adalah pendapat ulama syafi’i dengan syarat tidak memberikan kesan buruk
bagi orang shalat dan yang sedang bermunajat dalam masjid.Dasar tarjih adalah
hadits Jabir bin Samurah ra,ia berkata:adalah Rasulallah shallallahu alaihi wa
alihi wa salam tidak pernah bangkit dari tempat shalatnya selepas shalat subuh
sehingga matahari terbit.Maka bila mentari telah muncul,beliaupun bangkit,dan
sedangkan para sahabat sedang berbincang tentang cerita masa jahiliyah dahulu
sehingga mereka tertawa tawa dan beliaupun tersenyum.
Bersyair
dalam masjid
أَنَّ عُمَرَ مَرَّ بِحَسَّانِ بْنِ
ثاَبِتٍ وَهُوَ يُنْشِدُ فِي الْمَسْجِدِ فَنَظَرَ إِلَيْهِ فاَلْتَفَتَ حَسَّانٌ إِلَى
أَبِي هُرَيْرَةَ فَقَالَ لَهُ أُنْشِدُكَ اللهَ هَلْ سَمِعْتَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ أَجِبْ عَنِّى اَللَّهُمَّ أَيِّدْهُ بِرُوْحِ
الْقُدْسِ قَالَ نَعَمْ (رواه البخاري ومسلم)
“ Umar
pada suatu ketika melewati Hassan bin Tsabit yang sedang melantunkan sya’ir di
masjid.Maka Umar melihatnya (sepertinya
mau melarangnya).Maka Hasan bin Tsabitpun menoleh ke Abu Hurairah seraya
bertanya : “ Aku meminta pengakuaanmu atas nama Allah, apakah engkau pernah
mendengar Rasulullah saw bersabda kepadaku ( di masjid ) : “ Jawablah untuk-ku
( dalam bentuk sya’ir ), ya Allah kuatkan dia ( Hassan bin Tsabit ) dengan ruh alquds
( Jibril as ). Abu Hurairah menjawab: “ Ya saya mendengarnya . “ ( HR Bukhari
dan Muslim )
Adapun
beberapa riwayat yang menunjukkan larangan membaca sya’ir di masjid,maksudnya
adalah sya’ir-sya’ir jahiliyyah dan sya’ir-sya’ir yang tidak ada manfaatnya serta
tidak ada hubungannya dengan pembelaan terhadap Islam dan bukan untuk menjunjung
tinggi syi’ar Islam.
Amal
sunnah penghuni Masjid dan tidur serta makan minum di dalamnya
يُسْتَحَبُّ عَقْدُ حَلْقِ الْعَلْمِ
فِي الْمَسَأجِدِ,قَالَ فِي الْجَوَاهِرِ:الأَولَى بِالْمُعْتَكِفِ قِرَاءَةِ
الْعِلْمِ وَتَعْلِيْمِهِ ومُطَألَعَتِه وكِتَابَتِهِ,وَمِنْ لاَزِمِ ذَلِكَ
اْلإِحْتِيَاجُ إِلَى وَضْعِ الْكُتُبِ فَارْتِفَاقُ الْمُدَرِّسِ بِوضْعِ
كُتُبِهِ بِحَيْثُ لاَ يُضِيْقُ عَلَى الْمُصَلِّيْنَ جَأئِزٌ لأَنَّ وَضْعَ
الْكُتُبِ وَسِيْلَةٌ إِلَى التَّعْلِيْمِ الْمُسْتَحَبِّ وَلِلْوَسَائِلِ حُكْمُ
الْمَقَاصِدِ.وَلاَ بَأْسَ بِإِغْلاَقِهِ فِي غَيْرِ وَقْتِ الصَّلاَةِ كَبَعْدَ الْعِشَاءِ
صِيَانَةً لَهُ وَحِفْظًا لآلَتِهِ,وَهَذَا إِذَا خِيْفَ امْتِهَانُهاَ وَضِيَاعُ
مَا فِيْهَا وَلَمْ تَدْعُ إِلَى فَتْحِهَا حَاجَةٌ وَإِلاَّ فَالسُّنَةُ
فَتْحُهَا مُطْلَقًا كَمَا فِي الْمَجْمُوْعِ.وَيَجُوْزُ النَّوْمُ فِيْهِ بِلاَ
كَرَأهَةٍ بِقَيْدِ عَدَمِ التَّضْيِيْقِ أَيْضًا سَوَاءٌ الْمُعْتَكِفُ
وَغَيْرُهُ إِنْ وُضِعَ لَهُ فِرَأشٌ,وَكَذَا لاَ بَأْسَ بِاْلأُكْلِ وَالشُّرْبِ
وَالْوُضُوْءِ إِذَا لَمْ يَتَأَذَّ بِهِ النَّاسُ وَلَمْ يَكُنْ لِلْمَأْكُوْلِ
رَائِحَةٌ كَرِيْحَةٌ كَالثَّوْمِ وَإِلاَّ كُرِهَ (فتاوى ابن زياد بهامش بغية
المسترشدين ص ٩٦ )
Sunnah
untuk membuka majlis pengajian di masjid.Berkata pengarang kitab Al
Jawahir:yang lebih utama untuk orang yang beri’tikaf adalah membaca
ilmu,mengajar,menelaah dan menulisnya.Dan dari keterkaitannya tentu membutuhkan
tempat penyimpanan kitab,maka tempat kosong untuk seorang pengajar menyimpan
kitabnya,sekira tidak mempersempit lokasi orang shalat itu boleh,karena
menyimpan kitab itu jalan untuk mengajar yang disunnahkan,sedangkan jalan
memiliki hukum tujuan.
Tidak
mengapa untuk mengunci masjid diluar waktu shalat demi keamanannya dan upaya
penjagaan asetnya.Ini bila memang dikhawatirkan (ada anggapan) menyepelekan
masjid dan hilangnya barang yang berada didalamnya serta tiada hajat untuk
membukanya.Tapi bila tidak demikian,maka sunnah untuk membuka
masjid,sebagaimana dalam kitab Majmu’.
Boleh
tidur dalam masjid tanpa makruh dengan syarat tidak mempersempit (ruang orang
yang shalat),baik orang (tidur) itu yang sedang beri’tkaf atau tidak,bila ada amparan
tidur untuknya.Begitu pula boleh makan dan minum serta wudlu dalam masjid,bila
tidak mengganggu orang lain dan makanannya tidak memiliki bau tak sedap seperti
bawang,dan bila makanan itu berbau maka dimakruhkan.
Mafsadat
dan bid’ah dalam Masjid
مُؤَذِّنُ الْجُمْعَةِ ابْتَدَعَ بِدْعَةً يَوْمَ
الْجُمْعَةِ عِنْدَ دُخُوْلِ الْوَقْتِ,وَإِنْ دَخَلَ النَّاسُ فَيَتَقَدَّمُ أَماَمَ
الْمِنْبَرِ قَبْلَ دُخُوْلِ الْخَطِيْبِ وَيَطْلُبُ مِنَ الْحَاضِرِيْنَ الْفَاتِحَةَ
لِجَمْعٍ مِنَ النَّاسِ بِعَدَدِهِمْ,وَكاَنَ ذَلِكَ يُفَوِّتُ فَضِيْلَةَ أَوَّلِ
الْوَقْتِ,زُجِرَ عَنْ فَعْلِهِ ذَلِكَ وَمُنِعَ مَنْ بِدْعَتِهِ (فتاوى ابن
زياد بهامس بغية التسترشدين ص ١٠٢)
Seorang muadzin jum’at melakukan perbuatan bid’ah di hari jum’at
ketika telah masuk waktu dan bila para jama’ah telah masuk,lalu ia berdiri di
depan minbar sebelum khatib datang dan meminta kepada para hadirin untuk
membaca fatihah untuk sejumlah orang sebanyak mereka, sedangkan hal demikian
telah melepas fadlilah awal waktu.Maka orang seperti itu harus dilarang
serta dicegah dari bid’ahnya.
Dibeberapa
tempat,telah sering terjadi waktu jum’at di isi dengan pengajian rutin oleh
seorang ustadz,sehingga keluar dari awal waktu.Inilah salah satu bentuk bid’ah
yang banyak terjadi di masyarakat,terutama dipedesaan.Dan bila sang ustadz
ditanya tentang hal tersebut atau diterangkan padanya hukumnya,maka ia
berkata,’ah hitung hitung menggunakan waktu luang dan mumpung masyarakat lagi
kumpul semua’. Allahul Musta’an.
Syubhat
Sebagian orang yang kurang
akal,memiliki pendapat bahwa shalat dibelakang orang fasiq atau ahli bid’ah
itu tidak boleh:
Bantahan:
Alasan itu tertolak sebab
menyelisihi manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah bahwa barangsiapa yang
meninggalkan shalat dibelakang ahlul bid’ah (yang tidak kafir) maka dia juga
ahlul bid’ah.Dan berikut fatwa ulama yang mencela orang yang tidak mau shalat
dibelakang imam ahlul bid’ah yang tidak sampai kafir:
Ibnu Hazm berkata, “Kami tidak
mengetahui seorang pun shahabat yang tidak mau bermakmum di belakang al
Mukhtar, Ubaidillah bin Ziyad dan al Hajjaj, padahal tidak ada orang yang lebih
fasik dibandingkan mereka. Allah berfirman yang artinya, “Dan
hendaknya kalian tolong menolong dalam kebaikan dan takwa dan janganlah kalian
tolong menolong dalam dosa dan perbuatan melampaui batas” (QS al Maidah:3).
Siapa yang mengajak kita untuk melakukan dosa maka kita tidak akan merespon dan
membantunya. Ini semua merupakan pendapat Abu Hanifah, Syafii dan Abu
Sulaiman…. Dari Ubaidullah bin Adi bin al Khiyar, beliau menemui Utsman (bin
Affan) yang terkepung di dalam rumahnya lalu berkata, “Engkau adalah imam
shalat untuk banyak orang dan sekarang engkau dalam kondisi terkepung akhirnya
yang menjadi imam shalat untuk kami adalah pelaku tindakan onar.Kami merasa
berat untuk shalat di belakangnya”. Utsman mengatakan,
إنَّ الصَّلاةَ أَحْسَنُ مَا
يَعْمَلُ النَّاسُ فَإِذَا أَحْسَنَ النَّاسُ فَأَحْسِنْ مَعَهُمْ، وَإِذَا
أَسَاءُوا فَاجْتَنِبْ إسَاءَتَهُمْ
Sesungguhnya shalat adalah
sebaik-baik amal manusia. Jika orang lain berbuat baik maka berbuat baiklah
bersama mereka. Namun jika mereka melakukan keburukan maka jauhilah keburukan
yang mereka lakukan”.
Ibnu Umar juga mau bermakmum di
belakang al Hajjaj dan an Najdah yaitu an Najdah al Haruri salah seorang
pemimpin Khawarij.Yang kedua adalah khawarij (baca:ahli bid’ah). Sedangkan yang
pertama adalah manusia yang paling fasik. Meski demikian, Ibnu Umar berkata, “Shalat
adalah sebuah kebaikan. Aku tidak peduli siapakah yang menemaniku dalam
kebaikan tersebut” (Al Muhalla 4/213).
Tentang shalat di belakang ahli
bid’ah, Al Hasan al Bashri berkata, “Shalatlah (di belakangnya) sedangkan
bid’ahnya adalah urusan dia sendiri” (Disebutkan oleh Bukhari dalam
Shahihnya).
Al Bukhari membuat sebuah bab
berjudul:
“Keimaman Seorang yang Terlibat
Fitnah dan Seorang Ahli Bid’ah”
Lalu beliau menyebutkan riwayat,
عَنْ عُبَيْدِاللَّهِ بْنِ عَدِيِّ
بْنِ خِيَارٍ أَنَّهُ دَخَلَ عَلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِي اللَّهم عَنْهم
وَهُوَ مَحْصُورٌ فَقَالَ إِنَّكَ إِمَامُ عَامَّةٍ وَنَزَلَ بِكَ مَا نَرَى
وَيُصَلِّي لَنَا إِمَامُ فِتْنَةٍ وَنَتَحَرَّجُ فَقَالَ الصَّلَاةُ أَحْسَنُ مَا
يَعْمَلُ النَّاسُ فَإِذَا أَحْسَنَ النَّاسُ فَأَحْسِنْ مَعَهُمْ وَإِذَا
أَسَاءُوا فَاجْتَنِبْ إِسَاءَتَهُمْ
Dari ‘Ubaidullah bin ‘Adi bahwa
beliau masuk menemui ‘Utsman bin ‘Affan saat beliau dikepung maka ia
mengatakan: Sesungguhnya engkau adalah imam jama’ah, dan telah menimpamu apa
yang kami lihat dan (sekarang yang) mengimami kami adalah imam fitnah , kami
merasa takut berdosa. Maka ‘Utsaman berkata: Shalat adalah sebaik-baik apa
yang dilakukan oleh manusia, maka jika mereka berbuat baik, berbuat baiklah
bersama mereka dan jika mereka berbuat jelek maka jauhilah kejelekan mereka.
[HR Al Bukhari. rujuk fathul bari :2/188 no: 695]
Ibnu Abi Zamaniin meriwayatkan dari
Syabib ia mengatakan: Bahwa Najdah Al Haruri (orang khawarij) bersama
teman-temannya datang (ke Makkah) maka ia melakukan perjanjian damai dengan
Ibnu Zubair (yang menguasai Makkah saat itu ) lalu ia (Najdah) mengimami
orang-orang selama sehari semalam dan Ibnu Az-Zubair sehari semalam, maka Ibnu
Umar shalat di belakang mereka berdua, Sehingga seseorang mengkritik Ibnu Umar
lantas beliau menjawab: Kalau mereka menyeru, ‘Mari kepada amal yang baik’,
maka kita menyambutnya, dan jika mereka menyeru, ‘Mari kita bunuh jiwa’, maka
kami mengatakan: Tidak!!. Dan beliau mengeraskan suaranya [‘Usulussunnah
karya Ibnu Abi Zamanin :3/1003,dan Al-Baihaqi meriwayatkan yang semakna: 3/122
dalam As-Sunan al kubra]
‘Umair bin Hani mengatakan: Aku
melihat Ibnu ‘Umar, Ibnu Zubair, Najdah, dan Al Hajjaj, maka Ibnu Umar
mengatakan: Mereka (penduduk Makkah yang berperang) berjatuhan dalam neraka
sebagaimana lalat jatuh ke dalam kuah. Tapi jika beliau mendengar seorang
muadzin, beliau cepat-cepat menuju kepadanya -yakni muadzin mereka- lalu shalat
bersama mereka [Al Mushonnaf karya Abdurrazzaq:2/387 dan As Sunan al Kubra,
Al Baihaqi:3/122]
Abdul Karim Al Bakka’: Saya
mendapati sepuluh dari sahabat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam semuanya
shalat di belakang imam yang jahat [Sunan Al Kubra:3/122 dan Al Bukhari
dalam tarikhnya,rujukFathul Bari karya Ibnu rajab : 4/183]
Nafi’ mengatakan: Bahwa Ibnu
‘Umar menyendiri ke Mina saat pertempuran antara Ibnu Zubair dengan Hajjaj di
Mina, lalu ia shalat di belakang Hajjaj. [Sunan Al Kubra:3/121]
Demikian riwayat dari sebagian
Sahabat Nabi shallallahu’alaihi wa alihi wa salam yang membuktikan bahwa mereka
shalat di belakang ahli bid’ah atau orang fasiq yang sekelas Hajjaj bin Yusuf
selama mereka belum kafir.
Riwayat dari Tabi’in
Ja’far bin
Barqon mengatakan: Saya bertanya kepada Maimun bin Mihran tentang shalat di
belakang seseorang yang disebut khawarij, ia menjawab: ‘Sesungguhnya engkau
shalat bukan karena orang itu tapi karena Allah, dulu kami shalat di belakang
Al Hajjaj padahal dia haruri azraqi (orang khawarij)’. Lalu aku
memandangnya. Maka beliaupun berkata: ‘Dia adalah yang kamu selisihi
pendapatnya ia menganggapmu kafir dan menghalalkan darahmu, dan Hajjaj dulu
semacam itu’ [Fathul Bari,Ibnu rajab:4/183]
Al Hasan Al Basri ditanya tentang
shalat di belakang ahli bid’ah maka beliau menjawab: Shalatlah, dan
bid’ahnya ditangung imam itu sendiri [HR. Al Bukhari secara mu’alaq dan
Sa’id bin Manshur diambil dari Fathul Bari:4/182 karya Ibnu Rajab dan Fathul
Bari, Ibnu Hajar :2/188]
Al A’masy
mengatakan:Adalah murid-murid besar Ibnu Mas’ud shalat jum’at bersama Al
Mukhtar dan mereka mengharap pahala dari perbuatan itu. [Usulussunah karya Ibnu
Abi Zamanin:3/1004]
Seseorang berkata kepada Al Hasan Al
Bashri: Datang seseorang dari Khawarij mengimami kami, apakah kami shalat di
belakangnya? Beliau menjawab: Ya, telah ada yang lebih jelek darinya mengimami
orang-orang. [Usulussunah karya Ibnu Abi Zamanin:3/1005]
Qotadah mengatakan: Saya bertanya
kepada Said Ibnu Al Musayyib: Apakah kita boleh shalat di belakang Al Hajjaj?
Ia menjawab: Kami sungguh akan shalat di belakang orang yang lebih jelek
darinya.
Demikianlah beberapa riwayat dari
tabi’in yang sejalan dengan apa yang dilakukan para sahabat.
Imam an-Nawawi
rahimahullah berkata: “Bahwa shalat di belakang orang yang fasik dan
pemimpin yang zhalim, sah shalatnya.Sahabat-sahabat kami telah
berkata:Shalat di belakang orang fasik itu sah tidak haram akan tetapi makruh,
demikan juga dimakruhkan shalat di belakang ahli bid’ah yang bid’ahnya tidak
sampai kepada tingkat kufur (bid’ahnya tidak menjadikan ia keluar dari islam).Tetapi
bila bid’ahnya adalah bid’ah yang menyebabkan ia keluar dari islam, maka shalat
di belakangnya tidak sah, sebagaimana shalat di belakang orang kafir.Dan Imam
as-Syafi’i menyebutkan dalam al-Muktashar bahwa makruh hukumnya shalat
di belakang orang fasik dan ahli bid’ah,kalau dikerjakan juga, maka shalatnya
tetap sah, dan inilah pendapat jumhur ulama.”
Demikianlah perkataan Salaful Ummah
rahimahumullah jami’an.Maka hati-hatilah dari meninggalkan imam kaum muslimin
(walaupun fasiq).
Itulah yang dimaksud
dengan ahli bid’ah dan ahli ahwa.Berhati hatilah dalam berpendapat wahai tuan!
Sayangi diri anda dengan menjaga hati dan mulut dari mencela sesama muslim, sebelum
bencana melanda anda sendiri.
.....................
Wallalhu a’lam
bish Shawab
Wassalam,selesai penyusunan malam Sabtu 13 Rabiul Awwal
1437,bertepatan dengan 21 Januari 2016
1 komentar:
Tolong dikoreksi dan dikaji lagi dalam kalimat ini :
فُرُوْعٌ : عِمَارَةُ الْمَسْجِدِ هِيَ الْبِناَءُ وَالتَّرْمِيْمُ وَالتَّجْصِيْصُ لِلْإحْكاَمِ وَالسَّلاَلِمِ وَالسَّوَارِي وَالْمَكاَنِسِ وَالْبَواَرِي لِلتَّظْلِيْلِ أَوْ لِمَنْعِ صَبِّ الْمَاءِ فِيْهِ لِتَدْفَعَهُ لِنَحْوِ شاَرِعٍ وَالْمَساَحِي وَأُجْرَةُ الْقَيِّمِ وَمَصَالِحِهِ تَشْمُلُ ذَلِكَ,وَمَا لِمُؤَذِّنٍ وَإِمَامٍ وَدُهْنٍ لِلسِّرَاجِ وَقَنَادِيْلَ لِذَلِكَ , وَالْوَقْفُ مُطْلَقاً يُحْمَلُ عَلَى الْمَصَالِحِ,
kalimat ومصالحه تشمل ذلك itu seharusnya wawu-nya wawu athaf ke عمارة المسجد bukan ke اجرة القيم
dan artinya bukan kemudian bahwa uang imarotul masjid itu boleh untuk masholihul masjid.
yang benar adalah ومصالحه تشمل ذلك itu macam uang masjid yang ke-2.
jadi yangboleh digunakan untuk membayar muadzin dan imam adalah uang yang untuk masholih, tidak boleh dari uang imaroh
Posting Komentar