RISALAH QURBAN
Disusun oleh
Sayyid soleh bin Muhammad al Habsyi
Pendiri yayasan Tarbiyah islamiyyah
الحمد لله ربّ العالمين.والصلاة والسلام على سيّد المرسلين.وعلى آله وصحبه أجمعين.وبعد:
اللهمّ يسّر ولا تعسّر
Permasalahan qurban sebagai salah satu cabang ibadah dan muamalah
maliyyah Islam merupakan salah satu bukti tentang ajaran Islam akan pengorbanan
diri (tadlhiyyah an nafsi) dan mementingkan kepentingan umum (istsar bil ghair)
yang telah membawa umat Islam pertama menuju zaman keemasannya.
Namun sungguh sayang di masa ini hanya tinggal merupakan seremonial
belaka,seperti juga bentuk bentuk ibadah lainnya yang telah kosong dan kering
dari ruh Islam.Disamping hanya dijadikan obyek perdebatan, perkongsian bahkan
perebutan diantara orang orang alim.
Risalah kecil ini merupakan lanjutan dari risalah lalu yang ditulis
tentang muamalah Islam.Insya Allah tulisan selanjutnya tentang seri muamalah
akan terus ditulis. Walaupun hanya sekelumit saja sesuai kemampuan penulis dalam
memahami masalah tersebut,namun semoga bisa jadi salah satu bentuk amal
ibadah yang diterima Allah Taala dan jadi wasilah mendapat ampunanNya
serta bermanfaat bagi diri penulis
khususnya dan umumnya bagi sesama………..Amin
Wassalam,Penyusun
Cianjur 24 Dzul hijjah 1434 Hijriyyah -19
November 2012
Qurban dan tujuannya
Dalam bahasa Arab disebut Udlhiyyah,(أضحية) yang
berarti persembahan atau pengorbanan bagi Tuhan.Qurban merupakan ajaran
lama,yang hampir ada disetiap kepercayaan didunia.Dalam Alqur’an disebutkan
salah satunya;
فَلَوْلاَ نَصَرهُمُ الَّذِيْنَ اتَّخَذُوْا مِنْ دُوْنِ اللهِ قُرْبَانًا آلِهَةً,بَلْ ضَلُّوْا عَنْهُمْ وَذَلِكَ إِفْكُهُمْ وَمَا كَانُوْا يَفْتَرُوْنَ ( الأحقاف : ۲۸ )
Maka kenapa tidak menolong mereka orang orang yang memberikan
qurban kepada sesembahan selain Allah, namun mereka
telah tersesat dan itulah kebohongan mereka serta apa yang
mereka dustakan.
Arti kata qurban sendiri dalam bahasa Arab adalah pendekatan atau
kedekatan,lalu diterjemahkan dalam bahasa Indonesia untuk kata Udlhiyyah
yaitu pengorbanan hewan ternak.
Sedangkan tujuan daripada ibadah Qurban ialah untuk amal sosial
dengan menafkahkan sebagian harta di jalan Allah sebagai tanda syukur padaNya
atas ni’mat yang telah Dia berikan.Dan arti dibalik semua itu adalah bukti
pengorbanan diri untuk melaksanakan perintah Tuhan dan kelapangan dada untuk
saling memberi dan berbagi dengan sesama.Oleh karena itu,dalam qurban yang
dilihat dan dipentingkan adalah daging dari hewan yang diqurbankan tersebut,
bukan banyak atau sedikitnya.Jadi yang dilihat ialah kwalitas (mutu) dan
bukan kwantitas (jumlah) nya.
Hukum Qurban
Asal hukum Qurban adalah sunnah,Allah berfirman:
وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللهِ (الحجّ: ۳۶ )
Dan Aku jadikan unta bagi kalian dari sebagian tanda kebesaran
Allah
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (الكوثر: ۲)
Maka shalatlah karena Tuhanmu dan sembelihlah qurban
Rasulallah shallallahu alaihi wa alihi wa salam bersabda:
" أُمِرْتُ بِالنَحْرِ وَهُوَ
سُنَّةُ لَكُمْ " (رواه الترمذي)
Aku diperintahkan untuk menyembelih qurban dan ia bagi kalian
merupakan sunnah (HR.Turmudzi)
Waktu Qurban
Di hari nahr,yaitu Sepuluh dzul hijah,Rasulallah shallallahu alaihi
wa alihi wa salam bersabda:
" إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِي الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّي فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعَرِهِ وَأَظَافِرِهِ " رواه مسلم
Bila kalian telah melihat hilal bulan Dzul hijjah dan salah
satu dari kalian mau untuk ber udlhiyyah hendaklah ia memegang bulu dan
kuku kukunya (HR.Muslim)
Qurban dilakukan setelah shalat Idil Adlha, sebagaimana arti ayat
kedua surah Al Kautsar diatas.
Hewan Qurban
Kriteria tentang hewan Qurban terdiri atas:
a.hewan yang dapat dipakai qurban,ialah hewan
yang tergolong hewan ternak: unta,sapi, kerbau, domba dan kambing.Dengan
berdasarkan ayat:
لِيَذْكُرُوْا اسْمَ اللهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيْمَةِ الْأَنْعَام ( الحجّ: ۳۴ )
‘Agar
supaya mereka mengingat nama Allah atas karunia yang Dia berikan pada mereka
dari hewan hewan ternak’.
Serta yang dilakukan oleh Rasulallah shallallahu alaihi wa alihi wa
salam,serta telah diputuskan secara ijma’ tidak boleh selain hewan ternak.
b.sifat dan keadaan hewan yang akan dipakai qurban,yang terdiri
dari:sifat yang harus,yaitu telah berumur satu tahun bagi domba, lima tahun
bagi unta,dan dua tahun bagi sapi, kerbau serta kambing.
c.hewan qurban yang memiliki banyak daging, karena itu tidak
mencukupi hewan qurban yang kurus kering,yang pincang,yang buta matanya dan
yang sakit parah.
Rasulallah shallalallahu alaihi wa alihi wa salam bersabda:
" أَرْبَعَةٌ لاَ تُجْزِئُ فِي الْأَضَاحِي:الْعَوْرَاءُ الْبَيِّنُ عَوْرُهَا وَالْمَرِيْضَةُ الْبَيِّنُ مَرَضُهَا وَالْعَرْجَاءُ الْبَيِّنُ عَرَجُهَا وَالْعَجْفَاءُ الَّتِي لَا تُنْقِي" رواه الترمذي وقال حسن صحيح
Ada empat hewan yang tidak mencukupi untuk dipakai qurban,
yaitu:yang buta sangat,yang sakit sangat,yang pincang sangat dan hewan kurus
yang tidak bersumsum (baca:kurus kering)
d.keharusan menshadaqahkan semua daging hewan qurban bagi yang
berkurban nadzar. Sedangkan bagi qurban sunnah tidak mengapa bila orang yang
berkurban memakan sebagian dari daging kurbannya.Ibarat Kifayah Al Akhyar:
(ولا يأكل المضحي شيئا من الأضحية المنذورة ويأكل من المتطوّع بها ولا يبيع منها).الأضحية المنذورة تخرج من ملك الناذر بالنذر كما لو ـعتق عبدا حتى أتللفها لزمه ضمانُه,فإذا نحرها لزمه التصدّق بلحمها,فلو أخره حتى تلف لزمه ضمانه,ولا يجوز أن يأكل منها شيئا قياسا على جزاء الصيد ودماء الجبرانات,فلو أكل منه شيئا غرمه ولا يلزمه إراقة دم ثانيا لأنه قد فعله وفيما يضمن أوجه الراجح ونصّ عليه الشافعي رضي الله عنه أنه يغرم قيمته كما لو أتلفه غيره والثاني يلزمه مثل اللحم والثالث يشارك به في ذبيحة أخرى.وأما المتطوّع بِها فيستحبّ أن يأكل منها بل قيل بالوجوب لقوله تعالى "فكلوا منها",والصحيح الإستحباب لقوله تعالى "والبدن جعلناها لكم من شعائر الله",جعلها الله سبحانه وتعالى لنا لا علينا,وبالقياس على العقيقة,الأفضل التصدّق بالجميع إلاّ اللقمة أو اللقمتان يأكللها فإنها مسنونة.
(كفاية الأخيار: ۲
\ ۲۴۱ )
(Dan seorang yang berkurban tidak boleh memakan sedikitpun dari
qurban nadzar.Dan boleh bagi orang yang berkurban sunnah untuk memakan,namun
tidak boleh menjual sebagian dari hewan qurban).Qurban nadzar keluar dari milik
orang yang bernadzar sebagaimana bila seseorang memerdekakan hamba sahaya,
sehingga bila ia merusaknya maka wajib baginya untuk memberi ganti.Maka bila ia
telah menyembelih hewan tersebut wajib baginya untuk menshadaqahkan seluruh
dagingnya, bila ia mengakhirkan waktu penyembelihan hingga hewan itu mati atau
tidak sah untuk jadi hewan qurban,maka wajib padanya untuk mengganti. Dan tidak
boleh baginya untuk memakan sedikitpun dari (daging) hewan qurban, dengan
memperbandingkan pada sangsi buruan dan dam hajj.Maka bila ia memakan sedikit
dari daging hewan tersebut,ia harus menggantinya,namun tidak wajib baginya
untuk kembali memotong hewan qurban lain karena ia telah melaksanakan. Dan
untuk hal yang harus ia ganti itu terdapat perbedaan pendapat,yang paling rajih
dan merupakan nash As Syafi’i ra bahwa ia harus mengganti nilainya,sebagaimana
bila orang lain merusaknya.Pendapat kedua,wajib baginya untuk mengganti dengan
daging yang serupa. Dan pendapat ketiga,ia bisa disatukan dengan sembelihan
yang lain.Adapun orang yang berkurban sunnah,maka boleh baginya untuk memakan
dari dagingnya,bahkan disebutkan sebagai wajib,sebab firman Allah “ maka
makanlah dari (daging) hewan qurban (tersebut)”. Namun yang sahih,sunnah memakannya karena
firman Allah “dan unta Kami jadikan bagi kalian sebagai sebagian tanda
kebesaran Allah”.Allah menjadikannya untuk kita (baca:boleh),bukan wajib pada
kita.Dan juga dengan diqiyaskan pada daging aqiqah.Dan lebih baik
menshadaqahkan seluruh dagingnya kecuali sesuap atau dua suap yang ia
makan,karena itu sunnah.
Semua kriteria diatas merupakan satu isyarat
bahwa dalam persoalan qurban,yang diutamakan adalah banyaknya daging,sebab
inilah yang menjadi tujuan utama dari qurban itu sendiri, yaitu amal sosial
sebagai bentuk keperdulian terhadap sesama sebagaimana telah disinggung sebelumnya
Allah berfirman:
وَلَنْ يَنَالَ اللهَ لُحُوْمُهَا وَلاَ دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ (الحجّ: ۳۷ )
‘Tidak
akan sampai pada Allah daging dan darah dari hewan qurban tersebut,namun yang
akan sampai padaNya adalah taqwa dari kalian semua’.
Dan sifat yang merupakan kesunnahan, yaitu: hewan qurban jantan.
Ibarat kifayah al akhyar:
واعلم أنه لا فرق في الإجزاء بين الأنثى والذكر إذا وجد السنّ المعتبر,نعم الذكر أفضل على الراجح لأنه أطيب لحما (كفاية الأحيار: ۲ \ ۲۳۶ )
Ketahuilah,bahwa tidak berbeda tentang mencukupinya hewan yang
dipakai qurban antara yang betina dan yang jantan bila telah sampai pada batas
umur yang ditetapkan. Memang yang jantan lebih afdhal menurut pendapat yang
rajih karena dagingnya lebih baik (enak).
d.jumlah hewan yang dapat dipakai qurban, terdiri atas:yang
berkurban seorang diri dan orang banyak.Bagi orang yang seorang diri,cukup seekor
hewan qurban.baik unta, sapi, kerbau, domba atau kambing.Artinya bila seseorang
mau berkorban untuk dirinya sendiri,boleh memilih
salah satu hewan ternak yang telah disebutkan, dan cukup seekor
untuk tiap orangnya.Dan bila ada orang yang mau untuk berjama’ah qurban,maka
boleh membeli satu ekor unta atau sapi atau kerbau,untuk mereka semua.Namun
dibatasi hanya untuk tujuh orang saja.
Ibarat Kifayah al Akhyar:
وتجزئ البدنة عن سبعة وكذا البقرة لما روى جابر رضي الله عنه قال:نحرنا مع رسول الله صلّى الله عليه وآله وسلّم بالحديبية البدنة عن سبعة والبقرة عن سبعة" رواه مسلم..قال أبو إسحق:تجزئ البدنة عن عشرة,,في البخاري ما يشهد له ورواه الترمذي وقال:إنه حسن غريب وقال ابن القطّان:إنه صحيح ونجزي الشاة عن واحد وكذا عن سائر أهل البيت كما مرّ والله أعلم. (كفاية الأخيار: ۲ \ ۲۳۷ )
Dan mencukupi seekor unta untuk
tujuh orang,begitu pula seekor sapi (dan
kerbau), karena hadits yang telah diriwayatkan oleh Jabir ra,ia berkata:kami
berqurban beserta Rasulallah shallallahu alaihi wa alihi wa salam di Hudaibiyah
dengan satu unta untuk tujuh orang dan satu sapi untuk tujuh orang.(HR.Muslim).
Dan berkata Abu Ishaq:seekor unta cukup untuk sepuluh orang,dan dalam sahih
Bukhary ada syahid (hadits peenguat) tentang hal tersebut,dan Turmudzi telah meriwayatkannya serta ia
berkata:hadits hasan gharib.Ibnu qathan berkata:hadits (tersebut) sahih. Dan
seekor domba cukup untuk seseorang dan begitu pula untuk satu keluarga
sebagaimana telah disebutkan tadi. Allahu A’lam.
Catatan:seseorang
tidak boleh memperebutkan tentang masalah kesunnahan atau afdlaliyah, karena
hal tersebut tidak pernah disyara’ (diajar) kan oleh Rasulallah.Yang penting
lakukan perintah sunnah qurban ini dengan hati bersih dan jauh dari riya,demi
untuk melaksanakan perintah Allah dan RasulNya,bukan untuk berbangga diri
apalagi bila sampai timbul suatu perselisihan diantara umat.Perhatikan ayat
diatas tentang tujuan qurban,maka akan jelas bahwa maksud disyara’kan qurban
ialah realisasi daripada ketaqwaan seseorang,yaitu pengorbanan diri dan
kelapangan dada untuk saling berbagi dan memberi.Adapun orang yang selalu memperpenting hal
yang tidak penting, maka ia hanya sebagian dari orang yang punya keinginan
pribadi dan ajaran agama dijadikan sebagai tamengnya demi untuk mencapai tujuan
dan maksud yang dikandungnya.
Daripada terlalu melihat pada sudut kesunnahan
yang telah dijelaskan,lebih baik orang itu berfikir bagaimana caranya untuk
mengajak umat menunaikan kewajiban mereka yang pokok,seperti zakat.Maka
sangatlah mengherankan,orang yang berbicara lantang tentang masalah sunnah,tapi
dia tidak perduli untuk mendorong atau mempertegas akan masalah wajib,sehingga
jadilah ajaran Islam ini seakan komoditi dagang mereka yang bila mereka suka
akan mereka katakan dan bila mereka tidak suka atau kurang berkenan maka mereka
diam seribu bahasa. Sebenarnya
mereka adalah sebagian dari orang yang memiliki penyakit dalam hatinya.Ibnu
‘Athailah dalam Al hikam berkata:
مِنْ عَلاَمَاتِ اتِّباَعِ الْهَوَى الْمُسَارَعَةُ إِلَى
نَوَافِلِ
الْخَيْرَاتِ
وَالتَّكَاسُلُ
عـَنِ
الْقِيَامِ
بِالْوَاجِبَـاتِ
Dari sebagian tanda mengikuti hawa nafsu ialah bersegera untuk melaksanakan
sunah sunah kebaikan namun malas/ tidak perduli
untuk melaksanakan kewajiban (Al hikam 21/ 2)
Adapun ucapan sambil lalu yang mengatakan bahwa yang dibutuhkan
adalah nyawanya,maka yang demikian itu hanya ungkapan tanpa dasar, karena jelas
dalam firman Allah disebutkan bahwa yang sampai padaNya
hanya ketaqwaan hambaNya, bukan darah,daging atau nyawa segala.Lebih
baik hati hati untuk berbicara daripada menuai sesal di akhir nanti.Wassalam
Berbagai masalah seputar Qurban
a.cacat pada hewan qurban
Sebenarnya,selain dari empat cacat hewan qurban yang telah
disebutkan dalam hadits diatas,maka selebihnya merupakan qiyas banding para
ulama,setelah meneliti maksud tujuan dari ibadah qurban itu sendiri,yaitu amal
sosial berupa daging hewan tertentu. Oleh sebab itu terjadi perbedaan pendapat
yang dapat dilihat pada ibarat Kifayah Al Alkhyar dengan matan taqrib berikut ini:
(ولا تجزئ مقطوعة الأذن أو الذنَب) أي لا تجزئ مقطوعة الأذن وكذا المقطوع أكثر أذنها بلا خلاف, فإن كان يسيرا ففيه خلاف الأصحّ عدم الإجزاء لفوات جزء مأكول,وضبط الإمام بين القليل والكثير بإنه إن لاح من بُعْد فكثيرٌ وإلاّ فيسيرٌ,ولو قطعت وبقيت متدليّة أجزات على الأصحّ,ولو كوِيَتْ أجزأت على المذهب وقيل لا تجزئ لتصلب موضع الكي,وتجزئ صغيرة الأذن,ولا تجزئ التي لم يخلق لها أذن على الراجح وتسمى السكاء,وتجزئ التي خلقت بلا آلية أوضرع في الأصحّ,والفرق أن الأذن عضو لازم بخلاف الضرع والآلية بدليل جواز تضحية بالذي كرّ من المعز فلا تجزئ مقطوعة الآلية والضرع على الأصحّ لفوات جزء مأكول وكذا مقطوعةُ الذنَب والله أعلم. (كفاية الأخيار ۲ \ ۲۳۸ )
(tidak mencukupi hewan yang putus telinga dan
ekornya), yaitu tidak cukup untuk digunakan sebagai qurban,hewan yang putus
telinga dan yang putus sebagian besar ekornya, tanpa ada perbedaan pendapat (di
madzhab Syafi’i).Maka bila hilangnya sedikit saja,maka disini terdapat
perbedaan pendapat,dan yang ashah adalah tidak mencukupi,karena hilangnya satu
bagian tubuh yang dapat dimakan.Imam Haramain memberi satu dlabit tentang
banyak dan sedikitnya,bahwa bila bagian yang hilang itu bisa terlihat dari jauh
maka itu banyak,dan bila tidak terlihat dari jauh maka itu sedikit.Dan bila
ekor dipotong serta masih tersisa bergelantung,maka mencukupi menurut pendapat
ashah, dan bila dikey (dicap),maka mencukupi menurut madzhab, dan disebutkan
tidak mencukupi karena adanya perapatan dari bekas key.Dan mencukupi hewan
qurban yang bertelinga kecil.Dan tidak mencukupi hewan yang tidak
diciptakan memiliki telinga menurut pendapat rajih,dan disebut dengan nama
sika’.Dan dicukupkan hewan yang tercipta tanpa bokong atau pentil susu.Perbedaan
antara keduanya ialah karena telinga merupakan satu bagian tubuh yang lazim
terdapat (pada hewan),berbeda dengan pentil susu dan bokong,dengan alasan bahwa
boleh berqurban dengan kambing yang telah dilubangi. Maka tidak mencukupi
qurban dengan yang putus bokong atau pentil sususnya memurut pendapat ashah
karena hilangnya bagian tubuh yang bisa dimakan. Begitu pula
tidak mencukupi hewan yang putus ekornya.Allahu A’lam.
b.qurban untuk orang yang telah meninggal
Tidak boleh,namun ada pendapat dlaif dari Imam Rafi’i yang
memperbolehkan,silahkan baca ibaratnya minhaj at thalibin berikut:
(ولا تضحية عن الغير) الحي (بغير إذنه) وبإذنه تقدّم (ولا عن ميت وإن يوص بِها) وبإيصائه تقع له.
Tidak boleh qurban untuk orang lain yang hidup
tanpa idzinnya dan dengan idzinnya yang telah lalu,dan tidak (boleh pula
qurban) untuk mayit walaupun mewasiatkannya,dan dengan wasiatnya qurban sah
baginya.
Komentar Umairah dalam hasyiyah:
(قول الشارح وبإيصائه) أي والفرض أنها من مال غيره وبالأولى فيما إذا كانت من ماله,قال الرافعي:فينبغي أن يقع له وإن لم يوص لأنه ضرب من الصدقة (حاشية عميرة ٤ |٢۵۵)
(Ucapan penjelas dan dengan wasiatnya) yaitu dengan
perkiraan bahwa qurban tersebut dari harta orang lain, apalagi bila dari hartanya (mayit) sendiri.Rafi’i berkata: seyogyanya qurban tersebut sah baginya walau tanpa wasiat karena qurban merupakan
bagian dari shadaqah.
c.upah potong qurban dengan daging qurban itu sendiri
Dalil dari hal ini adalah riwayat yang disebutkan
oleh imam ‘Ali bin Abi Tholib,
أَمَرَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لاَ أُعْطِىَ الْجَزَّارَ مِنْهَا قَالَ « نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا ».
"Dari
Ali, beliau berkata : "Rosululloh memerintahkanku untuk mengurusi unta
kurban beliau. Aku pun lantas membagikan dagingnya, kulitnya dan pakaiannya.
Beliau memerintahkanku untuk tidak memberi upah kepada jagal dari hewan kurban,
sedikit pun. Beliau bersabda, 'Kami akan memberi upah untuk jagal dari harta
kami yang selainnya.'' ( Shohih Muslim, no.1317 )
Dari hadits ini, An Nawawi rahimahullah
mengatakan, “Tidak boleh memberi tukang jagal sebagian hasil sembelihan qurban
sebagai upah baginya. Inilah pendapat ulama-ulama Syafi’iyah, juga menjadi
pendapat Atho’, An Nakho’i, Imam Malik, Imam Ahmad dan Ishaq.”( Syarh Muslim,
An Nawawi, 4/453). Namun sebagian ulama ada yang membolehkan memberikan upah
kepada tukang jagal dengan kulit semacam Al Hasan Al Bashri. Beliau mengatakan,
“Boleh memberi jagal upah dengan kulit.” An Nawawi lantas menyanggah
pernyataan tersebut, “Perkataan beliau ini telah membuang sunnah.” .”( Syarh
Muslim, An Nawawi, 4/453)
Sehingga yang tepat, upah jagal bukan diambil dari hasil sembelihan
qurban. Namun shohibul qurban hendaknya menyediakan upah khusus dari
kantongnya sendiri untuk tukang jagal tersebut
Ibarat
kitab tausyih:
(ويحرم
أيضا
جعله
) أي
شئ
منها
(أجرة
للجزار)
لأنه
في
معنى
البيع (ولو كانت الأضحية تطوّعا) فإن
أعطى
الجزار
لا
على
سبيل
الأجرة
بل
على
سبيل
الصدقة
لم
يحرم (توشيخ على ابن قاسم ص ٢٧١)
Dan haram pula menjadikan sebagian daging
qurban sebagai upah jagal (pemotong) karena itu berarti jual beli, walaupun qurban tersebut qurban sunnah.Maka bila memberi pada jagal tidak
dengan tujuan upah tapi dengan tujuan shadaqah,maka tidak haram (baca:boleh)
d.sisa sisa hewan qurban,yaitu bulu,kulit dan tanduknya
Menjual sebagian dari
hasil sembelihan qurban baik berupa kulit, wol, rambut, daging, tulang dan
bagian lainnya.
Dalil terlarangnya hal ini adalah hadits Abu Sa’id,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَلاَ تَبِيعُوا لُحُومَ الْهَدْىِ وَالأَضَاحِىِّ فَكُلُوا وَتَصَدَّقُوا وَاسْتَمْتِعُوا بِجُلُودِهَا وَلاَ تَبِيعُوهَا
“Janganlah menjual hewan hasil sembelihan hadyu
dan sembelian udlhiyah (qurban).Tetapi makanlah, bershodaqohlah, dan gunakanlah
kulitnya untuk bersenang-senang, namun jangan kamu menjualnya.” Hadits ini
adalah hadits yang dho’if (lemah).( HR. Ahmad no. 16256, 4/15. Syaikh
Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini dho’if (lemah). Ibnu
Juraij yaitu ‘Abdul Malik bin ‘Abdul ‘Aziz adalah seorang mudallis.
Zubaid yaitu Ibnul Harits Al Yamiy sering meriwayatkan dengan mu’an’an.
Zubaid pun tidak pernah bertemu dengan salah seorang sahabat. Sehingga hadits
ini dihukumi munqothi’ (sanadnya terputus).
Walaupun hadits di atas dha’if, menjual
hasil sembelihan qurban tetap terlarang. Alasannya, qurban dipersembahkan
sebagai bentuk taqorrub pada Allah yaitu mendekatkan diri pada-Nya
sehingga tidak boleh diperjualbelikan. Sama halnya dengan zakat. Jika harta
zakat kita telah mencapai nishob (ukuran minimal dikeluarkan zakat) dan telah
memenuhi haul (masa satu tahun), maka kita harus serahkan kepada orang yang
berhak menerima tanpa harus menjual padanya. Jika zakat tidak boleh demikian,
maka begitu pula dengan qurban karena sama-sama bentuk taqorrub pada
Allah. Alasan lainnya lagi adalah kita tidak diperkenankan memberikan upah
kepada jagal dari hasil sembelihan qurban sebagaimana telah dijelaskan diatas .
(Lihat keterangan Syaikh Abu Malik dalam Shahih Fiqh Sunnah, 2/379).
Dari sini, tidak tepatlah praktek sebagian kaum
muslimin ketika melakukan ibadah yang satu ini dengan menjual hasil qurban
termasuk yang sering terjadi adalah menjual kulit. Bahkan untuk menjual kulit
terdapat hadits khusus yang melarangnya. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَّتِهِ فَلاَ أُضْحِيَّةَ لَهُ
“Barangsiapa menjual kulit hasil sembelihan
qurban, maka tidak ada qurban baginya.”( HR. Al Hakim. Beliau mengatakan
bahwa hadits ini shahih. Adz Dzahabi mengatakan bahwa dalam hadits ini
terdapat Ibnu ‘Ayas yang didho’ifkan oleh Abu Daud). Maksudnya, ibadah
qurbannya tidak ada nilainya.
Larangan menjual hasil sembelihan qurban adalah
pendapat Imam Asy Syafi’i dan Imam Ahmad. Imam Asy Syafi’i mengatakan,
“Binatang qurban termasuk nusuk (hewan yang disembelih untuk mendekatkan
diri pada Allah). Hasil sembelihannya boleh dimakan, boleh diberikan kepada
orang lain dan boleh disimpan. Aku tidak menjual sesuatu dari hasil sembelihan
qurban (seperti daging atau kulitnya, pen). Barter antara hasil sembelihan
qurban dengan barang lainnya termasuk jual beli.”( Lihat Tanwirul ‘Ainain bi
Ahkamil Adhohi wal ‘Idain, hal. 373, Syaikh Abul Hasan Musthofa bin Isma’il
As Sulaimani, terbitan Maktabah Al Furqon, cetakan pertama, tahun 1421 H).
Jadi menurut madzhab Syafi'i menjual kulit hewan
qurban, baik itu qurban nadzar ( qurban wajib ) atau qurban sunnah hukumnya haram,
dan jual belinya dianggap tidak sah apabila yang menjualnya adalah mudlahi
(orang yang berqurban ) atau orang kaya yang menerimanya. Selain itu ia wajib
menggantinya apabila dijual kepada selain mustahiq ( orang yang berhak menerima
), dan apabila dijual kepada mustahiq maka ia wajib mengembalikan uangnya dan
daging/kulit yang telah diterima menjadi shadaqoh.Sedangkan apabila yang
menjualnya adalah faqir miskin yang menerimanya maka hal ini diperbolehkan dan
jual belinya dihukumi sah.
Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat
dibolehkannya menjual hasil sembelihan qurban, namun hasil penjualannya
disedekahkan (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayid
Salim, 2/379). Akan tetapi, yang lebih selamat dan lebih tepat, hal ini tidak
diperbolehkan berdasarkan larangan dalam hadits di atas dan alasan yang
telah disampaikan.
Pendapat
yang melarang penjualan kulit hewan qurban juga merupakan pendapat
madzhab Maliki dan madzhab Hanbali. Ibnu Al-Mundzir juga meriwayatkan pendapat
ini dari Atho', An-Nakho'i, Ishaq. Jadi, mayoritas ulama' menyatakan bahwa
menjual kulit hewan qurban itu tidak diperbolehkan.Ketentuan hukum ini
berdasarkan hadits di atas.
Imam
Haromain, salah seorang ulama' madzhab Syafi'i menceritakan bahwa penulis kitab
"At-Taqrib" meriwayatkan satu pendapat yang ghorib ( asing )
yang memperbolehkan menjual kulit hewan qurban. Madzhab Hanafi juga
memperbolehkan menjual kulit qurban, tapi hukumnya makruh. Namun hukum makruh
tersebut hilang apabila uang dari hasil penjualan kulitnya disedekahkan menurut
pendapat Syekh Muhammad.
Salah
satu alasan ulama' yang memperbolehkan menjual kulit hewan qurban adalah
meng-qiyas-kannya dengan kebolehan memakan sebagian daging tersebut bagi orang
yang berqurban. Ibnu Al-Baththol dalam kitab beliau, Syarah Shahih
Bukhori menjelaskan bahwa alasan ini tidak bisa diterima, sebab hukum
asal dari sesuatu yang sudah dikeluarkan untuk tujuan ibadah tidak boleh diambil
kembali kecuali terdapat dalil yang memperbolehkannya. Dan masalah ini tentu
berbeda dengan kebolehan memakan sebagian dagingnya, sebab hal itu memang
diperbolehkan karena memang terdapat dalil yang memperbolehkannya.
Kesimpulannya,
terdapat satu pendapat dari salah satu ulama' madzhab Syafi'i yang
memperbolehkan menjual kulit hewan qurban,namun pendapat ini adalah pendapat ghorib.Madzhab
Hanafi juga memperbolehkan menjual kulit qurban,namun hukumnya makruh, dan
hukum makruh tersebut hilang apabila kulitnya disedekahkan. Wallahu a'lam.
Catatan penting yang perlu diperhatikan: Pembolehan menjual hasil sembelihan qurban oleh
Abu Hanifah adalah ditukar dengan barang karena seperti ini masuk kategori
pemanfaatan hewan qurban menurut beliau. Jadi beliau tidak memaksudkan jual
beli di sini adalah menukar dengan uang. Karena menukar dengan uang secara
jelas merupakan penjualan yang nyata. Inilah keterangan dari Syaikh Abdullah
Ali Bassam dalam Tawdhihul Ahkam (Lihat
Tawdhihul Ahkam min Bulughil Marom, Syaikh ‘Abdullah Ali Bassam, 4/465,
Darul Atsar, cetakan pertama, tahun 1425 H.dan Ash Shan’ani dalam Subulus
Salam (Lihat Subulus Salam Syarh Bulughul Marom, Muhammad bin
Isma’il Ash Shon’ani, 4/177, Darul Fikr, cetakan tahun 1411 H)
Sehingga tidak tepat menjual kulit atau bagian
lainnya, lalu mendapatkan uang sebagaimana yang dipraktekan sebagian panitia
qurban saat ini. Mereka sengaja menjual kulit agar dapat menutupi biaya
operasional atau untuk makan-makan panitia.
Mengenai penjualan hasil sembelihan qurban dapat
kami rinci:
1.Terlarang menjual daging qurban (udlhiyah atau pun
hadyu) berdasarkan kesepakatan (ijma’) para ulama.( Lihat Tawdhihul Ahkam,
4/465).
2.Tentang menjual
kulit qurban, para ulama berbeda pendapat:
Pertama:
Tetap terlarang. Ini pendapat mayoritas ulama berdasarkan hadits di atas.
Inilah pendapat yang lebih kuat karena berpegang dengan zhahir hadits
(tekstual hadits) yang melarang menjual kulit sebagaimana disebutkan dalam
riwayat Al Hakim. Berpegang pada pendapat ini lebih selamat, yaitu terlarangnya
jual beli kulit secara mutlak.
Kedua:
Boleh, asalkan ditukar dengan barang (bukan dengan uang). Ini pendapat Abu
Hanifah. Pendapat ini terbantah karena menukar (barter) juga termasuk jual
beli. Pendapat ini juga telah disanggah oleh Imam Asy Syafi’i dalam Al Umm
(2/351). Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Aku tidak suka menjual daging atau
kulitnya. Barter hasil sembelihan qurban dengan barang lain juga termasuk jual
beli.” (Lihat pendapat Imam Asy Syafi’i ini dalam Tanwirul ‘Ainain bi
Ahkamil Adhohi wal ‘Idain, hal. 373)
Ketiga:
Boleh secara mutlak. Ini pendapat Abu Tsaur sebagaimana disebutkan oleh An
Nawawi (Syarh Muslim, An Nawawi, 4/453, Mawqi’ Al Islam). Pendapat ini
jelas lemah karena bertentangan dengan zhahir hadits yang melarang
menjual kulit.
Ibarat
Al-Majmu', Juz : 8 Hal : 418-419
قال المصنف رحمه الله : ولا يجوز بيع شئ من الهدي والأضحية نذرا كان أو تطوعا لما روي عن علي رضي الله عنه قال (أمرني رسول الله صلى الله عليه وسلم إن اقوم على بدنه فاقسم جلالها وجلودها وامرني ان لا اعطي الجازر منها شيئا وقال نحن نعطيه من عندنا) ولو جاز اخذ العوض عنه لجاز ان يعطي الجازر في اجرته ولانه انما اخرج ذلك قربة فلا يجوز ان يرجع إليه الا ما رخص فيه وهو الاكل
...........................
الشرح : حديث علي رضي الله عنه رواه البخاري ومسلم بلفظه وجلالها - بكسر الجيم - جمع جل
واتفقت نصوص الشافعي والأصحاب على أنه لا يجوز بيع شئ من الهدي والأضحية نذرا كان أو تطوعا سواء في ذلك اللحمُ والشحم والجلد والقرن والصوف وغيره ولا يجوز جعل الجلد وغيره أجرة للجزار بل يتصدق به المضحي والمهدي أو يتخذ منه ما ينتفع بعينه كسقاء أو دلو أو خف وغير ذلك. وحكى إمام الحرمين أن صاحب التقريب حكى قولا غريبا أنه يجوز بيع الجلد والتصدق بثمنه ويصرف مصرف الأضحية فيجب التشريك فيه كالانتفاع باللحم. والصحيح المشهور الذي تظاهرت عليه نصوص الشافعي وقطع به الجمهور أنه لا يجوز هذا البيع كما لا يجوز بيعه لأخذ ثمنه لنفسه وكما لا يجوز بيع اللحم والشحم
قال أصحابنا ولا فرق في بطلان البيع بين بيعه بشئ ينتفع به في البيت وغيره والله أعلم
ويستحب أن يتصدق بجلالها ونعالها التي قلدتها ولا يلزمه ذلك, صرح به البندنيجي وغيره والله أعلم
فرع : قال أصحابنا لا يكفي التصدق بالجلد إذا قلنا بالمذهب إنه يجب التصدق بشئ من اللحم لأن المقصود هو اللحم قالوا والقرن كالجلد
فرع : ذكرنا أن مذهبنا أنه لا يجوز بيع جلد الاضحية ولاغيره من أجزائها لا بما ينتفع به في البيت ولا بغيره وبه قال عطاء والنخعي ومالك وأحمد وإسحاق هكذا حكاه عنهم ابن المنذر ثم حكى عن ابن عمر وأحمد واسحق أنه لا بأس أن يبيع جلد هديه ويتصدق بثمنه
قال ورخص في بيعه أبو ثور وقال النخعي والأوزاعي لا بأس أن يشتري به الغربال والمنخل والفأس والميزان ونحوها قال وكان الحسن وعبد الله بن عمير لا يريان بأسا أن يعطي الجزار جلدها وهذا غلط منابذ للسنة
وحكى أصحابنا عن أبي حنيفة أنه يجوز بيع الأضحية قبل ذبحها وبيع ما شاء منها بعد ذبحها ويتصدق بثمنه قالوا وإن باع جلدها بآلة البيت جاز الانتفاع بها. دليلنا حديث علي رضى الله عنه والله أعلم
Hasyiyah
As-Syarqowi, Juz : 2 Hal : 21
قوله ولا بيع لحم اضحية الخ) ومثل اللحم الجلد والشعر والصوف ومحل امتناع ذلك فى حق
المضحى اما من انتقل اليه اللحم او نحوه فان كان فقيرا جاز له البيع او غنيا فلا -إلى أن قال- ولا فرق فى الاضحية بين الواجبة والمندوبة. اهـ
Tarsyihul
Mustafidin, Hal : 201
وللفقير التصرف فيه ببيع وغيره بخلاف الغنى اذا أرسل اليه شيئ او اعطيه فانما يتصرف فيه بنحو اكل وتصدق وضيافة لان غايته انه كالمضحى والقول بانهم اى الاغنياء يتصرفون فيه بما شاؤا ضعيف. اهـ
Hasyiyah Al-Bajuri, Juz : 2 Hal : 301
ولا يبيع) اى يحرم على المضحى بيع شيئ (من الاضحية) اى من لحمها او شعرها او جلدها. (قوله ولا يبيع) اى ولا يصح البيع مع الحرمة -إلى أن قال- لكن البيع صورة يقع الموقع ان كان المشترى من اهلها بان كان فقيرا فيقع صدقة له ويسترد الثمن من البائع. اهـ
Mauhibah Dzawil Fadli, Juz : 4 Hal : 295
فان اكل الجميع ضمن الواجب وهو ما ينطلق عليه الاسم فيشترى بثمنه لحما. اهـ
Kifayatul
Akhyar, juz II, hal. 295
ولا يجوز له أن يأكل منها شيئا قياسا على جزاء الصيد ودماء الجبرنات فلو أكل منها شيئا غرم ولا يغرمه إراقة دم ثانيا لانه قد فعله. اهـ
Al-Mausu'ah
Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, Juz : 7 Hal : 98
بيع إهاب الأضحية وما في معناه:
14 - اتفق الفقهاء على أنه لا يجوز أن يدفع الإهاب ولا شيء من الأضحية إلى الجزار أجرة له على ذبحها.
ولكنهم اختلفوا في جواز بيع جلد الأضحية.
فذهب الحسن البصري والنخعي وأبو حنيفة، وروي ذلك عن الأوزاعي إلى جواز بيعه مقايضة بآلة البيت كالغربال والمنخل ونحو ذلك، مما تبقى عينه دون ما يستهلك؛ لأنه ينتفع به هو وغيره، فجرى مجرى تفريق اللحم، فإن باعه بدراهم كره له ذلك وجاز، إلا أن يتصدق بالثمن فلا يكره عند محمد خاصة، وروي عن ابن عمر وإسحاق بن راهويه.
وذهب الأئمة الثلاثة مالك والشافعي وأحمد إلى أنه لا يجوز بيع إهاب الأضحية مطلقا لا بآلة البيت ولا بغيرها. (2)
(1)
شرح الزرقاني على خليل 3 / 17، وأسنى المطالب 1 / 554، وتبيين الحقائق شرح كنز الدقائق 5 / 292 نشر دار المعرفة في بيروت، كشاف القناع 6 / 211.
Roddul Mukhtar Ala Durril Mukhtar, Juz : 6 Hal : 328
فإن) (بيع اللحم أو الجلد به) أي بمستهلك (أو بدراهم) (تصدق بثمنه) ومفاده صحة البيع مع الكراهة، وعن الثاني باطل لأنه كالوقف مجتبى. (ولا يعطى أجر الجزار منها) لأنه كبيع، واستفيدت من قوله - عليه الصلاة والسلام - «من باع جلد أضحيته فلا أضحية له» هداية
.......................................
قوله فإن بيع اللحم أو الجلد به إلخ) أفاد أنه ليس له بيعهما بمستهلك وأن له بيع الجلد بما تبقى عينه، وسكت عن بيع اللحم به للخلاف فيه. ففي الخلاصة وغيرها: لو أراد بيع اللحم ليتصدق بثمنه ليس له ذلك، وليس له فيه إلا أن يطعم أو يأكل اهـ والصحيح كما في الهداية وشروحها أنهما سواء في جواز بيعهما بما ينتفع بعينه دون ما يستهلك، وأيده في الكفاية بما روى ابن سماعة عن محمد: لو اشترى باللحم ثوبا فلا بأس بلبسه اهـ. [فروع] في القنية: اشترى بلحمها مأكولا فأكله لم يجب عليه التصدق بقيمته استحسانا، وإذا دفع اللحم إلى فقير بنية الزكاة لا يحسب عنها في ظاهر الرواية، لكن إذا دفع لغني ثم دفع إليه بنيتها يحسب قهستاني
قوله تصدق بثمنه) أي وبالدراهم فيما لو أبدله بها (قوله ومفاده صحة البيع) هو قول أبي حنيفة ومحمد بدائع لقيام الملك والقدرة على التسليم هداية (قوله مع الكراهة) للحديث الآتي (قوله لأنه كبيع) لأن كلا منهما معاوضة لأنه إنما يعطى الجزار بمقابلة جزره والبيع مكروه فكذا ما في معناه كفاية (قوله واستفيدت إلخ) كذا في بعض النسخ والضمير للكراهة، لكن صاحب الهداية ذكر ذلك الحديث في البيع، ثم قال بعد قوله ولا يعطى أجر الجزار منها «لقوله - عليه الصلاة والسلام - لعلي - رضي الله عنه - تصدق بجلالها وخطامها ولا تعط أجر الجزاز منها شيئا» والنهي عنه نهي عن البيع أيضا لأنه في معنى البيع اهـ. ولا يخفى أن في كل من الحديثين دلالة على المطلوب من الموضعين
Syarah
Bukhori Li Ibnu Baththol, Juz : 4 Hal : 391
واختلفوا فى بيع الجلد، فروى عن ابن عمر أنه لا بأس بأن يبيعه، ويتصدق بثمنه، وقاله أحمد وإسحاق. وقال أبو هريرة: من باع إهاب أضحيته فلا أضحية له، وقال ابن عباس: يتصدق به أو ينتفع به، ولا يبيعه، وعن القاسم وسالم: لا يصلح بيع جلودها، وهو قول مالك، وقال النخعى والحكم: لا بأس أن يشترى به الغربان والمنخل، ورخص أبو هريرة فى بيعه، وقال عطاء: إن كان الهدى واجبًا تصدق بإهابه، وإن كان تطوعًا باعه إن شاء فى الدَّيْن. وأما من أجاز بيع جلودها، فإنما قال ذلك والله أعلم قياسًا على إباحة الله الأكل منها، فكان بيع الجلد والانتفاع به تبعًا للأكل، وهذا ليس بشئ؛ لأنه يجوز أكل لحمها، ولا يجوز بيعه بإجماع، والأصل فى كل ما اخرج لله تعالى أنه لا يجوز الرجوع فى شىء منه، ولولا إباحة الله الأكل منها ما جاز أن يستباح، فوجب ألا يتعدى الأكل إلى البيع إلا بدليل لا مُعارِض له
Menyembelih udhiyah (hewan qurban) pada hari
raya idul adlha merupakan salah satu bentuk ibadah ritual yang hanya
boleh dipersembahkan dan ditujukan dengan ikhlas kepada Allah semata. Allah
Ta’ala berfirman (yang artinya): “Maka dirikanlan shalat karena Tuhanmu, dan
berqurbanlah (karena Tuhanmu pula)” (QS. Al-Kautsar [108]: 2). Dengan demikian
prosesi menyembelih hewan qurban yang dilakukan sebagai ibadah ritual
persembahan untuk Allah Ta’ala adalah salah satu bentuk representasi kemurnian
iman dan tauhid seorang mukmin. Allah berfirman (yang artinya): “Katakanlah: “Sesungguhnya
shalatku, sembelihan ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan
semesta alam; tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan
kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (kepada Allah)”
(QS. Al-An’am [6]: 162). Dan sebaliknya memperuntukkan dan mempersembahkan
sembelihan apapun kepada selain Allah adalah sebuah tindakan syirik yang
dilaknat oleh Allah (lihat HR. Muslim).
Dan karena sifatnya sebagai persembahan khusus
untuk Allah itu, maka menurut jumhur ulama, tidak ada bagian manapun dari hewan
qurban yang boleh dijual atau dijadikan sebagai upah jagal misalnya, termasuk
kulitnya, bulunya dan bahkan kain penutup yang dipakaikan pada hewan qurban
sebagai penahan cuaca panas dan dingin sejak seekor hewan telah ditetapkan
sebagai udhiyah sampai saat disembelih. Karena sejak ditetapkan sebagai
qurban yang dipersembahkan untuk Allah, maka hewan udhiyah itu telah
murni menjadi “milik” Allah. Dan Allah Ta’ala – melalui Rasul-Nya shallallahu
‘alaihi wasallam – hanya mengizinkan agar “milik”-Nya itu dikonsumsi oleh
pequrban dan keluarganya, disimpan, dan dibagi-bagikan sebagai sedekah atau
hadiah, dan tidak untuk dijual atau dijadikan upah jagal dan beaya operasional.
Dalam hadits Ali radhiyallahu ‘anhu beliau
berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkanku
untuk mengurus onta-onta sembelihan (sebagai hadyu atau qurban) milik
beliau, dan agar aku membagi-bagikan dagingnya, kulitnya dan bahkan “baju”-nya
kepada orang-orang miskin, serta agar aku tidak memberikan sesuatupun dari
bagian hewan qurban itu kepada jagal (sebagai ongkos/upah) (HR. Muttafaq
‘alaih). Dan dalam hadits itu pula, beliau bersabda kepada Ali: “Sedekahkanlah
“baju” penutupnya dan tali ikatannya , serta janganlah Engkau berikan upah
jagal dari bagian hewan sembelihan tersebut”. Dan dalam sebuah hadits yang
diperselisihkan derajat riwayatnya: “Barangsiapa menjual kulit hewan qurbannya,
maka (seolah-olah) tiada qurban baginya” (HR. Al-Hakim, Al-Baihaqi dan
lain-lain dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dihasankan oleh
Al-Albani). Atas dasar hadits-hadits tersebut dan lainnya, maka untuk haramnya
penjualan daging hewan qurban secara khusus, telah menjadi ijmak dan
kesepakatan seluruh ulama. Sedangkan untuk bagian-bagian selain daging, seperti
kulitnya, kepalanya dan lain-lain, memang terdapat sedikit perbedaan pendapat,
namun jumhur madzhab (Maliki, Syafi’i dan Hambali) tetap sepakat bahwa, haram
hukumnya bila bagian apapun dari hewan qurban itu dijual atau dijadikan sebagai
upah jagal, beaya operasional dan semacamnya.
Adapun mengapa tidak boleh dijual dan dijadikan
upah jagal atau untuk biaya-biaya operasional yang lain, maka disamping memang
hal itu semua dilarang berdasarkan dalil-dalilnya, juga karena penjualan, pengupahan
jagal dan pengambilan beaya operasional dari bagian hewan qurban itu akan
mengurangi nilai qurban dan menjadikannya tidak utuh lagi sebagai persembahan
untuk Allah.Logikanya adalah bahwa, jika kulit hewan qurban itu misalnya dijual
atau dijadikan upah jagal, maka seakan-akan sang pequrban telah berqurban
dengan misalnya seekor kambing atau sapi tanpa kulit!
Nah selanjutnya, jika demikian halnya, maka
bagaimana cara panitia qurban di masjid dan lain-lain menyikapi dan
memperlakukan kulit-kulit tersebut, dibawah ini penjelasannya.
Perlu dipahami, bahwa larangan menjual kulit atau
bagian apapun dari hewan qurban itu tertuju kepada sang pequrban dan juga
panitia qurban dalam status, posisi dan kapasitasnya sebagai wakil kepercayaan
dan penerima serta pengemban amanah para pequrban. Adapun jika yang melakukan
penjualan itu si penerima kulit atau seseorang atau pihak yang berstatus
sebagai wakil kepercayaan penerima, dan bukan wakil pequrban, maka hal itu
boleh dan tidak dilarang. Karena memang para menerima bebas mengapakan
saja (tentu selain memubadzirkannya!) apa-apa yang diterimanya dari bagian
hewan qurban, seperti memanfaatkannya sendiri, mengkonsumsinya, memberikannya
kepada orang lain, termasuk menjualnya dan lain-lain. Dan sebagaimana mereka
(para penerima) bebas menjual sendiri yang mereka terima dari hewan qurban,
seperti kulitnya misalnya, maka proses dan transaksi penjualan tersebut juga boleh
jika diwakilkan kepada orang atau pihak lain.
Akhirnya berikut ini beberapa opsi atau alternatif
pilihan untuk cara memperlakukan dan mendistribusikan kulit hewan qurban:
- Panitia melakukan pendataan nama orang-orang atau pihak-pihak penerima (tidak harus perorangan, tapi insyaa-allah bisa juga yayasan, lembaga, masjid, panti, sekolah dan lain-lain) yang dinilai berhak mendapatkan kulit-kulit itu. Lalu setelah proses penyembelihan dan pengulitan usai serta kulit-kulit terkumpul, maka panitia menyerahkannya langsung dalam bentuk kulit kepada mereka sesuai data, dan membiarkan mereka melakukan apa saja terhadap kulit-kulit itu sesuai kemauan dan kebutuhan masing-masing. Karena dengan telah diserah terimakan, maka otomatis kulit-kulit itu telah menjadi hak milik sah para penerimanya. Yang berarti pula dengan begitu panitia telah lepas tanggung jawab terhadapnya.
- Panitia melakukan pendataan para calon penerima seperti yang pertama, lalu mendatangi atau menghubungi masing-masing untuk memberi tahu bahwa ia akan kebagian kulit, seraya menanyakan apakah akan menerimanya langsung dalam bentuk kulit, ataukah ingin dibantu dijualkan lalu menerimanya sudah dalam bentuk uang senilai harga kulit yang telah ditetapkan menjadi bagian-nya. Nah jika si penerima ingin dibantu dijualkan, maka siapa saja (yang penting amanah) bisa dan boleh mewakilinya menjualkan, termasuk panitia itu sendiri. Karena yang penting disini status dan posisinya sudah sebagai wakil penerima dan bukan lagi sebagai wakil pequrban. Ingat, yang tidak boleh adalah jika panitia menjual kulit masih dalan status dan posisinya sebagai wakil pequrban. Karena memang wakil itu terikat dengan seluruh hukum dan konsekuensinya yang mengikat pihak yang diwakilinya!
- Panitia melakukan pendataan nama-nama calon penerima kulit seperti yang pertama dan kedua itu, akan tetapi tanpa harus mendatangi atau menghubungi satu persatu pihak-pihak penerima yang telah terdata tersebut, melainkan bisa langsung mewakili mereka dalam penjualan kulit yang menjadi bagian mereka sesuai data, lalu menyerahkan hasil penjualan kulit itu kepada mereka seusai proses transaksi jual beli. Dan hal itu insya-allah ditolerir, karena hampir bisa dipastikan bahwa, para penerima itu akan setuju jika dibantu dalam penjualan kulit-kulit itu untuk nantinya tinggal menerima hasil penjualan dalam bentuk uang, karena hal itu lebih memudahkan panitia dan sekaligus lebih meringankan dan membantu mereka sendiri.
Namun cara yang lebih afdhal untuk opsi terakhir
ini adalah sebaiknya panitia menunjuk atau membentuk sub panitia yang secara
khusus bertugas menangani kulit, yang sejak awal telah disepakati tentang
status dan posisinya sebagai wakil para penerima kulit, khususnya dalam
melakukan proses dan transaksi penjualan serta penyerahan hasilnya kepada
mereka sesuai data dan fakta.
Dan satu hal yang harus ditegaskan agar tidak
diabaikan disini, dan juga supaya proses transaksi penjualan kulit itu
dibenarkan dalam rangka mewakili dan atas nama pihak-pihak penerima, dan bukan
lagi mewakili dan atas nama para pequrban, adalah bahwa pendataan nama-nama
atau pihak-pihak penerima kulit harus sudah dilakukan sebelumnya, sehingga saat
transaksi penjualan terjadi status kulit-kulit itu sudah benar-benar jelas
sasaran alamat penerimanya. Dimana hal ini tentu saja sangat jauh berbeda
dengan praktik umumnya panitia qurban selama ini, yang langsung menjual
kulit-kulit qurban sebelum jelas betul siapa-siapa saja pihak penerimanya.
Karena dalam kondisi seperti itu status dan posisi panitia tetap sebagai wakil
para pequrban, dan bukan wakil penerima karena sampai penjualan terjadi, para
penerima masih belum jelas dan definitif!
Itulah tiga opsi yang bisa dilakukan dalam
menyikapi dan memperlakukan kulit hewan qurban yang selama ini memang selalu
dilematis bagi para panitia qurban setiap tahun.
e.nadzar qurban
Boleh,dan jadi wajib,namun ucapan seseorang
ini qurbanku belum tentu jadi nadzar
karena tergantung tujuan dari yang berbicara,ibarat kitab bughyah:
(مسئلة ب) ظاهر كلامهم أن من قال هذه أضحية أو هي أضحية أو هدي تعيّنت وزال ملكه عنها ولا يتصرّف إلاّ بذبحها في الوقت وتفرقتها,ولا عبرة بنيته خلاف ذلك لأنه صريح,قال الأذرعي:كلامهم ظاهر في إنشاء وهو بالإقرار أشبه,واستحسنه في القلائد قال:ومنه يؤخذ انه إن أراد أني أريد التضحية بِها تطوّعا كما هو عرف الناس المطّرد فيما يأخذونه لذلك حمِل على ما أراد,وقد افتى البلقيني والمراغي بأنها لا تصير منذورة بقوله هذه أضحيتي بإضافتها إليه,ومثله هذه عقيقة فلان اﻫ بغية المسترشدين صحيفة ٢۵٧ - ٢۵٨
Dzahirnya pernyataan ashab adalah bahwa siapa
orang yang berkata ‘ini hewan qurban’,atau ‘dianya hewan qurban’ atau hady (qurban haji),maka jadi wajib dan hilang kepemilikannya pada hewan itu dan tidak
berhak berbuat kecuali dengan menyembelihnya dan membagikannya, dan tidak diperhitungkan lagi niatnya selain
itu karena ucapan tersebut sharih (jelas). Berkata Adzra’i:pernyataan ashab dzahir dalam pernyataan tindakan (insya)
yang lebih senilai dengan ikrar’. Pengarang Al Qalaid menyetujui
perkataan Adzra’i itu dan berkata’dari sini bisa dimengerti bahwa bila
seseorang mengatakan maksudnya bahwa aku bermaksud berkurban sunnah,sebagaimana
yang telah jadi kebiasaan orang secara umum,maka diartikan kepada apa yang dia
maksudkan.Dan telah berfatwa Bulqini dan Maraghi bahwa yang demikian itu tidak
jadi qurban nadzar dengan (hanya) ucapan ‘ini qurbanku’,menggunakan kata
sambung kepada dirinya,dan umpamanya pula (ucapan), ’ini aqiqah si anu’.
Demikian pula ibarat fatawa ibnu ziyad,berikut
ini:
(مسئلة) ما يقع من العوام من قولهم:هذه أضحية,جاهلين بما يترتّب على ذلك وإن قصدوا الإخبار تصير به منذورة ما في حج ورم,ولكن فال السيد عمر البصري:محلّه ما لم يقصدوا الإخبار وإلاّ لم تتعيّن اﻫ بهامش بغية المسترشدين ص ٧٧
Masalah:apa yang biasa terjadi dari ucapan orang awam:ini hewan qurban,dengan tidak sadar
akan hal yang akan timbul darinya -walau mereka bermaksud memberi tahu- maka
jadi hewan qurban nadzar,namun sayyid Umar Albishry berkata:keadaannya bila mereka tidak bermaksud memberi tahu,tapi bila bermaksud hanya memberi tahu maka tidak jadi wajib (nadzar).
Demikian sekilas tentang hal yang berhubungan dengan qurban, semoga
dapat menambah wawasan dan juga menjadi bahan kajian terutama bagi para pelajar
untuk supaya menjauhi memperbesar hal sepele tapi meninggalkan yang besar serta memperebutkan hal yang sunnah tapi
meninggalkan kewajiban. Wassalam……….
Lampiran:
Pemanfaatan Hasil
Sembelihan Qurban yang Dibolehkan
Allah Ta’ala berfirman,
لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ
“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi
mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan
atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka
makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan
orang-orang yang sengsara lagi fakir.” (QS. Al Hajj: 28)
Dalam hadits dari Salamah bin Al Akwa’ radhiyallahu,
ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ ضَحَّى مِنْكُمْ فَلاَ يُصْبِحَنَّ بَعْدَ ثَالِثَةٍ وَفِى بَيْتِهِ مِنْهُ شَىْءٌ » . فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ نَفْعَلُ كَمَا فَعَلْنَا عَامَ الْمَاضِى قَالَ « كُلُوا وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُوا فَإِنَّ ذَلِكَ الْعَامَ كَانَ بِالنَّاسِ جَهْدٌ فَأَرَدْتُ أَنْ تُعِينُوا فِيهَا
”Barangsiapa di antara kalian berqurban, maka
janganlah ada daging qurban yang masih tersisa dalam rumahnya setelah hari
ketiga.” Ketika datang tahun berikutnya, para sahabat
mengatakan, ”Wahai Rasulullah, apakah kami harus melakukan sebagaimana tahun
lalu?” Maka beliau menjawab, ”(Adapun sekarang), makanlah sebagian,
sebagian lagi berikan kepada orang lain dan sebagian lagi simpanlah. Pada
tahun lalu masyarakat sedang mengalami paceklik sehingga aku berkeinginan
supaya kalian membantu mereka dalam hal itu.”( HR. Bukhari no. 5569 dan
Muslim no. 1974)
Jika kita melihat dalam hadits di atas, Nabi shallallahu
’alaihi wa sallam memerintahkan pada shohibul qurban untuk memakan daging
qurban, memberi makan pada orang lain dan menyimpan daging qurban yang ada.
Namun apakah perintah di sini wajib? Jawabnya, perintah di sini tidak wajib.
Alasannya, perintah ini datang setelah adanya larangan. Dan berdasarkan kaedah
Ushul Fiqih, ”Perintah setelah adanya larangan adalah kembali ke hukum
sebelum dilarang.” (Inilah yang menjadi pendapat para ulama salaf. Lihat Ma’alim
Ushul Fiqh, Muhammad bin Husain bin Hasan Al Jizaniy, hal. 408-409, Dar
Ibnul Jauzi, cetakan ketiga, tahun 1422 H).Hukum makan dan menyimpan daging
qurban sebelum adanya larangan tersebut adalah mubah. Sehingga hukum shohibul
qurban memakan daging qurban, memberi makan pada orang lain dan menyimpannya
adalah mubah.
Ibnu Hajar Al Asqolani dalam Fathul Bari
mengatakan,
وَقَوْله ” كُلُوا وَأَطْعِمُوا ” تَمَسَّكَ بِهِ مَنْ قَالَ بِوُجُوبِ الْأَكْل مِنْ الْأُضْحِيَّة ، وَلَا حُجَّة فِيهِ لِأَنَّهُ أَمْر بَعْد حَظْر فَيَكُون لِلْإِبَاحَةِ
”Sebagian orang yang berpendapat bahwa shohibul
qurban wajib memakan sebagian daging qurbannya beralasan dengan perintah
Nabi –shallallahu ’alaihi wa sallam- ”makanlah dan berilah makan” dalam hadits
di atas. Namun sebenarnya mereka tidak memiliki dalil yang jelas. Karena
perintah tersebut datang setelah adanya larangan, maka dihukumi mubah (boleh).”
Dalam hadits ini kita juga mengetahui bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah melarang menyimpan daging qurban lebih dari tiga
hari. Hal itu agar umat Islam pada saat itu menshodaqohkan kelebihan daging
qurban yang ada. Namun larangan tersebut kemudian dihapus. Dalam hadits lain,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tegas menghapus larangan
tersebut dan menyebutkan alasannya. Beliau bersabda,
« كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ لُحُومِ الأَضَاحِى فَوْقَ ثَلاَثٍ لِيَتَّسِعَ ذُو الطَّوْلِ عَلَى مَنْ لاَ طَوْلَ لَهُ فَكُلُوا مَا بَدَا لَكُمْ وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُوا ». قَالَ وَفِى الْبَابِ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ وَعَائِشَةَ وَنُبَيْشَةَ وَأَبِى سَعِيدٍ وَقَتَادَةَ بْنِ النُّعْمَانِ وَأَنَسٍ وَأُمِّ سَلَمَةَ. قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ بُرَيْدَةَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ.
“Dulu aku melarang kalian dari menyimpan daging
qurban lebih dari tiga hari agar orang yang memiliki kecukupan memberi keluasan
kepada orang yang tidak memiliki kecukupan. Namun sekarang, makanlah semau
kalian, berilah makan, dan simpanlah.”( HR. Tirmidzi no. 1510, dari
Sulaiman bin Buraidah, dari ayahnya. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan
shahih) Setelah menyebutkan hadits ini, At Tirmidzi mengatakan,
وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- وَغَيْرِهِمْ.
“Hadits ini telah diamalkan oleh para ulama dari
sahabat Nabi dan selain mereka.”
Intinya, pemanfaatan hasil sembelihan qurban yang
dibolehkan adalah:
- Dimakan oleh shohibul qurban.
- Disedekahkan kepada faqir miskin untuk memenuhi kebutuhan mereka.
- Dihadiahkan pada kerabat untuk mengikat tali silaturahim, pada tetangga dalam rangka berbuat baik dan pada saudara muslim lainnya agar memperkuat ukhuwah.
.
Wassalam