RISALAH AHKAMUL MASAJID











RISALAH AHKAMUL MASAJID
Hukum hukum Masjid

Disusun oleh
Sayyid Soleh bin Muhammad Alhabsyi
Pendiri yayasan Tarbiyyah Islamiyyah























Ahkamul masajid
Mukaddimah
Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan masjid sebagai tempat beribadah kepadaNya dan sarana pemersatu hamba hambaNya.Shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan atas penghulu para utusan,Muhammad bin Abdillah dan seluruh keluarganya yang disucikan serta sahabatnya yang mulia, selanjutnya:
Adalah merupakan suatu keniscayaan bahwa dalam setiap kelompok umat Islam,masjid adalah satu sarana pokok dalam menunjang eksistensi dan esensi umat.Sehingga menjadi satu keharusan bila umat perlu diberikan pengarahan dan bimbingan tentang hukum seputar masjid agar tidak akan menimbulkan kerancuan dalam mengurus dan mengelola serta mengembangkannya.
Semua hal tersebut diperlukan sebagai penyeimbang dan untuk memaksimalkan daya guna masjid dan memberikan pengetahuan ajaran Islam bagi masyarakat terutama umat yang awam,seperti halnya kita.Karena telah banyak contoh dan kejadian yang sebagian besar bertolak belakang dengan hukum masjid yang seharusnya diterapkan sebagai rumah besar bersama umat Islam.
Risalah kecil ini hanya akan mengangkat sekelumit saja dari berbagai permasalahan yang sering terjadi dan menjadikan sebab perpecahan dari sebab perbedaan pendapat dan pemikiran sebagian golongan diseputar hukum masjid.Dan tentunya,itu semua menurut kemampuan penyusun yang sepi dari ilmu dan amal ini.Tegur sapa serta saran yang membangun selalu penyusun nantikan untuk perbaikan dimasa depan,karena terkadang penyusun melakukan pengambilan kesimpulan sendiri dari teks yang ada.Bilamana hal tersebut benar,maka itulah yang diharapkan dan bila salah maka itu semua merupakan akibat dari kealfaan dan ketidaktahuan diri penyusun terhadap kemampuan diri sendiri.Penyusun memohon ampunan kepadaNya atas bisikan yang diada adakan serta kekeliruan dari sebab kebodohan dan ketidak mengertian akan kapasitas diri.
Akhir kata,semoga risalah ini dapat membantu memahami permasalahan tersebut serta jadi amal yang diterima oleh Allah sebagai pemberat timbangan amal penyusun di akhir kelak. Amin....................................










Wassalam,penyusun
Cianjur,Selasa 18 Rabiul Awwal 1437
29 Desember 2015
Prakata
Agar supaya bahasan memiliki batasan yang jelas ,dan tidak ngawur tanpa tujuan,ada baiknya kita sorot beberapa hal yang dianggap paling pokok dalam masalah hukum Masjid ini.Dan tentang masjid,terdapat beberapa hal yang seharusnya diketahui terutama oleh orang yang mempunyai jabatan pengelola (seperti DKM),bahkan oleh semua orang dalam komunitas tersebut.Agar supaya tidak menjadikan adanya kerancuan dan kesalahan pandangan diantara mereka.
Hal yang erat hubungannya dengan masalah masjid adalah:
a.sejarah masjid
b.apakah masjid itu?
c.dimana masjid adanya?
d.penghuni masjid
**********
PEMBAHASAN
A.sejarah Masjid
Ketika Rasulallah shallallahu alaihi wa alihi wa salam tiba di Madinah, beliau memutuskan untuk membangun sebuah masjid, yang sekarang dikenal dengan nama Masjid Nabawi, yang artinya Masjid Nabi.Setelah unta tunggangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam berhenti di suatu tempat di Madinah, maka kaum muslimin menjadikannya sebagai tempat untuk menunaikan shalat. Tempat itu merupakan tempat penjemuran kurma milik Suhail dan Sahl,dua anak yatim dari Bani Najjâr yang berada dalam pemeliharaan As’ad bin Zurârah. Ketika tunggangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berhenti di tempat itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 هَذَا إِنْ شَاءَ اللهُ الْمَنْزِلُ
 “Ini -Insya Allah- tempat menetap” [HR Bukhâri]
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa alihi wa salam memanggil kedua anak yatim itu dan menawar tanah itu untuk dijadikan masjid. Tetapi kedua anak itu berkata: “Justru kami ingin memberikannya kepada anda, wahai Rasulullah”. Meski demikian,Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa alihi wa salam  enggan menerima pemberian dua anak kecil ini,sehingga beliau Shallallahu ‘alaihi wa alihi wa salam tetap membelinya. Dan di atas tanah ini, Masjid Nabawi dibangun. (HR Bukhâri, al-Fath, 15/101, no. 3906.)
Maka jadilah Masjid Nabawi sebagai tempat ibadah dan pusat persatuan pemerintahan kaum muslimin di Madinah dikala itu. Masjid Nabawi terletak di pusat Madinah.Di Masjid Nabawi, juga terdapat mimbar yang sering dipakai khatbah oleh Rasulallah shallallahu alaihi wa alihi wa salam.Masjid Nabawi menjadi jantung kota Madinah saat itu yang digunakan untuk kegiatan politik,perencanaan da’wah,strategi militer, dan untuk mengadakan perjanjian.Bahkan,di area sekitar masjid digunakan sebagai tempat tinggal sementara oleh orang-orang fakir miskin,yang kemudian dikenal sebagai ahlu sufah (penghuni emperan).
Dari hal diatas tersebut,timbul bahasan tentang fungsi masjid dan mendirikan lebih dari satu masjid disuatu wilayah.
Fungsi Masjid
Target pendirian sebuah masjid adalah untuk menghidupkan fungsi utamanya sebagai center point ( titik pusat ) kegiatan Islami bagi masyarakat sekitarnya,khususnya shalat Jum’at dan jama’ah shalat lima waktu dan umumnya kegiatan Islam lainnya seperti membaca al Qur’an,belajar mengajar,tempat musyawarah serta kegiatan lainnya dalam rangka kemaslahatan umat.Target inilah yang seharusnya menjadi pokok pertimbangan dalam setiap pendirian masjid. Artinya,bila untuk beberapa komplek, satu masjid saja sudah mencukupi berbagai keperluan di atas dengan baik, kiranya tidak perlu lagi didirikan masjid lain. Lebih-lebih jika masjid didirikan bukan atas dasar semangat menghidupkan syi’ar Islam dan penyempurnaan kewajiban.Tapi,motivasinya tak lebih hanya karena perbedaan pendapat dalam masalah yang tidak esensial,sehingga pihak yang merasa tersisih memutuskan mendirikan masjid sendiri di kompleknya dengan lokasi yang tidak jauh dengan masjid yang ada sebelumnya.Semua itu tidak menjadikan solusi,tapi justru berakibat pada langgengnya perpecahan dan perselisihan.Sebab kedua belah pihak tak pernah lagi berjama’ah,bertatap muka di masjid apalagi musyawarah demi kemaslahatan bersama.Lebih buruk lagi jika masjid didirikan hanya atas dasar fanatik golongan, dengki dan sakit hati,perebutan jama’ah serta pamer kekayaan.
Oleh sebab itu hendaknya pendirian masjid benar-benar didasarkan atas pertimbangan kebutuhan warga akan sarana ibadah, bukan hanya sebagai simbol kepemilikan semata bahwa kampung tersebut telah ‘memiliki’ masjid sendiri,atau sekedar pemanfaatan dana dari pemerintah atau donatur tertentu. Apalagi bila masjid dijadikan komoditi bisnis percaloan,seperti kita saksikan di zaman ini.Dimana seorang yang memiliki channel (hubungan) dengan seorang donatur (yang biasanya orang arab wahhaby saudi) menawarkan pembangunan masjid di suatu daerah,demi untuk memperoleh sedikit keuntungan dari hasil dana sumbangan tersebut.Sungguh satu kehinaan yang memperburuk keadaan,dan hanya orang yang tidak memiliki akal saja yang mau melakukan tindakan demikian.
Seorang teman yang bisa dipercaya pernah mengabarkan bahwa di daerahnya ada masjid yang dibangun dari hasil donatur arab. Namun bukan masalah donasinya yang menjadikan keheranan saya,tapi perjalanan untuk pembangunan masjid tersebut. Katanya,lahan masjid itu merupakan tanah waqaf,lalu demi untuk kelancaran dana dari donatur tersebut diaturlah siasat seolah olah lahan itu masih merupakan lahan milik.Jadi si donatur,selain mengeluarkan dana untuk membangun fisik masjid juga sekaligus membeli lahan tersebut.Silahkan renungkan,apa jadinya bila tempat yang menurut mereka adalah sarana ‘ibadah’ merupakan hasil dari penipuan dan dusta. Allahul Musta’an.
Sungguh membangun masjid adalah suatu keutamaan yang besar,diriwayatkan  dari Utsman bin Affan ra :
 عَنْ عُثْمَانِ بْنَ عَفَّانَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ بَنَى مَسْجِدًا لِلَّهِ بَنَى اللَّهُ لَهُ فِي الْجَنَّةِ مِثْلَهُ (رواه مسلم)
Dari Utsman bin Affan -radhiyallahu’anhu- dia berkata; Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa salam bersabda, “Barangsiapa yang membangun masjid karena Allah maka Allah akan membangunkan baginya yang serupa dengannya di surga.” (HR. Muslim dalam Kitab al-Masajid wa Mawadhi’ as-Shalah)
Namun sebagian orang karena hanya dorongan semangat ditambah ketidaktahuannya akan hukum-hukum dan mashlahat syar’i diapun membangun masjid tanpa memperhatikan keadaan sekitarnya dan akibat buruk yang akan ditimbulkannya dikemudian hari.
Telah banyak kita saksikan orang-orang yang bersemangat menegakkan sunnah membangun masjid di dekat masjid yang sudah ada tanpa dia sadari akan mafsadat yang ditimbulkannya, baik untuk dirinya pribadi maupun untuk persatuan umat. Hendaklah diketahui bahwa membangun masjid bukanlah hanya membangun suatu bangunan lalu selesai,tapi lebih dari itu,masjid selain tempat untuk shalat juga merupakan rumah besar bagi umat ini,sebagai lambang pemersatu.
Masjid Sebagai Pemersatu
Allah ta’ala berfirman:
وَلا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ (آل عمرا:١۰٥)
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka.Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat,” (Ali-Imron: 105)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa alihi wa salam bersabda:
لَتُسَوُّوْنَ صُفُوْفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ وُجُوْهِكُمْ
“Hendaklah  luruskan shaf-shaf kalian, atau (bila tidak demikian) sungguh Allah akan menjadikan wajah-wajah kalian saling berpaling.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud -radhiyallahu anhu-,ia berkata: Rasulullah-shallallahu alaihi wa alihi wa salam- bersabda:
اِسْتَوُوْا وَلاَ تَخْتَلِفُوْا فَتَخْتَلِفَ قُلُوْبُكُمْ
Luruslah kalian dan jangan kalian berselisih. Sehingga akan menjadikan hati-hati kalian akan berselisih”. (HR. Al-Imam Muslim dalam Shohih-nya (432)
Dalam hadits lain beliau -Shallallahu ‘alaihi wa alihi wa salam bersabda:
لَتَسُوُّنَّ صُفُوْفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ
“Kalian akan benar-benar meluruskan shaf, atau Allah benar-benar akan membuat hati-hati kalian berselisih”. (HR.Al-Bukhory dalam Shohih-nya (717), dan Muslim dalam Shohih-nya (436))
Dasar dasar diatas menunjukkan kepada kita bahwa shalat berjam’ah adalah pemersatu kaum muslimin,dan masjid sebagai tempat shalat merupakan sarana pemersatu umat.
Kisah Masjid Dhiror
Sebelum Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa alihi wa salam hijrah ke Madinah, di kota suci ini ada seorang laki-laki dari bani Khazraj berjuluk Abu Amir Ar-Râhib. Lelaki ini pada masa jahiliyah beragama Nashrani dan mempelajari kitab-kitabnya, sehingga dia termasuk orang yang tekun beribadah pada masa itu. Di sisi lain dia juga mempunyai kedudukan dan pengaruh besar dalam kabilahnya. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah, kaum Muslimin bersatu di bawah tampuk kepemimpinan beliau Shallallahu ‘alaihi wa alihi wa salam; sehingga Islam menjadi kuat, apalagi setelah Allah Azza wa Jalla memenangkannya pada waktu perang Badar.
Melihat keadaan seperti ini Abu Amir tidak rela, sehingga dia menampakkan permusuhannya terhadap kaum Muslimin; sampai-sampai dia pergi ke Mekah menemui orang-orang kafir Quraisy untuk mengajak memerangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa  alihi wa salam dan kaum Muslimin di Madinah. Mereka pun setuju dan kemudian menyusun kekuatan; hingga terjadilah perang Uhud. Dia juga mengajak kaum Anshar untuk bekerja sama dan menyetujui pemikirannya. Namun ketika mereka mengetahui maksud buruknya, mereka berkata, ”Wahai musuh Allah Azza wa Jalla, semoga Allah Azza wa Jalla menjadikanmu sebagai orang yang dibenci setiap orang yang melihatmu”, Mereka mencaci-maki dan mencelanya; lalu dia pulang dan berkata, ”Demi Allah Azza wa Jalla, kejelekan telah menimpa kaumku”.Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa alihi wa salam juga telah mengajaknya untuk masuk Islam serta membacakan al-Qur’ân kepadanya sebelum dia lari ke negeri Romawi.Meskipun demikian,dia tetap menolak masuk Islam, bahkan mengatakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa salam, “Aku tidak menemui suatu kaum yang memerangimu kecuali aku bersama mereka”. Maka beliau mendoakan dia agar mati di tempat yang jauh dalam keadaan terusir.
Lelaki ini memang selalu bersama orang-orang kafir dalam semua peperangan melawan kaum Muslimin. Kemudian ketika mereka kalah dalam perang di Hawazun, dia pergi ke negeri Romawi meminta bantuan raja Romawi untuk memerangi Rasulallah Shallallahu ‘alaihi wa alihi wa salam. Dari sana dia juga menyuruh orang-orang munafik (dari penduduk Madinah) untuk membangun masjid dhirâr.
Atas dasar perintah tersebut, mereka lalu mendirikan masjid berdekatan dengan masjid Quba’. Masjid tersebut selesai didirikan sebelum Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam berangkat ke Tabuk.Lalu mereka mendatangi beliau Shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, meminta agar beliau mengunjungi mereka dan shalat di masjid itu. Sebenarnya mereka bermaksud (mengelabui kaum Muslimin) menjadikan shalat beliau ini sebagai hujjah bagi mereka, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa alihi wa salam telah menyetujui pembangunan masjid tersebut. Mereka menyebutkan kepada beliau alasan mendirikan masjid itu; yaitu untuk orang-orang tua maupun yang sakit (yang tidak bisa hadir shalat berjama’ah di masjid Quba’) pada saat malam musim dingin (akan tetapi alasan ini tidaklah benar adanya,tapi hanya dalih untuk mencari pembenaran diri).
Kemudian Allah Azza wa Jalla melarang rasul-Nya agar tidak melaksanakan shalat di masjid tersebut, dengan menurunkan ayat.
 وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَادًا لِّمَنْ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مِن قَبْلُ, وَلَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا الْحُسْنَىٰ ,وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ (التوبة:١۰۷ )
“Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemadharatan (pada orang-orang Mukmin), untuk kekafiran dan memecah belah antara orang-orang Mukmin serta menunggu kedatangan orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah,”kami tidak menghendaki selain kebaikan.”Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya).” [at-Taubah/9:107]
Dijelaskan, “Mereka yang mendirikan masjid dhirâr adalah sekawanan orang (munafik) dari penduduk Madinah yang jumlahnya dua belas orang. Mereka mendirikan masjid dengan tujuan menimbulkan kemadharatan pada orang-orang Mukmin dan masjid mereka’, dan untuk menguatkan kekafiran orang-orang munafik, serta memecah belah jama’ah kaum Mukminin. Pada awalnya mereka semua shalat berjamaah di satu masjid (masjid Quba’), kemudian terpecah menjadi dua masjid (di masjid Quba’ dan masjid dhirâr). Mereka ingin mendapatkan kesempatan untuk menyebarkan syubhat, menghasut, menfitnah dan memecah belah shaf kaum Mukminin. Juga untuk menunggu kedatangan orang yang telah memerangi Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak dahulu yaitu Abu Amir ar-Râhib. Mereka sesungguhnya bersumpah dengan mengatakan,”Kami tidak menghendaki kecuali kebaikan yaitu menunaikan shalat dan berdzikir di dalamnya serta memberi kemudahan bagi para jama’ah.” Dan Allah Azza wa Jalla menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya).
Larangan Allah Azza wa Jalla tersebut telah di sebutkan dengan jelas di dalam ayat berikutnya, yaitu:
 لَا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا  لَّمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَن تَقُومَ فِيهِ ,فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُوا,وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ (التوبة:١۰٨ )
“Janganlah kamu shalat di dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa, sejak hari pertama adalah lebih patut kamu shalat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah Azza wa Jalla menyukai orang-orang yang bersih.” [at-Taubah/9:108]
Larangan Allah Azza wa Jalla ini tidaklah khusus bagi Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa alihi wa salam saja, akan tetapi kaum Muslimin juga termasuk dalam larangan tersebut; sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibnu Katsîr rahimahullah, “Ayat (di atas) merupakan larangan dari Allah Azza wa Jalla kepada Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wa alihi wa salam agar tidak shalat di masjid tersebut selama lamanya, dan umatnya mengikutinya dalam hal ini’.Kemudian Allah Azza wa Jalla memerintahkan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa alihi wa salam untuk melaksanakan shalat di masjid Quba’ yang telah didirikan atas dasar takwa sejak hari pertama. Maksudnya atas dasar ketaatan kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya dan juga untuk mempersatukan ukhuwah kaum Muslimin serta sebagai markas mereka.Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa alihi wa salam mengutus Mâlik bin Dukhsyum saudara Bani Salim dan Ma’an bin Adi seraya berkata kepada mereka berdua, ”Pergilah kalian ke masjid yang didirikan oleh orang-orang dzalim (masjid dhirâr), kemudian hancurkan dan bakarlah.” Maka keduanya pun berangkat; sesampainya di perkampungan Bani Sâlim, Mâlik berkata kepada Ma’an, “Tunggu sebentar, aku akan mengambil api dari rumah keluargaku.” Sesaat kemudian dia keluar dengan membawa pelepah kurma yang dibakar dan berjalan dengan Ma’an menuju masjid itu; lalu membakar dan menghancurkannya, sehingga orang yang berada di dalamnya (berlarian) keluar.
Sedangkan Abu Amir ar-Râhib; dia mati di kota Qansarin (wilayah Romawi) akibat doa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa alihi wa salam atasnya.1
Maka setiap masjid yang dibangun dengan memberikan madharat dan memecah belah kaum Muslimin serta untuk memusuhi Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa alihi wa salam, maka hukumnya wajib dihancurkan (oleh penguasa) dan haram shalat di dalamnya.
Karena itu berhati-hatilah membangun masjid baru agar tidak menyerupai kaum munafiqin yang membangun masjid dhirar.
Madlarat membangun Masjid di dekat Masjid
 1.     Memecah Belah kaum muslimin
 Alloh ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَادًا لِمَنْ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مِنْ قَبْلُ وَلَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَا إِلاَّ الْحُسْنَى وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ (التوبة:١٠٧)
“Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mukmin), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. mereka Sesungguhnya bersumpah: “Kami tidak menghendaki selain kebaikan.” dan Allah menjadi saksi bahwa Sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya).” (Attaubah: 107)

.rujuk tafsir Ibnu Katsîr (Juz 4),tafsir Ath-thabary (Juz 14), tafsir Abu Su’ûd (Juz 4), tafsir Al-Qurthubi (Juz 8)]
 2.    Menimbulkan sifat fanatisme golongan (al-wala’ (pro) dan al-bara’(kontra) yang sempit kepada kelompoknya) yang ada di masjid tersebut sebab masjid yang berdekatan akan saling memperebutkan jama’ah siapa yang paling banyak.
Allah ta’ala berfirman,
مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ (الروم:٣٢)
“Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (Arrum: 32)
3.   Berlomba-lomba meninggikan bangunan yang tercela.
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda, “Kiamat tidak akan terjadi sebelum manusia berlomba-lomba meninggikan gedung-gedung”. (HR. Bukhari)
4.   Berkurangnya keutamaan pahala langkah berjalan dari rumah menuju sholat berjama’ah sebab masjidnya saling berdekatan.
5.   Berkurangnya pahala berjama’ah sebab jama’ah terbagi dua.
Ini menurut tinjauan kemashlahatan umat.Dan adapun boleh tidaknya terdapat beberapa masjid di satu wilayah yang sama menurut persepsi fiqh,maka para ulama berbeda pendapat tentang hal tersebut,diantaranya:
وَقَعَ حَرْبٌ وَاخْتِلاَفٌ بَيْنَ جُنْدَيْنِ فِي بَلْدَةٍ وَتَحَزَّبَ كُلٌّ وَخاَفَ بَعْضُ الرَّعِيَّةِ مِنْ حُضُوْرِ الْجُمْعَةِ فِي جاَمِعِهَا الْأَصْلِيِّ فَأَحْدَثُواْ جُمْعَةً فِي مَحَلِّهِمْ غَيْرَ الْجُمْعَةِ الْأَصْلِيَّةِ,حُرِّمَ عَلَيْهِمْ إِقاَمَتُهاَ وَالْحاَلُ مَا ذُكِرَ فَضْلاً عَنْ نُدْبِهَا أَوْ أَنَّهاَ تَلْزَمُهُمْ إِذْ لَمْ يَقُلْ أَحَدٌ مِنْ أَئِمَّةِ الْمَذْهَبِ إِنَّ الْمَعْذُورِيْنَ بِعُذْرٍ مِنْ أَعْذَارِ الْجُمْعَةِ وَالْجَمَاعَةِ إِذَا اجْتَمَعَ مِنْهُمْ أَرْبَعُوْنَ فِي جاَنِبٍ مِنَ الْبَلْدَةِ الْوَاحِدَةِ كَانَ لَهُمْ أَنْ يُقِيْمُوْا الْجُمْعَةَ بَلْ وَلاَ مِنْ أَئِمَّةِ الْمَذَاهِبِ الثَّلاَثَةِ إِلاَّ مَا نُقِلَ عَنِ الْإِماَمِ أَحْمَدَ مِنْ جَوَازِ تَعَدُّدِهَا لِحَاجَةٍ,وَإِنَّمَا الْخِلاَفُ فِيْمَا إِذَا كاَنَ الْمَعْذُوْرُوْنَ بِمَحَلٍّ يَجُوْزُ فِيْهِ تَعَدُّدُ الْجُمْعَةِ كَمَا يُعْلَمُ مِنْ عِبَارَةِ التُّحْفَةِ وَالنِّهاَيَةِ.وَالْحاَصِلُ مِنْ كَلاَمِ الْأَئِمَّةِ أَنَّ أَسْبَابَ جَوَازِ التَّعَدُّدِ ثَلاَثَةٌ:ضَيْقُ مَحَلِّ الْجُمْعَةِ بِحَيْثُ لاَ يَسَعُ المُجْتَمِعِيْنَ لَهَا غاَلِبًا,وَالْقِتَالُ بَيْنَ الْفِئَتَيْنِ بِشَرْطِهِ,وَبُعْدُ أَطْرَاِفِ الْبَلَدِ بِأَنْ كَانَ بِمَحَلٍّ لاَ يَسْمَعُ مِنْهُ الِنّدَاءُ أَو بِمَحَلٍّ لَوْ خَرَجَ مِنْهُ بَعْدَ الْفَجْرِ لَمْ يُدْرِكْهَا إِذْ لاَ يَلْزَمُهُ السَّعْيُ إِلَيْهَا إِلاَّ بَعْدَ الْفَجْرِ اﻫ  وَخاَلَفَهُ ي فَقَالَ:يَجُوْزُ بَلْ يَجِبُ تَعَدُّدُ الْجُمْعَةِ حِيْنَئِذٍ لِلْخَوْفِ الْمَذْكُوْرِ لأَنَّ لَفْظَ التَّقَاتُلِ نَصٌّ فِيْهِ بِخُصُوْصِهِ وَلأَنَّ الْخَوْفَ دَاخِلٌ تَحْتَ قَوْلِهِمْ "إِلاَّ لِعُسْرِ اْلإِجْتِمَاعِ" فَالْعُسْرُ عَامٌّ لِكُلِّ عُسْرٍ نَشَأَ عَنِ الْمَحَلِّ أَوْ خَارِجَهُ,وَانْحِصَارُ التَّعَدُّدِ فِي الثَّلاَثِ الصُّوَرِ الَّتي اسْتَدَلَّ بِهَا الْمُجِيْبُ الْمُتَقَدِّمُ لَيْسَ حَقِيْقَةً إِذْ لَمْ يَحْصُرِ الْعُذْرُ فِي التُّحْفَةِ وَالنِّهاَيَةِ وَغَيْرِهِمَا بَلْ ضَبَطُوْهُ بِالْمَشَقَّةِ,وَهَذَا الْحَصْرُ إِمَا مِنَ الْحَصْرِ الْمَجَازِي لاَ الْحَقِيْقِي إِذ هُوَ اْلأَكْثَرُ فِي كَلاَمِهِمْ أَوْ مِنْ بَابِ حَصْرِ الْمَسْئَلَةِ,فَالضَّيْقُ لِكُلِّ عُسْرٍ نَشَأَ عَن ِالْمَحَلِّ وَالْبُعْدِ وَلِكُلِّ عُسْرٍ نَشَأَ عَنِ الطَّرِيْقِ وَالتَّقَاتُلِ وَلِغَيْرِهِمَا كَالْخَوْفِ عَلَى النَّفْسِ وَالْمَالِ وَالْحُرُّ الشَّدِيْدِ وَالْعَدَاوَةِ وَنَحْوِهَا مِنْ كُلِّ مَا فَيْهِ مَشَقَّةٌ (بغية المسترشدين ص  ۷٩)
Terjadi peperangan dan perselisihan antara dua kelompok bersenjata dalam satu wilayah,sehingga setiap kelompok pecah dalam beberapa golongan,hingga sebagian rakyat jadi takut untuk menghadiri jum’at di masjid jami’ mereka yang asal,lalu mereka mengadakan jum’at di tempat mereka,selain dari jum’at mereka yang biasa.Maka  kelakuan mereka itu haram dalam keadaan seperti itu,apalagi bila dikatakan sunnah atau bahwa jum’at tersebut wajib bagi mereka (itu lebih jauh lagi).Karena tidak ada seorangpun para imam yang berpendapat bahwa orang yang memiliki udzur dari udzur jum’at dan jama’ah bila ada 40 orang telah terkumpul disuatu titik wilayah negeri yang sama boleh bagi mereka untuk melaksanakan jum’at,bahkan tidak ada pula (yang berpendapat demikian) dari salah satu imam mujtahid yang tiga lagi,kecuali pendapat yang dicutat dari Ahmad bin Hanbal tentang bolehnya mendirikan jum’at lebih dari satu bila ada kebutuhan.Sebab perbedaan pendapat hanya ada pada kasus bila ada yang memiliki udzur jum’at (mendirikan jum’at) ditempat yang boleh disana terdapat lebih satu jum’at,sebagaimana bisa difaham dari ibarat Tuhfah dan Nihayah.
Kesimpulan daripada pendapat para imam,bahwa syarat mendirikan jum’at lebih dari satu itu ada tiga:sempitnya tempat jum’at sehingga tidak dapat lagi menampung jama’ah seperti biasa lazimnya,adanya peperangan antara dua kelompok dengan syaratnya dan jauhnya sisi sisi negeri,seperti adanya ditempat yang disana tidak bisa terdengar adzan,atau berada ditempat yang sekiranya ia keluar (menuju tempat jum’at) setelah fajar,tidak akan sampai mengikuti shalat jum’at,karena tidak harus bagi seseorang mendatangi tempat jum’at kecuali setelah terbit fajar.
Namun ibn Ziyad berbeda pendapat,katanya:sunnah bahkan wajib (bagi mereka) mendirikan jum’at lebih dari satu bila karena rasa takut seperti itu,karena ucapan peperangan seakan jadi nash (kata tegas) bagi keadaan khusus,dan karena kata ‘takut’ masuk dalam arti perkatan ashab ‘karena sukar berkumpul’. Kesukaran itu umum,mencakup semua kesukaran yang timbul dari tempat atau luar tempat.Sedang persempitan arti mendirikan jum’at lebih dari satu pada hanya tiga gambaran masalah seperti yang dijadikan dalih oleh penjawab itu bukan suatu kenyataan,karena udzur tidak pernah dipersempit maknanya,baik dalam tuhfah, nihayah dan lainnya,sebab mereka (ashab syafi’i) telah memberikan satu dlabit (acuan baku) tentang kesukaran itu dengan masyaqah. (Karena itu) persempitan tersebut mungkin bisa jadi hanya persempitan majazi bukan hakiki,karena hal ini yang sering terjadi pada ibarat mereka,atau hanya dari sisi persempitan masalah saja. Oleh karena itu,kesukaran itu umum untuk setiap kesukaran yang timbul dari tempat dan kejauhan dan yang timbul dari jalan atau adanya peperangan (perselisihan),dan juga yang lain dari keduanya,seperti takut terhadap (keselamatan) diri dan harta,dan karena dingin yang sangat dan permusuhan dan lain sebagainya dari setiap hal yang didalamnya terdapat masyaqah.
B.apakah Masjid?
Secara bahasa, masjid [مسجد] diambil dari kata sajada [سجد] yang artinya bersujud.Disebut masjid,karena dia menjadi tempat untuk bersujud.Kemudian arti kata masjid mengalami perluasan,sehingga diartikan sebagai tempat berkumpulnya umat Islam untuk melaksanakan shalat.
Az-Zarkasyi mengatakan,
ولَمَّا كاَنَ السُّجُوْدُ أَشْرَفَ أَفْعَالِ الصَّلاَةِ، لِقُرْبِ الْعَبْدِ مِنْ رَبِّهِ، اشْتُقَّ اسْمُ الْمَكاَنِ مِنْهُ فَقِيْلَ: مَسْجِد، وَلَمْ يَقُوْلُوا: مَرْكَع
”Mengingat sujud adalah gerakan yang paling mulia dalam shalat, karena kedekatan seorang hamba kepada Tuhannya (ketika sujud), maka nama tempat shalat diambil dari kata ini, sehingga orang menyebutnya: ’Masjid’, dan mereka tidak menyebutnya: Marka’ (tempat rukuk). (I’lam as-Sajid bi Ahkamil Masajid, az-Zarkasyi, hlm. 27).
Arti Masjid menurut syara’
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa salam menyebut seluruh permukaan bumi yang digunakan untuk shalat, sebagai masjid.Dalam hadits dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda:
وجُعِلَت لِيَ الْأَرْضُ مَسْجِداً وَطَهُوْراً، فَأيُّماَ رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلاَةُ، فَلْيُصَلِّ
”… dan telah dijadikan seluruh permukaan bumi sebagai masjid dan alat bersuci untukku. Maka siapapun di kalangan umatku yang menjumpai waktu shalat, segeralah dia shalat.” (HR. Bukhari 335 dan Muslim 521)
Dalam riwayat lain, dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, beliau bersabda:
وَأَيْنَماَ أَدْرَكَتْكَ الصَّلاَةُ فَصَلِّ، فَهُوَ مَسْجِدٌ
”Dimanapun seseorang menjumpai waktu shalat, segera dia shalat.Maka tempatnya adalah masjid.” (HR. Bukhari 3425 & Muslim 520).
Berdasarkan hadits di atas, asal makna masjid dalam syariat adalah semua tempat di muka bumi ini yang digunakan untuk bersujud kepada Allah. (I’lam as-Sajid bi Ahkamil Masajid, az-Zarkasyi, hlm. 27).
وَقَالَ الزَّجَّاجُ: كُلُّ مَوْضِعٍ يَتَعَبَّدُ فِيْهِ فَهُوَ مَسْجِدٌ، أَلاَ تَرَى أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ: جُعِلَتْ لِيَ الْأَرْضُ مَسْجِداً وَطَهُوْراً
Az Zajaz berkata:setiap tempat yang dipergunakan untuk ibadah adalah masjid,bukankan Nabi shallallahu alaihi wa alihi wa salam bersabda,"telah dijadikan bagiku bumi sebagai masjid yang suci".
Dapat kita pahami bahwa makna kata masjid dalam hadits di atas adalah masjid dalam arti umum. Bahwa semua permukaan bumi bisa digunakan untuk shalat, kecuali beberapa wilayah yang dilarang untuk digunakan sebagai tempat shalat, seperti kamar mandi (WC), atau tempat najis dan kotoran.
Yang menjadi kajian kita adalah masjid dalam arti khusus. Yaitu tempat yang berlaku di sana hukum-hukum masjid, seperti shalat tahiyatul masjid,i’tikaf,larangan diam wanita haidl dan orang junub,larangan jual beli, dan lainnya.
az-Zarkasyi,menyebutkan arti masjid menurut urf (istilah) yang dikhususkan untuk lahan yang disebut masjid.
ثُمَّ إِنَّ الْعُرْفَ خَصَّصَ الْمَسْجِدَ بِالْمَكاَنِ الْمُهَيَّأِ لِلصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ، حَتَى يَخْرُجَ الْمُصَلَّى الْمُجْتَمَعُ فِيْهِ لِلْأَعْياَدِ وَنَحْوِهاَ، فَلاَ يُعْطَى حُكْمَهُ
Kemudian,urf (istilah) mengkhususkan kata masjid kepada tempat (lahan) yang disiapkan untuk shalat lima waktu. Sehingga tanah lapang tempat berkumpul untuk shalat Id atau semacamnya, tidak dihukumi sebagai masjid.(I’lam as-Sajid bi Ahkamil Masajid,az-Zarkasyi, hlm. 27).
Dan sebagaimana telah kita maklumi bahwa tempat ibadah bagi kaum muslim ada juga yang di sebut mushalla,langgar atau surau (tergantung bahasa daerah masing masing).Lalu apakah tempat yang disebut dengan nama diatas itu memiliki hukum masjid juga atau memiliki hukum dan kondisi  tertentu yang berbeda dengan masjid?
Ringkasnya,apakah mushalla dan masjid memiliki fungsi dan makna yang sama ?
Definisi mushalla (musala) dalam bahasa Indonesia adalah : tempat shalat; langgar; surau; (2) tikar shalat; sajadah.(rujuk KBBI).
Definisi mushala sebagai langgar atau surau adalah definisi yang sesuai dengan urf (kebiasaan) masyarakat indonesia, dimana arti langgar adalah:masjid kecil tempat mengaji atau bershalat,tetapi tidak digunakan untuk shalat Jumat; surau; mushala.
Demikian arti mushala yang bisa digunakan untuk merujuk sebagai masjid yang bukan jami', surau, ruang khusus tempat shalat di suatu gedung,kantor atau bahkan pasar (mal) ataupun tempat shalat di rumah.
Kata mushalla salah satunya terdapat dalam al-Baqarah: 125
وَإِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِلنَّاسِ وَأَمْناً وَاتَّخِذُوْا مِنْ مَقاَمِ إِبْرَاهِيْمَ مُصَلَّى
Kata 'maqam' memiliki beberapa tafsiran mengenai dalam ayat tersebut, ada yang mengartikan batu, dan ada yang mengartikan al-haram secara keseluruhan.Sedangkan mushalla ada yang mengartikan sebagai tempat yang secara khusus diperuntukkan untuk shalat.
Dengan demikian, baik masjid dan mushalla mempunyai arti dan fungsi yang sama secara kebahasaan. Namun, penggunaan kata masjid dalam hukum fiqh mempunyai kekhususan yang tidak terdapat dalam arti kata mushalla sebagai tempat shalat secara umum.
Silahkan perhatikan ibarat berikut ini:
قَوْلُهُ فِى الْمَسْجِدِ أَىْ الْخَالِصِ الْمَسْجِدِيَّةِ فَلاَ يَصْحُّ الْإِعْتِكاَفُ فِى غَيْرِ الْمَسْجِدِ كاَلْمَدَارِسِ وَالرَّبْط وَمُصَلَّى الْعِيْدِ.(حاشية الباجوري على التقريب ۱|٣۰٨)
(Perkataan pengarang dimasjid) artinya yang murni masjid , maka tidak sah i’tikaf diselain masjid, seperti dimadrasah, pondok, dan mushalla ‘id.
وَالْجَدْيْدُ أَنَّهُ لاَ يَصِحُّ اعْتِكاَفُ الْمَرْأَةِ فِي مَسْجِدِ بَيْتِهَا وَهُوَ الْمَنْزِلُ الْمُهَيَّأُ لْلصَّلاَةِ (منهاج الطالبين بشرح المحلي ٢|۷٦)
Pendapat baru (mengatakan) bahwa tidak sah bagi wanita untuk i’tikaf dalam masjid rumahnya,yaitu tempat yang disiapkan/ digunakan untuk shalat
وَثاَنِيْهَا مَسْجِدٌ لِلْإِتِّباَعِ رَوَاهُ الشَّيْخَانِ فَلاَيَصِحُّ فِى غَيْرِهِ وَلَوْ هِيَ لِلصَّلاَةِ.(فتح الوهّاب ۱|۱٢٨)
Yang kedua : harus masjid dengan dasar hadits Nabi yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim,maka tidak sah i’tikaf diselain masjid meskipun disediakan untuk shalat.
فِى الْمَسْجِدِ وَهُوَ ماَ وَقَفَهُ الْوَاقِفُ مَسْجِدًا لاَ رِبَاطاً وَلاَ مَدْرَسَةً (الشرقاوي ١|٤٤٨)

Di Masjid yaitu suatu tempat yang telah diwaqofkan untuk menjadi masjid bukan pondok atau madrasah.
وَخَرَجَ بِالْمَسْجِدِ مُصَلَّى الْعِيْدِ وَماَ بُنِىَ فِى أَرْضٍ مُسْتَأْجَرَةٍ عَلَى صُوْرَةِ الْمَسْجِدِ وَأَذِنَ باَنِيْهِ فِى الصَّلاَةِ فِيْهِ.(تحفة المحتاج ٢|٢٢٣)
Dikecualikan dari kata masjid adalah : tempat shalat hari raya dan bangunan yang didirikan di atas tanah persewaan dengan model bangunan masjid dan pendirinya / pembangunnya mengizinkan untuk shalat di situ.
                
فَلَوْ رَأَيْناَ مَحَلاًّ مُهَيَّأً لِلصَّلاَةِ وَلَمْ يَتَوَاتَرْ بَيْنَ النَّاسِ أَنَّهُ مَسْجِدٌ لَمْ يَجِبِ الْتِزَامُ أَحْكاَمِ الْمَسْجِدِيَّةِ فِيْهِ.(بغية المسترشدين ص ٦)
Jika kita melihat tempat yang diperuntukkan untuk sholat, dan manusia tidak beranggapan kalau hal itu tadi masjid, maka tidak bisa ditetapkan sebagai masjid.

Dengan demikian,maka jelaslah bahwa mushalla walaupun memiliki kesamaan arti dari segi bahasa dan kesamaan dari sebagian fungsinya dengan masjid,namun berbeda dalam esensinya menurut fiqh.Sehingga dalam mushalla tidak perlu diberlakukan hukum hukum masjid jami’.
Penulis pernah membaca dalam suatu buku tentang masalah masjid dan mushalla ini,yang disebutkan penulisnya sebagai berikut:
وَنَقَلَ الزَّرْكَشِي عَنِ الْغَزَالِي أَنَّهُ سُىِٔلَ عَنِ الْمُصَلَّى الَّذِي بُنِيَ لِصَلاَةِ الْعِيْدِ خَارِجَ الْبَلَدِ فَقَالَ : لاَ يَثْبُتُ لَهُ حُكْمُ الْمَسْجِدِ فِى الْإِعْتِكَافِ وَمُكْثِ الْجُنُبِ وَغَيْرِهِ مِنَ الْأَحْكَامِ، لِأَنَّ الْمَسْجِدَ هُوَ الَّذِي أُعِدَّ لِرَوَاتِبِ الصَّلاَةِ وَعُيِّنَ لَهاَ حَتَّى لاَ يُنْتَفَعُ بِهِ فِى غَيْرِهاَ، وَمَوْضِعُ صَلاَةِ الْعِيْدِ مُعَدٌّ لِلْإِجْتِماَعاَتِ وَلِنُزُوْلِ الْقَوَافِلِ وَلِرُكُوْبِ الدَّواَبِ وَلَعْبِ الصِّبْيَانِ، وَلَمْ تَجْرِ عَادَةُ السَّلَفِ بِمَنْعِ شَيءٍ مِنْ ذَلِكَ فِيْهِ،وَلَوِ اعْتَقَدُوْهُ مَسْجِدًا لَصَانُوْهُ عَنْ هَذِهِ اْلأَسْبَابِ وَلَقُصِدَ لِإِقاَمَةِ ساَىِٔرِ الصَّلَواَتِ، وَصَلاَةُ الْعِيْدِ تَطَوُّعٌ وَهُوَ لاَ يَكْثُرُ تَكَرُّرُهُ بَلْ يُبْنَى لِقَصْدِ اْلإِجْتِمَاعِ، وَالصَّلاَةُ تَقَعُ فِيْهِ بِالتَّبْعِ.
Dan Imam Zarkasyi menukilkan dari Imam Ghazali bahwasanya beliau ditanya tentang mushalla yang dibangun untuk shalat Ied di luar perkampungan. Maka beliau menjawab tidak ditetapkan padanya hukum masjid dalam hal i'tikaf dan berdiamnya orang junub dan hukum hukum lainnya
KARENA MASJID ADALAH TEMPAT YANG DISIAPKAN UNTUK SHALAT SECARA RUTIN DAN DITENTUKAN UNTUK SHALAT HINGGA TIDAK DIPAKAI UNTUK KEPENTINGAN LAINNYA. SEDANG TEMPAT SHALAT IED DIPERUNTUKKAN UNTUK PERTEMUAN2 DAN MENURUNKAN ORANG DARI PERJALANAN DAN TEMPAT TURUN NAIK KENDARAAN DAN TEMPAT MAIN ANAK ANAK.Dan tidak berlaku kebiasaan salaf melarang hal tersebut di musholla ied.JIKALAU MEREKA MENGANGGAPNYA MASJID MAKA AKAN DIJAGA DARI SEBAB SEBAB TERSEBUT DAN ADA NIAT UNTUK MELAKUKAN SEMUA SHALAT DISANA.Dan shalat ied adalah sunnah yang tidak banyak berulangnya dan pembangunan musholla tersebut hanya untuk bisa mengumpulkan orang orang sedangkan shalat dilakukan disitu sekedar sebagai fungsi ikutan (tambahan).
Dari jawaban Imam Ghazali bisa ditarik kesimpulan :
JIKA MUSHALLA DIBANGUN UNTUK SHALAT SECARA RUTIN, PERUNTUKAN UTAMANYA UNTUK SHALAT DAN TIDAK DIPAKAI UNTUK HAL LAIN YANG TAK SEJALAN, DIJAGA DARI HAL-HAL YANG TIDAK SESUAI DENGAN FUNGSI MASJID,MAKA PADA TEMPAT TERSEBUT BERLAKU HUKUM HUKUM MASJID, alias bisa dipakai tahiyyat masjid, dilarang orang junub berdiam, dsb. Artinya tempat tersebut adalah masjid meski sebutannya mushalla.
Dan sekarang mari kita koreksi bersama:
Pertama,pertanyaan merujuk kepada tanah lapang,yaitu ungkapannya,’diluar perkampungan,tempat shalat Id, diperuntukan untuk pertemuan,tempat persinggahan kafilah, tempat naik turun kendaraan dan tempat bermain anak anak’.
Jadi disini tidak ada bangunan atau bentuk fisik masjid.Karena untuk shalat Id,bukan hanya di Arab bahkan di negara kitapun banyak yang melakukannya dilapangan terbuka.Oleh karena itu sudah tentu lahan tersebut bukan lahan waqaf,tapi lahan umum yang terkadang dipakai shalat Id setahun sekali.Bahkan bila dilihat ibaratnya,kita bisa menarik kesimpulan bahwa tanah yang dimaksud dalam pertanyaan adalah tanah lapang dekat pasar, dengan dasar ucapan ‘tempat persinggahan kafilah dan naik kendaraan serta bermain anak anak’. Oleh karena itulah Al Ghazali memberikan alasan sebagai berikut:
Kedua,karena masjid adalah lahan yang dipergunakan untuk melakukan rutinitas shalat,dan ditentukan untuknya sehingga tidak bisa dimanfaatkan untuk selainnya.
Jawaban ini sangat jelas menunjukkan bahwa tanah tersebut bukan lahan waqaf yang dikhususkan untuk shalat,tapi hanya lahan umum yang sekali kali dipakai untuk melakukan kegiatan shalat Id setahun sekali.Dan itu diperkuat dengan ucapannya:
Ketiga:’bila mereka beri’tikad bahwa lahan itu masjid tentu mereka akan menjaganya dari hal hal tersebut dan tentu tempat itu akan selalu dipakai untuk melaksanakan semua kegiatan shalat’.
Sebagaimana telah maklum bahwa shalat fardlu itu bukan hanya shalat lima waktu,namun ditambah shalat Jum’at.Dan sebenarnyalah bahwa fariq (pembeda) antara masjid dan mushalla adalah dalam urusan shalat jum’at tersebut.Karena itulah masjid jum’at sering disebut dengan istilah masjid jami’, yang mengacu pada kegiatan shalat jum’at tadi.Dan jawaban Alghazali ‘melaksanakan semua kegiatan shalat’itu memberi indikasi kuat bahwa yang dimaksudnya adalah masjid jami’. Dan dengan demikian,justru jawaban Alghazali ini merupakan jawaban bagi perbedaan antara masjid jami’ dan mushalla.Dan dengan demikian,sah saja apabila kita membuat perbedaan antara masjid dan mushalla dengan ibarat,’masjid ialah tempat shalat yang juga dipakai untuk melaksanakan shalat jum’at, sedangkan mushalla tidak’.
Kenapa begitu?,karena sebagaimana beberapa referensi yang telah penulis turunkan diatas,bahwa kalau hanya untuk shalat lima waktu dan sebagainya,mushalla juga sama dengan masjid, namun bila tentang shalat jum’at,maka hanya masjid jami’ yang digunakan.Dan masjid jami’ inilah yang bertalian dengan hukum hukum khusus tentang masjid,seperti i’tikaf,larangan masuk orang haidl,junub dan sebagainya.
Dengan demikian,menurut penulis,kesimpulan yang diambil dari jawaban Alghazali dalam buku tersebut itu tidak tepat sasaran.Wallahu ‘alam  
Dalam kitab al-Masajid, Dr. Said al-Qohthani menjelaskan,
أَمَّا الْجَامِعُ: فَهُوَ نَعْتٌ لِلْمَسْجِدِ، سُمِّيَ بِذَلِكَ؛ لِأَنَّهُ يَجْمَعُ أَهْلَهُ؛ وَلِأَنَّهُ عَلَامَةٌ لِلْإِجْتِمَاعِ،فَيُقَالُ: الْمَسِجْدُ الْجاَمِعُ… وَيُقَالُ لِلْمَسْجِدِ الَّذِي تُصَلَّى فِيْهِ الْجُمْعَةُ، وَإِنْ كاَنَ صَغِيْراً؛ لِأَنَّهُ يَجْمَعُ النَّاسَ فِي وَقْتٍ مَعْلُوْمٍ
Adapun kata ‘al-Jami’ ini merupakan kata sifat untuk masjid. Disebut jami’, karena masjid ini mengumpulkan seluruh jamaahnya, dan merupakan ciri berkumpulnya (manusia).Maka disebut Masjid Jami’… Dan istilah ini dipakai untuk menyebut masjid yang digunakan untuk shalat jumat, meskipun masjid ini kecil (bentuk atau lahannya).Karena masjid ini mengumpulkan masyarakat di waktu tertentu. (al-Masajid, hlm. 7).
Adapun tentang merubah status mushalla menjadi masjid jami’, maka yang menjadi acuan hanya apakah mushalla tersebut  merupakan lahan waqaf atau tidak?.Bila lahan waqaf, maka bisa dirubah sesuai kebutuhan saat itu dan bila bukan maka tidak bisa,sebagaimana bahasan yang akan datang,bahwa masjid harus di atas lahan waqaf.Kecuali bila lahan tersebut dirubah statusnya dahulu menjadi lahan waqaf untuk dijadikan masjid.
Hukum perubahan ini bisa kita lihat dari fakta sejarah saja, dimana sebuah gereja dapat dirubah menjadi masjid.Bila sebuah gereja saja dapat berubah fungsi jadi masjid,lalu mengapa mushalla yang memiliki banyak persamaan dengan masjid tidak boleh?.
Rasulallah shallallahu alaihi wa alihi wa salam bersabda:
اخْرُجُوْا فَإِذَا أَتَيْتُمْ أَرْضَكُمْ فَاكْسِرُوْا بِيْعَتِكُمْ وَانْضَحُوْا مَكَانَهَا بِهَذَا الْمَاءِ وَاتَّخِذُوْهَا مَسْجِدًا (رواه النسائي)
“ pulanglah kalian,jika kalian sudah sampai di kampung kalian, maka hancurkanlah gereja kalian, dan siramlah (bekas) tempat itu dengan air ini,dan dirikanlah masjid di tempat tersebut“.      ( HR.Nasa’i )
Adapun bila yang menjadi persoalan adalah karena adanya perubahan bentuk atau fungsi benda waqaf,maka sesungguhnya perlu diketahui bahwa perubahan mushalla menjadi masjid tidak terdapat didalamnya perubahan fungsi dan bentuk,karena sebagaimana telah lalu,bahwa diantara keduanya memiliki banyak persamaan,kecuali masalah shalat jum’at dan hukum hukum masjid yang tertentu saja.
لاَ يَجُوْزُ تَغْيِيْرُ الْوَقْفِ عَنْ هَيْئَتِهِ ،فَلاَ تُجْعَلُ الدَارُ بُسْتاَناً ،وَلاَ حَمَاماً،وَلاَ بِالْعَكْسِ،إِلاَّ إِذَا جَعَلَ الْوَاقِفُ إِلَى النَّاظِرِ ماَ يَرَى فِيْهِ مَصْلَحَةً لِلْوَقْفِ ،وَفِي فَتَاوَى الْقَفَّالِ :أَنَّهُ يَجُوْزُ أَنْ يُجْعَلَ حاَنُوْتُ الْقَصَّارِيْنَ لِلْخَبَّازِيْنَ،فَكَأَنَّهُ احْتُمِلَ تَغْيِيْرُ النَّوْعِ دُوْنَ الْجِنْسِ (روضة الطالبين من كتاب الوقف الباب الثاني فصل في المسائل المنثورة)
Tidak boleh mengubah bentuk (barang) waqaf.Maka tidak diperbolehkan rumah (waqaf) menjadi kebun ataupun tempat pemandian,dan sebaliknya.Kecuali jika waqif memasrahkan kepada nadhir apa yang dipandang maslahah bagi kepentingan wakaf.Dalam fatwa imam al-Qaffal menyatakan:boleh menjadikan (waqaf) tempat cuci (binatu) sebagai toko roti. Barangkali pengertiannya adalah merubah nau’ (model) bukan jenis (ragam).
 وَلِأَهْلِ الْوَقْفِ الْمُهَايَأَةُ لاَ قِسْمَتُهُ وَلَوْ إِفْرَازاً وَلَا تَغْيِيْرُهُ كَجَعْلِ الْبُسْتاَنِ داَراً وَعَكْسِهِ مَا لَمْ يَشْرُطِ الْوَاقِفُ الْعَمَلَ بِالْمَصْلَحَةِ فَيَجُوْزُ تَغْيِيْرُهُ بِحَسَبِهَا ،قَالَ السُّبْكِي:وَالَّذِي أَرَاهُ تَغْيِيْرُهُ فِي غَيْرِهِ وَلَكِنْ بِثَلاَثَةِ شُرُوْطٍ:أَنْ يَكُوْنَ يَسِيْرًا لاَ يُغَيِّرُ مُسَمَّاهُ ،وَأَنْ لاَ يُزِيْلَ شَيْئاً مِنْ عَيْنِهِ بَلْ يَنْقُلُهُ مِنْ جاَنِبٍ إِلَى آخَرَ،وَأَنْ يَكُوْنَ مَصْلَحَةَ وَقْفٍ (نهاية المحتاج من كتاب الوقف فصل في أحكام الوقف المعنوية)
Boleh bagi mauquf alaihi mengadakan penyelarasan (benda waqaf),tetapi tidak boleh membagi-bagi meskipun bagi rata,dan tidak boleh merubah (bentuk) benda waqaf seperti menjadikan kebun sebagai rumah atau sebaliknya,selama waqif tidak mensyarat (memboleh) kan satu tindakan antisipasi demi kemaslahatan, (jika waqif mensyaratkan satu tindakan tertentu) maka boleh merubah (bentuk) benda waqaf atas dasar kemaslahatan.Imam as Subky berkata: pendapat saya adalah boleh mengubah benda waqaf diselain terdapatnya syarat waqif,tetapi dengan tiga syarat:1perubahan itu sedikit yang tidak merubah musamma (esensi/sifat/fungsi),2tidak boleh menghilangkan sekecil apapun dari bendanya,tapi boleh memindahkan ke arah yang lain,dan 3 adanya perubahan tersebut untuk kemaslahatan wakaf.
Dalam ibarat Raudlah terdapat kata jins dan nau’,yang bila diterjemahkan dalam bahasa kita tentu agak sukar memberikan arti yang jelas,karena itu ada baiknya penulis turunkan ibarat kitab lughat Mishbah Munir berikut ini:
الجِنْسُ الضَّرْبُ مِنْ كُلِّ شئٍ وَالْجَمْعُ أَجْنَاسٌ وَهُوَ أَعَمُّ مِنَ النَّوْعِ,فَالْحَيَوَانُ جِنْسٌ وَاْلإِنْسَانُ نَوْعٌ.وَحُكِيَ عَنِ الْخَلِيْلِ "هَذَا يُجَانِسُ هَذَا" أَيْ يُشَاكِلُهُ,وَنَصَّ عَلَيْهِ فِي التَّهْذِيْبِ أَيْضًا,وَعَنْ بَعْضِهِمْ "فُلاَنٌ لاَ يُجَانِسُ النَّاسَ",إِذَا لَمْ يَكُنْ لَهُ تَمْيِيْزٌ وَلاَ عَقْلٌ.وَاْلأَصْمَعِي يُنْكِرُ هَذَيْنِ اْلإٍسْتِعْمَالَيْنِ وَيَقُوْلُ:هُوَ مِنْ كَلاَمِ الْمُوَلَّدِيْنَ لَيْسَ بِعَرَبِيٍّ (المصباح المنير في غريب شرح الكبير ١|١١١ )
Jins ialah ragam dari segala sesuatu dan jama’nya ajnas,jins lebih umum dari nau’,maka haiwan itu jins dan insan itu nau’. Dan telah diriwayatkan dari imam Khalil (ucapan),’hadza yujanisu hadza’,yaitu ini menyerupainya’.begitu pula dalam kitab tahdzib telah ditegaskan.Dan dari sebagian ahli bahasa, (diriwayatkan ungkapan),’fulan la yujanisu an nas’,yaitu bila ia tidak memiliki kewarasan dan akal fikiran.Al Ashma’i tidak sependapat pada pemakaian kedua ibarat tersebut dan berkata: ini dari sebagian perkataan muwalladin (arab keturunan),bukan bahasa arab asli’.
النَّوْعُ مِنَ الشَّئِ الصِّنْفُ,وَتَنَوَّعَ صَارَ أَنْوَاعًا,وَنَوَّعْتُهُ تَنْوِيْعًا جَعَلْتُهُ أَنْوَاعًا مُتَنَوِّعَةً.قَالَ الصَّغَانِيّ: النَّوْعُ أَخَصُّ مِنَ الْجِنْسِ,وَقِيْلَ هُوَ الضَّرْبُ مِنَ الشَّئِ كالثِّيَابِ وَالثِّمَارِ حَتَّى فِي الْكَلاَمَ (المصباح المنير في غريب شرح الكبير ٢|٦٣١ )
Nau’ dari sesuatu ialah sinf ( model ),tanawwa’a,artinya jadi beberapa model,dan nawwa’tuhu-tanwi’an artinya aku menjadikannya berbagai model yang berbeda.Berkata Ash Shaghany:Nau’ itu lebih khusus daripada jins,dan ada disebutkan:nau’ itu macam dari setiap sesuatu,seperti kain dan bebuahan,bahkan pada perkataan (sekalipun).
Dan untuk memperjelas,ada baiknya kita membuatkan beberapa contoh dari masalah benda waqaf tersebut.Seperti kendaraan,ini jenis dan motor itu nau’.Bila ada seseorang mewakafkan motor, maka tidak boleh merubah bentuk motor tersebut daripada aslinya ketika ia diwakafkan.Kendaraan yang berupa motor itu memiliki musamma (sifat/fungsi) yaitu alat pengangkut atau transfortasi.Dan tentang sifat/fungsi ini menurut As Subky boleh untuk dirubah,namun dengan catatan tidak sampai menghilangkan sifatnya secara total.Seperti contoh pada motor, bila sifat motor itu dihilangkan,seperti ban dan mesinnya dibuang/dipreteli,sehingga tidak lagi memiliki fungsi asalnya, tapi hanya tinggal bangkai atau rangka motor,maka yang demikian itu tidak diperbolehkan.Adapun bila motor tersebut sifatnya hanya sedikit berubah,yang asalnya merupakan alat transfort menjadi bahan pajangan/totonan misalnya,maka yang demikian itu tidak menjadikan sifat aslinya berubah total. Karena masih bisa digunakan lagi sesuai fungsi asalnya.
Demikian pula dengan contoh pada ibarat kitab,yaitu rumah, kebun,toko binatu dan toko roti.Rumah adalah nau’ dari jenis sukna (tempat tinggal) yang memiliki sifat untuk tinggal dan berdiam sebagai sarana kebutuhan papan manusia.Kebun adalah nau’ dari jenis gharas (lahan cocok tanam),yang memiliki sifat untuk menyemai benih tanaman dan bercocok tanam sebagai sarana kebutuhan pangan manusia.Dan begitu pula dengan toko roti dan kios binatu,merupakan nau’ dari mutlak toko dan kios,yang memiliki sifat sebagai tempat produksi roti dan pembersihan pakaian pelanggan.
Pendapat imam Qaffal yang ditukilkan oleh imam Nawawi lalu diartikan olehnya sebagai perubahan dari nau’ bukan jenisnya. Artinya,bentuk tempat itu tetap toko,tapi nau’nya yaitu asalnya tempat produksi roti beralih menjadi tempat cuci pakaian.
Bila telah dapat dimengerti,maka kita akan lanjut pada pembahasan tentang status masjid dan mushalla.Masjid dan mushalla adalah nau’ daripada mutlak tempat sujud (ibadah), yaitu bumi sebagaimana dalam hadits diatas.Sifat dari keduanya adalah sama,yaitu tempat mendirikan shalat (walau dari segi pertalian dengan hukum tertentu ada perbedaan).Bila kita telah mengetahui hal tersebut,maka apa yang menjadikan perbedaan faham tentang perubahan dari mushalla ke masjid?. Adapun  tentang yang asalnya tidak terdapat hukum khusus pada mushalla,lalu setelah jadi masjid memiliki aturan hukum tertentu,maka hal demikian itulah yang dimaksud oleh As Subky tentang boleh adanya sedikit perubahan pada musamma, asal tidak sampai merubah bentuk benda waqaf tersebut,yaitu mushalla pada bahasan kita sekarang.Dan ini pula maksud pelurusan makna oleh imam Nawawi tentang pendapat imam Qaffal diatas.Wallahu a’lam.
Adapun masalah lain yang berkaitan dengan lahan waqaf masjid adalah soal pemindahan lahan masjid.Dalam masalah ini ada dua arah yang menjadi bahasan,yaitu:
a.lahan waqaf yang dijadikan masjid
b.lahan waqaf milik masjid
Tentang lahan waqaf untuk masjid,maka bisa dikatakan bahwa ulama syafi’iyyah sepakat pemindahan lahan masjid tersebut tidak boleh.Dan pendapat madzhab yang lain ada yang memperbolehkan,sebagai berikut:
وَلاَ يَجُوْزُ اسْتِبْدَالُ الْمَوْقُوْفِ عِنْدَنَا وَاِنْ خَرَبَ،خِلاَفًا لِلْحَنَفِيَّةِ.وَصُوْرَتُهُ عِنْدَهُ أَنْ يَكُوْنَ الْمَحَلُّ قَدْ آلَ إِلَى السُّقُوْطِ فَيُبْدَلُ بِمَحَلٍّ آخَرَ اَحْسَنَ مِنْهُ بَعْدَ حُكْمِ حَاكِمٍ يَرَى صِحَّتَهُ (الشرقاوي ٢|١۷٨)
"Tidak boleh menukarkan lahan wakaf menurut madzhab kami (Syafi'i),walaupun telah sepi.Berbeda dengan madzhab Hanafi yang membolehkannya.Gambarannya menurut pendapat mereka adalah apabila tempat yang diwakafkan itu benar-benar hampir longsor, kemudian ditukarkan dengan tempat lain yang lebih baik dari padanya, sesudah ditetapkan oleh hakim yang melihat kebenarannya".
اعْلَمْ أَنَّ الِاسْتِبْدَالَ عَلَى ثَلَاثَةِ وُجُوهٍ: الْأَوَّلُ أَنْ يَشْرِطَهُ الْوَاقِفُ لِنَفْسِهِ أَوْ لِغَيْرِهِ أَوْ لِنَفْسِهِ وَغَيْرِهِ ، فَالِاسْتِبْدَالُ فِيهِ جَائِزٌ عَلَى الصَّحِيحِ وَقِيلَ اتِّفَاقًا .وَالثَّانِي أَنْ لَا يَشْرُطَهُ سَوَاءٌ شَرَطَ عَدَمَهُ أَوْ سَكَتَ لَكِنْ صَارَ بِحَيْثُ لَا يُنْتَفَعُ بِهِ بِالْكُلِّيَّةِ بِأَنْ لَا يَحْصُلَ مِنْهُ شَيْءٌ أَصْلًا ، أَوْ لَا يَفِي بِمُؤْنَتِهِ فَهُوَ أَيْضًا جَائِزٌ عَلَى الْأَصَحِّ إذَا كَانَ بِإِذْنِ الْقَاضِي وَرَأْيِهِ الْمَصْلَحَةَ فِيهِ .وَالثَّالِثُ  أَنْ لَا يَشْرُطَهُ أَيْضًا وَلَكِنْ فِيهِ نَفْعٌ فِي الْجُمْلَةِ وَبَدَلُهُ خَيْرٌ مِنْهُ رِيعًا وَنَفْعًا ، وَهَذَا لَا يَجُوزُ اسْتِبْدَالُهُ عَلَى الْأَصَحِّ الْمُخْتَارِ كَذَا حَرَّرَهُ الْعَلَّامَةُ قَنَالِي زَادَهْ فِي رِسَالَتِهِ الْمَوْضُوعَةِ فِي الِاسْتِبْدَالِ ، وَأَطْنَبَ فِيهَا عَلَيْهِ الِاسْتِدْلَالَ وَهُوَ مَأْخُوذٌ مِنْ الْفَتْحِ أَيْضًا كَمَا سَنَذْكُرُهُ عِنْدَ قَوْلِ الشَّارِحِ لَا يَجُوزُ اسْتِبْدَالُ الْعَامِرِ إلَّا فِي أَرْبَعٍ وَيَأْتِي بَقِيَّةُ شُرُوطِ الْجَوَازِ) .ردّ المختار ١| ٣٢٩(
Ketahuilah! bahwa pertukaran itu ada tiga:pertama,waqif menyaratkannya bagi dirinya atau pada orang lain,atau bagi dirinya dan orang lain.Maka petukaran seperti demikian boleh menurut pendapat sahih,dan dsebutkan sepakat.Kedua,waqif tidak menyaratkannya,baik syarat tidaknya atau diam,namun lahan tersebut beralih mengalami posisi tidak dapat digunakan sama sekali,yaitu tidak dapat menghasilkan lagi,atau tidak mencukupi lagi untuk biayanya,maka yang demikian juga boleh (ditukar) menurut pendapat ashah,bila ada idzin qadli yang melihat adanya maslahat . Ketiga,waqif tidak mensyaratkan juga,namun disitu terdapat sebatas manfaat dan gantinya itu lebih baik hasil dan gunanya.Ini tidak boleh meukarkannya menurut pendapat ashah yang terpilih,sebagaimana telah menyetujuinya syekh Qanaly zadah dalam risalahnya tentang pertukaran (lahan waqaf).Beliau memperpanjang pemberian dalil yang diambil dari kitab alfath juga,sebagaimana nanti akan aku jelaskan pada poin ucapan penjelas’tidak boleh menukarkan lahan yang produktif kecuali pada empat (keadaan).Dan nanti akan datang sisa sisa syarat yang memperbolehkan.
Menurut penulis pribadi,bila ada kejadian seperti ini dan keadaan mendesak untuk menggantikan lahan waqaf tersebut, maka tidak ada salahnya untuk mengunakan madzhab Hanafy, daripada melakukan tindakan yang tidak berdasar sama sekali, ada lebih baik memakai madzhab luar Syafi’i,apalagi kita adalah awam yang tidak berpegang pada satu madzhab tertentu.
وَقَالَ ابْنُ السُّبْكِي:وَمَا أَحْسَنَ التَّمَذْهُبَ وَاسْتِعْمَالَ الأَوْجُهِ فيِ دَرْءِ الْمَفَاسِدِ الْوَأقِعَةِ فِي مُصَادَمَةِ الشَّرْعِ, وَفِي التُّحْفَةِ:قَالَ ابْنُ السُّبْكِي:يَجُوْزُ الإِفْتَأءُ بِغَيْرِ الْمَذْهَبِ الأَرْبَعَةِ لِمَصْلَحَةٍ دِيْنِيَّةٍ,أَي مَعَ تَبْيِيْنِهِ لِلْمُسْتَفْتِي قَائِلَ ذَلِكَ (بغية المسترشدين ص ١٦٤ )
Anak Subky berkata:’alangkah baiknya berpindah madzhab dan menggunakan wajh (pendapat lemah) untuk mengantisipasi mafsadat yang terjadi karena melanggar aturan syari’at’.Dan dalam kitab Tuhfah disebutkan:anak Subky berkata:boleh untuk berfatwa dengan selain madzhab empat untuk kemashlahatan agama,yaitu dengan disertai penerangan kepada yang meminta fatwa akan orang yang memiliki pendapat tersebut.
وَقَالَ الشَّرِيْفُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَبْدِ اللهِ باَفَقِيْه:وَيَظْهَرُ مِنْ عَمَلِ وَكَلاَمِ الْأَئِمَّةِ أَنَّ الْعاَمِي حَيْثُ عَمِلَ مُعْتَقِدًا أَنَّهُ حُكْمٌ شَرِعِيٌّ وَوَافَقَ مَذْهَباً مُعْتَبَرًا وَإِنْ لَمْ يَعْرِفْ عَيْنَ قاَئِلِهِ صَحَّ ماَ لَمْ يَكُنْ حَالَ عَمَلِهِ مُقَلِّداً لِغَيْرِهِ تَقْلِيْداً صَحِيْحًا اﻫ. (بغية المسترشدين ص ١۰ )
Syarif Abdurrahman bin Abdillah ba Faqih berkata:terlihat dari perbuatan dan ucapan para imam bahwa sesungguhnya orang awam bila berbuat (sesuatu) sembari memiliki i’tikad bahwasanya itulah hukum syara’ dan mengenai satu madzhab yang diakui,walau ia tidak mengenal pemilik pendapat,maka sah amalnya,selama ia ketika berbuat tidak sedang bertaklid pada yang lainnya.
إِذِ الْعَامِي لاَ مَذْهَبَ لَهُ بَلْ لَهُ أَنْ يَأْخُذَ بِفَتْوَى مَنْ أَفْتَاهُ مِنْ أَرْبَابِ الْمَذَاهِبِ,لَكِنْ بِشَرْطِ التَّقْلِيْدَ الْمَارَ (بغببية المسترشدين ص ١٨٤ )
Karena orang awam tidak memiliki madzhab tertentu,namun boleh baginya untuk mengambil fatwa seorang mufti dari para mufti madzhab,tentu dengan syarat taqlid yang telah lalu.
Sedangkan soal perubahan barang waqaf,ada beberapa pendapat, seperti berikut ini:
وَلاَ يَنْقُضُ الْمَسْجِدُ اَيِ الْمُنْهَدِمُ الْمُتَقَدِّمُ ذِكْرُهُ فِى قَوْلِهِ " فَلَوِ انْهَدَمَ مَسْجِدٌ " ، وَمِثْلُ الْمُنْهَدِمِ اَلْمُتَعَطِّلُ.( وَالْحَاصِلُ ) اَنَّ هذَا الْمَسْجِدَ الَّذِى انْهَدَمَ اَىْ اَوْ تَعَطَّلَ بِتَعْطِيْلِ اَهْلِ الْبَلَدِ لَهُ كَمَا مَرَّ لاَ يُنْقَضُ اَىْ لاَ يُبْطَلُ بِنَاؤُهُ بِحَيْثُ يُتَمَّمُ هَدْمُهُ فِىْ صُوْرَةِ الْمَسْجِدِ الْمُنْهَدِمِ اَوْ يُهْدَمُ مِنْ أَصْلِهِ فِى صُوْرَةِ الْمُتَعَطَّلِ,بَلْ يَبْقَى عَلَى حَالِهِ مِنَ الاِنْهِدَامِ أَوْ التَّعْطِيْلِ.وَذلِكَ لإِمْكَانِ الصَّلاَةِ فِيْهِ وَهُوَ بِهذِهِ الْحَالَةِ وَلإِمْكَانِ عَوْدِهِ كَمَا كَانَ (إعانة الطالبين ٣|١٨١)
"Dan tidak boleh masjid dirusak.yaitu, masjid roboh yang telah disebutkan sebelumnya dalam ucapan pengarang "Maka andaikata ada sebuah masjid yang roboh". Dan masjid yang kosong adalah seperti masjid yang roboh.Walhasil, sesungguhnya masjid yang telah roboh ini,atau telah kosong sebab dikosongkan oleh penduduk desa tempat masjid tersebut berada sebagaimana keterangan yang telah lalu, maka masjid tersebut tidak boleh dirusak, artinya bangunannya tidak boleh dibatalkan dengan jalan disempurnakan penghancurannya dalam bentuk masjid yang roboh, atau dihancurkan mulai dari asalnya dalam bentuk masjid yang dikosongkan.Akan tetapi hukum masjid tersebut tetap dalam keadaannya sejak roboh atau kosong.Yang demikian itu ialah karena masih mungkin melakukan shalat di masjid tersebut dalam keadaannya yang roboh ini dan masih mungkin mengembalikan bangunannya seperti sediakala".
يَحْرُمُ تَطْيِيْنُ الْمَسْجِدِ بِالْآجُرِ النَّجِسِ وَيَكْرَهُ بِنَاؤُهُ بِهِ وَنَصَّ بَعْضُهُمْ عَلَى التَّحْرِيْمِ أَيْضاً,وَيَجُوْزُ تَوْسِيْعُ الْمَسْجِدِ وَتَغَيِيْرُ بِنَائِهِ بِنَحْوِ رَفْعِهِ لِلْحَاجَةِ بِشَرْطِ إِذْنِ النَّاظِرِ مِنْ جِهَةِ الْوَاقِفِ ثُمَّ الْحَاكِمِ الْأَهْلِ,فَإِنْ لَمْ يُوْجَدْ وَكَانَ الْمُوَسِّعُ ذَا عَدَالَةٍ وَرَآهُ مَصْلَحَةً بِحَيْثُ يَغْلِبُ عَلَى الظَّنِّ أَنَّهُ لَوْ كاَنَ الْوَاقِفُ حَيًّا لَرَضِيَ بهِ جَازَ وَلاَ يَحْتَأجُ إِلَى إِذْنِ وَرَثَةِ الْوَاقِفِ إِذَا لمَ يشْرُطْ لَهُمُ النَّظَرَ.وَلَوْ وَقَفَ مَا حَوَالَيْهِ مَرَافِقَ لَهُ جَازَ تَوْسِيْعُهُ مِنْهُ أَيْضًا إِنْ شَرِطَ الْوَاقِفُ التَّوْسِيْعَ مِنْهَا عِنْدَ الْحَاجَةِ أَوِ اطَّرَدَ عُرْفٌ لأَنَّ الْعَادَةَ الْمُقْتَرَنَةَ بِالْوَقْفِ مُنَزَّلَةٌ مَنْزِلَةَ شَرْطِهِ,وكَذَا إِنْ جَعَلَ لِمَنْ يَتَوَلاَّهُ أَنْ يَفْعَلَ مَا رَآهُ مَصْلَحَةً أَوِ اقْتَضَى نَظَرُ الْمُتَوَلِّي بِدِلاَلَةِ الْحَالِ ذَلِكَ.وَلاَ تَصِيْرُ الزِّيَأَدَةُ الْمَذْكُوْرَةُ مَسْجِدًا إِلاّ بِالتَّلَفُّظِ بِوَقْفِهَا أَوْ مَا قَامَ مَقَامَهَا كّإِشَارَةِ اْلأَحِرِسِ (بغية المسترشدين ص ٦٥)
Dilarang mengapur masjid dengan kapur najis,dan makruh membangun masjid dengan batu kapur (bata) najis.Dan sebagian ulama ada yang menjelaskan larangannya juga.Dan boleh untuk memperluas masjid dan merubah bangunannya dengan seumpama meningkatkan bangunannya karena adanya kebutuhan,dengan syarat ada idzin nadhir dari pihak waqif,lalu hakim yang ahli (bila tidak ada nadhir khas).Dan bila tidak ada, maka bila orang yang akan memperluasnya itu seorang yang bersifat adil dan melihat adanya mashlahat,sekira ada dugaan dominan bahwa bila waqif masih hidup tentu akan setuju,maka boleh untuk memperluas,dan tidak harus menunggu idzin ahli warits waqif bila tidak memiliki jabatan nadhir.Dan bila waqif mewakafkan (pula) pelataran disekeliling masjid,maka boleh untuk memperluas dari lahan tersebut bila waqif telah memperbolehkan perluasan diambil dari lahan itu ketika dibutuhkan,atau adat telah berlaku (demikian),karena adat yang bertepatan dengan waqaf itu disamakan dengan syarat waqif. Begitu pula (boleh memperluas dengan mengambil lahan tersebut) bila waqif mempersilahkan kepada pengurus untuk berbuat yang ia anggap mashlahat,atau pemikiran pengurus melihat adanya kemashlahatan untuk itu.Lahan tambahan perluasan tersebut tidak sekaligus menjadi masjid kecuali dengan ikrar waqaf atau yang seumpama ikrar lisan,seperti isyarat orang yang bisu.
فَقَدِ اسْتَظْهَرَ فِى فَتَاوِيْهِ رَأْيَ الْقَائِلِيْنَ بِجَوَازِ تَغْيِيْرِ الْوَقْفِ لِلْمَصْلَحَةِ حَيْثُ بَقِيَ الْإِسْمُ وَنَقَلَ مِثْلَهُ عَنِ الْخَادِمِ وَابْنِ الرِّفْعَةِ وَالْقَفَّالِ.وَمِنْهُمُ الْإِماَمَانِ عُجَيْلٌ وَالْإِماَمُ أَبُو شُكَيْلٍ فَقَدْ أَطْلَقاَ الْجَوَازَ وَلَمْ يُقَيِّدَاهُ بِشَئٍ بَلْ نَقَلَ بَعْضُهُمْ عَنْهُماَ عَدَمَ التَّقْيِيْدِ.وَمِنْهُمُ الشَّيْخُ أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ بَلْحَاج وَقَدْ وَسَّعَ كَثِيْرًا وَلَمْ يَشْتَرِطْ إِلاَّ عَدَمَ زَوَالِ اسْمِ الْمَسْجِدِ. )فى النصّ الوارد فى حكم تجديد المساجد :١٣-١٤ )
Pemilik fatwa telah melakukan istidhar (mengambil pendapat yang lebih dekat) dalam fatwanya dengan pendapat yang memperbolehkan perubahan benda waqaf karena adanya mashlahat,dengan tetap namanya.Ia menakil hal tersebut pula dari pengarang kitab al khadim dan ibn Rif’ah serta AlQaffal. Dan sebagian mereka ialah dua orang imam,yaitu imam Uzail dan imam Abu syukail yang telah mengumumkan kebolehan dan tidak memberikan suatu batasan,bahkan sebagian ulama ada yang menukil dari mereka berdua tidak ada batasan sama sekali.Dan dari sebagian mereka ialah syekh Ahmad bin Abdillah balhaj,dimana beliau telah memberikan keleluasaan dan tidak memberi syarat kecuali masih adanya nama masjid.
وَقِيلَ يَجُوزُ أَنْ يُهْدَمَ الْمَسْجِدُ وَيُجَدَّدَ بِنَاؤُهُ لِمَصْلَحَةٍ نَصَّ عَلَيْهِ .)كشاف القناع ٤|٣٥٥ (
Disebutkan bahwa boleh merobohkan masjid dan memperbaharui bangunannya karena (adanya) mashlahat .
أَرَادَ اَهْلُ الْمَحَلَّةِ نَقْضَ الْمَسْجِدِ وَبِنَاءَهُ أَحْكَمَ مِنَ الأَوَّلِ،إِنِ الْبَانِى  مِنْ اَهْلَ الْمَحَلَّةِ لَهُمْ ذلِكَ ، وإِلاَّ فَلاَ (ردّ المختار ٣|٥١٢)
"Penduduk suatu daerah ingin membongkar masjid dan membangunnya kembali dengan bangunan yang lebih kokoh dari yang pertama. Jika yang membangun kembali masjid tersebut adalah penduduk daerah tersebut, maka hukumnya boleh, dan jika tidak maka hukumnya tidak boleh".
فَاِنْ تَعَطَّلَتْ مَنَافِعُهُ بِالْكُلِّيَّةِ كَدَارٍ اِنْهَدَمَتْ أَوْ أَرْضٍ خَرَبَتْ وَعَادَتْ مَوَاتًا لَمْ يُمْكِنْ عِمَارَتُهَا أَوْ مَسْجِدٍ اِنْتَقَلَ أَهْلُ الْقَرْيَةِ عَنْهُ وَصَارَ فِى مَوْضِعٍ لاَ يُصَلَّى فِيْهِ أَوْ ضَاقَ بِأَهْلِهِ وَلَمْ يُمْكِنْ تَوْسِيْعُهُ فِى مَوْضِعِهِ،فَإِنْ أَمْكَنَ بَيْعُ بَعْضِهِ لِيُعْمَرَ بَقِيَّتُهُ جَازَ بَيْعُ الْبَعْضِ وَاِنْ لَمْ يُمْكِنِ الإِنْتِفَاعُ بِشَيْءٍ مِنْهُ بِيْعَ جَمِيْعُهُ (شرح الكبير ٣|٤٢۰)
"Jika manfaat dari wakaf tersebut secara keseluruhan sudah tidak ada, seperti rumah yang telah roboh atau tanah yang telah sepi dan kembali menjadi tanah yang mati yang tidak mungkin membangunnya lagi,atau masjid yang penduduk desa dari masjid tersebut telah pindah,dan masjid tersebut menjadi masjid di tempat yang tidak dipergunakan untuk melakukan shalat, atau masjid tersebut sempit dan tidak dapat menapung para jama'ah dan tidak mungkin memperluasnya di tempat tersebut,maka jika mungkin menjual sebahagiannya untuk membangun sisanya, maka boleh menjual sebahagian. Dan jika tidak mungkin memanfaatkannya sedikitpun,maka boleh menjual seluruhnya"
Sedangkan penukaran lahan waqaf milik masjid,maka itu boleh bila lahan yang akan ditukarnya lebih bermanfaat dari lahan asal,sebagai berikut:
وَتَجُوْزُ بَلْ تَجِبُ الْمُعَاوَضَةُ فِي مِلْكِ الْمَسْجِدِ إنْ رَأَى الْمَصْلَحَةَ كَأَنْ كَانَتْ أَرْضُ الْمَسْجِدِ لاَ تَحْرُثُ أَوْ تَحْرُثُ نَادِرًا فَرَغِبَ فِيْهاَ شَخْصٌ بِأَرْضٍ تَحْرُثُ دَأئِمًا,وَيَكُوْنُ بِصِيْغَةِ الْمُعَأوَضَةِ أَوْلَى (بغية المسترشدين ص ١۷٤ )
Boleh bahkan wajib untuk mengadakan pertukaran tentang harta masjid bila nadhir melihat suatu mashlahat,seperti keadaan lahan masjid kurang menghasilkan atau menghasilkan namun jarang,lalu ada orang yang suka (untuk ditukar) dengan lahan yang selalu menghasilkan.Dan aqad dengan ucapan pertukaran itu lebih utama (daripada memakai ikrar nadzar atau yang lain).
Demikian Wallahu a’lam
C.dimanakah Masjid adanya?
Lahan masjid,disyaratkan harus merupakan lahan berstatus waqaf,sebab masjid telah kembali menjadi milik Allah, firmanNya:
وَأَنّ الْمِسَاجِدَ للهِ,فَلاَ تَدْعُوا مَعَ اللهِ أَحَدًا ( الجن :١٨ )
“Dan sesungguhnya masjid masjid itu merupakan milik Allah, maka janganlah menyeru beserta Allah sesuatupun” (Qs.Al Jin  :18   )
Sedangkan dalam ajaran Islam,tidak ada suatu benda atau manfaat yang secara mutlak lepas dari kepemilikan manusia kecuali dalam masalah waqaf.
وَالْأَصَحُّ وَإِنْ ناَزَعَ فِيْهِ الْأَسْنَوِى وَغَيْرُهُ أَنَّ قَوْلَهُ جَعَلْتُ الْبُقْعَةَ مَسْجِدًا مِنْ غَيْرِ نِيَةٍ صَرِيْحٌ فَحِيْنَئِدٍ تَصِيْرُ بِهِ مَسْجِدًا وَإِنْ أَتَى بِلَفْظٍ مِمَّا مَرَّ لِأَنَّ الْمَسْجِدَ لاَيَكُوْنُ إِلاَّ وَقْفاً.(الشرواني:٦ |٢٥١)
Menurut pendapat ashab yang lebih populer -meskipun ditentang imam Asnawi dan lainnya-,bahwa perkataan seseorang :“saya jadikan tempat ini menjadi masjid” dengan tanpa niat itu shorih wakaf, maka dengan demikian (tempat itu) akan menjadi masjid.Meskipun dengan lafadh yang telah tersebut diatas,karena masjid itu pasti wakaf. (artinya tidak ada lahan masjid yang bukan wakaf).

Apakah waqaf itu?
Waqaf ialah salah satu bentuk shadaqah,namun memiliki kelebihan yaitu sifatnya yang dawam (langgeng).Dan inilah maksud utama daripada waqaf.Rasulallah shallallahu alaihi wa alihi wa salam bersabda:
إَذَا ماَتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ:صَدَقَةٍ جاَرِيَةٍ أَوْعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَأْ وَلَدٍ صاَلِحٍ يَدْعُو لَهُ (رواه مسلم)
“Bila anak manusia mati,maka putuslah amalnya kecuali dari  tiga hal:shadaqah jariyah,ilmu yang bermanfaat dan anak salih yang mendoakan” (HR.Muslim )
Dan para ulama mengartikan shadaqah jariyah dalam hadits diatas dengan waqaf.Walaupun bukan berarti setiap shadaqah jariyah itu pasti wakaf.Berikut ibarat Qawaid al Ahkam:
وَأَمَّا قَوْلُهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ : ( إذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلَّا مِنْ ثَلَاثٍ ؛ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ )،وَمَعْنَاهُ انْقَطَعَ أَجْرُ عَمَلِهِ أَوْ ثَوَابُ عَمَلِهِ فَهَذَا عَلَى وَفْقِ الْقَاعِدَةِ لِأَنَّ هَذِهِ الْمُسْتَثْنَيَاتِ مِنْ كَسْبِهِ،فَإِنَّ الْعِلْمَ الْمُنْتَفَعَ بِهِ مِنْ كَسْبِهِ فَجُعِلَ لَهُ ثَوَابُ التَّسَبُّبِ إلَى تَعْلِيمِ هَذَا الْعِلْمِ .وَكَذَلِكَ الصَّدَقَةُ الْجَارِيَةُ تُحْمَلُ عَلَى الْوَقْفِ وَعَلَى الْوَصِيَّةِ بِمَنَافِعِ دَارِهِ وَثِمَارِ بُسْتَانِهِ عَلَى الدَّوَامِ ، فَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ كَسْبِهِ،لِتَسَبُّبِهِ إلَيْهِ،فَكَانَ لَهُ أَجْرُ التَّسَبُّبِ،وَلَيْسَ الدُّعَاءُ مَخْصُوصًا بِالْوَلَدِ ، بَلْ الدُّعَاءُ شَفَاعَةٌ جَائِزَةٌ مِنْ الْأَقَارِبِ وَالْأَجَانِبِ،وَلَيْسَتْ مُسْتَثْنَاةً مِنْ هَذِهِ ، لِأَنَّ ثَوَابَ الدُّعَاءِ لِلدَّاعِي (قواعد الأحكام فى مصالح الأنام ١|١٣٥)
Adapun sabda Nabi shallallahu alaihi wa alihi wa salam,’bila anak manusia mati maka putuslah amalnya kecuali dari tiga hal:shadaqah jariyah,ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendoakannya’.
Artinya ialah:putus pahala dan ganjaran perbuatannya.Ini selaras dengan qaidah,karena yang dikecualikan tersebut merupakan  kasab (perbuatan) nya,karena ilmu manfaat merupakan salah satu kasabnya,sehingga diberikan padanya pahala sebab mempelajari ilmu ini.Begitu pula shadaqah jariyah (dalam hadits),yang diartikan kepada waqaf dan wasiat dengan manfaat rumah atau bebuahan kebunnya secara langgeng.Maka yang demikian itu dari kasabnya,karena ia pernah melaksanakannya,maka baginya pahala dari kasabnya. Dan doa tidak khusus dari anak,namun doa merupakan bentuk syafa’at yang diperbolehkan dari kerabat dan orang lain.Dan syafaat bukan merupakan pengecualian dari ini,karena pahala doa tetap bagi yang berdoa.
Rukun waqaf ada empat:
a.waqif (pemberi wakaf) b.mauquf (barang yang diwakafkan) c.mauquf alaih (penerima wakaf) dan d.shighat (ikrar wakaf)
Terdapat empat bentuk wakaf untuk masjid khususnya, yaitu:
a.waqif mewakafkan lahan beserta bangunannya sekaligus
b.waqif hanya mewakafkan lahannya saja
c.waqif hanya mewakafkan bangunannya saja
d.waqif mengumumkan hanya dengan kata,’saya wakafkan lahan ini untuk sarana ibadah’,misalnya.
Tiga bentuk pertama (poin a,b dan c) bisa kita ambil dari ibarat kitab Bughyah berikut ini:
وَقَفَ نَخْلَةً فَقُلِعَتْ فَبَقِيَتِ الْأَرْضُ وَقْفاً,ثُمَّ إِنْ غَرَسَهَا الْمَوْقُوْفُ عَلَيْهِ وَإِلاَّ أُجِرَتْ بِمَا يَعْمُرُهاَ كَمَا قاَلَهُ فِي التُّخْفَةِ وَالنِّهَايَةِ فِيْماَ إِذَا وَقَفَ دَاراً عَلَى مُعَلِّمِ الصِّبْيَانِ أَوْ عَلَى أَنَّ لَهُ أُجْرَتَهاَ فَخَرَبَتْ وَلَمْ يَعْمُرْهَا الْمَوْقُوْفُ عَلَيْهِ أَنَّهاَ تُوَجَرُ بِمَا يَعْمُرُهاَ لِلضَّرُوْرَةِ,هَذَا إِنْ كاَنَتِ الْأَرْضُ مَوْقُوْفَةً مَعَ النَّخْلَةِ وَإِلاَّ فَهِيَ مِلْكٌ لِلْوَاقِفِ وَوَارِثِهِ إِذْ لاَ يَدْخُلُ الْغَرْسُ فِي وَقْفِ النَّخْلَةِ كَمَا لاَ يَدْخُلُ فِي بَيْعِهاَ اﻫ (بغية المسترشدين:١۷۱ )
Seseorang mewakafkan pohon kurma,lalu pohon tersebut tercabut (runtuh),maka lahan itu tetap lahan waqaf.Lalu bila mauquf alaih menanaminya (maka itu haknya),dan bila tidak, maka tanah itu disewakan dengan biaya yang mencukupinya untuk pengurusan lahan,sebagaimana telah dikatakan oleh ibn Hajar dan Ramly,dalam kasus masalah ketika seseorang mewakafkan rumah untuk muallim (pengajar) anak anak atau baginya hasil dari ongkos sewa,lalu rumah itu roboh dan tidak direnovasi oleh mauquf alaih,maka rumah tersebut dapat disewakan untuk biaya rehabilitasi karena terdesak keadaan.Ini semua bila tanah itu diwakafkan beserta kurmanya,dan bila tidak maka tanah itu tetap milik waqif dan ahli waritsnya, karena lahan tidak masuk dalam waqaf pohon sebagaimana tidak masuk dalam akad jual beli pohon.
Adapun bentuk keempat,karena waqaf diharuskan mengikuti syarat waqif selama tidak bertentangan dengan hukum syara’. Dan bila waqif tidak menjelaskan bagian mana dari lahan tersebut yang akan dijadikan masjid,maka boleh membangun dilahan tersebut berbagai sarana lain disamping masjid sebagai penunjang eksistensi masjid seperti kamar mandi,tempat wudlu,menara tempat adzan dan lainnya dengan mengikuti adat setempat.
( تَنْبِيهٌ ) حَيْثُ أَجْمَلَ الْوَاقِفُ شَرْطَهُ اتُّبِعَ فِيهِ الْعُرْفُ الْمُطَّرِدُ فِي زَمَنِهِ ِلأَنَّهُ بِمَنْزِلَةِ شَرْطِهِ ثُمَّ مَا كَانَ أَقْرَبَ إِلَى مَقَاصِدِ الْوَاقِفِينَ كَمَا يَدُلُّ عَلَيْهِ كَلاَمُهُمْ وَمِنْ ثَمَّ امْتَنَعَ فِي السِّقَايَاتِ الْمُسَبَّلَةِ عَلَى الطُّرُقِ غَيْرُ الشُّرْبِ وَنَقْلُ الْمَاءِ مِنْهَا وَلَوْ لِلشُّرْبِ وَظَاهِرُ كَلاَمِ بَعْضِهِمْ اعْتِبَارُ الْعُرْفِ الْمُطَّرَدِ اْلآنَ فِيْ شَيْءٍ فَيُعْمَلُ بِهِ أَيْ عَمَلاً بِاْلاسْتِصْحَابِ الْمَقْلُوْبِ ِلأَنَّ الظَّاهِرَ وُجُوْدُهُ فِيْ زَمَنِ الْوَاقِفِ وَإِنَّمَا يَقْرُبُ الْعَمَلُ بِهِ حَيْثُ انْتَفَى كُلٌّ مِنَ اْلأَوَّلَيْنِ اهـ) تحفة المحتاج في شرح المنهاج  ٦| ٢٦۱)
Perhatian:sekiranya waqif mengumumkan syaratnya,maka bisa diikuti adat yang berlaku di zamannya,karena adat tersebut sama dengan syarat waqif,lalu hal yang paling dekat dengan keinginan waqif,sebagaimana diisyaratkan oleh ungkapan ulama.Karena itu,dilarang dalam (penggunaan) air wakaf dipinggir jalan selain minum,dan (dilarang) untuk membawa air tersebut walau untuk keperluan minum.Dan dhahir ungkapan ulama,adalah memperhitungkan adat kebiasaan yang telah berlaku sekarang dalam sesuatu,lalu menggunakannya,yaitu mengikuti perbandingan terbalik,sebab secara dhahir adat itu telah ada ketika masa (hidup) waqif.Dan penggunaan keadaan ini hanya bisa dilakukan bila dua keadaan yang awal tidak ditemukan. 
Takmir Masjid
Satu istilah di nusantara yang tidak terdapat arti yang jelas dari kata asalnya bahasa Arab,karena arti ta’mir dalam bahasa Arab ialah panjang umur,sebagaimana dalam Mishbah Munir berikut:
عَمَّرَهُ تَعْمِيْرًا أَيْ أَطاَلَ عُمْرَهُ,وَتَدْخُلُ لاَمُ الْقَسَمِ عَلَى الْمَصْدَرِ الْمَفْتُوْحِ فَتَقُوْلُ لَعَمْرُكَ لَأَفْعَلَنَّ,وَالْمَعْنَى وَحَيَاتِكَ وَبَقَائِكَ,وَمِنْهُ اشْتِقَاقُ الْعُمْرَى,وَأَعْمَرْتُهُ الدَّارَ بِالْأَلِفِ جَعَلْتُ لَهُ سُكْنَاهَا. (المصباح المنير في غريب شرح الكبير ٢|٤٢٩)
Ammara ta’miran,yaitu memperpanjang umurnya,lam sumpah biasa masuk pada mashdar yang fathah  fa fiilnya,kau ucapkan la amruka la af’alanna,artinya demi hidupmu dan demi dirimu, dan dari kata inilah diambil kata umra. A’martuhu ad dar dengan alif ta’diyyah,(artinya) aku jadikan nya sebagai tempat ia berdiam.
Dalam beberapa literatur, istilah ‘imarah al-masjid seringkali diartikan dengan meramaikan atau menghidupkan suasana masjid dengan berbagai kegiatan keagamaan. Namun, jika dilihat arti yang sebenarnya, ‘imarah’ diambil dari kata amara amran yang berarti menghuni dan mendiami sebagaimana dalam kitab lughat Mishbah Munir berikut:
عَمَرَ الْمَنْزِلَ بِأَهْلِهِ عَمْرًا مِنْ بَابِ قَتَلَ فَهُوَ عاَمِرٌ,وَسُمِيَ بِالْمُضَارِعِ,وَعَمَرَهُ أَهْلُهُ سَكَنُوْهُ وَأَقاَمُوْا بِهِ يَتَعَدَّى وَلاَ يَتَعَدَّى,وَعَمَرْتُ الدَّارَ عَمْرًا أَيْضاً بَنَيْتُهاَ وَالْإِسْمُ الْعِماَرَةُ بِالْكَسْرِ. (المصباح المنير في غريب الشرح الكبير ٢|٤٢٩)
“Amara almanzil bi ahlihi (menetapi/ tinggal dengan keluarganya disuatu tempat),dari bab qatala,maka ia adalah amir (penghuni),dan biasa dipakai nama dari fiil mudlarinya (yaitu ya’mur).Amarahu ahluhu,(artinya) mereka menempatinya dan berdiam didalamnya.Bisa memiliki obyek dan bisa pula tidak.Amartu ad dar (artinya) membangun,dan nama mashdarnya ialah imarah  “.
Membangun dalam pengertian konstruksi bangunan fisik maupun membangun secara non-fisik—‘Imarah al-masjid merupakan wewenang nadhir berarti menjaga serta memajukan atau mengembangkan secara utuh masjid baik fisik maupun non-fisik.
Dalam konteks hukum masjid, penjelasan mengenai ‘imarah dapat mengutip pendapat catatan kaki Qalyubiy pada syarah Jalaluddin al-Mahalli dalam karyanya Kanzur Raghibin yang merupakan komentar (syarh) kitab Minhajut Thalibin
فُرُوْعٌ : عِمَارَةُ الْمَسْجِدِ هِيَ الْبِناَءُ وَالتَّرْمِيْمُ وَالتَّجْصِيْصُ لِلْإحْكاَمِ وَالسَّلاَلِمِ وَالسَّوَارِي وَالْمَكاَنِسِ وَالْبَواَرِي لِلتَّظْلِيْلِ أَوْ لِمَنْعِ صَبِّ الْمَاءِ فِيْهِ لِتَدْفَعَهُ لِنَحْوِ شاَرِعٍ وَالْمَساَحِي وَأُجْرَةُ الْقَيِّمِ وَمَصَالِحِهِ تَشْمُلُ ذَلِكَ,وَمَا لِمُؤَذِّنٍ وَإِمَامٍ وَدُهْنٍ لِلسِّرَاجِ وَقَنَادِيْلَ لِذَلِكَ , وَالْوَقْفُ مُطْلَقاً يُحْمَلُ عَلَى الْمَصَالِحِ,وَلاَ يَجُوْزُ صَرْفُ شَيءٍ مِنَ الْوَقْفِ وَلَوْ مُطْلَقاً فِي تَزْوِيْقٍ وَنَقْشٍ وَنَحْوِهِماَ بَلِ الْوَقْفُ عَلَى ذَلِكَ باَطِلٌ,وَقَالَ شَيْخُنَا بِصِحَّةِ الْوَقْفِ عَلَى السُّتُوْرِ وَلَوْ بِحَرِيْرٍ وَإِنْ كاَنَ حَرَاماً ,وَفِيْهِ نَظَرٌ ثُمَّ رَجَعَ عَنْهُ وَلاَ يَجُوْزُ صَرْفُ ماَ وُقِفَ لِشَيءٍ مِنْ ذَلِكَ عَلَى غَيْرِهِ مِنْهُ ,وَلَا يَجُوْزُ سِرَاجٌ لاَ نَفْعَ فِيْهِ وَلَوْ عُمُوْماً وَجَوَّزَهُ ابْنُ عَبْدِ السَّلاَمِ احْتِرَاماً لَهُ وَدَفْعِ الْوَحْشَةِ بِالظُّلْمَةِ ) القليوبى ٣| ۱۰٩ (
Cabang masalah:imarah masjid itu ialah:membangun, memperbaiki,membuat dinding untuk memperkokoh, tangga, tiang dan sapu pembersih,serta atap (payon) untuk berteduh atau untuk mencegah kucuran air kedalamnya agar supaya dapat mengalirkannya keseumpama jalan umum,dan selokan, serta upah qayyim (pengurus waqaf),dan (semua) mashalih masjid yang mencakup semua itu,dan juga upah muadzin dan imam dan (ongkos beli) minyak untuk penerangan dan lampu, demikian pula.Waqaf secara umum diartikan kepada mashalih.
Tidak boleh memakai dana waqaf sedikitpun –walau waqaf umum- untuk menghiasi dan mengukir (masjid),bahkan waqaf untuk hal demikian itu batal.Guru kami berpendapat bolehnya waqaf untuk kelambu walau dengan kain sutera walaupun itu haram.Namun pendapat tersebut perlu koreksi dan (akhirnya) guru kami kembali menarik pendapatnya tersebut.
Tidak boleh memakai hasil waqaf untuk sesuatu yang telah disebutkan bagi hal yang lain.Dan tidak boleh pula (membeli atau mengadakan) lampu yang tidak bermanfaat (artinya berlebihan) walaupun bersifat umum,namun dibolehkan oleh ibnu Abd as Salam dengan dasar untuk menghormati masjid dan menolak kekumuhan karena suasana gelap.
Catatan:perlu diperhatikan adalah kata mashalih sering diartikan secara sembarangan tanpa dasar yang jelas sehingga seakan akan kata tersebut tidak memiliki batasan yang kongkrit dalam fiqh.Hendaknya diketahui bahwa kata mashalih memiliki arti beragam menurut setiap bab fiqh,tidak hanya arti kata yang dipandang dari segi kebahasaan saja,namun harus dilihat arti dalam konteks khusus,yaitu apakah kata ini berarti maslahat umum atau mashlahat khusus?sebagai contoh arti mashalih secara umum berikut ini:
فَالْمَالُ لِمَصَالِحِ الْمُسْلِمِيْنَ,يَعْنِي مَا فِيْهِ مَصْلَحَةٌ عَامَةٌ كَإِحْياَءِ مَعَالِمِ الدِّيْنِ وَأَرْزَاقِ الْقُضاَةِ وَالْمُعَلِّمِيْنَ وَبِنَاءِ الْمَساَجِدِ وَإِطْعَامِ الْجاَئِعِ وَنَحْوِهَا (بغية المسترشدين ۱٨٣ )
Harta digunakan bagi mashalih muslimin,yaitu segala sesuatu yang didalamnya terdapat keuntungan /kepentingan umum, seperti membangun ciri ciri agama (artinya memperluas syiar Islam),upah/gaji para qadli dan para pengajar,membangun masjid,memberi makan bagi yang kelaparan dan seumpamanya.
Arti mashalih secara khusus,sebagai berikut:
اَلْمَوْقُوْفُ عَلَى الْمَسْجِدِ أَوْ عَلَى مَصَالِحِهِ يُصْرَفُ مِنْهُ لِلْمُؤَذِّنِ وَالْإِماَمِ وَالدُّهْنِ وَنَحْوِهِمْ عَلَى الْمُعْتَمَدِ فِي الْفَتْوَى بِخِلاَفِ الْمَوْقُوْفِ عَلَى عِمَارَتِهِ لاَ يُصْرَفُ مِنهُ شَئٌ لِذَلِكَ (فتاوى ابن زياد بهامش بغية المسترشدين ص ۱٤٢ )
Barang waqaf untuk masjid atau bagi mashalih masjid dapat digunakan untuk gaji muaddzin,imam,beli minyak dan lainnya, menurut pendapat yang dapat dipegang dalam fatwa.Berbeda dengan barang waqaf untuk imarah masjid,maka tidak boleh digunakan sedikitpun untuk yang tersebut (diatas).
Penting untuk diketahui adalah,bahwa dana masjid itu ada tiga macam bentuk,yaitu:
a.benda waqaf,seperti misalnya tikar,karpet,lampu dan lainnya
b.hasil dari lahan waqaf yang dimiliki oleh masjid
c.dana pemberian berupa shadaqah,infaq,hadiah,hibah,wasiat dan sebagainya.
Benda waqaf seperti contoh pada poin a,itu berhubungan dengan hukum waqaf,yaitu tidak boleh dijualbelikan,atau diberikan atau dipinjam atau lainnya.Dan yang berada pada poin b,harus sesuai dengan syarat waqif dalam pengelolaannya. Sedangkan benda masjid hasil dari infaq,shadaqah dan pemberian mutabarry (sukarelawan) lainnya boleh untuk dijual dan lain sebagainya.
Ibarat Mahallay syarh Minhaj dengan catatan kaki dari Umairah,berikut ini:
(وَالْأَصَحُّ جَوَازُ بَيْعِ حُصُرِ الْمَسْجِدِ) الْمَوْقُوْفَةِ (إِذَا بَلِيَتْ وَجُدُوْعُهُ إِذَا انْكَسَرَتْ وَلَمْ تَصْلُحْ إِلاَّ لِلإِحْرَاقِ) لِئَلاَ تَضِيْعَ,وَيُصْرَفُ ثَمَنُهَا فِي مَصَالِحِ الْمَسْجِدِ.وَالثَّانِي لاَ تُبَاعُ بَلْ تُتْرَكُ بِحَالِهَا أَبَدًا.وَحُصُرُهُ الَّتِي اشْتُرِيَتْ أَوْ وُهِبَتْ لَهُ وَلَمْ يُوْقَفْ يَجُوْزُ بَيْعُهَا عِنْدَ الْحَأجَةِ جَزْمًا.               قال عميرة في حاشيته (قول الشارح الموقوفة) أي بأَنْ يَصْرَحَ بِوَقْفِهَا لَفْظًا,وَلاَ يَكْفِي الشِّرَاءُ لِجِهَةِ الْوَقْفِ,وَحِيْنَئِذٍ فَالْمَوْجُوْدُ الآنَ بِالْمَسَاجِدِ يُبَاعُ عِنْدَ الْحَاجَةِ لأَنَّهُمْ لاَ يَصْرَحُوْنَ فِيْهِ بِوَقْفِيَّةٍ   (شرح المحلي على المنهاج بحاشية القليوبي وعميرة  ٣|۱۰٨)
(pendapat ashab yang lebih populer itu boleh menjual tikar masjid) yang diwaqafkan (bila telah busuk/rusak,dan juga tiang kayunya bila telah pecah dan tidak ada lagi gunanya kecuali untuk kayu bakar) sehingga tidak menjadi sia sia,dan hasilnya digunakan untuk kemashlahatan masjid.Dan pendapat kedua tidak boleh dijual namun dibiarkan saja sebagaimana adanya selamanya.Dan tikar masjid yang dibeli atau hibah pemberian dan bukan benda waqaf,maka boleh dijual bila memang diperlukan tanpa perbedaan pendapat.
Umairah berkomentar dalam catatan kakinya: (ucapan penjelas, ‘yang diwaqafkan’) yaitu waqif memberikan penjelasan status waqafnya secara lisan,dan tidak mencukupi pembelian untuk pihak waqaf.Dengan demikian,benda yang (biasa) terdapat di masjid sekarang ini boleh dijual bila diperlukan,karena mereka (para pewaqaf) tidak menjelaskan status kewaqafan nya. 
Penulis perhatikan bahwa sering terjadi kerancuan dalam mengartikan dana masjid tersebut,sehingga tidak ditempatkan dalam posisinya masing masing.Dan dengan keterangan diatas semoga dapat memberi pengertian para ihkwan sekalian, terutama tentang status benda benda yang berada dalam masjid.
Kesimpulan benda masjid termasuk bangunan fisik masjid ada dua kategori,yaitu:
a.benda tersebut barang waqaf,maka berjalan padanya hukum waqaf yang mengikat.
b.benda tersebut bukan benda waqaf,maka penggunaannya lebih leluasa dan bebas.
Dan kita maklumi bersama,bahwa bangunan fisik masjid serta benda benda di dalamnya dikebanyakan daerah tidak termasuk barang waqaf,tapi merupakan barang hasil sumbangan,gotong royong yang berarti benda hibah atau shadaqah biasa.Oleh sebab itu tidak perlu diributkan bila ada barang masjid yang dijual karena telah lapuk atau rusak misalnya,agar bisa diganti dengan barang yang baru.
Yang perlu pula mendapat perhatian lebih adalah kesalah fahaman tentang uang kas masjid,yang banyak menimbulkan masalah dibeberapa tempat.Dan ini karena tidak adanya pengertian dari para pengelola masjid tentang status barang barang masjid,yang menyamaratakan antara gulatul waqfi (hasil benda waqaf) dengan mal (dana) masjid,yang padahal keduanya memiliki perincian hukum masing masing yang berbeda.Sesungguhnya yang menjadi bahasan utama para ulama tentang tasharruf dana masjid itu adalah dana yang dihasilkan dari barang waqaf untuk masjid,bukan dana masjid yang merupakan hasil sumbangan dan infaq para jama’ah masjid tiap jum’at.
Sebagaimana telah dimaklumi bahwa masjid berstatus waqaf tahriri,artinya lepas bebas dari kepemilikan manusia,dan kembali menjadi milik mutlak Allah.Dan karena status inilah -seperti juga semua benda waqaf tahriri seperti madrasah,lahan pekuburan,lembaga dan lain sebagainya- ,masjid berhak untuk menerima waqaf dan dapat memiliki sesuatu seperti manusia. Namun walau demikian,masjid bukanlah manusia,karena itu tidak dapat menerima zakat (karena bukan mustahiq),dan tidak dapat melakukan amal tabarru’ (sosial),seperti meminjamkan, memberi dan lainnya.Karena masjid disamakan kedudukannya dengan anak asuhan yang belum baligh,yaitu ghairu ahliyyatit tasharruf (tidak memiliki wewenang pengurusan/pengolahan).
Sehubungan dengan dana masjid,maka yang dapat diolah dan dikembangkan adalah lahan waqaf masjid,yang merupakan wewenang dari nadhir masjid.Sebab,walaupun lahan waqaf itu milik masjid,namun bertalian erat dengan waqif yang syaratnya harus diikuti.Ini tentu berbeda dengan dana lain,seperti kas masjid yang merupakan hasil hibah dan infaq shadaqah para jama’ah.Dana tersebut tidak bisa digunakan kecuali untuk segala hal yang bertalian dengan mashalih masjid,yaitu fisik masjid dan seputar shalat dan adzan,serta fasilitas lain yang dibutuhkan masjid seperti lampu,tempat air wudlu dan lainnya.
Dan adapun untuk dipinjam atau diberikan pada orang lain, maka itu merupakan tindakan pemaksaan terhadap masjid, sebab tadi telah disebutkan,bahwa masjid diserupakan dengan anak belum baligh yang belum memiliki wewenang untuk pengurusan dan pengolahan harta.Bila demikian,berarti orang yang berani untuk meminjam atau mengambil dana kas masjid dengan dalih apapun telah melakukan tindakan ghashab (pengambilan secara paksa) yang diharamkan dalam ajaran Islam.
Ada sebagian yang berdalih dengan ibarat berikut tentang dana kas masjid itu benda waqaf sehingga dapat diberlakukan hukum waqaf padanya.Berikut ibaratnya:
 قَالَ الشَّيْخُ أَبُو مُحَمَّدٍ وَكَذَا لَوْ أَخَذَ مِنَ النَّاسِ شَيْئاً لِيَبْنِيَ بِهِ زَاوِيَةً أَوْ رِبَاطًا فَيَصِيْرُ كَذَلِكَ بِمُجَرَّدِ بِنَائِهِ (قَوْلُهُ لِيَبْنِي بِهِ زَاوِيَةً) وَاشْتَهَرَ عُرْفًا فِي الزَّاوِيَةِ أَنَّهاَ تُرَادِفُ الْمَسْجِدَ وَقَدْ تُرَادِفُ الْمَدْرَسَةَ وَقَدْ تُرَادِفُ الرِّباَطَ فَيُعْمَلُ فِيْهَا بِعُرْفِ مَحَلِّهاَ الْمُطَّرِدِ وَإِلاَّ فَبِعُرْفِ أَقَرَبِ مَحَلٍّ إِلَيْهِ كَمَا هُوَ قِيَاسُ نَظَائِرِهِ ا هـ حج أَقُوْلُ وَعَلَيْهِ فَلَوْ أَخَذَ مِنْ جَمَاعَةٍ فِي بِلاَدٍ مُتَفَرِّقَةٍ مَثَلاً لِيَبْنِيَ زَاوِيَةً فِي مَحَلَّةِ كَذَا كَانَ الْعِبْرَةُ بِعُرْفِ مَحَلَّةِ الزَّاوِيَةِ دُوْنَ الدَّافِعِيْنَ لَكِنْ هَلْ يُشْتَرَطُ عِلْمُ الدَّافِعِيْنَ بِعُرْفِ مَحَلَّةِ الزَّاوِيَةِ حَتَّى يَصِحَّ ذَلِك؟َ وَلَوْ لَمْ يَقْصِدِ اْلآخِذُ مَحَلاَّ بِعَيْنِهِ حَالَ الْأَخْذِ لِبِناَءِ الزَّاوِيَةِ وَيَتَخَيَّرُ فِي الْمَحَلِّ الَّذِي يَبْنِي فِيْهِ أَوْ لاَ بُدَّ مِنَ التَّعْيِيْنِ ؟ فِيْهِ نَظَرٌ وَلاَ يُبْعَدُ الصِّحَةُ )نهاية المحتاج ٥|ـ ٣۷٢)
Berkata syekh Abu Muhammad (Al Juwainy):begitu pula bila ia mengambil sesuatu dari orang lain untuk membangun zawiyah atau ribath,maka jadi waqaf dengan membangunnya. (ucapannya:untuk membangun zawiyah),telah masyhur menurut urf,bahwa zawiyah sama arti dengan masjid,dan terkadang berarti madrasah dan terkadang berarti pondok/panti. Maka dapat dipergunakan artinya menurut urf tempat yang telah baku,dan bila tidak ada maka dengan urf tempat yang paling dekat dengannya,sebagaimana perbandingan dengan kasus kasus serupa.Menurutku;dengan demikian bila seseorang mengambil dari beberapa tempat yang berbeda misalnya untuk membangun zawiyah,maka yang diperhitungkan adalah urf dari tempat zawiyah,bukan urf tempat pemberi.Tapi apakah ada syarat harus mengetahuinya sipemberi tentang urf tempat zawiyah tersebut agar supaya jadi sah?.Dan bila sipengambil tidak bermaksud suatu tempat tertentu ketika mengambil sumbangan untuk membangun zawiyah dan memilih tempat yang akan dibangun diatasnya,atau harus ada ketentuan?.Ini perlu pertimbangan,namun tidak jauh (bila disebut) sah.
Saya sebut dalih karena:
a.ini masalah mengumpulkan sumbangan bagi pembangunan masjid tanpa ikrar (shighat) waqaf,bukan masalah kas masjid. b.pendapat juwainy ini pendapat dlaif,yang menyalahi pendapat ashab tentang harusnya ada ikrar (ucapan) dalam soal waqaf. Dan oleh karena itulah,tafri’ masalah inipun berkonotasi dlaif, seperti dilihat dari ungkapan ‘wala yub’adu’,yang merupakan shighat tamridl (ungkapan pelemah).
لَيْسَ لِلنَّاظِرِ الْعاَمِّ وَهُوَ الْقَاضِى أَوِ الْواَلِى النَّظَرُ فِى أَمْوَالِ اْلأَوْقاَفِ وَأَمْوَالِ الْمَساَجِدِ مَعَ وُجُوْدِ النَّظَرِ الْخاَصِّ الْمُتَأَهِّلِ فَحِيْنَئِذِ فَماَ يَجْمَعُهُ النَّاسُ وَيَبْذُلُوْنَهُ لِعِماَرَتِهَا بِنَحْوِ نَذَرٍ أَوْ هِبَةٍ وَصَدَقَةٍ مَقْبُوْضِيْنَ بِيَدِ النَّاظِرِ أَوْ وَكِيْلِهِ كاَلسَّاعِى فِى الْعِمَارَةِ بِإِذْنِ النَّاظِرِ يَمْلِكُهُ الْمَسْجِدِ وَيَتَوَلَّى النَّاظِرُ الْعِمَارَةَ بِالْهَدَمِ وَالْبِنَاءِ وَشِرَاءِ اْلآلَةِ وَاْلإِسْتِئْجاَرِ فَإِنْ قَبَضَ السَّاعِى بِلاَ إِذْنِ النَّاظِرِ فَهُوَ بَاقٍ عَلَى مِلْكِ بَاذِلِهِ فَإِنْ أَذِنَ فِى دَفْعِهِ لِلنَّاظِرِ أَوْ دَلَّتْ قَرِيْنَةٌ أَوِ اطَّرَدَتِ الْعَادَةُ بِدَفْعِهِ دَفَعَهُ وَصَارَ مِلْكاً لِلْمَسْجِدِ حِيْنَئِذٍ فَيَتَصَرَّفُ فِيْهِ كَمَا مَرَّ وَإِنْ لَمْ يَأْذَنْ فِى الدَّفْعِ لِلنَّاظِرِ فَالْقَابِضُ أَمِيْنُ الْبَاذِلِ فَعَلَيْهِ صَرْفُهُ لِلْأُجَرَاءِ وَعَنِ اْلآلَةِ وَتَسْلِيْمُهاَ لِلنَّاظِرِ وَعَلَى النَّاظِرِ الْعِمَارَةُ.هَذَا إِنْ جَرَتِ الْعَادَةُ أَوِ الْقَرِيْنَةُ أوِ اْلِإذْنُ بِالصَّرْفِ كَذَلِكَ أَيْضاً وَإِلاَّ فَإِنْ أَمْكَنَتْ مُرَاجَعَةُ الْبَاذِلِ لَزِمَتْ وَإِنْ لَمْ تُمْكِنْ فَالَّذِى أَرَاهُ عَدَمُ جَوَازِ الصَّرْفِ حِيْنَئِذٍ لِعَدَمِ مِلْكِ الْمَسْجِدِ لَهاَ إِذْ لاَ يَجُوْزُ قَبْضُ الصَّدقَةِ إِلاَّ بِإِذْنِ الْمُتَصَدِّقِ وَقَدِ انْتَفَى هُنَا وَلْيَتَفَطَّنْ لِدَقِيْقَةٍ وَهُوْ أَنَّ مَا قُبِضَ بِغَيْرِ إِذْنِ النَّاظِرِ إِذَا ماَتَ بَاذِلُهُ قَبْلِ قَبْضِ النَّاظِرِ أَوْ صَرْفِهِ عَلَى مَا مَرَّ تَفْصِيْلُهُ يُرَدُّ لِوَارِثِهِ إِذْ هُوَ بَاقٍ عَلَى مِلْكِ الْمَيِّتِ وَبِمَوْتِهِ بَطَلَ إِذْنُهُ فِى صَرْفِه (بغية المسترشدين ص ٦٥ (
Tidak diperkenankan bagi nadhir ‘am,yaitu qadli atau wali (pejabat) untuk mengekspansi harta waqaf dan aset masjid bila masih ada nadhir khas yang ahli.Dengan demikian,apa yang dikumpulkan orang dan mereka berikan untuk pembangunan masjid dengan cara nadzar,hibah atau shadaqah yang terkumpul ditangan nadhir atau wakilnya,seperti juga pencari dana yang diberi idzin oleh nadhir,maka menjadi milik masjid,dan nadhir berperan untuk merenovasi bangunan,membeli alat (pertukangan) dan menyewa.Bila seorang pencari dana menerima (sumbangan) tanpa idzin nadhir,maka dana tersebut tetap jadi milik pemberi.Dan bila pemberi memberi idzin untuk  memberikannya pada nadhir,atau ada indikasi atau telah menjadi kebiasaan yang berlaku untuk menjadi wakil memberikan pada nadhir,maka pencari dana memberikannya pada nadhir,dan dana itu jadi milik masjid.Dan nadhir mulai bekerja mempergunakan dana itu sebagaimana telah lalu perinciannya.Dan bila sipemberi tidak memberi idzin untuk memberikannya pada nadhir,maka yang memegang dana itu ialah orang kepercayaan sipemberi.Maka dialah yang boleh untuk menggunakan dana tadi untuk upah para pekerja dan alat pertukangan serta memberikannya pada nadhir.Dan nadhir harus (mulai) membangun.
Ini bila memang telah berlaku adat atau ada indikasi atau idzin penggunaan seperti itu.Dan bila tidak,maka bila masih bisa muraja’ah (melakukan pengulangan) sipemberi,maka wajib,dan bila tidak mungkin, maka menurutku tidak boleh menggunakan dana tersebut sebab bukan milik masjid.Karena tidak boleh mengambil sumbangan kecuali dengan idzin yang memberi, sedang disini tidak ada. Dan hendaklah hati hati terhadap masalah samar,yaitu dana yang diambil tanpa idzin nadhir,bila sipemberi mati sebelum diterima oleh nadhir atau belum digunakan menurut perincian yang lalu,harus dikembalikan pada ahli warits sipemberi,sebab dana tersebut masih merupakan milik sipemberi,dan dengan kematiannya batal idzinnya untuk menggunakannya.
**********
Sesungguhnya yang dibutuhkan masjid adalah para mushalli, yang tentu berhubungan pula dengan muadzin dan imam serta fasilitas untuk bersuci,pembangunan fisik masjid dan juga  biaya untuk lampu sebagai penerangan.Adapun selain daripada hal tersebut,maka masjid tidak membutuhkannya.Oleh karena itu sungguh sangat berani para pengelola masjid yang tanpa berdasar pada ilmu memakai dana masjid untuk biaya perayaan maulid,rajab dan amplop da’i undangan.Sungguh masjid tidak membutuhkan semua itu,dan hal demikian bukan merupakan fungsi masjid.Bila para pengelola masjid tidak segera menghentikan praktek seperti itu,maka sangat ditakutkan akan menimbulkan bencana bagi dirinya,karena berani untuk melakukan ghashab terhadap dana masjid yang merupakan tempat yang disucikan dan diagungkan Allah.
Sebab itulah perlu untuk diadakan penataran dan pelatihan para pengurus masjid,yang merupakan tugas pemerintah untuk melakukannya.Semua itu perlu segera dilakukan demi untuk ketenangan dan keamanan serta penjagaan terhadap aset umat dari praktek penyelewengan.Salah satunya seperti ungkapan dibawah ini,yang entah darimana dapat mengambil kesimpulan rancu seperti itu,ini ungkapannya yang penulis pernah baca dalam sebuah buku:
Dengan demikian, adalah sah bagi nadzir mengadakan kegiatan bisnis demi mengembangkan pembangunan fisik masjid, ataupun bertujuan bahwa hasil dari bisnisnya itu dapat dijadikan upah (honor) bagi staf pengurus masjid, mulai dari gajih ketua pengurus masjid, tukang membersihkan karpet masjid, tukang sapu, Offis Boy (OB), tukang parkir, sampai dengan penjaga sandal. Atau pun hasilnya dapat dijadikan sebagai dana bisyarah atau honor bagi khatib, muaddzin (tukang adzan), guru, pencerahan, dan lain-lain.
Jika kekayaan masjid sudah lebih dari kadar kesejahteraan dan kemakmuran, sudah lebih dari cukup untuk membayar pengurus dan merenovasi bangunan yang rusak, menurut Ustadz Mukti Ali el-Qum, maka dana lebihannya dapat digunakan untuk membangun fasilitas umum seperti rumah sakit, sekolahan, dan lain-lain. Termasuk juga dalam hal ini adalah menyelenggarakan kegiatan-kegiatan sosial, seperti baksos (bakti sosial), menyembelih hewan kurban yang disedekahkan ke fakir dan miskin yang membutuhkan.
Ungkapan diatas merupakan salah satu ungkapan menyesatkan yang keluar dari orang yang berlagak pintar,tapi sebenarnya ia hanyalah orang bodoh yang merasa pintar.Oleh sebab itu, sebagai khatimah (akhir) dari bahasan ini,perlu kita ketahui siapa dan apa tugas dari nadhir masjid.

Nadhir  ناظر
Adalah seseorang atau kelompok (lembaga) yang memiliki wewenang dalam menjaga,mengolah dan mengurus masjid serta lahan dan segala bentuk asetnya.
Nadhir disyaratkan orang yang:a.adalah  عدالة  b.kifayah   كفاية
‘Adalah,ialah sifat seseorang yang tidak pernah melakukan dosa besar dan tidak terlihat melakukan dosa kecil,walaupun mungkin ia berbuat demikian.Ini disebut ‘adalah masthurah (tertutup).
Kifayah,ialah kemampuan pada bidangnya,yaitu orang yang memiliki kredibilitas dan kapabilisitas terhadap tugasnya sebagai nadhir.
Tugas nadhir
Adapun tugasnya adalah sebagai berikut:
وَوَظِيْفَةُ النَّاظِرِ الْعِمَارَةُ وَاْلِإجاَرَةُ وَجَمْعُ الْغُلَّةِ وَخَلْطُهَا وَتَفْرِيْقُهَا علَى أَهْلِهَا وَالتَّوْلِيَةُ وَالْعَزْلُ فِي التّدْرِيْسِ (فتاوى ابن زياد بهامش بغية المسترشدين ص ١٨٥)
Tugas nadhir ialah imarah,sewa,mengumpulkan hasil lahan waqaf,mencampurkannya,membagikannya pada mustahiqnya, mengangkat dan memecat dalam hal pengajaran.
Perlu diketahui bahwa ibarat diatas berkaitan dengan tugas nadhir dalam mengelola lahan produktif masjid yang memiliki mashraf (tujuan alokasi dana) tertentu.Jadi bukan tugas umum tentang semua aset masjid,kecuali pada kata imarah,yang telah disinggung pada awal bahasan.
Yang perlu digaris bawahi ialah bahwa nadhir harus mempertimbangkan segi ghibthah (keuntungan ) dan mashlahat masjid dalam tugasnya.
وَظِيْفَةُ الْوَلِي فِيْمَا تَوَلَّى فِيْهِ حِفْظُهُ وَتَعَهُّدُهُ وَالتَّصَرُّفُ فِيْهِ بِالْغِبْطَةِ وَالْمَصْلَحَةِ وَصَرْفُهُ فِي مَصَارِفِهِ (بغية المسترشدين ص ١۷٤ )
Tugas seorang pengelola dalam benda yang dikelolanya ialah menjaga,merawat dan mengolahnya berdasarkan pada ghibthah (keuntungan) dan mashlahat serta memberikannya pada alokasinya.
Dalam hal ini,seorang nadhir selain harus bisa mencari cara untuk memaksimalkan fungsi masjid dengan memperbanyak pengunjungnya,juga harus bisa menimbang antara pengeluaran dan pendapatan masjid,sehingga tidak akan menimbulkan pengeluaran dana yang tidak diperlukan,yang berakibat terjadi pemborosan dana masjid.1
D.penghuni masjid
Allah berfirman:
إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللهِ مَنْ آمَنَ بِاللهِ وَالْيوْمِ الآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلَوةَ وَأَتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلاَّ اللهَ, فَعَسَى أُوْلَئِك أَنْ يَكُوْنُوْا مِنَ الْمُهْتَدِيْنَ (التوبة:١٨ )
‘Hanyalah orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir serta melaksanakan shalat dan menunaikan zakat dan tidak memiliki perasaan takut selain kepada Allah,yang boleh untuk menghuni dan mendiami masjid-masjid Allah.Maka mereka yang demikian itulah yang akan termasuk orang yang mendapat petunjuk’.(Qs.At Taubah:18)
1.untuk mengenal lebih jauh tentang waqaf,silahkan rujuk kembali risalah waqaf yang telah penyusun tulis
Namun demikian,boleh bagi orang kafir masuk masjid,jika memang ada keperluan.Dalam sebuah hadist dari Abu Hurairah ra :
بَعَثَ رَسَوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ خَيْلاً قِبَلَ نَجْدٍ فَجَاءَتْ بِرَجُلٍ مِنْ بَنِي حَنِيْفَةَ يُقاَلُ لَهُ ثَمَامَةُ بْنُ أَثاَلَ فَرَبَطُوْهُ بِسَارِيَةٍ مِنْ سَوَارِي الْمَسْجِدِ (رواه البخاري)
“Rasulallah shallallahu alaihi wa alihi wa salam pernah mengirim pasukan berkuda ke daerah Najd,kemudian pasukan tersebut datang dengan membawa seorang laki-laki dari Bani Hanifah yang bernama Tsumamah bin Atsal,lalu merekapun mengikat orang tersebut pada salah satu dari tiang-tiang masjid’. ( HR Bukhari )
Sebagaimana boleh orang Islam untuk shalat digereja dalam keadaan tertentu,sebagai berikut:
Dari Abdullah bin Abbas ra :
وكَاَن َابْنُ عَبّاَسٍ يُصَلِّى فِي الْبِيْعَةِ إِلاَّ بِيْعَةً فِيْهَا تَمَاثِيْلُ (رواه البخاري)
“ Bahwasanya Ibnu Abbas ra melakukan sholat di gereja , kecuali gereja yang di dalamnya ada patung. “ ( HR. Bukhari )
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa :
“ Jika di dalamnya ada patung-patung Abdullah bin Abbas ra keluar dan shalat di bawah guyuran hujan. “
Namun zaman sekarang hampir tidak ada gereja yang kosong dari patung,terutama patung yesus yang disalib telanjang.


Shalat di masjid bertingkat
فَالِاخْتِيَارُ أَنْ يَكُونَ مُسَاوِيًا لِلنَّاسِ,وَلَوْ كَانَ أَرْفَعَ مِنْهُمْ أَوْ أَخْفَضَ لَمْ تَفْسُدْ صَلَاتُهُ وَلَا صَلَاتُهُمْ. وَلَا بَأْسَ أَنْ يُصَلِّيَ الْمَأْمُومُ مِنْ فَوْقِ الْمَسْجِدِ بِصَلَاةِ الْإِمَامِ فِي الْمَسْجِدِ إذَا كَانَ يَسْمَعُ صَوْتَهُ، أَوْ يَرَى بَعْضَ مَنْ خَلْفَهُ (الأمّ ١|١٥٢)
Maka sebaiknya posisi imam sepadan dengan ma’mum,dan bila (posisi) imam lebih tinggi dari ma’mum atau lebih rendah, shalatnya dan shalat ma’mum tidak jadi batal.Dan tidak mengapa seorang ma’mum shalat diatas masjid mengikuti shalat imam dalam masjid bila ma’mum bisa mendengar suara imam atau melihat sebagian ma’mum yang lain.
لِلْإِمَامِ وَالْمَأْمُومِ فِي الْمَكَانِ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ (أَحَدُهَا) أَنْ يَكُونَا فِي مَسْجِدٍ فَيَصِحُّ الِاقْتِدَاءُ سَوَاءٌ قَرُبَتْ الْمَسَافَةُ بَيْنَهُمَا أَمْ بَعُدَتْ لِكِبَرِ الْمَسْجِدِ وَسَوَاءٌ اتَّحَدَ الْبِنَاءُ أَمْ اخْتَلَفَ كَصَحْنِ الْمَسْجِدِ وَصُفَتِهِ وَسِرْدَابٍ فِيهِ وَبِئْرٍ مَعَ سَطْحِهِ وَسَاحَتِهِ وَالْمَنَارَةِ الَّتِي هِيَ مِنْ الْمَسْجِدِ تَصِحُّ الصَّلَاةُ فِي كُلِّ هَذِهِ الصُّوَرِ وَمَا أَشْبَهَهَا إذَا عَلِمَ صَلَاةَ الْإِمَامِ وَلَمْ يَتَقَدَّمْ عَلَيْهِ سَوَاءٌ كَانَ أعلا مِنْهُ أَوْ أَسْفَلَ وَلَا خِلَافَ فِي هَذَا وَنَقَلَ أَصْحَابُنَا فِيهِ إجْمَاعَ الْمُسْلِمِينَ (شرح المهذّب ٤|١٩۷)

Imam dan  ma’mum dalam posisi tempat memiliki tiga keadaan,Salah satunya imam berada dalam masjid,baik dekat jarak antara keduanya atau jauh karena besarnya masjid,dan baik tempat sama atau berbeda,seperti atap masjid,atau emperannya atau liang bawah tanah (terowongan) dalam masjid dan sumur serta tingkat atas masjid dan pelatarannya serta menara yang termasuk dalam masjid.Sah shalat dalam semua gambaran masalah ini dan yang menyerupainya,bila ma’mum mengetahui shalat imam dan tidak mendahuluinya,baik lebih tinggi (posisinya) dari imam atau lebih rendah.Dan tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini,serta ashab kami telah mencutat dalam masalah,ijma’ kaum muslim.
Kedua kitab tersebut menjelaskan tentang sahnya shalat ma’mum di atas menara masjid yang imamnya di masjid. Hal mana menunjukkan bahwa perbedaan ruang/tingkat di dalam masjid dianggap kesatuan selama gerak imam dapat diketahui. Dan adapun masalah tangga dalam masjid yang menjadi perantara antara imam dan ma’mum,maka sebagai berikut:
لاَ يُشْتَرَطُ فِي الْمَسْجِدِ كَوْنُ الْمَنْفَذِ أَمَامَ الْمَأْمُوْمِ أَوْ بِجَانِبِهِ بَلْ تَصِحُّ الْقُدْوةُ وَإِن كَانَ خَلْفَهُ, وَحِيْنَئِذٍ لَوْ كَانَ اْلإِمَامُ فِي عُلُوٍ وَالْمَأْمُوْمُ فِي سُفْلٍ أَوْ عَكْسِهِ كَبِئْرٍ وَمَنَارَةٍ وَسُطْحٍ فِي الْمَسْجِدِ وَكَانَ الْمَرْقَى وَرَاءَ الْمَأْمُوْمِ بِأَنْ لاَ يَصِلَ إِلَى اْلإِمَامِ إِلآَّ بِازْوِرَارٍ بِأَنْ يُوَالِي ظَهْرَهُ الْقِبْلَةَ صَحَّ اْلإِقْتِدَاءُ لإِطْلاَقِهِمْ صِحَّةَ الْقُدْوَةِ فِي الْمِسْجِدِ وَإِنْ حَالَتِ اْلأَبْنِيَةُ الْمُتَنَافِدَةُ إلَيْه وَإِلَى سَطْحِهِ فَيَتَناَوَلُ كَوْنَ الْمَرْقَى الْمَذْكُوْرِ أَمَامَ الْمَأْمُوْمِ أَوْ وَرَاءَهُ أَوْ يَمِيْنَهُ أَوْشِمَالَهُ بَلْ صَرَحَ فِي حَاشِيَتَي النِّهاَيَةِ وَالْمَحَلِّي بِعَدَمِ الضَّرَرِ وَإِنْ لَمْ يَصِلْ إِلَى ذَلِكَ الْبِناءِ إِلاَّ بِازْوِرَارٍ وَانْعِطَافٍ......وَأَمَا اشْتِرَأطُ أَلاَ يكُوْنَ الْمَنْفَذُ خَلْفَ الْمَأْمُوْمِ فَلَمْ يَقُلْهُ أَحَدٌ,وَلَوْ قَالَهُ بَعْضُهُمْ لَمْ يُلْتَفَتْ لِكَلاَمِهِ لِمُخَالَفَتِهِ ِلِمَا سَبَقَ (بغية المسترشدين ص ۷١ )
Tidak disyaratkan dalam masjid keadaan jalan tembus harus dihadapan ma’mum atau disampingnya,namun sah berma’mum walaupun jalan tembus itu berada dibelakangnya.Karena itu, bila imam berada diatas dan ma’mum dibawah atau sebaliknya, seperti disumur atau di menara dan atap masjid,dan tangga ada dibelakang ma’mum sehingga ia tidak akan sampai pada imam kecuali dengan cara bergerak mundur,yaitu dengan menjadikan punggungnya membelakangi kiblat,maka sah berma’mum, sebab ashab telah memberi keumuman sahnya berma’mum dalam masjid walau terhalang oleh beberapa sekat yang merupakan jalan tembus pada masjid dan atap masjid,sehingga keumuman kalam ashab tersebut bisa mencakup keadaan tangga berada dihadapan ma’mum atau belakangnya atau kanannya atau kirinya.Bahkan dijelaskan dalam hasyiyah Nihayah dan Mahally,(bahwa yang demikian itu) tidak mengapa,walaupun ma’mum tidak dapat mencapai bangunan itu kecuali dengan cara bergerak mundur atau berbelok..............
Adapun mensyaratkan keadaan jalan tembus harus dihadapan ma’mum,maka yang demikian itu tidak pernah disebutkan oleh seorangpun,dan bilapun dikatakan oleh sebagian manusia maka tidak perlu dianggap karena telah bersanggahan dengan keterangan yang telah lalu.
Hukum Seputar I’tikaf
Apa yang dimaksud dengan i’tikaf? Dalam kitab lisanul arab, i’tikaf bermakna merutinkan (menjaga) sesuatu.Dan orang yang mengharuskan dirinya untuk berdiam di masjid dan mengerjakan ibadah di dalamya disebut mu’takif atau ‘akifun. Sedang dalam istilah,I’tikaf adalah berdiam diri di masjid untuk ketaatan kepada Allah.
Dan paling utama adalah beri’tikaf pada hari terakhir di bulan Ramadlan. Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf pada 10 hari terakhir di bulan Ramadlan sampai Allah ‘azza wa jalla mewafatkan beliau. (HR. Bukhari & Muslim).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa salam juga pernah beri’tikaf di 10 hari terakhir dari bulan Syawal sebagai qadha’ karena tidak beri’tikaf di bulan Ramadlan. (HR. Bukhari & Muslim)
- I’tikaf disyari’atkan dilaksanakan di masjid berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ (البقرة:١٨۷ )
(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah [2] : 187)
Demikian juga dikarenakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa salam begitu juga istri-istri beliau melakukannya di masjid,dan tidak pernah di rumah sama sekali.Menurut mayoritas ulama, i’tikaf dibolehkan di semua masjid karena keumuman firman Allah di atas (yang artinya) “Sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”.
Diriwayatkan oleh Ad-Darimi dengan sanadnya dari Zuhri dari Urwah dan Said bin Musayyib dari Aisyah dalam hadits :
 وَأَنَّ السُّنَّةَ لِلْمُعْتَكِفِ أَنْ لاَ يَخْرُجَ إِلاَّ لِحَاجَةِ الْإِنْسَانِ ,وَلاَ اعْتِكَافَ إِلاَّ فِي مَسْجِدِ جَمَاعَةٍ
 ‘Sesungguhnya sunnah bagi orang beri’tikaf, tidak keluar kecuali untuk keperluan manusia.Dan tidak ada i’tikaf kecuali di masjid (yang ada shalat) jama’ah’.(maksudnya masjid jami’)
Adapun hadits marfu’ dari Hudzaifah ra yang mengatakan, ”Tidak ada i’tikaf kecuali pada tiga masjid”, hadits ini masih dipersilisihkan apakah statusnya marfu’ atau mauquf.
- Dibolehkan bagi wanita untuk melakukan i’tikaf sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa salam mengizinkan istri istri beliau untuk beri’tikaf. (HR. Bukhari & Muslim)
Namun wanita boleh beri’tikaf di sini harus memenuhi 2 syarat : [1] Diizinkan oleh suami dan [2] Tidak menimbulkan fitnah (masalah) bagi lelaki lain
- I’tikaf tidak disyaratkan dengan puasa. Karena Umar pernah berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,”Ya Rasulullah, aku dulu pernah bernazar di masa jahiliyah untuk beri’tikaf semalam di Masjidil Haram?” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,”Tunaikan nadzarmu.” Kemudian Umar beri’tikaf semalam. (HR. Bukhari dan Muslim).Dan jika beri’tikaf pada malam hari,tentu tidak puasa. Jadi puasa bukanlah syarat untuk i’tikaf.Maka dari hadits ini boleh bagi seseorang beri’tikaf hanya semalam.Wallahu a’lam.
- Beberapa hal yang membatalkan i’tikaf adalah : [1] Keluar dari masjid tanpa alasan syar’i atau tanpa ada kebutuhan yang mubah yang mendesak (misalnya untuk mencari makan, mandi junub , yang hanya bisa dilakukan di luar masjid), [2] Jima’ (bersetubuh) dengan istri berdasarkan Al Baqarah:187 di atas. Perbanyaklah dan sibukkanlah diri dengan melakukan ketaatan tatkala beri’tikaf seperti berdo’a, dzikir, dan membaca Al Qur’an dan ilmu.Semoga Allah memudahkan kita untuk mengisi hari-hari dengan amalan shalih yang ikhlas dan sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa salam.
Berbicara urusan dunia di Masjid
اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي الْكَلاَمِ فِي الْمَسَاجِدِ:فَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ إِلَى كَرَاهَةِ الْكَلاَمِ فِي الْمَسَاجِدِ بِأَمْرٍ مِنْ أُمُورِ الدُّنْيَا.قَال الْحَنَفِيَّةُ: وَالْكَلاَمُ الْمُبَاحُ فِيهِ مَكْرُوهٌ يَأْكُل الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُل النَّارُ الْحَطَبَ فَإِنَّهُ مَكْرُوهٌ وَالْكَرَاهَةُ تَحْرِيمِيَّةٌ، لِأَنَّ الْمَسَاجِدَ لَمْ تُبْنَ لَهُ.(فتح القدير(١/٣٦٩)، وجواهر الإكليل (٢/٢۰٣)، وكشاف القناع (١/٣٢۷،٢/٣٦٩).
وَقَال الْحَنَابِلَةُ :وَيُكْرَهُ أَنْ يَخُوضَ فِي حَدِيثِ الدُّنْيَا، وَيَشْتَغِلُ بِالطَّاعَةِ مِنَ الصَّلاَةِ وَالْقِرَاءَةِ وَالذِّكْرِ.(كشاف القناع (١/٣٢۷)،(٢/٣٦٩)،وبريقة محمودية في شرح طريقة محمدية (٣/٢٦٩-٢۷۰).
وَذَهَبَ الشَّافِعِيَّةُ إِلَى جَوَازِ الْكَلاَمِ الْمُبَاحِ فِي الْمَسْجِدِ ،قَال النَّوَوِيُّ: يَجُوزُ التَّحَدُّثُ بِالْحَدِيثِ الْمُبَاحِ فِي الْمَسْجِدِ وَبِأُمُورِ الدُّنْيَا وَغَيْرِهَا مِنَ الْمُبَاحَاتِ وَإِنْ حَصَل فِيهَا ضَحِكٌ وَنَحْوُهُ مَا دَامَ مُبَاحًا. (المجموع شرح المهذب ٢/١٨۰) وَالرَّاجِحُ هُوَ مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ الشَّافِعِيَّةُ بِشَرْطِ أَلاَ يُؤَثِّرَ ذَلِكَ عَلَى الْمُصَلِّيْنَ وَالْقَانِتِيْنَ فِي الْمَسْجِدِ، وَدَلِيْلُ التَّرْجِيْحِ حَدِيْثِ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: كَانَ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ لاَ يَقُومُ مِنْ مُصَلاَّهُ الَّذِي يُصَلِّي فِيهِ الصُّبْحَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ، فَإِذَا طَلَعَتِ الشَّمْسُ قَامَ، وَكَانُوا يَتَحَدَّثُونَ فَيَأْخُذُونَ فِي أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ فَيَضْحَكُونَ وَيَتَبَسَّمُ (أخرجه مسلم).
Ahli fiqh berbeda pendapat tentang membicarakan urusan dunia dalam masjid.Menurut ulama hanafiyah,malikiyah dan hanabilah :Hukumnya makruh (makruh tahrim) membicarakan hal-hal duniawi dalam masjid.Ulama Hanafiy berkata: pembicaran yang mubah (boleh) dalam masjid itu makruh yang dapat melebur kebaikan seperti api yang membakar kayu bakar, maka ini makruh dan makruhnya itu tahrim,karena masjid tidak dibangun untuk hal demikian.Referensi:fathul qodir, jawahirul iklil, kasyful qona’. 
Ulama Hanbaly berkata:makruh untuk menimbrung dalam pembicaraan duniawi,dan (hendaknya) bersungguh untuk melakukan ketaatan dengan shalat,membaca qur’an dan dzikir . Referensi:kasyful qona’dan bariqah Muhammadiyyah.
Menurut Syafi’iyyah: boleh membicarakan hal-hal yang mubah dari perkara duniawi di dalam masjid.Imam Nawawi berkata:boleh melakukan pembicaran mubah dalam masjid, dan berbicara urusan dunia dan lainnya walaupun pembicaraannya mengundang tawa dan semisalnya,selama pembicaraan tersebut diperbolehkan.Referensi:Al Majmu’ syarah Muhadzab
Dan pendapat rajih adalah pendapat ulama syafi’i dengan syarat tidak memberikan kesan buruk bagi orang shalat dan yang sedang bermunajat dalam masjid.Dasar tarjih adalah hadits Jabir bin Samurah ra,ia berkata:adalah Rasulallah shallallahu alaihi wa alihi wa salam tidak pernah bangkit dari tempat shalatnya selepas shalat subuh sehingga matahari terbit.Maka bila mentari telah muncul,beliaupun bangkit,dan sedangkan para sahabat sedang berbincang tentang cerita masa jahiliyah dahulu sehingga mereka tertawa tawa dan beliaupun tersenyum.
Bersyair dalam masjid
أَنَّ عُمَرَ مَرَّ بِحَسَّانِ بْنِ ثاَبِتٍ وَهُوَ يُنْشِدُ فِي الْمَسْجِدِ فَنَظَرَ إِلَيْهِ فاَلْتَفَتَ حَسَّانٌ إِلَى أَبِي هُرَيْرَةَ فَقَالَ لَهُ أُنْشِدُكَ اللهَ هَلْ سَمِعْتَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ أَجِبْ عَنِّى اَللَّهُمَّ أَيِّدْهُ بِرُوْحِ الْقُدْسِ قَالَ نَعَمْ (رواه البخاري ومسلم)
“ Umar pada suatu ketika melewati Hassan bin Tsabit yang sedang melantunkan sya’ir di masjid.Maka Umar melihatnya  (sepertinya mau melarangnya).Maka Hasan bin Tsabitpun menoleh ke Abu Hurairah seraya bertanya : “ Aku meminta pengakuaanmu atas nama Allah, apakah engkau pernah mendengar Rasulullah saw bersabda kepadaku ( di masjid ) : “ Jawablah untuk-ku ( dalam bentuk sya’ir ), ya Allah kuatkan dia ( Hassan bin Tsabit ) dengan ruh alquds ( Jibril as ). Abu Hurairah menjawab: “ Ya saya mendengarnya . “ ( HR Bukhari dan Muslim )
Adapun beberapa riwayat yang menunjukkan larangan membaca sya’ir di masjid,maksudnya adalah sya’ir-sya’ir jahiliyyah dan sya’ir-sya’ir yang tidak ada manfaatnya serta tidak ada hubungannya dengan pembelaan terhadap Islam dan bukan untuk menjunjung tinggi syi’ar Islam.
Amal sunnah penghuni Masjid dan tidur serta makan minum di dalamnya
يُسْتَحَبُّ عَقْدُ حَلْقِ الْعَلْمِ فِي الْمَسَأجِدِ,قَالَ فِي الْجَوَاهِرِ:الأَولَى بِالْمُعْتَكِفِ قِرَاءَةِ الْعِلْمِ وَتَعْلِيْمِهِ ومُطَألَعَتِه وكِتَابَتِهِ,وَمِنْ لاَزِمِ ذَلِكَ اْلإِحْتِيَاجُ إِلَى وَضْعِ الْكُتُبِ فَارْتِفَاقُ الْمُدَرِّسِ بِوضْعِ كُتُبِهِ بِحَيْثُ لاَ يُضِيْقُ عَلَى الْمُصَلِّيْنَ جَأئِزٌ لأَنَّ وَضْعَ الْكُتُبِ وَسِيْلَةٌ إِلَى التَّعْلِيْمِ الْمُسْتَحَبِّ وَلِلْوَسَائِلِ حُكْمُ الْمَقَاصِدِ.وَلاَ بَأْسَ بِإِغْلاَقِهِ فِي غَيْرِ وَقْتِ الصَّلاَةِ كَبَعْدَ الْعِشَاءِ صِيَانَةً لَهُ وَحِفْظًا لآلَتِهِ,وَهَذَا إِذَا خِيْفَ امْتِهَانُهاَ وَضِيَاعُ مَا فِيْهَا وَلَمْ تَدْعُ إِلَى فَتْحِهَا حَاجَةٌ وَإِلاَّ فَالسُّنَةُ فَتْحُهَا مُطْلَقًا كَمَا فِي الْمَجْمُوْعِ.وَيَجُوْزُ النَّوْمُ فِيْهِ بِلاَ كَرَأهَةٍ بِقَيْدِ عَدَمِ التَّضْيِيْقِ أَيْضًا سَوَاءٌ الْمُعْتَكِفُ وَغَيْرُهُ إِنْ وُضِعَ لَهُ فِرَأشٌ,وَكَذَا لاَ بَأْسَ بِاْلأُكْلِ وَالشُّرْبِ وَالْوُضُوْءِ إِذَا لَمْ يَتَأَذَّ بِهِ النَّاسُ وَلَمْ يَكُنْ لِلْمَأْكُوْلِ رَائِحَةٌ كَرِيْحَةٌ كَالثَّوْمِ وَإِلاَّ كُرِهَ (فتاوى ابن زياد بهامش بغية المسترشدين ص ٩٦ )
Sunnah untuk membuka majlis pengajian di masjid.Berkata pengarang kitab Al Jawahir:yang lebih utama untuk orang yang beri’tikaf adalah membaca ilmu,mengajar,menelaah dan menulisnya.Dan dari keterkaitannya tentu membutuhkan tempat penyimpanan kitab,maka tempat kosong untuk seorang pengajar menyimpan kitabnya,sekira tidak mempersempit lokasi orang shalat itu boleh,karena menyimpan kitab itu jalan untuk mengajar yang disunnahkan,sedangkan jalan memiliki hukum tujuan.
Tidak mengapa untuk mengunci masjid diluar waktu shalat demi keamanannya dan upaya penjagaan asetnya.Ini bila memang dikhawatirkan (ada anggapan) menyepelekan masjid dan hilangnya barang yang berada didalamnya serta tiada hajat untuk membukanya.Tapi bila tidak demikian,maka sunnah untuk membuka masjid,sebagaimana  dalam kitab Majmu’.
Boleh tidur dalam masjid tanpa makruh dengan syarat tidak mempersempit (ruang orang yang shalat),baik orang (tidur) itu yang sedang beri’tkaf atau tidak,bila ada amparan tidur untuknya.Begitu pula boleh makan dan minum serta wudlu dalam masjid,bila tidak mengganggu orang lain dan makanannya tidak memiliki bau tak sedap seperti bawang,dan bila makanan itu berbau maka dimakruhkan.
Mafsadat dan bid’ah dalam Masjid
مُؤَذِّنُ الْجُمْعَةِ ابْتَدَعَ بِدْعَةً يَوْمَ الْجُمْعَةِ عِنْدَ دُخُوْلِ الْوَقْتِ,وَإِنْ دَخَلَ النَّاسُ فَيَتَقَدَّمُ أَماَمَ الْمِنْبَرِ قَبْلَ دُخُوْلِ الْخَطِيْبِ وَيَطْلُبُ مِنَ الْحَاضِرِيْنَ الْفَاتِحَةَ لِجَمْعٍ مِنَ النَّاسِ بِعَدَدِهِمْ,وَكاَنَ ذَلِكَ يُفَوِّتُ فَضِيْلَةَ أَوَّلِ الْوَقْتِ,زُجِرَ عَنْ فَعْلِهِ ذَلِكَ وَمُنِعَ مَنْ بِدْعَتِهِ (فتاوى ابن زياد بهامس بغية التسترشدين ص ١٠٢)
Seorang muadzin jum’at melakukan perbuatan bid’ah di hari jum’at ketika telah masuk waktu dan bila para jama’ah telah masuk,lalu ia berdiri di depan minbar sebelum khatib datang dan meminta kepada para hadirin untuk membaca fatihah untuk sejumlah orang sebanyak mereka, sedangkan hal demikian telah melepas fadlilah awal waktu.Maka orang seperti itu harus dilarang serta dicegah dari bid’ahnya.
Dibeberapa tempat,telah sering terjadi waktu jum’at di isi dengan pengajian rutin oleh seorang ustadz,sehingga keluar dari awal waktu.Inilah salah satu bentuk bid’ah yang banyak terjadi di masyarakat,terutama dipedesaan.Dan bila sang ustadz ditanya tentang hal tersebut atau diterangkan padanya hukumnya,maka ia berkata,’ah hitung hitung menggunakan waktu luang dan mumpung masyarakat lagi kumpul semua’. Allahul Musta’an.
Syubhat
Sebagian orang yang kurang akal,memiliki pendapat bahwa shalat dibelakang orang fasiq atau ahli bid’ah itu tidak boleh:
Bantahan:
Alasan itu tertolak sebab menyelisihi manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah bahwa barangsiapa yang meninggalkan shalat dibelakang ahlul bid’ah (yang tidak kafir) maka dia juga ahlul bid’ah.Dan berikut fatwa ulama yang mencela orang yang tidak mau shalat dibelakang imam ahlul bid’ah yang tidak sampai kafir:
Ibnu Hazm berkata, “Kami tidak mengetahui seorang pun shahabat yang tidak mau bermakmum di belakang al Mukhtar, Ubaidillah bin Ziyad dan al Hajjaj, padahal tidak ada orang yang lebih fasik dibandingkan mereka. Allah berfirman yang artinya, “Dan hendaknya kalian tolong menolong dalam kebaikan dan takwa dan janganlah kalian tolong menolong dalam dosa dan perbuatan melampaui batas” (QS al Maidah:3). Siapa yang mengajak kita untuk melakukan dosa maka kita tidak akan merespon dan membantunya. Ini semua merupakan pendapat Abu Hanifah, Syafii dan Abu Sulaiman…. Dari Ubaidullah bin Adi bin al Khiyar, beliau menemui Utsman (bin Affan) yang terkepung di dalam rumahnya lalu berkata, “Engkau adalah imam shalat untuk banyak orang dan sekarang engkau dalam kondisi terkepung akhirnya yang menjadi imam shalat untuk kami adalah pelaku tindakan onar.Kami merasa berat untuk shalat di belakangnya”. Utsman mengatakan,
إنَّ الصَّلاةَ أَحْسَنُ مَا يَعْمَلُ النَّاسُ فَإِذَا أَحْسَنَ النَّاسُ فَأَحْسِنْ مَعَهُمْ، وَإِذَا أَسَاءُوا فَاجْتَنِبْ إسَاءَتَهُمْ
 Sesungguhnya shalat adalah sebaik-baik amal manusia. Jika orang lain berbuat baik maka berbuat baiklah bersama mereka. Namun jika mereka melakukan keburukan maka jauhilah keburukan yang mereka lakukan”.
Ibnu Umar juga mau bermakmum di belakang al Hajjaj dan an Najdah yaitu an Najdah al Haruri salah seorang pemimpin Khawarij.Yang kedua adalah khawarij (baca:ahli bid’ah). Sedangkan yang pertama adalah manusia yang paling fasik. Meski demikian, Ibnu Umar berkata, “Shalat adalah sebuah kebaikan. Aku tidak peduli siapakah yang menemaniku dalam kebaikan tersebut” (Al Muhalla 4/213).
Tentang shalat di belakang ahli bid’ah, Al Hasan al Bashri berkata, “Shalatlah (di belakangnya) sedangkan bid’ahnya adalah urusan dia sendiri” (Disebutkan oleh Bukhari dalam Shahihnya).
 Al Bukhari membuat sebuah bab berjudul:
“Keimaman Seorang yang Terlibat Fitnah dan Seorang Ahli Bid’ah”
Lalu beliau menyebutkan riwayat,
عَنْ عُبَيْدِاللَّهِ بْنِ عَدِيِّ بْنِ خِيَارٍ أَنَّهُ دَخَلَ عَلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِي اللَّهم عَنْهم وَهُوَ مَحْصُورٌ فَقَالَ إِنَّكَ إِمَامُ عَامَّةٍ وَنَزَلَ بِكَ مَا نَرَى وَيُصَلِّي لَنَا إِمَامُ فِتْنَةٍ وَنَتَحَرَّجُ فَقَالَ الصَّلَاةُ أَحْسَنُ مَا يَعْمَلُ النَّاسُ فَإِذَا أَحْسَنَ النَّاسُ فَأَحْسِنْ مَعَهُمْ وَإِذَا أَسَاءُوا فَاجْتَنِبْ إِسَاءَتَهُمْ
Dari ‘Ubaidullah bin ‘Adi bahwa beliau masuk menemui ‘Utsman bin ‘Affan saat beliau dikepung maka ia mengatakan: Sesungguhnya engkau adalah imam jama’ah, dan telah menimpamu apa yang kami lihat dan (sekarang yang) mengimami kami adalah imam fitnah , kami merasa takut berdosa. Maka ‘Utsaman berkata: Shalat adalah sebaik-baik apa yang dilakukan oleh manusia, maka jika mereka berbuat baik, berbuat baiklah bersama mereka dan jika mereka berbuat jelek maka jauhilah kejelekan mereka. [HR Al Bukhari. rujuk fathul bari :2/188 no: 695]
Ibnu Abi Zamaniin meriwayatkan dari Syabib ia mengatakan: Bahwa Najdah Al Haruri (orang khawarij) bersama teman-temannya datang (ke Makkah) maka ia melakukan perjanjian damai dengan Ibnu Zubair (yang menguasai Makkah saat itu ) lalu ia (Najdah) mengimami orang-orang selama sehari semalam dan Ibnu Az-Zubair sehari semalam, maka Ibnu Umar shalat di belakang mereka berdua, Sehingga seseorang mengkritik Ibnu Umar lantas beliau menjawab: Kalau mereka menyeru, ‘Mari kepada amal yang baik’, maka kita menyambutnya, dan jika mereka menyeru, ‘Mari kita bunuh jiwa’, maka kami mengatakan: Tidak!!. Dan beliau mengeraskan suaranya [‘Usulussunnah karya Ibnu Abi Zamanin :3/1003,dan Al-Baihaqi meriwayatkan yang semakna: 3/122 dalam As-Sunan al kubra]
‘Umair bin Hani mengatakan: Aku melihat Ibnu ‘Umar, Ibnu Zubair, Najdah, dan Al Hajjaj, maka Ibnu Umar mengatakan: Mereka (penduduk Makkah yang berperang) berjatuhan dalam neraka sebagaimana lalat jatuh ke dalam kuah. Tapi jika beliau mendengar seorang muadzin, beliau cepat-cepat menuju kepadanya -yakni muadzin mereka- lalu shalat bersama mereka [Al Mushonnaf karya Abdurrazzaq:2/387 dan As Sunan al Kubra, Al Baihaqi:3/122]
Abdul Karim Al Bakka’: Saya mendapati sepuluh dari sahabat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam semuanya shalat di belakang imam yang jahat [Sunan Al Kubra:3/122 dan Al Bukhari dalam tarikhnya,rujukFathul Bari karya Ibnu rajab : 4/183]
Nafi’ mengatakan: Bahwa Ibnu ‘Umar menyendiri ke Mina saat pertempuran antara Ibnu Zubair dengan Hajjaj di Mina, lalu ia shalat di belakang Hajjaj. [Sunan Al Kubra:3/121]
Demikian riwayat dari sebagian Sahabat Nabi shallallahu’alaihi wa alihi wa salam yang membuktikan bahwa mereka shalat di belakang ahli bid’ah atau orang fasiq yang sekelas Hajjaj bin Yusuf selama mereka belum kafir.
Riwayat dari Tabi’in
Ja’far bin Barqon mengatakan: Saya bertanya kepada Maimun bin Mihran tentang shalat di belakang seseorang yang disebut khawarij, ia menjawab: ‘Sesungguhnya engkau shalat bukan karena orang itu tapi karena Allah, dulu kami shalat di belakang Al Hajjaj padahal dia haruri azraqi (orang khawarij)’. Lalu aku memandangnya. Maka beliaupun berkata: ‘Dia adalah yang kamu selisihi pendapatnya ia menganggapmu kafir dan menghalalkan darahmu, dan Hajjaj dulu semacam itu’ [Fathul Bari,Ibnu rajab:4/183]
Al Hasan Al Basri ditanya tentang shalat di belakang ahli bid’ah maka beliau menjawab: Shalatlah, dan bid’ahnya ditangung imam itu sendiri [HR. Al Bukhari secara mu’alaq dan Sa’id bin Manshur diambil dari Fathul Bari:4/182 karya Ibnu Rajab dan Fathul Bari, Ibnu Hajar :2/188]
Al A’masy mengatakan:Adalah murid-murid besar Ibnu Mas’ud shalat jum’at bersama Al Mukhtar dan mereka mengharap pahala dari perbuatan itu. [Usulussunah karya Ibnu Abi Zamanin:3/1004]
Seseorang berkata kepada Al Hasan Al Bashri: Datang seseorang dari Khawarij mengimami kami, apakah kami shalat di belakangnya? Beliau menjawab: Ya, telah ada yang lebih jelek darinya mengimami orang-orang. [Usulussunah karya Ibnu Abi Zamanin:3/1005]
Qotadah mengatakan: Saya bertanya kepada Said Ibnu Al Musayyib: Apakah kita boleh shalat di belakang Al Hajjaj? Ia menjawab: Kami sungguh akan shalat di belakang orang yang lebih jelek darinya.
Demikianlah beberapa riwayat dari tabi’in yang sejalan dengan apa yang dilakukan para sahabat.
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata: “Bahwa shalat di belakang orang yang fasik dan pemimpin yang zhalim, sah shalatnya.Sahabat-sahabat kami telah berkata:Shalat di belakang orang fasik itu sah tidak haram akan tetapi makruh, demikan juga dimakruhkan shalat di belakang ahli bid’ah yang bid’ahnya tidak sampai kepada tingkat kufur (bid’ahnya tidak menjadikan ia keluar dari islam).Tetapi bila bid’ahnya adalah bid’ah yang menyebabkan ia keluar dari islam, maka shalat di belakangnya tidak sah, sebagaimana shalat di belakang orang kafir.Dan Imam as-Syafi’i menyebutkan dalam al-Muktashar bahwa makruh hukumnya shalat di belakang orang fasik dan ahli bid’ah,kalau dikerjakan juga, maka shalatnya tetap sah, dan inilah pendapat jumhur ulama.”
Demikianlah perkataan Salaful Ummah rahimahumullah jami’an.Maka hati-hatilah dari meninggalkan imam kaum muslimin (walaupun fasiq).
Itulah yang dimaksud dengan ahli bid’ah dan ahli ahwa.Berhati hatilah dalam berpendapat wahai tuan! Sayangi diri anda dengan menjaga hati dan mulut dari mencela sesama muslim, sebelum bencana melanda anda sendiri.
.....................
Wallalhu a’lam bish Shawab


Wassalam,selesai penyusunan malam Sabtu 13 Rabiul Awwal 1437,bertepatan dengan  21 Januari 2016


1 komentar:

Unknown mengatakan...

Tolong dikoreksi dan dikaji lagi dalam kalimat ini :
فُرُوْعٌ : عِمَارَةُ الْمَسْجِدِ هِيَ الْبِناَءُ وَالتَّرْمِيْمُ وَالتَّجْصِيْصُ لِلْإحْكاَمِ وَالسَّلاَلِمِ وَالسَّوَارِي وَالْمَكاَنِسِ وَالْبَواَرِي لِلتَّظْلِيْلِ أَوْ لِمَنْعِ صَبِّ الْمَاءِ فِيْهِ لِتَدْفَعَهُ لِنَحْوِ شاَرِعٍ وَالْمَساَحِي وَأُجْرَةُ الْقَيِّمِ وَمَصَالِحِهِ تَشْمُلُ ذَلِكَ,وَمَا لِمُؤَذِّنٍ وَإِمَامٍ وَدُهْنٍ لِلسِّرَاجِ وَقَنَادِيْلَ لِذَلِكَ , وَالْوَقْفُ مُطْلَقاً يُحْمَلُ عَلَى الْمَصَالِحِ,
kalimat ومصالحه تشمل ذلك itu seharusnya wawu-nya wawu athaf ke عمارة المسجد bukan ke اجرة القيم

dan artinya bukan kemudian bahwa uang imarotul masjid itu boleh untuk masholihul masjid.

yang benar adalah ومصالحه تشمل ذلك itu macam uang masjid yang ke-2.
jadi yangboleh digunakan untuk membayar muadzin dan imam adalah uang yang untuk masholih, tidak boleh dari uang imaroh

 
TARBIYYAH ISLAMIYYAH Copyright © | Template designed by Liza Burhan | SEO by Islamic Blogger Template